2. Penyelesaian
Dua hari. Kurang lebih sudah empat puluh delapan jam berlalu sejak insiden penembakan yang dilakukan oleh tersangka Hashimoto Iori. Tanpa basa-basi, Hashimoto Iori melakukan aksi penembakan di pagi hari saat istirahat. Aksi ini menimbulkan satu korban, Kaizaki Najimi, tujuh belas tahun, laki-laki. Diduga teman sekelasnya langsung mendatanginya lantaran iri terhadap apa yang terjadi padanya.
Jika itu memang aksi penembakan asli, maka televisi dan berbagai media lainnya sudah berbondong-bondong untuk meliputnya. Tetapi, mana ada juga orang yang iri terhadap si korban lantaran ingin ditembak juga.
Sama-sama penembakan dan sama-sama menimbulkan korban, setidaknya satu orang.
Saat ini jam enam sore. Rin sedang menyiapkan makan malam di dapur sedangkan aku, sosok kakak yang baik, menunggu dengan sabarnya di ruang tamu. Televisi kubiarkan menyala, mana tahu ada berita tentang penembakan remaja laki-laki tujuh belas tahun Kaizaki Najimi.
Sudah sekitar tiga puluh menit aku menunggu, namun berita tersebut tak kunjung datang.
Duduk di atas sofa, aku melihat ponselku. Aku menjelajahi apa yang dikenal sebagai jaringan internet. Internet itu hebat. Kau bisa menemukan apa yang kau tidak bisa temukan di perpustakaan atau membutuhkan waktu yang lama untuk menemukannya, dengan sangat cepat dan instan.
Sejarah, cerita fiksi, resep makanan, rumus matematika dan Fisika, atau jika kau adalah seorang remaja laki-laki yang baru mempunyai pacar untuk pertama kalinya, maka ada tips dan trik untukmu. Semua ada di internet.
Bagi diriku yang sedang kebingungan ini, yang terakhir sangat cocok untukku.
Di situlah aku; duduk sambil membaca suatu artikel berjudul 'jadilah pacar yang baik untuk dirinya'. Dilihat dari tanggal terbitnya, artikel ini sudah diunggah sejak cukup lama. Di artikel tersebut, dipaparkan poin-poin penting tentang kencan pertama, dan juga hal-hal yang perempuan inginkan tapi tidak pernah katakan ke pasangan mereka. Terdapat sekitar sepuluh poin, dan dua puluh lima hal.
Artikel ini lumayan panjang. Tapi, apapun akan kulakukan demi menyukseskan rencana besok hari.
Sekitar lima belas menit berlalu. Akhirnya aku mencapai kalimat terakhir yang ditutup dengan titik. Hanya karena membaca artikel mataku sampai perih begini. Aku mengucek-ngucek kedua mataku untuk menghilangkan letih. Penelitian juga bilang memijat mata setelah sesi membaca yang cukup panjang merupakan hal yang sangat disarankan.
Aku menghela napas dan meletakkan ponselku di sampingku. Aku menyenderkan kepala, berpikir apakah sebenarnya perasaan tidak enak ini. Dua hari sudah berlalu, tapi sama sekali tidak membaik. Ada kalanya rasa ini hilang, tapi langsung muncul lagi.
"—Kak...! Makan malam udah jadi, nih." Rin memanggilku.
Suaranya yang mengatakan makanan sudah siap terdengar dari dapur. Akibat 'belajar' terlalu keras, aroma masakan Rin tidak sampai ke hidungku. Dari tadi aku bahkan meragukan bahwa dia itu sebenarnya tidak memasak apa-apa dan sedang bersantai di kamarnya. Tetapi, panggilannya barusan mematahkan kecurigaanku.
"Okee...!" Jawabku.
Aku tinggalkan ponselku di sofa dan beranjak ke dapur.
Sesampainya di sana, kami berdua langsung menyantap makan malam tersebut dan giliranku untuk mencuci piring. Aku selesaikan semuanya dengan cepat dan kembali lagi ke ruang tamu.
Di sana, Rin duduk di lantai dan sedang mengutak-ngatik ponselnya. Layar ponselnya terpantul sedikit di lensa kacamatanya. Nampaknya dia sedang membuka sesuatu, tapi aku tidak yakin. Pantulannya tidak cukup jelas hingga aku bisa mengidentifikasi apa yang dia sedang lihat itu.
Aku mengabaikannya dan kembali ke urusanku. Aku ambil ponselku dan duduk di sofa. Aku baru saja akan menyalakan ponselku ketika Rin memanggilku.
"Kak."
Ketika aku melirik, dia sedang menatapku.
"Kenapa?"
"Tadi ada pesan masuk."
Aku terdiam untuk sesaat.
"Oh. Makasih." Jawabku singkat.
Rin tidak menjawab apapun.
Aku nyalakan, dan benar saja, ada satu pesan masuk. Pesan masuk tersebut adalah dari Suzuki. Temanku yang satu ini, sama seperti Toho, walau akrab denganku, dia jarang mengirimkanku pesan. Boleh jadi aku tidak mendapat satupun pesan darinya selama satu bulan penuh. Ketika dia mengirimkan pesan, hampir selalu dia sedang menkhawatirkan keadaanku.
Aku buka pesannya.
Pesan itu singkat. Huruf yang digunakan juga sedikit. Isi pesannya tidak mencapai bahkan dua baris, tidak, pesannya tidak bisa dikatakan bahkan mencapai satu baris, karena hanya setengah dari baris pertama yang berisikan tulisan.
Lakukan saja.
Begitulah isi pesannya.
