15. Terikat dan Tersumpal
Suara ketukan pintu depan disertai ucapan salam terdengar sampai ke dapur. Rere buru-buru mematikan kompor dan pergi menyambut tamu tersebut. Saat pintu di buka, Rere tidak mengantisipasi jika Prasto dan Fatah akan datang.
"Pak Fatah? Eh... Prasto." Bibir Rere rasanya seperti kesemutan ketika menyapa mereka berdua. "Silakan masuk." Mata Rere tertuju pada Prasto yang berdiri dengan janggal dan kepalanya menoleh ke arah jalan.
Prasto yang lebih dulu masuk dengan langkah cepatnya, baru di susul Fatah yang menyeret koper. Rere merasakan kejanggalan gerak-gerik Prasto, bukan seperti orang ketakutan tapi dia bersikap waspada. Hingga saat Prasto duduk, Rere baru menyadari situasinya.
"Mas Buntoro masih tidur," kata Rere saat Fatah menepikan koper ke tembok dekat dengan pintu ke ruang tengah. "Aku bangunkan dulu."
Rere masuk ke ruang tengah. Dia memegang gangang pintu, tangannya bergetar. Perasaan tidak enak mengganggu hati dan pikirannya. Saat setelah dia membangunkan Buntoro Rere pergi ke dapur, sedangkan Buntoro bejalan menuju ruang depan.
Sesampainya di dapur selagi menunggu ceret bersiul menandakan air mendidih, Rere berusaha memekakan telinga untuk mencuri dengar apa yang akan terjadi di ruang depan. Mulanya terdengar samar, Rere akhirnya memutuskan berpindah ke ruang tengah dengan duduk di depan kursi komputer.
"Pakde sama Prasto kenapa ke sini?" Rere tidak habis pikir dengan pertanyaan Buntoro kepada Fatah. Dia tahu silsilah keluarga Buntoro. Fatah adalah kakak dari orang tua Buntoro. Dia tinggal di Sulawesi selama ini. Rere baru bertemu dengan Fatah hanya tiga kali, dipernikhannya dulu, pernikahan Zahro, dan sekarang. Menyinggung pertanyaan Buntoro sangat terdengar seperti tidak mengharapkan kedatangan Fatah yang jauh-jauh dari Sulawesi.
"Kamu jadi jual tanah bapak kamu?" kata Fatah. "Aku dengar cerita dari anak kamu Anang."
"Iya, sudah beberapa minggu yang lalu," jawab Buntoro dengan suara khas keangkuhannya. "Itu tanah sudah diberikan ke aku jadi sudah menjadi hak aku. Pakde ke sini mau minta bagian?"
"Bukan seperti itu," jawab Fatah dengan suara tenangnya. "Saya sudah tua, buat apa saya pedulikan harta. Saya cuma mau bilang saja sama kamu..."
"Mau mintakkan jatah buat Prasto." Mendengar Buntoro yang menyela perkataan Fatah membuat Rere mengusap dadanya. Dia bahkan bisa membayangkan bagaimana ekspresi wajah Buntoro yang terlihat tersinggung. Sudah menjadi kebiasaan Buntoro bersikap mengintimidasi banyak orang tak terkecuali keluarga sendiri.
"Kalian itu bersaudara, biarpun tanah itu sudah diberikan ke kamu tapi... kasarannya untuk antar hubungan saudara kandung alankah sebaiknya Prasto juga dapat bagian." Rere memahami situasinya, sejak kematian ayahnya Buntoro dan Prasto, Fatah sudah menjadi ayah pengganti bagi mereka. Rere juga berharap kehadiran Fatah bisa mengubah watak Buntoro yang angkuh.
"Sudah gak ada lagi, kemarin aku sudah gunakan untuk keperluan Bagus ke Malaysia, juga aku baru beli mobil." Buntoro malah meninggikan volume suaranya. "Kemarin Prasto juga sudah dapat bagian kelolah sawah Bapak, itu juga gak ada hasilnya dan malah tanahnya dia jual dan aku tidak dapat bagian."
"Mas dapat ya! Aku sudah kasih lima puluh juta ke Mas Buntoro," ungkap Prasto.
Rere belum pernah mendengar cerita ini. Dia ingin melanjutkan dengar namun saat itu terdengar suara tanda cerek yang mendandakan air sudah mendidih. Dari dapur dia masih bisa mendengar karena suaminya dan Prasto saling meninggikan suara.
"Prasto, sawah bapak itu ada tigalahan, kamu jual semuanya kan?" tuduh Buntoro, entah bagaimana gerak tubuhnya di sana, Rere hanya bisa membayangkan kalau tangan suaminya teracuk ke arah Prasto. "Berapa itu yang sudah kamu dapatkan?"
"Mas, aku cuma jual satu lahanya bapak," tadas Prasto. Terdengar samar-samar suara fatah berusaha menenangkan suasana tapi tidak membuat Prasto bungkam. "Sisa uangnya aku gunakan untuk biaya pernikahanku dengan Sekar. Aku juga beberapa kali gagal panen."
