XIV
Bintang terdiam sejenak, ia tak bisa menahan Berlin lebih lama melihat bagaimana raut kebencian di wajah Berlin tampak begitu jelas.
"Pasti lo udah tau kalau Lisa sepupu gue?" to the point, Bintang tahu jika ia terlalu banyak basa-basi Berlin mungkin akan semakin muak padanya.
"Tapi sayangnya lo terlalu pengecut untuk menegur gue maupun Lisa."
Bukan, Berlin tak sepengecut itu untuk menerima kenyataan jika Bintang dan Lisa memainkan peran dengan begitu apik hanya untuk mengelabuinya.
"Bukan pengecut, gue hanya merasa itu bukan hal penting."
Sebelah alis Bintang terangkat, ia bahkan tertawa meremehkan ucapan Berlin. Jelas sekali bahwa pria di depan Berlin kini tengah mengoloknya.
"Karena gue marahpun nggak akan ada gunanya, lo bukan pacar gue," Berlin mengumpulkan keberanian menatap Bintang dengan tatapan tegarnya. Berharap Bintang tak dapat melihat sedikitpun kekecewaan melalui matanya. "Lo juga bukan orang yang cukup berarti dalam hidup gue, kenapa gue harus membuang energi buat ini semua?"
"Lo marah, ya kan? Sayangnya lo terlalu malu untuk mengungkapkan kekecewaan itu."
"Payah. Yang malu tuh harusnya lo sama Lisa, cuman buat narik perhatian Semesta lo ngelakuin hal nggak guna kayak gini."
Karena Berlin tahu ia sudah terperangkap pada permainan yang mengikutsertakan hati di dalamnya, sekarang ketika ia belum terlalu jatuh hati pada Bintang ia harus merasakan sakit yang teramat sangat.
Karena ia harus terhianati, bahkan ketika ia belum memulai.
"Kebanyakan orang memang kayak lo gini, menelan habis informasi yang didapat tanpa mau mengkonfirmasi kebenaran dan alasan di balik itu semua." sebanyak apapun alasan yang Bintang ucapkan kali ini, ia hanya akan tetap menjadi orang yang bersalah di mata Berlin tanpa berhak melakukan pembelaan apapun.
"Gue nggak akan jelasin apapun, kecuali lo mau denger." Bintang berhasil membuat Berlin terdiam, namun detik berikutnya ia kembali mengeluarkan perkataan yang justru semakin memperburuk perasaan Berlin. "Karena gue nggak akan melakukan penjelasan sia-sia, ketika di pikiran lo yang ada cuman kepura-puraan atas apa yang gue lakuin."
"Nggak usah ngasih penjelasanpun pada akhirnya lo ngakuin kalau ini semua cuma pura-pura," Berlin menahan kepalan tangannya. Mendengar ini semua hanya menambah sakit di hatinya, bagaimana Lisa dan Bintang memperlakukan ini semua kepadanya.
Kawan dan Lawan memang memiliki perbedaan begitu tipis.
"Kenapa? Lo kecewa dengan respon gue atas pertunjukan opera sabun yang lo perankan bareng Lisa?" Berlin tak peduli jika Bintang akan berteriak di depannya atas sikapnya kini. "Lo berharap gue bakalan datang ke lo dengan mata berlinang air mata memohon penjelasan atas apa yang lakuin?"
Berlin mendecih. Melangkah mundur untuk menghentikan pertikaian sepertinya bukan hal buruk, ia tak perlu menghabiskan energinya tepat seperti apa yang ia ucapkan.
"Gue bukan gadis sebodoh itu yang harus menelan pil pahit untuk ke duakalinya." lirih Berlin. Dan sebelum ia mengucapkan selamat tinggal Bintang sudah terlebih dulu memotong ucapannya.
"Lakuin apa yang lo mau," Bintang tak kalah acuh darinya. Pria itu kini justru terlihat jelas tak peduli lagi dengan ucapan Berlin.
"Ternyata emang sesulit itu buat lo liat gue, padahal apa yang gue lakuin adalah hal wajar yang biasa dilakuin cowok yang naksir cewek. Lo ngerasa paling terluka di sini, padahal lo sendiri yang nyipatain luka itu. Seolah semua salah gue, lo menuang semua kebencian itu sama gue."
