X
Berlin pikir malam ini hidupnya penuh drama, Bintang sudah seperti Cinta dalam Film AADC yang minta dikejar. Nah Berlin sendiri bingung sebenarnya apa yang bisa ia lakukan sekarang.
Kaffe milik Bintang sudah mau tutup dilihat dari pegawainya yang sudah merapih-rapigkan meja, lalu dimana sekarang Bintang?
Berlin bahkan tidak punya nomor ponsel milik Bintang, "Nyesel deh gue, tahu gitu tadi pulang bareng Semesta. Lumayan nggak ngeluarin uang buat ojek."
Bahu Berlin terkulai lemas, ia sedikit mengintip ke dalam Kafe. Tengsin dong kalau Berlin yang nanya duluan sama pegawai di mana Bintang.
"Ngapain ngintip-ngintip?"
"Nggak ngintip kok, orang cuman lagi liat tipis-tipis aja," ucap Berlin tak terima. Meski ia masih belum sadar siapa orang yang sedang ada di belakangnya.
"Nyari orang?" lagi suara itu menginterupsi Berlin yang sedang fokus mencari Bintang.
"Nyari angpao," ucap Berlin kesal, akhirnya ia menoleh ke belakang.
"Masya allah!" seru Berlin dengan ekspresi terkejutnya begitu mendapati Bintang yang berdiri di belakangnya.
"Nyari gue?" sebelah alis Bintang terangkat, sebenarnya Berlin masih meragukan jika Bintang ini manusia. Mengingat kemunculan Bintang selalu tiba-tiba, bisa jadi pria di depannya ini memang benar-benar jelmaan alien.
"Nggak kok," bantah Berlin, ia terlihat salah tingkah. Belum lagi pandangan Berlin yang sekarang tak berani menatap Bintang langsung, "Gue lagi jalan-jalan malem aja."
"Di sini?" tanya Bintang meyakinkan, "Di saat tadi udah ada cowok yang entah mau ngajak lo jalan atau nganterin pulang. Sekarang lo milih jalan-jalan malem di kantor?"
Bintang tertawa sinis, "Kayaknya lo beneran saudara Patrick yang tertukar deh."
"Happy Birthday," Berlin mengulurkan tangannya, masa bodo dengan ejekan yang Bintang lontarkan untuknya. Memang Berlin peduli, "Terserah lo mau bilang gue saudaranya Patrick, Emaknya patrick kek. Gue nggak peduli. Gue cuman mau ngucapin, selamat ulang tahun Bintang."
Harusnya Bintang tersenyum ketika Berlin sudah mengucapkan selamat ulang tahun, tapi yang Berlin dapat justru ekspresi datar Bintang.
"Gitu aja?"
"Memangnya mau gimana lagi?" Berlin menggembungkan pipinya, please deh ini mereka berbicara di depan Kafe yang untung saja sudah sepi pengunjung. "Nari sambil hulahup gitu?"
"Nggak ada doa apa-apa buat gue?"
Berlin menarik napas dalam, sebelum menyiapkan untaian kata yang berisikan doa untuk Bintang. "Selamat ulang tahun Bintang, semoga tambah murah senyum, makin baik hati dan rajin ibadah. Sayang kedua orangtua, sehat selalu dan jangan lupa rajin menabung karena biaya resepsi itu mahal."
Berlin melemparkan pandangan kesal pada Bintang yang kini menggulum senyum, "Udah puas?"
"Ngambek lagi," ejek Bintang.
"Udah gue mau pulang."
"Ya udah hati-hati di jalan," ucap Bintang santai, tubuh Bintang sedikit menunduk lalu mengulurkan tangannya bak pelayan memberi jalan pada Berlin.
"Beneran gue harus pulang?" tanya Berlin tak percaya, tadi yang ngajak dinner siapa?
"Memangnya mau jadi penunggu kantor?" tanya Bintang dengan tawa yang berusaha ia tahan karena melihat ekspresi Berlin. Ia sengaja membuat Berlin kesal.
"Tadi lo bilang mau ngajak gue dinner." hancur sudah harga diri Berlin.
