VI
Tiga hari dua malam bukan waktu yang sebentar untuk Berlin habiskan bersama Bintang, jika saja ia tidak datang ke resepsi pernikahannya waktu itu mungkin ia tidak akan terjebak dengan Bintang.
"Seriusan lo?" tanya Lisa kaget, saat Berlin menceritakan niatnya yang akan berlibur bersama Bintang, "Gue aja deh gantiin lo liburan bareng Bintang."
"Ya silahkan, gue ikhlas," jawab Berlin ringan, 'kan pada dasarnya Berlin memang tidak ingin pergi bersama Bintang. Hanya saja Bintang terlalu merepotkan untuk ditolak. "Kalau lo bisa yakinin dia, gue akan dengan senang hati membiarkan kalian berdua pergi berlibur."
"Tapi Bintang itu pendiriannya kuat," desah Lisa, pikirannya menerawang masa-masa dulu. "Gue kenal dia udah dari lama, dan gue kenal banget wataknya dia. Kalau dia suka sama satu hal yah nggak bakal dia lepasin, sama ketika dia udah buat satu keputusan. Nggak akan mudah goyah."
"Nah itu lo tau," Berlin menjentikan jemarinya, ia melirik botol minumnya yang kosong. Tidak ada Semesta yang dengan ikhlas mengisikan air minumnya. "Bintang itu keras kepala."
'Kan gue kangen Semesta. Berlin membuang napas pelan.
"Bukan keras kepala, dia cuman teguh pada pendirian," ujar Lisa, ia tidak terima dengan ucapan Berlin.
"Eniweii Bintang kerja apa sih? Selain dia owner caffe di bawah ya." Setelah sering bertemu dengan Bintang rasanya Berlin jadi penasaran sebenarnya pria itu bekerja di mana, kalaupun bertanya langsung pada Bintang rasanya Berlin tidak ikhlas. Ia takut Bintang mengira Berlin ingin tahu kehidupannya.
"Dia Engineer di salah satu perusahaan BUMN," Lisa mengambil kertas yang teronggok di atas meja Berlin, membacanya perlahan karena penasaran. "Surat tugas lapangan?"
"Yoiii." Berlin mengangguk mengiyakan pertanyaan Lisa, karena besok ia harus mengecek salah satu proyek pembangunan rumah sakit di daerah Jakarta Timur. "Berangkatnya besok baru turun sekarang suratnya, ngeselin bangetkan."
"Mendinglah ada surat jalan keluarnya, udah pasti gitu." Lisa menepuk bahu Berlin, "Dibanding kayak hubungan gue sama Bintang, nggak ada kepastian."
"Astaga, kenapa jadi nyambung sama Bintang. Konslet otak lo kayaknya." Berlin menggeleng tak percaya, memang apa spesialnya Bintang. Pria so tahu yang mengecap Berlin dengan nama Miss Kondom.
"Jatuh Cinta nggak enak ya," Lisa menghela napas berat, seolah kini tengah berteman dengan putus asa. "Apalagi cuman kita yang jatuh tapi dia nya pergi."
"Serah lo dahh." Berlin menepuk pelan jidatnya, baru saja Berlin ingin meninggalkan Lisa ke toilet Pak Andra memanggilnya. Menyuruh Berlin mengikutinya ke ruangan, hati Berlin mencelos. Pak Andra adalah Manajer Marketing, biasanya kalau sampai dipanggil ke ruangan apalagi hanya sendiri itu karena urusan genting.
Dan sekarang Berlin memasuki ruangan Pak Andra dengan lunglai, mungkin ia telah melakukan kesalahan yang tak ia sadari.
****
Berlin menggembungkan pipinya, ini sudah lima belas menit berlalu sejak ia masuk kedalam toilet wanita. Berlin masih memikirkan ucapan Pak Andra tadi sore, benar saja Berlin dalam masalah. Dan konyolnya ia tidak melakukan kesalahan atas apa yang Pak Andra tuduhkan.
Bukan Berlin yang menginput sales order di Sistem untuk shipment Surabaya sebanyak 32 Container. Bukan Berlin yang menyetujui pembagian stock untuk pulau sumatera.
Mau membantahpun Berlin ragu, karena sekali A yah tetaplah A. Tidak peduli siapa yang melakukan kesalahan pada akhirnya Berlin akan tetap jadi sasaran.
Wajah Berlin sudah dibasuh untuk kesekian kalinya, harusnya ia sudah berada di motor dengan tenang dalam boncengan abang ojek online.
Langkah Berlin masih resah saat keluar toilet, lebih tepatnya ia sekarang sedang dongkol.
"Berlin...," Bintang yang sudah berdiri sejak tadi di Lobby memanggil Berlin dengan suara kerasnya, tapi perempuan dalam balutan kemeja biru itu masih betah melangkah dengan pandangan menunduk ke bawah.
"Berlin!" Langkah berikutnya Bintang mendekati Berlin, menepuk pelan bahu Berlin yang memang terkulai lemas. "Kenapa? Lesu banget?"
Kepala Berlin mendongat tepat saat Bintang ada di hadapannya, sejak kapan Alien ini ada di depannya. "Ngapain?"
Bintang tersenyum mengangkat tangannya yang tengah menggenggam sesuatu, "Buat lo. Tadi gue mampir ke minimart beli sesuatu terus dapet hadiah ini, gue jadi keinget lo deh."
"Panda?" Alis Berlin menggernyit menatap gantungan kunci beberbentuk panda.
Anggukan antusias Bintang tak memberikan jawaban yang puas untuk Berlin.