"Kamu dari dulu mana pernah bisa membanggakan keluarga." Nada sarkas Buntoro muncul kembali, saat itu Rere perjalanan meuju ruang depan dengan membawa nampan berisikan tiga gelas kopi. "Terus sawah-sawah Bapak yang lain kamu apakan?"
"Aku sewakan," jawab Prasto. "Mas, jangan mengalihkan topik ya! Jadi, hasil penjualan tanah Bapak yang itu aku gak dapat bagian, Mas dulu aku kasih 50 persen seharusnya dari tanah itu aku dapat setengah juga?"
"Astaga, aku sudah bilang uangnya habis. Lagi pula kamu buat apa uang banyak-banyak?" Rere masuk ke ruang tamu saat Buntoro mengatakan itu. Ternyata selama percakapan berlangsung Buntoro hanya berdiri di dekat jendela. "Zahro juga sudah kamu tinggal selama hampir dua tahun."
Rere langsung menyadari perubahan ekspresi Fatah.
"Benar begitu, Pras?" tanya Fatah.
"Iya," jawab Prasto pelan. "Tapi aku tetap kirim keperluan untuk Zahro dan anak-anaknya. Mbak Rere yang bantu aku."
Rere menoleh ke belakang. Buntoro menatapnya dengan ekpresi kesal.
Fatah mendesah. "Pakde datang ke sini sebenarnya bukan untuk mempertanyakan soal warisan. Pakde datang ke sini ingin bertemu dengan kalian semua." Dia menoleh ke Prasto. "Jadi, kamu benar pindah ke Majalengka?"
"Iya, Pakde," jawab Prasto.
Fatah sekali lagi mendesah. "Mau bagaimanapun gak baik berebut warisan. Tapi kamu juga salah Buntoro, kamu seharunya ingat suadara kamu biarpun itu sepenuhnya rejeki kamu. Apa gak ada sisa sama sekali."
"Ada hanya lima belas juta."
Rere tidak tahu kenapa suaminya tidak pernah meceritakan soal apapun termasuk sisa uang yang ada. Beberapa waktu yang lalu dia harus membawa magic-com yang rusak ke servis dan membayar biayanya dari uang hasil jeripayahnya menerima pesanan tumpeng dan nasi kotak yang dikumpulkannya selama berbulan-bulan. Selama itu, Buntoro seperti tutup mata dengan kebutuhan lain Rere kecuali uang belanja yang hanya 50 ribu perharinya.
Buntoro kemudian masuk ke kamarnya sedangkan Fatah dan Prasto menyeduh kopi. Rere memilih duduk di kursi lain.
"Sebenanrnya kamu sama Zahro sudah cerai atau belum? Kata Buntoro kok kamu ninggal keluarga kamu? Ada apa memangnya?" tanya Fatah saat setelah menyeduh kopi.
Prasto menoleh ke Rere. Selama ini Rere menjadi penyalur antara Zahro dan Buntoro, namun Zahro tidak tahu kalau selama ini Rere menanyakan pertanyaan retorik untuk keperluan Athira dan Sekar.
"Belum, Pakde," jawab Prasto. "Aku ke Majalengka itu kerja untuk menutup hutang-hutangku di sini."
"Tapi hutang-hutang kamu sudah ke tutup kan?" Fatah mengusap bahu Parasto. "Majalengka itu dari keluarga ibu kamu ya?"
"Iya, ada rumah Ibu di sana, aku tinggal di sana."
Rere tertarik dengan fakta yang ternyata Prasto pergi meninggalkan Zahro dengan berbagai masalah. Entah, apakah Zahro tahu mengenai apa tidak, yang telihat sekarang Zahro hidup dengan bahagia dengan kedua anaknya.
"Itu rumah sudah aku balik nama." Tiba-tiba Buntoro menyahut dari ruang tengah. Saat Buntoro muncul dari ambang pintu dia sedang menghitung isi uang dalam amplop cokelat. "Ada 23 juta di sini." Buntoro meletakkan amplopnya ke meja.
"Kamu belum menemui Zahro?" tanya Rere.
"Setelah dari sini baru nemui Zahro," jawab Prasto dengan ekspresi tengang. "Uang ini mau aku kasihkan ke Zahro."
"Ya sudah kamu temu Zahro sana!" kata Fatah. "Pakde mau istirahat dulu."
"Iya, Pakde bisa pakai kamarnya Bagus kalau mau istirahat." Rere pun mengatar Fatah ke kamar Bagus saat Prasti berdiri menuju kamar depan, Sedangkan Buntoro duduk menyeduh kopinya.
Rere sempat mendengar saat Buntoro mengatakan. "Kamu itu jadi pria yang tegas!"
Entah bagaimana ekspresi Prasto saat itu, pasti berat baginya menjalani semuanya. Rere memahami biarpun Prasto berada jauh dengan Zahro dan anak-ananknya namun Prasto masih memikirkan masa depan anaknya dengan memberikan uang dari Buntoro.
BERSAMBUNG
Akan direvisi hari Rabu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top