14. Daerah Terlarang

Joko sama sekali tidak mengantisipasi jika Lina akan bersikap dingin kepadanya. Dia mengira bahwa awal Lina berhenti program KB, dia sudah sepakat untuk bersedia mempunyai anak. Entah bagaimana, butuh berminggu-minggu untuk mengatasi situasi yang membingungkan tersebut. Mulanya memang membuatnya sedikit frustasi namun lama-kelamaan Lina akhirnya sedikit melunak dan tampaknya mulai menerima keadaan daripada menyangkalnya.

Selama ini Joko sudah berusaha semaksimal mungkin agar Lina tidak merasa sedih. Hingga pada malam ini Lina melontarkan kalimat yang menyinggung perasaan Joko, dan itu menyangkut tentang keluarga dan kepindahan mereka ke Nganjuk.

"Mas, dulu kan aku pernah bilang kalau masuk rumah sepatunya dilepas. Ini kamu malah pakai sampai kamar mandi, mana hasilnya di depan kamar mandi ada bekas sepatu kamu." Lina berdiri di depan pintu kamar menoleh ke arah Joko yang berada di ambang pintu anatara dapur dan ruang makan. "Lihat itu, belakang, kotor semua jadinya. Terus siapa yang bersihkan?"

"Iya, maaf," kata Joko setelah meletakkan sepatu pada rak. "Nanti aku yang bersihkan. Tadi sudah kebelet jadi gak sempat."

"Keluarga kamu gak pernah apa ajarin kamu kalau masuk kamar mandi alas kaki di lepas."

"Astaga, aku sudah minta maaf. Kok kamu malah bawa-bawa keluarga." Joko berjalan mendekat sambil melepas kancing  baju.

"Soalnya kamu kebiasaan kaya gitu," tukas Lina sambil berjalan melewati Joko mengarah alat pel di dekat pintu belakang.

"Kamu ngapain?" Joko berbalik, padahal dia awalnya hendak masuk ke kamar. "Nanti aku yang beresin. Sudah biarkan saja."

"Coba kalau kita masih tinggal di Jombang, kamu mana berani masuk rumah pakai sepatu." Lina tetap mengerjakan membersihkan lantai di depan kamar mandi tanpa menghiraukan ucapan Joko. "Kamu itu yah, dulu waktu di Jombang semua kerjaan rumah bisa diandalkan. Lebih peduli sama rumah. Sekarang? boro-boro, kalau gak aku yang minta buat sikat kamar mandi juga gak dikerjakan."

"Kamu kenapa sih?" Joko merasa jika Lina sudah keterlaluan. "Suami baru pulang kerja kamu sudah ngajak berantem."

"Siapa yang mulai!" Lina menunjuk ke arah lantai. "Sama Mas, aku juga capek. Pulang kerja aku sudah bersih-bersih rumah, terus kamu kotorin lagi, siapa yang gak kesel lihatnya."

"Aku sudah bilang kalau aku yang kerjakan nanti. Kamu bisa istirahat." Setelah mengatakan itu, Joko tersadar jika tidak pernah sekasar sekarang ketika berbicara dengan Lina. Namun, melihat Lina yang sekarang sangat tidak bisa ditoleran. "Ini bukan soal aku ya, masalah sepatu itu cuma sepele. Aku sudah menahan ya selama ini, aku sabarin kelakuan kamu akhir-akhir ini. Tapi kamu malah singgung keluarga aku. Kalau kamu gak betah ada di Ngajuk pulang sana!"

Lina berteriak lalu melempar alat pel ke sembarang tempat. "Oh, jadi kamu ingin kita pisah. Mas, diperut aku ini anak..."

"Aku tahu," tukas Joko, memotong kalimat Lina. "Aku tahu itu anak aku. Selama ini aku mengikuti segala keinginan kamu di rumah ini. Apapun itu selagi aku bisa penuhi pasti aku penuhi. Supaya apa? supaya kamu betah di rumah ini. Kalau kamu pulang ke Jombang, aku gak akan melarang. Tapi, mana ada kamu bilang. Dari awal aku sudah tanya ke kamu apa tidak masalah pindah ke Nganjuk, kamu bilang menyesuaikan diri dulu. Sudah lima tahun kita tinggal di sini tapi hasilnya apa?"

Lina terdiam beberapa saat. Dia mencari tempat duduk terdekat, yaitu berada di samping meja setrika pakian. Lina menatap Joko lama, air matanya menetas namun memberikan tatapan penuh kesal. Dia menyibak rambut panjang bergelombangnya lalu kemudian berkata. "Aku sudah mengorbankan banyak hal mas di sini. Aku pikir selama ini kamu mengerti aku, mengerti bagaimana perasaanku. Kamu tahu pernikahan kita dulu tertuda satu tahun karena Ayah meninggal, sekarang Ibu di Jombang tinggal sendirian, aku pikir kita bisa tinggal di sana selamanya. Aku pikir kita akan hidup selamanya di sana. Tapi, tiba-tiba kamu bilang dapat kerja di Nganjuk, aku bodoh sekali percaya kalau kamu beli rumah di sini hanya untuk investasi."