"Iya emang gue ngajak lo dinner," Bintang dengan santainya menggulung lengan kemejanya hingga siku, sebelum menatap Berlin lekat. "Tapi kan lo belum bilang mau gue ajak dinner, ya kali gue maksa."
Dari kemaren lo kalau ngelakuin sesuatu selalu maksa. Sekarang kenapa baru sadar?
Berlin menimang kata-kata apa yang harus ia keluarkan, ada ego yang masih tersimpan rapi. Mana mau Berlin sekarang bilang, Ayo makan malem sama gue. Berlin bergidik ngeri membayangkan mengatakan itu pada Bintang, bisa tambah besar kepala alien di depannya ini.
"Kenapa?" tanya Bintang, ia mencoba memecah keheningan saat Berlin masih sibuk dengan pikirannya sendiri. "Mau pulang?"
"Kalau gue bilang mau pulang, lo mau anterin?" tantang Berlin, kan lumayan hemat ongkos pulang kalau dianterin. Uang ongkosnya bisa buat beli cimol besok, "Gara-gara balik lagi ke sini gue harus merelakan ongkos ojek gue."
"Jangankan nganterin lo pulang, minta besok pagi jemput juga gue mau kok."
"Gue laper." Berlin mengalihkan pembicaraan lagi, kebiasaan seperti ini yang Bintang tak suka dari Berlin. Ketika ia merasa mulai tersudutkan maka Berlin akan mengalihkan pembicaraan.
"Ayo makan," ajak Bintang, ia mengendus baju yang tengah dikenakan kini. "Tapi gue ganti seragam dulu ya, ini udah bau asem."
"Nggak usah," Berlin menahan lengan Bintang yang baru saja akan masuk ke dalam kafe untuk berganti baju. "Lo cakep pake baju kerja lapangan kayak gini."
"Makasih." untuk pertama kalinya Bintang mendengar pujian keluar dari mulut Berlin, meski agak aneh karena ia dipuji karena mengenakan seragam yang lusuh sedikit kotor. Belum lagi bau matahari yang melekat, ternyata selera Berlin memang aneh.
Berlin memutuskan untuk makan di daerah Jakarta selatan saja, takut-takut Bintang kembali membawanya ke daerah Jakarta Utara. Akhirnya Berlin memilih restoran korea yang cukup ramai di kunjungi orang-orang.
Sebenarnya Berlin juga tidak terlalu suka makanan korea, tapi dari pada di ajak ke Jakarta Utara lagi.
"Tempatnya rame," ujar Bintang, ia melemparkan ke segala penjuru restoran yang bernuansa K-pop. Bahkan lagu yang sejak tadi di putar pun lagu Korea.
"Kalau sepi namanya kuburan," Berlin selesai memesan menu makanannya. Ia melirik pada Bintang.
"Jadi ulang tahun ke berapa Mas Bintang ini?"
"28," ucap Bintang santai, "Usia pas buat nikah."
"Terus kenapa belum menikah?" Berlin mengambil sendok dan choop stick dari laci yang ada di meja. Saat pelayan baru saja meletakan makanan pembuka.
"Belum ada calonnya," Bintang mengambil sendok yang sudah Berlin ambil lalu mencicipi jagung susu di depannya. Ia menggernyit pelan saat rasa manis menyapa lidahnya. "Kemanisan."
"Makanya makannya jangan sambil liatin gue, ya jadi tambah maniskan." Berlin tahu ini jayus alias retjeh, yah tapi mana ia peduli.
"Terus kenapa masih belum punya pacar?" lanjut Berlin, karena untuk ukuran pria matang seperti Bintang rasanya cukup mudah untuk mendapatkan hati perempuan.
"Belum," Bintang menggeleng pelan, "Karena belum ada perempuan yang bisa gue ajak serius."
"Padahal tampang cakep kayak lo harusnya gampang dapet pacar sih," Berlin menunjuk Bintang dengan choop stick yang ia gunakan untuk mencicipi kimchi.
"Tapi ini gue kayaknya susah banget mau ngajak lo serius," dengan lancarnya Bintang kembali memojokan Berlin.
