XIII

Semesta duduk di depan Berlin, dengan sabar ia menenangkan Berlin yang sejak tadi menangis.

"Minum." Semesta menyerahkan air mineral kemasan yang sudah dibuka segelnya pada Berlin, terlihat begitu banyak rasa khawatir tersirat di wajahnya. "Gue enggak tahu apa yang terjadi sama lo, sampai lo terguncang segini hebatnya. Gue juga nggak mau maksa lo cerita."

Semesta menarik napas, menghembuskannya perlahan. Tangannya memainkan rambut Berlin, menyelipkan rambut yang menjuntai ke belakang telinga Berlin. "Nangis aja, tapi pas nangis lo kelar. Lo janji akan lupain semua kesedihan yang terjadi hari ini."

Berlin mengangguk, membiarkan Semesta kembali membersihkan air mata di wajahnya. "Kenapa lo harus resign sih?"

Setidaknya jika masih ada Semesta di kantornya Berlin masih punya teman untuk mengalihkan rasa sakit yang diciptakan Lisa. Bibir Semesta menggulum senyum mendengar pertanyaan Berlin.

"Ada banyak hal yang harus gue lakuin, salah satunya adalah Resign dari kantor." Semesta menatap cangkir teh yang ada di depannya, masih menguarkan uap panas. "Lo tahu gue sayang sama lo?"

Yang Berlin tahu Semesta menyanginya sebagai adik, karena Semesta tak pernah bisa Berlin raih. Bagi Berlin Semesta terlalu bersinar untuknya.

"Gue orangnya terlalu bingung nunjukin perasaan secara gamlang, gue emang nggak bilang I love you sama lo." Semesta terlihat gugup begitu melihat ke dalam mata jernih Berlin yang kini mendengarkannya penuh harap, "Gue pikir ada banyak cara mengungkapkan rasa sayang gue sama lo tanpa bilang I love you."

"Tapi perempuan kayak gue nggak suka mengira-ngira, karena takutnya malah jadi kegeeran."

"Gue resign sebagai salah satu usaha buat nunjukin rasa sayang gue sama lo,"ucap Semesta, Berlin menggernyitkan kening. Seharusnya jika Semesta menyayanginya ia harus tetap berada di sekitar Berlin, "Karena lo tahu kan peraturan kantor? Nggak boleh pacaran satu kantor apalagi sampai nikah, parahnya lagi kita satu divisi."

Apa yang diucapkan Lisa benar adanya, bahwa Semesta mencintainya. Berlin hanya tidak menyadarinya, atau tidak mau mengambil kesimpulan lebih atas sikap Semesta selama ini.

"Gue takut buat lo nggak nyaman kalau ungkapin perasaan gue pas kita masih satu kantor, akan ada banyak ragu yang hadir. Gue nggak mau membebani lo dengan perasaan sayang gue sama lo," Semesta hanya tidak mau Berlin memikirikan segala kemungkinan yang akan terjadi jika mereka masih satu kantor dan menjalin hubungan lebih dari sekedar rekan kerja. "Dua tahun bersama lo selama ini udah buat gue yakin, kalau gue nggak akan pernah menyesal menghabiskan sisa waktu gue hidup sama lo."

Apa yang Berlin bisa percaya dari ucapan Semesta? Ketika Bintang yang begitu teguh dan manis saja mempermainkannya hanya untuk menyenangkan perasaan Lisa.

Apa ada yang bisa menjamin jika Semesta tak sebrengsek Bintang? Jika Berlin harus merasakan sakitnya pengkhianatan untuk kesekian kalinya ia tidak tahu akan seperti apa hatinya kelak.

"Gue takut," ucap Berlin dengan sedikit ragu, di satu sisi ia takut menyakiti Semesta. Tapi sisi lainnya ia masih meragu jika perasaan Semesta padanya adalah sebuah perasaan semu. "Takut dengan kenyataan kalau pada akhirnya kalau perasaan lo cuman perasaan semu."

"Gue nggak tahu hari ini lo bakal nangis," Semesta menggenggam tangan Berlin yang sedikit bergetar. Di hari ulanh tahun Berlin ia sudah menyiapkan segalanya, ia menguatkan hatinya jika hari ini adalah hari yang tepat menyatakan keseriusannya pada Berlin. Ia bahkan sudah latihan beberapa hari hanya untuk mengatakan I love you dengan lugas, karena ketika menatap Berlin dan ingin mengatakan kata-kata kramat itu Semesta merasa gugup.

Sekarang yang Semesta hadapi adalah Berlin yang tersedu, sudah pasti hatinya tidak baik.

"Seragu apapun lo sama gue, gue akan tetap di samping lo." Semesta dan senyumnya yang berhasil membuat hati Berlin menghangat, "Gue ada di sini buat meyakinkan ragu lo."

"Gue cuman belum siap buat terluka." rasa sesak di hati Berlin sedikit menguap melihat bagaimana Semesta menatapnya penuh keyakinan.

"Lo nggak perlu nyiapin hati lo buat terluka," Semesta tahu ada sesuatu yang membuat Berlin begitu merasa ragu. "Karena gue hadir di hidup lo bukan buat nyiptain luka."

Berlin tersenyum nyaris tertawa melihat tatapan tegang Semesta. "Kenapa baru sekarang?"