Seolah dia bisa membaca pikiranku, seakan dia bisa melihat ke dalam hatiku. Dia bisa membacaku seperti buku. Dia tahu persis apa yang sedang kukhawatirkan bahkan tanpa harus kuberitahu. Pria yang satu ini memang menyeramkan, menyusahkan, merepotkan, tapi sekaligus dapat diandalkan.
Ketika dia bertukar sapa denganku, agaknya dia sudah tahu bahwa ada sesuatu yang sedang menggangguku. Dia tidak bertanya. Dia tidak menunjukkan kekhawatiran. Dia hanya mengirimkan satu pesan: lakukan saja. Dia menyuruhku untuk tidak ragu. Dia memberiku semangat. Dia mengerti bahkan hal yang aku sendiri tidak mengerti.
Dia adalah teman masa kecilku, sekaligus sahabat terbaikku. Suzuki.
Aku tersenyum ketika membacanya. Benar-benar, tindakannya selalu di luar dugaanku. Tidak kusangka dia tahu aku sedang ragu-ragu.
Walau aku teman masa kecilnya, tiap kali aku menyaksikan trik sulapnya ini, aku akan selalu terkagum-kagum. Seolah dia pesulap handal yang selalu tepat menebak kartu apa yang kupilih.
Hanya tersenyum. Itu saja reaksi yang bisa kuberikan ketika dihadapkan dengan pesannya kali ini. Semua keraguanku hilang. Entah kenapa, perasaan tidak mengenakan ini juga ikut hilang dengan masuknya pesan ini.
Akan kubalas pesanmu.
-OXXxxXXO-
Hari-H tiba.
Aku sudah cukup beristirahat selama dua hari penuh. Hashimoto meneleponku pada pagi, siang, bahkan malam sebelum tidur selama dua hari kemarin itu. Dia tidak menambah informasi apapun, melainkan hanya mengulangi ucapan-ucapannya seperti burung kakak tua.
Aku tidak bisa terlalu memarahinya. Pastinya dia gugup, jadi aku paham.
Perasaan tidak enak di dadaku juga sudah hilang, rasanya aku tidak segugup yang aku kira. Tadinya aku pikir bisa-bisa aku tidak datang ke sekolah hari ini. Untungnya itu tidak terjadi.
Sekarang sudah sore. Sekitar lima menit yang lalu bel pulang berbunyi. Setelah merapikan barang-barangku, aku bergegas bergerak ke kelas Hashimoto. Salah satu alasan aku bergegas adalah semakin banyak orang yang menyaksikan kami berdua pulang bersamaan, semakin meyakinkan pula kebohongan yang kami berusaha ciptakan.
Pandangan anak-anak kelas satu tertuju kepadaku. Mereka sepertinya keheranan kenapa ada seorang kakak kelas yang sedang berjalan menuju salah satu kelas mereka. Pandangan mereka membuatku sedikit tidak nyaman, tapi memang inilah tujuanku.
"Kelasnya benar yang ini, 'kan, ya? Kelas 1-C. Sepertinya benar yang ini."
Aku berdiri di depan kelas. Melihat ke dalam kelasnya, aku melihat Hashimoto sedang merapikan buku-bukunya sembari berbincang-bincang dengan gadis yang lain. Kelihatannya dia sedang asyik berbicara dengan gadis itu.
Apa boleh buat. Aku memutuskan untuk tidak memanggilnya terlebih dahulu. Setidaknya, aku hanya akan menyaksikan dari kejauhan sampai dia selesai beres-beres.
Setelah beberapa saat, ada satu orang anak perempuan—sepertinya dia satu kelas dengan Hashimoto—yang mendekatiku. Dia datang dari luar dan ingin masuk ke dalam kelas, tapi dia melihatku jadi dia memutuskan untuk menyapaku.
"S-selamat sore, Kak."
"Ah, sore."
"A-ada yang bisa kubantu?" Dia terdengar ramah.
Hashimoto juga sudah selesai beres-beresnya, dan aku juga tidak bisa membuat Kitahara menunggu lebih lama lagi. BIsa jadi masalah jika dia sebal dan pulang duluan. Entah apa yang akan dia perbuat.
"Bisa tolong panggilkan H—Iori?"
"Ah, Iori-chan. Baik. Tolong tunggu sebentar."
Anak perempuan itu membungkuk sedikit dan langsung berjalan cepat ke meja Hashimoto.
Ketika anak perempuan itu sampai, gadis yang tadinya sedang berbicara dengan Hashimoto menengok ke arahku dengan cepat. Hashimoto juga langsung menoleh ke belakang, dan menundukkan kepalanya sedikit ketika melihatku.
Aku hanya bisa mengangkat satu tangan kepada mereka bertiga sebagai jawaban.
Dia mengangkat kepalanya, dan sepertinya meminta maaf kepada kedua temannya bahwa dia harus pergi duluan. Mungkin Hashimoto tidak mengatakan alasannya, tapi sudah pasti teman-temannya mengira bahwa dia ada kencan denganku habis ini.
Hashimoto buru-buru berjalan mendekatiku. Hashimoto melambai ke dua temannya sambil kami mulai berjalan.
"Kak, tadi Kakak memanggilku 'Iori' waktu bicara dengan temanku?"
"Ngg... Maaf kalo kau enggak suka."
"B-bukan begitu... Aku 'gak masalah, kok." Hashimoto berhenti sebentar, "Soalnya kita 'kan pacaran..."
Aku tidak mengatakan apapun.
Langkah Hashimoto tiba-tiba saja terhenti. Dia tertegun akan betapa memalukannya kalimat yang keluar dari mulutnya tadi. Dia menepuk kedua pipinya dengan kedua telapak tangannya berbarengan selagi wajahnya menjadi merah.
"P-pura-pura pacaran, lho! Jangan salah paham, ya!" Katanya dengan nada sedikit memarahi, berusaha menghilangkan salah paham di antara kami.