"Dengan kelapangan hati gue akan terima rasa benci lo terhadap gue," tidak ada nada amarah atau sesal yang terlintas. Bintang mengatakannya dengan begitu mudah seolah tengah mengobrol santai. "Tapi, jika suatu saat lo berada di posisi tertuduh. Jangan pernah lakuin hal yang sama seperti gue, setidaknya lo harus melakukan pembelaan. Karena gue nggak mau orang yang gue sayang terluka seperti gue."
Tubuh Berlin rasanya lemas, seperti ada yang salah dengan semua ini. Ketika Bintang melangkah lebih dulu perlahan meninggalkannya ia berharap Bintang akan berbalik hanya untuk tersenyum lirih padanya, bahwa bukan hanya ia terluka dengan ini semua.
*****
Pagi hari Berlin lalui dengan gamang, ia terlalu bingung dengan perasaannya kini. Ketika Semesta menawarkan hati utnuknya, kenapa setelah sekian lama harus ada Bintang di antara mereka. Atau kenapa harus ada Semesta di antara Berlin dan Bintang.
Sebenaranya siapa yang memulai kisah lebih dulu, bahkan ketika Semesta mengenalnya cukup lama. Fakta bahwa justru Bintang yang lebih dulu menawarkan hati meski hanya pura-pura. Ternyata waktu tak mampu menjamin sebuah perasaan.
Ketika Berlin sibuk dengan pikirannya, Lisa menghampiri dengan raut wajah penuh sesal. Sepertinya Bintang menceritakan semuanya, apa yang terjadi semalam rasanya bukan tidak mungkin jika Lisa mengetahuinya saat ini.
"Lin," Lisa menelan ludah, bahkan untuk melantunkan nama utuh Berlin pun ia tak mampu. Rasa bersalah dan malu terlalu menguasainya kini. "Gue nggak berhak melakukan pembelaan apapun sama lo, karena dilihat dari manapun semua ini terjadi karena gue."
Berbeda dengan Bintang, Lisa rasanya tak ingin mendebat Berlin.
"Gue mintaa maaf, meski gue tahu permintaan maaf gue nggak merunah apapun," semudah itu. Lisa bahkan tak menanyakan bagaimana perasaan Berlin saat ini. "Gue dan Bintang berbeda, gue yang punya rencana ini. Lo boleh nggak maafin gue, gue cuma berharap lo nggak akan benci Bintang."
"Kenapa gue harus benci dia?" dengan nada tak acuh Berlin berusaha menegaskan jika ia tak peduli lagi dengan Bintang. "Gue udah hapus semua hal tentang yang pernah hadir di hidup gue, karena gue tahu Bintang ada cuman untuk nyiptain luka."
Lisa menelan ludahnya, rasanya ia tak bisa melakukan pembelaan lebih terhadap sepupunya.
"Gue nggak berharap lo suka sama dia, cukup jangan benci dia. Karena Bintang nggak berhak menerima kebencian dari lo."
Berlin terdiam, menghela napas dalam mendengar kata-kata Lisa.
"Mbak Berlin," Fara resepsionis yang biasa berjaga di depan menghampirinya, padahal ini masih pagi.
"Ada paket buat Mbak di depan," ucap Fara dengan nada tak bersahabat seolah Berlin sudah menciptakan kegaduhan.
"Biasanya dianterin Sapto kalau ada paket," Berlin terlihat sedikit bingung. Karena biasanya jika ia menerima paket dokumen atau sekedar paket dari online shop Sapto akan mengantar ke mejanya langsung beserta tanda terima.
"Gimana mau dibawa kedalem, Mbak liat aja deh sendiri."
Berlin mengurut pelipisnya, ia termenung sejenak. Menatap benar-benar sesuatu yang dikirimkan untuknya, karangan bunga berukuran dua kali satu meter itu kini berdiri menantang di depan resepsionis.
"Untuk kamu yang terluka olehku, bencilah aku jika itu bisa membuatmu bahagia." ucap Sapto OB yang biasanya mengantarkan paket ke dalam, ia mengeja kata yang tertera pada karangan bunga yang kini menyita perhatiannya.
"Berbahagialah,"
Berlin menelan ludahnya membaca kata terakhir yang tertera pada karangan bunga di depannya.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top