"Aneh aja, kan kita baru kenal. Tapi lo segitu ngebetnya sama gue. Udah kayak kucing pas musim kawin." Meski perumpamaan yang Berlin lontarkan sedikit nyeleneh, tapi rasanya itu memang pas menggambarkan situasinya saat ini.
"Dulu gue pernah gagal menjalin hubungan sama perempuan, karena dia bilang gue terlalu flat. Padahal kita udah sampai tahap pertunangan, pacaran udah tiga tahun lebih dan gue udah berniat lamar dia." ada raut kecewa di wajah Bintang, meski Berlin tak yakin seberapa dalam Bintang pernah kecewa. "Tapi akhirnya gue ditolak di tengah jalan, hubungan yang gue pertahankan selama tiga tahun lebih musnah tak bersisa."
Tiga tahun kalau nyicil mobil udah lunas tuh.
"Kenapa gue harus nunggu lama buat cari calon pendamping hidup, kalau emang udah serius baru kenal satu minggu pun pasti kita nggak ragu buat nikah. Karena yang penting niat baik," Bintang menghentikan ucapannya saat pelayan membawa makanan yang siap diolah, si pelayan menyalakan kompor portable di atas meja lalu menunggu hingga panas. "Yang halal itu lebih berkah, kalau bisa pacaran setelah menikah kenapa nggak coba. Dibanding pacaran dulu belum tentu jadi nikah."
"Tapi kan belum tentu cinta nantinya," elak Berlin, karena pernikahan tanpa cinta sama saja bagai membangun rumah tanpa pondasi.
"Yang Cinta aja belum tentu mau serius, banyak kok orang udah saling mencintai. Tapi pas disuruh lanjut kehubungan yang lebih serius yaitu pernikahan mereka mundur dengan berbagai alasan," Bintang dan segala teorinya yang membuat Berlin tak berkutik. "Cinta itu bukan hal utama yang dibutuhkan dalam sebuah pernikahan, komitmen untuk menjaga perasaan satu sama lain dan hidup berdampingan dalam satu atap itu lebih penting. Yang penting mau saling mengerti, tahu kapan harus mengalah tanpa mengutamakan ego."
Berlin menarik napas panjang, itu yang tadi ngomong beneran Bintang 'kan? Bukan Mario Teguh yang lagi nyamar jadi Bintang.
"Tunggu aja," Bintang menatap lurus pada Berlin yang masih tak percaya dengan apa yang ia dengar, "Akan tiba saatnya gue datang ke rumah lo, mengatakan niat serius gue buat meminang seorang Berlin Kishana. Meminta izin sama orang tua lo agar mereka mau jadi kakek dan nenek untuk anak-anak gue kelak."
TBC
Ora's note :
Cerita gue ini cerita yang emang ringan dan nggak perlu mikir keras buat bacanya. Gue rasanya udah pernah ngasih tau entah di work yang mana kalau gue nggak bisa bikin cerita berkonflik yang menguras otak dan nggak make sense.
Lebih tepatnya cerita gue itu tentang daily life wanita karir lah yang biasanya dibumbui intrik percintaan yang masih bisa gue cerna dengan mudah.
Gue enggak bisa buat cerita dengan alur pelik.
Kayak Tetanggaku ternyata mantan kekasihku, Pacarku adalah adik mantan pacarku, atau Kekasihku hilang diambil temanku.
Nggak bisa gue buatnya beneran. Wkwkwk
Makanya jangan ngarep kisah penuh intrik, gue cuman mau kasih hiburan aja di sini.
Yah kalau kalian bosan dengan cerita gue yang gitu-gitu aja, yah kagak apa-apa sih. Ajahahhaah
Tapi kalau masih suka yang ringan-ringan begini ya alhamdulillah.
Karena gue ini orangnya itu mudah tertawa dengan selera humor gue yang retjeh di tambah temen gue kebanyakan cowok yang suka membual dengan kata-kata manis kepada wanitahhhhh.. Yahh jadi pikiran dan imajinasi gue juga seretjeh itu wkwkwk
Bubaaay.
I Luf you all. 😙
15-Juni-2018.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top