Langkahku ikut terhenti. Caranya meluruskan salah paham yang dia buat sendiri itu lucu untuk dilihat. Aku tertawa kecil.
Guyonan sudah berakhir. Kami mulai berjalan lagi. Kami berjalan bersebelahan dengan Hashimoto di samping kiriku. Mengatakannya bersebelahan mungkin kurang tepat. Sepertinya Hashimoto mengalami kesulitan untuk menyamai langkahnya dengan langkahku. Setiap beberapa langkah Hashimoto akan tertinggal, dan tiap kali dia tertinggal, dia akan mempercepat langkahnya hingga akhirnya tertinggal lagi.
Siklus yang tidak ada habisnya.
Ketika berjalan dengan Sakurai atau Toho, keduanya lebih sering berjalan di belakangku. Jika Toho, aku, dan Suzuki jalan bareng, Toho akan selalu berada di belakang kami. Melihat tinggi Hashimoto yang lebih pendek dari Sakurai dan Toho, seharusnya aku sadar dia akan kesulitan.
Aku akhirnya melambankan jalanku dan memperkecil langkahku. Dengan begini, kami benar-benar berjalan berdampingan.
Meninggalkan sekolah, kami langsung menuju stasiun kereta. Niatnya kami ingin langsung naik, tapi yang kereta sebelumnya baru saja berangkat ketika kami memasuki gedung stasiun. Apa boleh buat, kami harus menunggu. Kami memutuskan untuk duduk sampai kereta berikutnya tiba.
Suasana ini aneh. Stasiun kereta ini, seperti biasanya, penuh dengan banyak orang dan pengumuman keberangkatan dari pengeras suara juga terdengar keras. Tetapi, entah kenapa, kami berdua seperti dibungkus terpisah. Seakan-akan kami terjebak dalam gelembung yang berbeda sehingga hanya ada kesunyian di antara kami berdua.
Hashimoto tidak mengatakan apapun. Aku juga tidak mengatakan apapun. Tidak ada seorangpun dari kami yang mengatakan apapun. Kereta selanjutnya akan tiba dalam waktu sembilan menit, tapi suasana ini begitu canggung.
—Sampai akhirnya, Hashimoto mengatakan sesuatu.
"Aku mau beli minum. Kakak mau minum apa?" Dia menawariku minuman.
"Ah, aku enggak kepingin. Buatmu saja."
"Mana bisa begitu. Aku sudah minta tolong ke Kakak. Setidaknya aku harus mentraktir Kakak minuman dari vending machine." Dia memaksa.
Aku menatapnya.
"Kalau gitu aku mau kopi kaleng. Yang dingin, ya."
"Siap!"
Hashimoto meninggalkan tasnya di sampingku dan bergegas berjalan ke vending machine terdekat. Melihatnya berjalan dengan gesit, bertingkah seperti gadis seumurnya, ketika aku melihat sosoknya yang bahagia, aku tidak bisa menahan senyumanku.
Kenapa gadis baik seperti dia harus menerima semua ini?
Hashimoto kembali. Di tangannya, ada dua kaleng kopi dingin. Tangan kiri menggenggam yang manis, sedangkan tangannya yang kanan menggenggam kopi pahit.
"Anu... Aku tidak tahu kesukaannya Kakak. Jadi aku beli yang manis sama yang pahit." Hashimoto melanjutkan, "Silakan Kakak pilih yang Kakak suka, nanti aku ambil sisanya." Hashimoto terlihat ingin dimaklumi.
Hashimoto kembali duduk di sampingku.
Ketika dia sudah duduk, aku mengambil kopi yang ada di tangan kirinya dengan cepat. Tidak terlalu cepat, hanya secepat seakan aku sangat menyukainya.
Hashimoto terkejut.
"Ini yang paling kusuka! Aku 'gak nyangka kau tahu."
Hashimoto tertegun.
"B-benarkah?" Dia menatapi kopi kalengnya, "Terima kasih..."
Sebenarnya, aku lebih suka yang agak manis.
Habis kelihatannya dia enggak bisa minum yang pahit, jadi aku ambil, deh.
"Heh, masa kau yang nraktir tapi kau juga yang bilang terima kasih..." Aku tertawa kecil.
Hashimoto tidak tertawa terhadap leluconku. Dia hanya tersenyum sambil menatap ke kopinya. Dia membuka kalengnya dan mulai meneguk kopinya. Wajahnya ketika meminum kopi manis juga terlihat sedikit manis.
Tetapi momen itu tidak berlangsung lama.
Setelah beberapa tegukan, Hashimoto berhenti tersenyum. Wajahnya seperti kehilangan semangat. Matanya melesu, dan kepalanya sedikit menunduk.
"Kak... Sebenarnya, masih ada satu alasan lagi kenapa aku menolak Kitahara..." Hashimoto berkata, dengan lesu dia mengatakannya.
"Apa itu...?"
Ketika aku bertanya kepadanya tentang alasan itu, dia tampak ragu-ragu dan tidak ingin membicarakannya. Matanya sudah tidak lesu lagi, tapi dia nampak takut akan sesuatu. Sesuatu yang dia tidak ingin ingat, atau bahkan tidak ingin tahu. Dia terkesan tidak ingin menceritakannya, tapi dia tetap membuka mulut.
"Tempo hari, saat jam istirahat, aku pergi ke kamar kecil untuk membasuh wajahku. Saat aku kembali ke kelas, aku mendengar Kitahara sedang bercakap-cakap dengan teman-temannya. Dia sepertinya tidak menyadariku, jadi tadinya aku ingin biarkan saja."
"..."