"Karena kalau gue nyatain dari dulu, gue yakin lo bakal ngalah resign dari kantor. Belum lagi mulut temen-temen kantor kalau gosip, mereka kalau gosip mulutnya suka seenaknya. Gue sih biasa aja nanti sama gosip dan cibiran di kantor, tapi lo? Gue nggak mau lo terluka cuman karena cibiran nggak mutu." Semesta benar, orang lain terlalu bersemangat menghakimi dan mencari kesalahan.

"Gue resign juga udah dengan pikiran yang matang, gue emang nggak bakalan lagi ngisiin air minum lo, nggak bisa ngehibur lo yang bete kalau diceramahin madam rosalinda. Atau nggak ada yang buatin teh hangat kalau lo lagi PMS." Semesta terkekeh ringan mengingat kebiasaannya bersama Berlin, "Sebagai gantinya gue menyerahkan seluruh hati gue buat lo milikin."

Untuk saat ini Berlin hanya bisa tersenyum, bukan salah Semesta yang mengatakan rasa sayangnya setelah Bintang membawa luka.

######

Jika dipikir lagi kenapa semua jalannya begitu mudah saat Bintang mendekati Berlin, bukan tidak mungkin jika Lisa yang mengatur semuanya. Bahkan insiden kondom itu juga mungkin Lisa yang mengatur, Berlin hanya terlalu bodoh untuk mencurigai.

"Kenapa?" tanya Lisa saat Berlin termenung di depan komputernya, ada banyak hal yang tak terbaca dari ekpresi wajah Berlin kali ini. "Ngelamun aja dari tadi."

Berlin hanya tersenyum lemah, "I'm okay, cuman kurang tidur aja."

Berpikir seolah Berlin tak mengetahui apapun rasanya akan lebih baik, dibanding ia harus menuntutu penjelasan pada Lisa. Karena Berlin sudah tahu jelas yang Bintang inginkan hanya kebahagian Lisa sementara yang Lisa inginkan adalah Semesta.

Mereka terlalu egois, jika bukan Berlin yang membentengi hatinya sekarang. Siapa lagi yang nanti akan peduli pada rasa sakit yang ia dapat di kemudian hari karena keegoisan.
Biarlah mereka menari di atas luka hati Berlin sekarang.

Sepanjang hari Berlin bersikap biasa saja dengan Lisa, meski terkadang sikapnya membuat Lisa menatap heran padanya. Berlin hanya tidak mau semakin memperkeruh masalah di hidupnya.

Pukul enam dan Berlin baru pulang, ia sengaja pulang terakhir. Meski Lisa mengajaknya untuk makan Bebek Bakar di tempat biasanya mereka pergi makan bersama, Berlin menolak dengan alasan capek.

Kaki Berlin melangkah lemah, ia bahkan tak menyadari jika Bintang lagi-lagi sudah berdiri di depannya.

"Kok lemes?" tanya Bintang melihat tubuh Berlin yang tak bersemangat.

Berlin hanya menyunggingkan senyum sebagai jawaban untuk pertanyaan Bintang.

"Gue anterin pulang," ajak Bintang dengan tangan yang reflek menggenggam lengan Berlin.

Berlin tak beranjak sedikitpun, kakinya seperti membeku. Matanya menatap lurus pada tangan Bintang yang memegang lengannya, "Gue bisa jalan sendiri."

"Kenapa?" Bintang tahu ada yang salah dengan Berlin, lihat saja bagaimana Berlin menatapnya. "Gue ngelakuin hal salah?"

"Gue mau lo stop sampai di sini," Berlin tahu ia tidak mungkin bisa memarahi Bintang. Ia tidak akan menyalahkan Bintang atas luka yang ia dapat kali ini, "Berhenti bersikap seolah gue ini dunia lo, gue nggak akan maksa lo buat deketin Lisa. Gue cuman minta lo berhenti."

"Kenapa?" tanya Bintang, raut wajahnya sedikit terkejut. Ia melangkah mendekati Berlin, mengeliminasi jarak di antara mereka. "Bukannya gue udah bilang sama lo kalau gue nggak akan nyerah buat yakinin lo."

"Bukan lo yang nyerah," ucap Berlin dengan suara yang parau, "Tapi gue yang nyerah, udah usai sampai di sini. Nggak akan ada ujung buat kisah kita selain luka, cukup gue yang terluka dengan semua ini."

TBC

Ora's note :

Kayaknya kedepan gue bakalan jelasin kenapa Lisa begini, kenapa Bintang begitu, kenapa Semesta begono.
Dan kenapa Baekhyun suka sama Ora *HaluModeOn*

Dari awal itu gue kasih Hint gimana Bintang bisa lancar tau dimana Berlin, padahal mereka belum tukeran nomor handphone. Sadar nggak sih kalau selama ini Lisa yang ngatur

Emang ada beberapa yang sadar kalau kayaknya Lisa nggak suka Bintang. cuman buat deketin Bintang sama Berlin aja, tapi kalian nyangkanya Lisa itu mau comblanngin Berlin sama Bintang.

Lets komen, kalian yang realistis aja. Kalau kalian di posisi Berlin mau pilih siapa? Coba posisikan diri kalian sebagai Berlin.

Kalau gue bakalan pilih Baekhyun sih wkwmwkkw

Bubayyyy...
Selamat hari senin rasa liburan XD

18-06-2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top