17. Bias Proyeksi

BAGIAN DUA
INTERLUDE : 2022 - 2027

"Kenapa Mas memilih tidak menceraikan aku?" kata Ariqa pada suatu sore saat sedang menunggu tangki bensin terisi penuh. Mereka sedang di pemberhentian POM bensin dari Jogja perjalanan menuju Nganjuk. "Aku yakin Mas pasti menyimpan benci ke Eko," tambahnya.

Benci adalah satu kata pemicu peperangan. Anang memahami kata itu seolah telah mengenalnya ratusan tahun. Dia menanggapi, "Aku menikahi kamu karena siap menerima semua masalah yang akan datang. Termasuk kedatangan Cindy di keluarga kita. Tapi dia bentuk lain dari anugerah."

Bensin akhirnya terisi penuh. Anang segera turun dan memeriksa apakah penutup tangki sudah tertutup sempurna. Saat Anang kembali menaiki mobil, dia menoleh kebelakang, Cindy sudah bangun di kursi pengamannya.

Gadis tiga belas tahun itu merenggangkan tangannya. "Sampai di mana kita, Yah?"

"Masih dua jam lagi," jawab Anang. "Mau cari makan dulu gak?"

"Gak usah, lanjut aja." Cindy menoleh ke Ibunya. "Tadi ibu bungkus nasi goreng, kan?"

Saat Ariqa dan Cindy sibuk mencari nasi goreng di dalam suatu tas tangan, entah yang mana, Anang melajukan mobilnya keluar dari area POM Bensin.

"Memangnya masih ada sisa nasi goreng? Kan tadi sudah Ayah habiskan sebelum berangkat." Anang melirik ke spion tengah melihat wajah Cindy. Gadis itu terlihat cemberut.

"Oh, iya Nak, tadi nasi gorengnya sudah dimakan ayah," tambah Ariqa. "Yasudah. Cari tempat makan terdekat, kita makan dulu."

"Gak usah Bu, cari mini market aja beli kudapan," potong Cindy sambil merapikan tas yang sudah dibokar tadi bersama ibunya.

"Iya, kalau lihat kasih tahu Ayah." Anang sekali lagi melirik sepion tengah melihat ekspresi Cindy yang tidak berubah. "Kenapa kamu baru bangun sudah cemberut aja."

"Biasa lah, Yah, dia gerogi mau ketemu pangeran cintanya di Nganjuk."

"Harusnya seneng dong, Bu!" Anang sambil tersenyum ketika mengucapkannya. Nada bicaranya terdengar seperti sedang menggoda Cindy agar gadis itu merengek.

"Ayah, Ibu, apaan sih!" Ariqa menyandarkan punggung. "Lagian kita kenapa gak naik kereta aja? Kan lebih cepat. Naik mobil itu capek. Lima jam perjalanan berasa lima tahun. Gak sampai-sampai."

"Yasudah besok pulangnya, kamu naik kereta ke Jogja, Ibu sama Ayah naik mobil," goda Anang sekali lagi. "Nanti kita mampir-mampir ya, Bu. Ke Kediri, Malang, Banyuwangi."

"Gak gitu juga konsepnya, Ayah," gerutu Cindy.

"Lagian kamu, toh ya kamu cuma tidur, belum juga keluar Jogja kamu sudah tidur." Anang menepikan mobil karena menemukan minimarket. "Semalam kamu gak tidur, ya?"

"Tidur sebentar sebelum azan Subuh." Cindy membuka tangannya di tengah-tengan jok mobil antara Anang dan Ariqa. "Minta uang."

Anang lalu memberikan dompet ke Cindy.

Seketika Ariqa menukas, "Ayah! Kasih secukupnya aja." Namun, sudah terlambat. Cindy sudah membawa kabur dompet ayahnya turun dari mobil menuju mini-market.

"Mas, lain kali kasih secukupnya aja," tegur Ariqa. Wanita itu tampak memperhatikan ke area mini-market memastikan apakah di dalam sana Cindy membeli banyak makanan terlalu banyak. "Eko kemarin transfer uang untuk Cindy."

"Ya, kamu kasih ke Cindy." Anang tidak melihat ke Ariqa ketika mengatakannya. Dia tersibukkan dengan memeriksa panel notifikasi. Dia mendapati pesan dari Bagus.

"Jumlahnya terlalu banyak kalau dikasihkan ke Cindy."

"Belikan dia sesuatu atau apapun yang dia inginkan."

"Tetep harus aku kontrol juga, Mas. Gak mungkin aku kasih apapun yang dia inginkan begitu saja." Ariqa mendesah. "Eko sempat bilang ingin bertemu dengan Cindy."