"Tapi tiba-tiba aku mendengar dia menyebut namaku. Aku penasaran apa yang dia katakan tentangku kepada teman-temannya. Jadi aku bersembunyi dan mengumpat; ironis, ya?"
Maksud dari ironis ini adalah, bahwa dia melakukan hal yang sama denganku. Hal yang dimaksud di sini adalah bagian bersembunyi dan mengumpat.
Hashimoto kembali melanjutkan.
"Dia mengatakan sesuatu yang puluhan kali lebih kejam dari sebelumnya. Katanya... dia akan menembakku... dan setelah... beberapa saat..." Hashimoto terhenti, "Setelah beberapa saat... dia akan mengajakku tidur dan meninggalkanku..."
Hashimoto meletakkan kopinya dan tiba-tiba saja menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Matanya berkaca-kaca, napasnya juga terengah-engah. Setelah semua yang dia katakan, dia masih berusaha untuk menahan air matanya agar tidak megalir.
Aku yakin, sebenarnya, anak ini ingin menangis. Menangis dengan keras hingga tangisannya terdengar oleh semua orang. Tetapi, karena kepribadiannya, dia terus menahan. Dia akan terus menahan, entah sampai kapan.
"Hashimoto..."
Dia tidak menunjukkan wajahnya dengan jelas kepadaku. Tapi tidak perlu melihat wajahnya untuk mengetahui bahwa dia sedang menderita sangat.
"Itulah kenapa... Aku..."
Hanya mendengarkan ceritanya saja sudah membuatku murka. Amarah meliputiku. Kitahara ini, memang dia pikir dia itu siapa? Jika memang ingin berbicara hal jorok, maka setidaknya lakukan di rumah.
"Hashimoto."
"Ya...?" Hashimoto menjawab, tanpa melihat ke arahku.
"Kita pulang aja. Kau tidak punya kewajiban untuk mematuhinya."
Melarikan diri bukanlah niatku.
Aku akan tetap menemui Kitahara dan memberinya pelajaran.
Sendirian.
Hashimoto kaget ketika aku mengatakan itu. Dia terdiam. Tentu saja. Orang yang bersedia membantunya, tiba-tiba saja menyuruhnya untuk pulang.
Hashimoto mengelap air matanya dan kembali tersenyum.
"Kak Kaizaki..." Hashimoto melanjutkan, "Terima kasih atas perhatiannya. Walau aku tidak suka Kitahara, aku tidak ingin meninggalkannya tanpa jawaban." Hashimoto tersenyum.
Selagi Hashimoto menenangkan dirinya, aku hanya bisa diam terhadap jawabannya. Dia takut, dia sedih, dia tersakiti; tapi lebih dari semua itu, dia ingin membuat semuanya jelas. Dia tidak ingin memberikan penjelasan setengah-setengah bahkan kepada orang yang berkata buruk tentangnya.
"Juga, aku sudah berjanji kepadanya aku akan memperkenalkan pacarku." Kata Hashimoto, dengan nada bercanda.
Walau begitu, aku tidak bisa melihat itu sebagai guyonan.
"... Baiklah."
Tepat setelah aku menjawabnya, kereta kami tiba. Panggilan tibanya kereta juga merupakan panggilan menuju medan perang bagi kami. Pertarungan yang mana kami harus menangkan, dan akan kami menangkan.
-OXXxxXXO-
Kami akhirnya tiba di Rokutenboru. Tinggal beberapa langkah saja menuju pintu masuk. Sesampainya kami, tidak, bahkan sedari kami kereta, Hashimoto berusaha menenangkan dirinya berkali-kali. Dia mengatur napasnya, memegang tangannya, dan menutup matanya. Semua upaya guna menenangkan diri telah dia lakukan, dan masih terus dia lakukan.
Aku juga paham sebagian dari kekhawatirannya. Aku sendiri tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh Kitahara jika dia tahu kami sedang mengelabuinya. Bisa jadi, Kitahara menyebarkan fitnah keji ke teman seangkatannya sehingga membuat Hashimoto lebih terpuruk dari keadaannya saat ini.
Oleh karena itu, aku bertanya kepadanya sekali lagi.
"Kau yakin ingin melakukan ini? Kita masih bisa mundur."
"Terima kasih, Kak, tapi keputusanku sudah bulat.
Aku hanya bisa menghargai keputusannya yang berani itu.
"Kalau begitu, kita masuk."
Kami berjalan memasuki Rokutenboru. Aku memperlambat langkahku agar kami berjalan berbarengan. Jarak antara kami dekat. Kami masih mengenakan seragam, dan sekarang masih sore, tepatnya setelah jam pulang sekolah. Dilihat dari luar kami hanyalah pasangan anak SMA biasa yang sedang pergi berkencan, bersenang-senang.
Harusnya Kitahara tidak akan sadar.
Hashimoto memberitahuku bahwa Kitahara menyuruhnya untuk membawa pacarnya, dengan kata lain aku, ke kafeteria di lantai tiga. Dengan menggunakan tangga berjalan, kami naik. Suasana Rokutenboru cukup ramai. Hari ini hari senin, jadi harusnya tidak seramai ini.
Entah ada apa, tapi aku juga melihat banyak anak seumuran kami. Setidaknya mereka kelihatan seperti anak SMA; anak SMP juga ada.
Dengan total menaiki dua tangga berjalan, kami akhirnya sampai di lokasi. Ramai. Banyak orang makan, banyak juga orang yang minum. Tetapi, semuanya sedang bersantai. Dari semua orang itu, aku tidak tahu yang mana target kami.
Aku hanya pernah mendengar suara Kitahara, tidak pernah melihat wajahnya sekalipun. Hashimoto juga tidak memberitahuku seperti apa parasnya, fisiknya, atau bahkan gaya rambutnya sekalipun.