"Maksud lo? gue mirip Panda gitu yang punya lingkaran hitam di bawah mata?" Berlin memijit pelan pelipisnya, ia malas meladeni Bintang kali ini. Ada baiknya Berlin hanya mengambil gantungan kunci itu tanpa berdebat, masa bodoh Bintang mau menganggap Berlin mirip Panda atau Gajah.
"Kamu mirip Po di Kung Fu Panda, yang baik hati dan polos. Tapi penuh semangat," ucap Bintang, tanpa menunggu Izin Berlin pria itu memasang gantungan kuncinya pada tas gendong Berlin.
Diamnya Berlin bukan karena ia disamakan dengan Po karakter Kung Fu Panda, jika tidak salah dan yang Berlin tahu telinganya masih berfungsi dengan baik. Bintang memanggilnya dengan sebutan kamu?
"Gue mau pulang," ucap Berlin. Ia tidak peduli dengan Bintang yang memasang raut kebingungan atas sikap Berlin.
"Gue anterin," tawar Bintang, meski ia tak yakin Berlin akan menerima tawarannya tapi Bintang masih bersikukuh. Bahkan sekarang ia menghalangi langkah Berlin. "Gue khawatir sama lo."
"Gue nggak kenapa-kenapa," Berlin risih, sangat risih ketika Bintang membentangkan tangannya hanya untuk menghalangi langkahnya, "Please, gue mau pulang."
"Why?" Bintang masih berdiri tegap di depan Berlin tanpa berpindah sedikitpun, ada raut wajah khawatir yang terpatri jelas di wajahnya. "Karena aku?"
"Nggak usah kepedean deh," Berlin memutar bola mata bosan, ia melirik ke sekitarnya. Di Lobby masih ramai orang berlalu-lalang, bisa jadi satu di antara banyaknya orang berlalu-lalng itu teman kantornya, "Emang di hidup gue cuman lo aja apa yang bikin masalah."
"Ikut aku!" Bintang menarik tangan Berlin tanpa permisi, mengajaknya duduk santai di caffee yang tak lain adalah miliknya.
"Ayo cerita!" Bintang duduk tepat di hadapin Berlin yang kini justru malah melipat kedua tangannya di atas meja.
"Nggak ada apa-apa, kenapa sih lo selalu pengen ikut campur urusan gue." Berlin tahu Bintang mungkin peduli padanya, tapi sikap peduli Bintang justru membuat Berlin takut, "Dan jangan pake kata aku-kamu, kuping gue geli dengernya."
Bintang justru tertawa mendengarnya, "Memangnya salah kalau aku pake kata aku sama kamu."
"Stop it!" ujar Berlin kesal. Ia rasanya mau mencabik saja wajah Bintang yang kini tertawa ringan.
"Masalah tuh dibagi, bukan dipendem sendiri." Bintang menghentikan tawanya, menatap lurus pada netra jernih milik Berlin, "Mungkin gue emang nggak bisa bantu nyelesain masalah lo, tapi dengan bercerita sama gue mungkin bisa sedikit meringankan beban lo."
"Kenapa lo harus sepicisan ini?" Berlin tahu ini sama sekali bukan jawaban atas penjelasan panjang Berlin, "Lo cerewet, pecicilan, tukang gombal. Parahnya lagi level sok tahu lo itu udah tingkat akut, bukan idaman kaum hawa banget deh."
Seharusnya Bintang tersinggung dengan ucapan Berlin, atau paling tidak ia merasa tersudutkan. Tapi Bintang tak merasa seperti itu, ia justru menggulum senyum. "Memang lelaki idaman kaum hawa itu seperti apa?"
"Boss ganteng, cool, yang bikin penasaran, elegan, kalem, nggak tukang gombal kayak lo pokoknya." Berlin menunjuk Bintang tepat di dahinya, "Yang bisa bikin perempuan menjerit karena senyumnya."
"Jadi karena gue pecicilan dan suka ceplas-ceplos gue nggak termasuk dalam kriteria lo dong?" tanya Bintang, masih dengan senyum yang sama Bintang menggeleng pelan. "Gue rasa pola pikir lo terlalu sempit, kalau maksud lo setiap cowok harus cool dan pendiam tapi penuh kejutan romantis. Mungkin itu cowok kurang pandai berkomunikasi."
Berlin menggernyit penuh tanya.
"Gue nggak peduli ketika orang ngejudge gue cowok banyak gaya atau tukang gombal, toh gue nggak gombal sama semua cewek. Gue juga nggak tebar pesona kesana kemari seperti yang lo kira, gue cuman jadi diri gue sendiri." Tangan Bingang menyentuh ujung rambut Berlin, "Karena cowok cool udah terlalu banyak di luar sana."
Napas Berlin mulai kebat-kebit tak jelas saat Bintang mencondongkan tubuh besarnya ke arahnya yang tengah duduk tenang, "Tapi cowok yang mau bekorban demi kebahagiaan lo itu cuman gue."
Berlin mengedipkan matanya berulang kali, kenapa ucapan Bintang mirip opera sabun sih.
"Dan yang bisa bikin jantung lo berdegup kencang kayak gini cuman gue, cool atau nggaknya gue. Kayaknya nggak penting," Bintang mengecup ujung hidung Berlin. "Yang penting itu gue cintanya sama lo aja, dan napas gue cuma menghembuskan nama lo aja."
Fixed Berlin harus menghindar dari Bintang sebelum ia benar-benar jadi kaum asgardian seperti Bintang.
TBC
Ora's note :
Kan gue rajin update 😂😂
Semoga bisa menemani waktu libur kaliaaaan semuaaa.
Buat castnya, yang nggak sreg nggak usah dibayangin. Versi bahagia kalian aja hahahha
Yang penting kalian senang.
14-06-2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top