"Kamu cerita gini seolah-olah aku gak pernah kasih izin Cindy ketumu sama Eko." Anang lalu meletakkan ponselnya ke speedometer. "Aku kasih kebebasan untuk Eko bertemu dengan Cindy. Dia ayah biologisnya."

"Iya aku tahu, Mas gak pernah ngelarang Eko ketemu sama Cindy." Ariqa mengusap lengan Anang dengan tatapan hampanya. "Aku hanya takut kalau Eko cerita bahwa Cindy adalah anaknya."

"Aku yakin, Eko bukan pria yang menuntut pengakuan." Anang pernah berpikir jika Ariqa akan lebih nyaman melanjutkan hidupnya bersama Eko, karena bersamanya memberikan banyak rasa bersalah dan penyesalan. Tidak tahu mana yang lebih menyakitkan baginya. Antara kehilangan Cindy atau kehilangan Ariqa. Keduanya selama ini memberikan banyak hal yang tidak dapat dibeli dengan materi, tentang hal baik yang tumbuh dari keburukan.

"Eko sudah tunangan, Mas. Sama teman komunitas." Ariqa memandangi tangan Anang, dia menyusuri panjangnya pembuluh darah yang menonjol berwarna kehijauan. Pikirannya melayang ke suatu tempat di mana dia berusaha memikirkan bagaimana jika suatu saat Anang menyerah padanya.

"Iya." Anang sudah kehabisan kata-kata.

"Menurut kamu, adil tidak bagi orang tua kita tidak tahu soal Cindy?"

"Maksud kamu tunangan Eko?" Anang memahami maksud perkataan Ariqa. "Memangnya dia tidak tahu?"

Dan benar saja, Ariqa mengangguk dan tidak memprotes pertanyaan Anang.

"Aku tidak mau mengambil kesempatan untuk menjelaskan ke orang tua kita masing-masing. Dan aku rasa siapa peduli Cindy anak biologis siapa. Yang terpenting saat ini dia aku besarkan dengan baik."

"Bagaimana menurut kamu kalau kita pindah ke Nganjuk saja. Maksud aku, supaya kita bisa meninggalkan masalah kita di Jogja dan bahagia di Nganjuk dekat dengan keluarga."

"Aku bisa atur pekerjaanku. Tapi itu butuh proses gak langsung bisa pindah." Anang mulai menyalakan mesin karena sudah melihat Cindy keluar dari mini market dengan membawa sekantong penuh belanjaan. "Atau kita tunggu Cindy SMA. Kamu bisa tinggal di sana dulu. Selama aku masih urus pekerjaanku di Jogja."

Saat Cindy membuka mobil. Anang langsung terbungkam.

"Beli apa aja, Nak?" tanya Ariqa menoleh kebelakang saat Cindy naik ke mobil.

"Gak tahu, Bu, pokoknya cukup buat perjalanan."

Anang melajukan mobilnya dan kembali melanjutkan perjalanan. Selama beberapa menit berlalu keadaan semakin sunyi. Anang dan Ariqa hanya saling lirik. Mereka sepertinya saling tunjuk untuk memulai pembicaraan kepindahan ke Nganjuk.

Cindy yang merasa kejanggalan langsung menanyakan, "Ayah sama Ibu kenapa sih?"

"Tadi, Ibu sama Ayah berunding." Ariqa akhirnya angkat bicara. "Kalau kamu SMA di Nganjuk bagaimana?"

"Aku SMA masih satu setengah tahun lagi, kenapa harus dibicarakan sekarang?"

"Baru merencanakan belum jadi keputusan," tambah Anang. "Jadi, nanti Ayah urus dulu berkas-berkas pindah rumahnya. Selagi ayah juga harus urus soal pekerjaan, kamu sama Ibu sudah tinggal di Nganjuk."

"Tinggal di rumah nenek? Atau di rumah Oma?" Cindy menyebut Oma untuk orang tua Ariqa dan Uti untuk orang tua Anang. Panggilan tersebut sengaja dibedakan agar memudahkan Cindy sewaktu kecil. "Apa beli rumah?"

Anang dan Ariqa saling pandang. Mereka belum membahas sampai sejauh itu.

"Beli rumah di Nganjuk, mungkin yang dekat dengan rumah Nenek." Anang menoleh ke arah spion tengah. "Nanti sekolah di tempat waktu sama kayak Ayah dulu."

"Mungkin bisa juga kamu satu sekolah sama Faqri, kan?" tambah Ariqa.

"Iya kalau Faqri sekolah di situ," elak Cindy saat dia berusaha membuka kaleng soda.

"Faqri siapa?" Saking penasarannya Anang sampai menoleh ke belakang juga ke Ariqa.

"Itu, anaknya Pak Joko."

"Ihh ibuuuu!"

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top