Aku benar-benar tidak tahu rupa lawan kami.
Setelah berdiri menunggu Kitahara selama sepuluh menit, Hashimoto belum menimbulkan reaksi yang mengindikasikan kedatangannya. Aku mulai bertanya-tanya, bisa jadi dia takut bertemu denganku.
Tiba-tiba Hashimoto menarik lengan bajuku dan terus mencubitnya.
Aku menoleh ke arahnya.
"Ada apa?"
"Itu... Kitahara..."
Hashimoto menunjuk ke kerumunan orang yang sedang berlalu-lalang. Dari banyak orang yang berlalu-lalang itu, ada satu orang yang arah berjalannya berbeda dari yang lain. Tidak lama kemudian, sosok orang itu menjadi jelas.
Dia masih mengenakan seragam sekolah tapi aku tahu betul dia memiliki badan yang fit. Lengannya besar, bahunya lebar, tingginya hampir sama denganku dan rambutnya berantakan. Dia benar-benar terlihat seperti tokoh antagonis komik remaja laki-laki. Tipe anak badung.
"Iori."
Tiba-tiba saja dia memanggil Hashimoto dengan namanya. Namun, Hashimoto tidak menjawabnya dan mengabaikannya.
Hashimoto bersembunyi di belakangku. Aku tahu dia semakin takut karena genggamannya pada bajuku terasa semakin kuat. Aku diam-diam melirik melihatnya dan matanya berkaca-kaca.
Aku mengatupkan gigi dan mengepalkan tangan.
"Bisa 'gak jangan sok akrab gitu sama dia?"
Tatapannya yang tajam itu berpindah padaku. Dia benar-benar sudah fokus terhadapku.
"Iori, orang ini pacarmu yang kau ceritakan tempo hari?" Dia bertanya dengan nada yang merendahkan.
Masih bersembunyi di belakang punggungku, Iori menggangguk dua kali tanpa bersuara.
"Sudah kubilang jangan sok akrab." Aku mendecakkan lidah, "Harusnya kau panggil dia 'Hashimoto', bukan? Kau bahkan bukan temannya."
Wajah Kitahara berubah. Ekspresinya semakin serius, dan matanya makin memelototiku. Pandangannya tajam sekali.
"Oh? Jantan juga dia. Siapa namamu?" Lagi, dia bertanya dengan nada yang merendahkan.
"Kaizaki. Kelas dua. Kau tidak perlu tahu namaku." Aku jawab dengan nada yang merendahkan juga.
"Hmph! Aku Kitahara."
Situasi menegang. Aku bisa merasakan ketegangan kian menumpuk. Tatapannya merupakan tatapan seseorang yang marah besar. Kalau begitu, aku juga seseorang yang marah besar, boleh dibilang seseorang yang sedang murka.
Hashimoto masih belum mengatakan apa-apa.
"Iori tahu apa yang kau incar. Kau mengincar raganya doang, 'kan?"
Kitahara tertegun sekaligus semakin marah. Alisnya makin mengerut. Tiba-tiba saja, dia mengambil kerahku dan mencekikku. Cekikannya sangat kuat, bohong jika aku bilang ini tidak menyakitkan. Setidaknya ini menyesakkan. Saking kuatnya cekikannya, aku kesulitan bernapas.
Orang ini sudah terbiasa melakukan ini.
"—guh!"
"Ngomong apa lu!?"
"Hashimoto bilang kepadaku. Katanya dia mendengar pembicaraan mesum kalian di jam istirahat." Kataku dengan napas yang tertahan.
Cekikannya menjadi semakin kuat.
"Kau...!" Dia menarik tangannya sampai kuping, bersiap-siap meninjuku.
"Menurutmu Iori mau sama bajingan mesum sepertimu, hah!"
"BANYAK BACOT!!"
Kitahara menonjok wajahku tepat di hidung. Harus kukatakan, rasa sakitnya sama sekali tidak terasa akibat syok yang kualami.
"—gah!"
Tinjunya barusan itu sangat keras. Sekarang aku masih bisa berdiri, tapi jika dia menonjokku seperti itu sekali lagi, pasti aku akan pingsan. Akhir yang memalukan bagi seorang kakak kelas. Pingsan setelah ditonjok dua kali di depan pacarnya, pastilah rumor memalukan seperti itu akan beredar.
Aku bisa merasakan ada air yang mengalir dari hidungku. Ah, aku harap itu bukan ingus. Semoga darah yang keluar dan bukan ingus. Tidak keren jika setelah yang ditonjok aku malah ingusan.
Aku juga bisa merasakan pandangan orang lain kini tertuju pada kami bertiga. Semua berkat teriakan dan tinju dari Kitahara.
Aku bisa membayangkan betapa mengerikannya pemandangan ini bagi Hashimoto. Pertengkaran sungguhan antar dua laki-laki.
Kitahara masih belum melapaskanku setelah tinju yang pertama. Dia tetap mencekikku. Posisinya tidak berubah. Untuk yang kedua kalinya, dia menarik tangannya lagi hingga telinganya, bersiap untuk meninjuku sekali lagi.
Aku berusaha mengambil napas.
"Kau boleh pukul aku sampai puas... Tapi sebagai gantinya... Lupakan Iori dan... Cari orang lain..."
"TAHIK—!"
"HENTIKAN!!" Hashimoto berteriak.
Kitahara, tiba-tiba saja, berhenti. Dia menoleh ke arah Hashimoto.
Hashimoto mengambil lengan kananku dan menarikku dekat dengannya. Di saat yang bersamaan, Kitahara melepaskan genggamannya dan mundur dua langkah. Hashimoto menitikkan air mata. Dia menangis. Sambil memeluk lengan kananku, dia menangis.