Mereka berdua sama-sama terdiam untuk beberapa saat. Pikiran Joko berkelana dengan apa yang telah diungkapan Lina. Dia akhirnya tahu bagaimana perasaan Lina selama. Dia tidak pernah menduga bahwa kehamilan Lina bukan perkara yang besar, tentang kepindahan merekalah yang merenggang ikat pernikahan mereka. 

Namun, berbeda dengan Lina yang terlewat kecewa harus mendengar perkataan Joko yang sekasar itu. Perkataan Joko membuktikan bahwa selama ini suaminya hanya merasa berusaha bertahan sendirian tanpa tahu bahwa Lina juga merasakan hal yang sama besarnya.

"Besok kita ke Jombang!" kata Joko menyudahi keheningan. "Kalau kamu mau tinggal beberapa minggu di sana silakan. Aku akan antar kamu."

"Kamu gak ingin kita pisah kan?"

"Tidak." Joko mendesis. "Dengan kamu ke Jombang beberapa hari, aku rasa itu jalan terbaik untuk pernikahan kita."

Lina menggeleng lalu berdiri dengan tegaknya. "Aku gak akan pergi." Dia memungut alat pel dan meletakkan ke tempat semula. Lina melihat sekeliling, lantai belum sepenuhnya bersih. "Kamu pikir aku akan senang berada di Jombang dengan situasi kita saat ini?"

Joko mengusap wajahnya dengan kasar lalu menyugar rambut ke belakang. "Kenapa lagi sih?" Joko mendesis panjang hingga akhirnya dia berteriak. "Terus mau kamu apa? kamu ingin aku harus berbuat apa?"

Lina menatap Joko dengan ekspresi tidak menyangka jika Joko akan berteriak. "Buat apa aku lama-lama di Jombang kalau kelakuaan kamu masih seperti ini. Lagi pula aku harus kerja."

"Yang buat kita berantem sebenarnya bukan aku, tapi kamu," ungkap Joko. "Kamu sendiri yang memperumit keadaan. Kamu keterima kerja juga tidak bilang aku. Semua yang kamu lakukan aku gak pernah memperotes, aku hanya butuh penjelasan. Kalau kamu tidak suka kita pindah ke Nganjuk, andai kamu bilang waktu itu, aku bisa tidak mengambil pekerjaan di sini."

Lina menggeleng. "Kamu egois, Mas."

Alis Joko berkerut. "Egois bagaimana?"

"Kamu bisa kasih kabar dadakan kalau keterima kerja di Nganjuk, tapi begitu aku lakukan itu kamu mentang-mentang seperti ini."

"Siapa yang mentang-mentang?" Joko melangkah mendekat ke arah Lina. "Aku kebingungan karena kamu tidak pernah mendiskusikan ke aku. Aku ini suami kamu, apapun yang kamu lakukan harusnya dibicarakan dulu ke aku. Iya, biarpun aku tidak mempermasalahkan kamu kerja tapi ini yang aku gak suka. Kamu kelelahkan, hasilnya ingin marah-marah. Suami dibentak-bentak, apa itu pantas?"

"Kamu yang bentak-bentak aku."

"Kalau kamu gak kelewat batas mana ada aku bentak. Aku seperti ini karena kamu sudah kelewat batas." Joko berteriak sangkin kerasnya otot-otot lehernya terlihat mengeras.

Lina terdiam untuk beberaoa detik kemudian dia berlari masuk ke kamar. Dia menutup pintu keras-keras dan menguncinya.

"Hei. Aku belum selesai!" Joko sampai mengetuk pintu. Emosinya semakin memuncak dengan sikap Lina yang dirasa kekanak-kanakan. "LINA! Kamu buka atau aku dobrak."

"Dobrak saja biar rusak, sekalian rusak sudah rumah tangga kita," sahut Lina sambil menoleh ke arah pintu. Wanita itu kemudian memilih tidur tengkurap dengan membenaman wajah ke bantal

Setelah mengetuk hingga menggedor pintu hingga beberapa menit sambil meminta Lina keluar. akhirnya Joko mengatakan, "Apapun alasannya besok pagi kita pergi ke Jombang. Aku gak peduli dengan pekerjaan kamu." Sebelum akhirnya pergi ke luar rumah. Dia masuk ke dalam mobil dan mengendarainya berkeliling tanpa tujuan untu menjernihkan pikirannya.

Berbeda dengan Lian. Dia terisak dengan tangisnya dan mengingat kejadian yang baru saja di alaminya, tentang Joko yang membentaknya, tentan Joko yang tidak peduli dengan perasaanya, dan tentang kemustahilan hubungan pernikahan mereka kedepannya. Lina membayangkan betapa banyak rasa kecewa yang didapatnya dengan sikap Joko yang tiba-tiba temperamen.


BERSAMBUNG

MENUJU SATU EPISODE LAGI SEBAGAI AKHIR DARI BAGIAN SATU

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top