XV

Berlin tak habis pikir apa yang ada di pikiran Bintang, karangan bunga? Apa yang ingin ia tunjukan sebenarnya? Bahwa dirinya terluka? Atau telah melukai Berlin.

Tak ada yang Berlin lakukan setelah insiden pagi tadi, ia bahkan tak mau membuang tenaga hanya untuk menanyakan maksud Bintang.
Berlin hanya sudah tak cukup peduli, lebih tepatnya ia kehilanhan respek atas sikap Bintang.

"Lin," Lisa menyerahkan satu cup kopi untuk Berlin. Meski ada perasaan enggan Berlin tetap menerima pemberian Lisa. "Maafin Bintang ya."

"Nggak usah dipikirin," Berlin menggelengkan kepalanya, "I'll be fine."

Kali ini Berlin yakin jika Bintang sungguh kekanakan. "Gue memaafkan kalian, tapi gue masih butuh waktu buat ngelupain ini. Gue nggak mau mengungkit masalah lo dan Bintang, lo bisa jalani hidup lo seperti sedia kala."

Lisa hanya mengangguk, ia terlalu berat hanya untuk menatap Berlin yang jelas kecewa dengannya.

"Kalau lo suka Semesta kenapa lo nggak usaha sendiri, perjuangin kalau lo emang beneran sayang dia. Dengan cara yang benar tanpa merugikan orang lain," Berlin menyesap kopi yang dibelikan Lisa, tatapannya menerawang pada uap es yang mengembun di sekitar cup.

"Gue terlalu nggak percaya diri, karena gue tau Semesta sayang sama lo." tutur Lisa, ia mengambil napas rendah. Kegelisahan kini menyeruak di sekitarnya, ia tak tahu apa jadinya kini ia di mata Semesta.

"Lo suka Semesta, tapi lo nggak yakin sama diri lo Sendiri." Berlin menarik sudut bibirnya, tersenyum lemah. "Lo terlalu mengunderestimate diri lo sendiri."

"Karena gue tahu, sekuat apapun gue berjuang. Yang ada di hati Semesta cuman lo."

Berlin saja tak pernah seyakin Lisa tentang perasaan orang lain, bahkan kita sendiri saja sering meragu dengan perasaan kita sendiri. Mengapa Lisa bisa begitu yakin dengan perasaan Semesta terhadap Berlin.

"Gue pulang duluan." Pamit Berlin, cukup sampai di sini. Tak ada lagi percakapan tentang apa yang pernah Bintang dan Lisa lakukan, luka itu sudah terjadi. Dan Berlin tak suka jika harus membiarkan dirinya terlarut pada kesakitan yang seharusnya bisa ia abaikan.

Berlin membuang napas dalam, berharap semuanya benar-benar bisa berlalu.

"Hai...,"

Berlin menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman lemah yang justru kini terlihat manis di mata Semesta.

Berlin melambaikan tangannya ke atas menyapa Semesta, kemeja slimfit putih dengan celana coklat kini membalut Semesta yang terlihat lebih mempesona dari biasanya.

Angan Berlin mulai berkelana, kenapa ia baru menyadari jika Semesta setampan ini. Mungkin ia terlalu sering mencari hingga yang dekat pun terlupakan.

"Kamu pasti capek?" tanya Semesta setelah Berlin hanya berjarak satu langkah darinya, sebelah alis Berlin terangkat mendengar kata kamu yang melantun dari mulut Semesta.

"Aku cuman ingin memulai sesuatu yang baik," Semesta berjalan menyusul langkah Berlin. "Karena kata aku-kamu itu merupakan kata yang baik dan benar sesuai KBBI."

Berlin menggelengkan kepala dengan seutas senyum mendengar penjelasan Semesta.

"Terserah kamu," pada akhirnya Berlin mengikuti ucapan Semesta.

Tak ada hukum pasti yang melarang jika sepasang lelaki dan perempuan tak boleh menggunakan kosa kata aku-kamu dalam sebuah pertemanan.

"Aku cantik nggak?" tanya Berlin tanpa alih-alih, ia sedang mencoba menggoda Semesta dengan ekspresi datarnya.

Alis Semesta kini bertaut bingung, sebelum akhirnya ia melihat tawa yang kini mengudara. Berlin tertawa senang melihat ekspresi bingung Semesta.

"Becanda, jangan kaku gitu dong." Berlin menepuk bahu Semesta berkali-kali seolah apa yang tengah ia lakukan bisa mengurai senyum Semesta.

"Udah kayak anak kecil mau Sunat, kaku bener."

"Kamu cantik," ucap Semesta, ia menahan lengan Berlin yang melangkah menujur parkiran dimana motor Semesta terparkir.

"Kamu juga manis,"

Berlin hampir lupa siapa pria yang kini menahan lengannya, tawa yang muncul di wajahnya kini perlahan sirna ketika ia menatap tepat pada Semesta.

"Yang cantik dan manis itu banyak, tapi yang tersayang cuman kamu." Satu tarikan napas Semesta menyelesaikan ucapannya yang membuat Berlin kini mematung.

"Pulang?" tanya Semesta, Berlin tak tahu sejak kapan helm hitam milik Semesta kini telah terpasang di kepalanya. Ia terlalu sibuk dengan pikirannya.

"Iya," Berlin merasakan kecanggungan yang luar biasa kini. Setelah apa yang Semesta ucapkan, ia tak yakin bisa tidur dengan nyenyak. Setelah sekian lama mengapa baru sekarang, meski Semesta telah memberikan alasan yang cukup masuk di akal. Berlin hanya belum bisa mencerna semuanya kini.

"Kamu tahu apa yang aku lakukan selama aku menunggu?" tanya Semesta sebelum ia menyalakan mesin motornya,

Berlin menggelengkan kepalanya pelan, memang apa yang bisa Semesta lakukan selain hanya diam mengamati.

"Mengucapkan nama kamu dalam setiap do'a ku," seutas senyum tulus milik Semesta mampu membuat hati Berlin menghangat.

"Karena aku yakin, sekeras apapun usahaku jika Tuhan tak mengkhendaki kita bersama.  Aku bisa apa?"

"Karena berdoa aja nggak cukup kalau nggak dibarengi usaha percuma saja," ucap Berlin.

"Aku berdoa lebih dulu, agar usahaku dilancarkan." karena Semesta memiliki jalan sendiri. "Karena bukan cuman kamu saja yang ingin ku yakinkan jika aku benar-benar menyayangi kamu, ada Tuhan yang ingin ku beri tahu jika aku menginginkan kamu sebagai pendamping hidupku kelak."

Berlin menelan ludah tak percaya dengan ucapan Semesta kini.

Semesta yang ada di depannya,
Semesta yang menggenggam tangannya,
Dan Semesta yang selalu mengucapkan namanya dalam do'a.

TBC


Ora's note :

Gimana Semesta? Udah masuk kategori Suamiable nggak?

Kalau aku sih.......,

Bubbyeee.

15-10-2018.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top