"Iori..."
Hashimoto memelototi Kitahara, sembari air mata membasahi kedua pipinya. Dengan napas yang terengah-engah, Hashimoto memelototi Kitahara. Pelukannya semakin erat. Kitahara masih tetap mengepalkan tangannya, namun dia mengalihkan pandangannya dari kami berdua.
Berbeda dengan padangannya terhadap Kitahara, Hashimoto memandangiku dengan mata yang penuh luka. Seolah tatapannya itu berteriak bahwa sudah cukup. Aku paham akan rasa sakit yang menimpany. Aku tahu betul.
"Kitahara. Semua orang memujimu. Kau atlet hebat, apapun cabang olah raganya, tidak salah lagi. Kau populer di antara gadis-gadis sejak semester pertama dan sudah ditembak berkali-kali melalui surat cinta atau langsung. Gadis-gadis itu akan melakukan apa saja demi mendapatkanmu, tapi kau tidak pernah memberikan mereka jawaban. Fakta bahwa kau memilihku merupakan hal yang tidak bisa kupercaya pada awalnya."
Kitahara, masih memalingkan pandangannya, hanya mendengarkan. Dia tidak berkomentar apapun. Dia tetap diam hingga akhirnya Hashimoto melanjutkan.
"Tapi... kau hanya mengincar badanku..." Hashimoto berhenti menangis, "Kau tidak peduli tentang perasaanku sama sekali. Bisa-bisanya kau berbicara tentangku seperti itu... Tentang bagaimana kau akan memanfaatkan tubuhku... Itu semua menyakitkan."
Amarah Kitahara kelihatannya meredam.
"Kau adalah kebalikan dari Kak Najimi. Dia tidak hanya menjawab perasaanku, tapi juga menghargainya." Hashimoto melihatku dengan matanya yang merah, "Tidak sekalipun Kak Najimi mementingkan dirinya daripada aku."
"..."
"Tahu tidak, Kitahara?" Hashimoto bertanya sambil melihat ke arah Kitahara.
"... Apa?" Kitahara menjawab tanpa melihat balik.
"Saat ini, aku merasa seperti gadis paling bahagia di kota... Itu tidak benar... Saat ini aku merasa seperti gaids yang paling bahagia di dunia." Hashimoto tersenyum tipis.
Kitahara melirik Hashimoto perlahan-lahan.
"Jika kau memang peduli tentang perasaanku... walau sedikit... tolong hargai keputusanku dengan melepaskan Kak Najimi."
Aku menyedihkan. Aku hanya bisa menjadi penonton selagi Hashimoto bermain sendirian. Ini seperti aku adalah karakter sampingan; contohnya 'teman A'.
Kitahara tetap terdiam. Dia tidak mengatakan apapun dan berbalik badan. Dia berjalan meninggalkan kami. Dia terus berjalan, semakin jauh dan semakin jauh, hingga akhirnya kami tidak lagi bisa melihat sosoknya yang fit itu.
Ketika Kitahara benar-benar sudah menghilang, adrenalin dalam diriku perlahan menghilang. Rasa sakit dari tonjokannya barusan mulai terasa olehku. Aku mengelap hidungku, dan benar saja, hidungku berdarah. Bukan hanya itu, tapi saking kerasnya pukulan Kitahara, pipiku ikutan bengkak.
"Kuh!" Aku memegang pipi kiriku.
"Kak! Pipi Kakak bengkak! Kita ke apotek dulu, yuk!" Hashimoto menarik lenganku.
Aku tidak beranjak. Aku tidak berniat pergi ke apotek.
"Tidak perlu khawatir. Ini bukan apa-apa." Aku berusaha tersenyum.
Ketika pipimu bengkak dan hidungmu berdarah, tersenyum merupakan hal yang menyakitkan.
"Kakak ngomong apa? Kitahara udah pergi! Kakak 'gak perlu akting lagi!" Hashimoto masih menarik lenganku.
"Mending kita cari tempat duduk dulu. Di sini, kita jadi buah bibir semua orang..."
Hashimoto tidak mengatakan apapun, tapi dia setuju denganku.
Menuruni dua lantai, kami akhirnya menemukan bangku panjang untuk duduk.
Hashimoto duduk di sebelah kananku. Dia menunduk seolah merasa tidak enak denganku. Itu, atau dia berusaha menyembunyikan mata merah dan pipi basahnya. Aku juga tidak lebih baik. Mataku dengan alaminya berusaha melihat ke tempat mata Hashimoto tidak melihat. Seolah kedua indra penglihatanku ini mempunyai kesadaran sendiri, dan berusaha menghindari Hashimoto.
Bahu Hashimoto bergetar, dan tidak lama setelahnya, seluruh badannya bergetar. Dia meletakkan kedua tangannya di tengah-tengah pahanya sambil menatap lantai.
"—Aku... sangat minta maaf... Kak Kaizaki..." Katanya sambil berusaha menahan tangis.
Suaranya bergetar, terdengar lemah.
"Hashimoto...?"
Hashimoto mengepalkan tangannya.
"Jika saja aku lebih berani... Kakak... Kakak tidak perlu terluka begini..." Suaranya terdengar semakin sayu.
Hashimoto tidak meneteskan air mata. Bukan karena dia tidak ingin, tapi karena dia tidak bisa. Bisa jadi, kelenjar air matanya sudah tidak bisa memproduksi air mata untuk sementara waktu ini. Tetapi, kesedihannya, rasa sakitnya dan penyesalannya, aku bisa merasakan itu semua.
Aku menjadi tidak peduli lagi tentang benar atau salah.
"Hashimoto 'gak bersalah." Kataku dengan nada datar.
Hashimoto dengan cepat mengangkat kepalanya dan melihat ke arahku. Matanya sudah sangat merah, cukup merah dan sepertinya tidak akan lebih merah lagi dari itu.
"Tolong jangan bilang begitu!" Hashimoto meninggikan suaranya, "Kakak tidak perlu sampai dipukul seperti itu..." Suara Hashimoto mengecil.
Aku mengusap kepalaku sambil berpikir 'apa boleh buat'.
"Aduh. Aku 'gak keren banget, padahal aku harusnya jadi pacarmu." Aku tertawa, "Kau tahu?"
Hashimoto menatapku.
"Tahu... apa..."
"Ketika aku menolong seseorang, aku ingin mereka berkata 'terima kasih' sambil tersenyum lebar daripada penyesalan seperti 'aku minta maaf' dengan wajah masam dan mata merah. Dengan begitu, aku tahu bahwa aku sebenarnya membantu orang lain dan itu membuatku sangat bahagia." Aku tersenyum ke arahnya.
"..."
"Karena itu, ceria, dong!"
Hashimoto memalingkan pandangannya. Dia kembali melihat ke lantai, tapi wajahnya tidak semurung sebelumnya.
Dia mengambil tasnya dan membukanya. Dia merogoh ke dalamnya dan mengeluarkan plastik bening yang diikat dengan pita hijau, dan berisikan cokelat. Terlihat bahwa ada tujuh cokelat yang terkandung dalam plastik bening tersebut.
Hashimoto menggenggam plastik tersebut dengan kedua tangannya. Dia terlihat ragu-ragu untuk mengatakan sesuatu. Dia melirik ke arahku sesekali, dan melirik ke plastik sesekali. Wajahnya agak merah. Dengan dirinya yang seperti itu, dia memanggilku.
"K-Kak Kaizaki..."
"Ya?"
"Tolong... tolong terima ini!" Hashimoto memberikan cokelat tersebut kepadaku.
"Ini...?"
Aku menerimanya dengan pelan-pelan.
Hahsimoto nampak gugup. Dia ingin mengatakan sesuatu tapi terlalu gugup. Wajahnya juga semakin memerah.
Dari melihatnya saja aku sudah paham. Cokelat dalam plastik yang diikat pita, artinya dia membarikannya padaku. Dia memberikannya untuk konsumsiku. Pertanyaannya adalah, apakah ini bentuk terima kasihnya untukku atau ada sesuatu yang kulewatkan.
"Boleh kubuka?"
Hashimoto mengangguk tanpa bersuara.
Aku menarik pita itu dan langsung terbuka. Aku letakkan pita itu di dalam kantungku agar nantinya bisa diikat lagi jika tidak langsung habis. Ketika plastik terbuka, aroma manis masuk ke dalam hidungku. Aroma ini adalah aroma kue.
"Boleh aku coba?"
Hashimoto mengangguk, tapi kali ini dia menambahkan sesuatu.
"Menurutku ini lumayan enak... Tapi aku tidak tahu selera Kakak, jadi aku kurang yakin ini enak kalau untuk Kak Kaizaki..."
Aku tidak mengatakan apapun.
Aku mengambil satu dari tujuh kue yang dia telah panggang untukku. Teksturnya padat, keras, seperti kue kering.
Ketika aku menggigitnya, aku sangat terkejut akan rasanya. Manis. Manis. Manis. Cokelat. Cokelat. Aku tahu betul dia menggunakan cukup banyak cokelat dan gula untuk membuat kue kering ini. Kalau boleh jujur, aku tidak merasakan rasa lain selain kedua rasa tersebut.
Namun, bukan berarti kue colekatnya tidak enak. Justru rasa yang sederhana ini jarang kujumpai. Banyak cokelat yang fokus untuk mengeluarkan berbagai macam rasa, tapi akhirnya aku jadi bingung sebenarnya apa yang harus kurasakan.
Berbeda dengan kue cokelat ini. Rasanya manis dan rasa cokelat. Dua rasa itu saja sudah cukup untuk membuatku berpikir ini lezat.
"Ini..."
"Ah! Apa benar tidak enak?" Hashimoto bertanya karena khawatir.
"Bukan begitu. Ini lezat, kok. Hanya saja aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya."
Dia nampak terkejut. Hashimoto Iori nampak terkejut.
"Kakak serius...?"
"Yoi!"
Ekspresi gugupnya, ketika aku mengatakan itu, hilang dan berganti menjadi senyuman. Walau matanya masih merah, tapi aku yakin sekali bahwa dia sudah tidak terlalu bersedih. Aku yakin dia sekarang, setidaknya saat ini, senang.
Setelah aku menelannya, aku kembali mengikat plastik itu dengan pita dan memasukkannya ke dalam tasku.
Melihat kelakuanku, Hashimoto bertanya.
"Ternyata rasanya memang tidak enak, ya, Kak?"
"Enggak. Cuma, pipiku masih sakit jadi susah mengunyahnya."
"... Begitu..."
Setelah itu, kami tidak saling bertukar kalimat. Selama lima belas menit, kami hanya duduk bersebelahan tanpa mengatakan apapun. Hanya duduk, mengistirahatkan raga kami.
Hari sudah semakin sore. Langit di luar sudah berubah warna menjadi jingga. Masalah ini kuanggap selesai, dan kini sudah petang. Ditambah lagi, Hashimoto perlu waktu untuk menenangkan diri. Setidaknya, dia perlu waktu untuk menarik napas setelah menjalani beberapa hari di bawah tekanan batin.
Sekarang dia bisa menghela napas, dan, kuharap, juga bisa tidur nyenyak. Ketika aku melihat mukanya hari ini, aku tidak sengaja menyadari kantung mata yang dia berusaha tutupi dengan segenap hati menggunakan riasan.
Syukurlah.
Tanpa sadar, ketika memikirkan hal-hal itu, aku menemukan diriku tersenyum.
Aku bangun dari dudukku, dan berbalik ke arahnya.
"Pulang, yuk." Aku tersenyum.
Hashimoto memandangiku untuk beberapa saat, lalu mengangguk.
Kami berdua meninggalkan Rokutenboru, kali ini, Hahsimoto sepertinya memang sengaja menjaga jarak di antara kami. Dia berjalan agak jauh di belakangku. Sepanjang perjalanan kami menuju stasiun, dia tidak mengatakan apapun padaku.
Dia tidak menunjukkan ketertarikan untuk berbicara denganku saat ini. Ini membuatku, entah kenapa, merasa bersalah. Padahal beberapa saat yang lalu, dia sudah kelihatan lebih ceria.
Aku menggaruk-garuk kepala.
"Err, kau yakin tidak apa-apa?"
"Maksud Kakak?"
"Aku ke stasiun lagi karena memang pulang naik kereta. Apa kau tidak masalah?"
"Oh. Aku juga pulang naik kereta, jadi satu arah."
Aku hanya bergumam terhadap jawabannya.
Itu adalah satu-satunya pembicaraan kami saat di jalan. Akhirnya, hingga kami tiba di stasiun, Hashimoto ataupun diriku tidak mengatakan apapun.
Suasana di sini ramai. Lebih ramai dari saat kami berangkat. Banyak orang pulang kantor, banyak juga siswa atau siswi yang pulang dari kegiatan eksul mereka. Sudah sewajarnya jika ramai begini. Semua itu adalah wajar.
Hashimoto berjalan ke depanku. Aku hanya bisa melihat punggungnya. Dia berhenti tepat tiga meter di depanku. Hingga pada akhirnya, dia memutuskan untuk membalikkan badannya ke arahku—dan ternyata dia sedang tersenyum.
Aku sedikit kaget. Tetapi, lebih dari kaget, aku merasa hangat. Kehangatan yang menghangatkan, di dalam dadaku. Bisa dibilang ini perasaan senang. Bisa dibilang ini perasaan puas. Bisa dibilang ini perasaan nyaman.
Atau bisa juga perasaan hangat ini adalah itu semua. All in one.
"Kak Kaizaki!" Hashimoto membungkuk dalam, "Terima kasih banyak!"
Mendengar ucapan terima kasihnya, membuatku merasa sangat senang. Apakah ini yang dirasakan Suzuki ketika membantuku dan juga orang lain? Apakah Suzuki juga merasa hangat di dadanya ketika berhasil membantu orang lain? Atau perasaan ini, kehangatan ini hanya aku yang merasakannya?
Entah lah. Saat ini aku sedang tidak ingin memikirkan hal-hal sulit. Kucukupkan hal-hal sulit untuk hari ini. Sisanya, kuserahkan ke diriku yang esok hari.
"Ya. Sama-sama." Jawabku, juga tersenyum.
Hashimoto berhenti membungkuk. Dia berdiri tegak dan tersenyum. Hashimoto melambaikan tangannya, bersiap-siap untuk pulang. Dia berbalik badan dan mulai berjalan ke peron. Setelah hanya beberapa langkah, dia berbalik badan lagi.
Aku sedikit bingung kenapa dia berbalik badan sekali lagi. Bisa jadi, dia melupakan sesuatu. Benar saja, setelah berbalik, dia berjalan ke arahku dengan sedikit tergesa-gesa dan berdri di hadapanku.
"Hashimoto?"
"Anu... Jika Kakak tidak keberatan... tolong panggil aku 'Iori'."
"Eh? Serius?"
"K-kalau Kakak mau, itu juga..."
Aku tersenyum dan tertawa kecil.
"Oke. Iori-chan."
Hashimoto—bukan, Iori tertegun dan mukanya langsung memerah. Padahal dia yang bilang begitu, tapi malah dia yang malu. Anak ini memang selalu penuh kejutan setiap kali aku berinteraksi dengannya.
"K-kalau begitu, aku pulang dulu." Hashimoto mengatakan itu dan buru-buru berjalan ke peron.
Ah, aku lupa bilang.
Kecepatan berjalannya sekarang dengan beberapa saat yang lalu jauh berbeda. Tanpa kusadari, sudah ada cukup jarak di antara kita, sehingga memanggilnya dengan suara biasa tidak akan terdengar olehnya.
"Iori-chan!" Aku sedikit teriak.
Mendengar dirinya dipanggil, Iori balik badan.
"...?"
"Kita putus, ya...!"
"...!" Iori terkejut mendengar itu, "Ah! Aku baru saja diputusin...!" Begitu kata teriak Iori.
Aku tertawa dan dia juga tertawa. Kemeudian, dia lanjut berjalan ke peronnya hingga akhirnya tidak kelihatan lagi. Stasiun pada sore hari memang padat. Sebaiknya aku juga cepat pulang.
Tanggal empat belas Februari, sore hari, aku, Kaizaki Najimi, baru saja putus dengan pacar pertamaku. Kami pergi berkencan untuk yang pertama dan terakhir kalinya hari ini, dan tidak ada keraguan, ini akan menjadi hari yang akan selalu kuingat.
Sudah sore.
Berpura-pura menjadi pacar orang, dicekik dan ditonjok. Hari ini sangat parah untukku. Tetapi, orang-orang mengatakan untuk selalu lihat apapun dari sudut pandang positif. Jadi itu yang akan kulakukan.
Mana mungkin hari ini bisa jadi lebih parah dari ini...
Ya, 'kan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top