V

Berlin diam setelah perutnya terisi penuh, ia makan tak cukup banyak. Hanya kerang macan, cumi asam manis dan yang tak boleh dilewatkan adalah cah kangkung. Sementara Bintang masih menikmati kepiting saus tiram dengan khidmat.

"Selesai," Bintang mengangkat kedua tangannya, menatap piring di depannya dengan senang yang hanya tersisa cangkang kepiting. "Alhamdulillah."

"Jangan keseringan makan kepiting, nanti takut kolestrol." Berlin mencoba mengingatkan, karena dia ingat ayahnya yang juga memiliki kolestrol. 
"Gue enggak punya kolestrol kok," Bintang mengambil tisu di depannya, mengelap jemari tangannya yang masih menyisakan sisa saus. "Jadi tenang aja, lo nggak usah khawatir."

Berlin mendecih, niatnya kan hanya mengingatkan. "Terserah deh."

"Gitu aja ngambek," ejek Bintang dengan senyum lembutnya. "Nanti cantiknya ilang lho."

"Ngomong nih sama jari gue," Berlin mengacungkan telunjuknya karena kesal dengan ocehan Bintang. Tanpa di duga pria itu justru menahan tangan Berlin.

"Gue baru tahu kalau telunjuk bisa ngomong," ucap Bintang masih dengan posisi menahan tangan Berlin, ia mengamati dengan seksama telunjuk Berlin. "Hai telunjuk nama gue Bintang."

"Mulai gila kan lo!" Berlin berusaha menarik tangannya tapi Bintang lebih keras menahannya.

"Kan lo yang nyuruh gue ngomong sama jari lo gimana sih," Bintang menahan tawanya melihat tampang kesal Berlin, "Giliran gue ajak ngomong kok lo yang kesel."

"Bilang aja lo modus pengen pegang tangan gue lama-lama."

"Kalau iya emang kenapa?" tantang Bintang, "Tangan lo kayaknya pas ditangan gue."

Mata Berlin sukses mengamati tangan Bintang yang besar kini menggenggam tangannya erat, "Terus kalau pas gue harus apa? Salto sambil bilang I love you gitu?"

"Boleh tuh," Bintang menarik jari manis Berlin lalu mengecupnya pelan. "Salam kenal buat kamu yang akan ku lingkari cincin kawin."

"Eh gilaa kan," Berlin berjengit bukan tersipu, "Gue baru tau makan kepiting bisa buat orang hilang kesadaran."

"Bukan kepiting kok yang buat gue hilang kesadaran," Bintang melepas tangan Berlin dengan perasaan tak ikhlas, "Senyum lo yang bikin gue lupa kalau gravitasi itu ada, bawaannya melayang aja terus kayak di awan."

"Daebaaaak," seru Berlin, detik berikutnya ia bertepuk tangan dengan keras. "Susah emang ngomong sama alien dari perut bumi,  mulut sama gula kagak ada bedanya, pantes aja Lisa jatuh hati sama lo."

Bintang mengendikan kedua bahunya, ia sama sekali tak terkejut dengan ucapan Berlin. "Cuman Lisa aja yang jatuh hati sama gue? Lo enggak?"

Berlin menggeleng keras, "Nggak, gimana dong? Lo terlalu nyeremin buat gue."

"Bukan enggak, tapi belum. Barangkali nanti iya."

Berlin meneguk air mineralnya, mengabaikan ucapan terakhir Bintang, ia harus segera membelokan arah pembicaraan yang mulai ngawur ini, "Jadi gue beneran harus ke Sumba? Itukan beberapa hari, gue masih level staff. Nggak bisa libur."

"Cuti apa susahnya," ujar Bintang ringan, Bintang bisa menebak jika tipe-tipe perempuan seperti Berlin ini adalah karyawan yang jarang memanfaatkan cutinya, "Gue yakin cuti lo masih banyak, atau bisa jadi yang tahun kemaren aja udah kadaluarsa."

Berlin menelan ludahnya, memang mudah terbaca sekali yah wataknya? "Ishh, nggak segampang itu minta cuti."

"Cuti itu hak kita, kenapa harus dipersulit? Kan kita bisa komplain." Bintang mengamati Berlin dengan tatapan yang mulai menyudutkan, "Lo nya aja kali yang males usaha, membiarkan cuti lo hangus gitu aja hanya karena terlalu senang kerja."

Skakmaatttt... Berlin memutar otaknya, jadi apa yang harus Berlin lakukan untuk menolak ajakan Bintang.

"Gue nggak enak sama Lisa, dia naksir lo sementara nanti lo jalan berdua sama gue." masa bodo Lisa mau bilang apa, toh anggap saja Berlin mempermudah Lisa mengungkapkan perasaannya pada Bintang.

"Kenapa lo peduli perasaan Lisa, sementara perasaan gue lo abaikan?" Bintang manatap intens bola mata Berlin yang tampak resah. "Gue sama Lisa kan sama, sama-sama punya hati. Kenapa lo cuman mikirin hati Lisa tapi nggak mikirin hati gue?"

Ye ellah ini laki satu drama banget, Berlin menghembuskan napas gusar. Bisa beneran migrain lama-lama.

"Tang, lo kenapa sih?" nada suara Berlin melemah, ia hanya tidak tahu kenapa Bintang selalu menyudutkannya perihal perasaan. Memang Berlin salah apa sampai harus memikirikan perasaan pria di depannya juga?

"Nggak kenapa-kenapa, cuman kesel aja. Ngajak lo liburan aja susahnya minta ampun, padahal gue cuman minta waktu lo. Bukan hati lo."

Glekkkk. Berlin jadi panas dingin, kenapa itu mulut lemes amat.

"Gue takut aja liburan sama orang yang belum gue kenal, apalagi gue perempuan dan lo cowok. Kalau ada hal-hal yang nggak diharapkan gimana? Siapa yang bisa gue percaya dan andalkan?" memang benar adanya Berlin masih meragu perihal Bintang, mereka berdua sepasang insan yang belum genap sebulan berkenalan. Tapi sikap yang Bintang tunjukan seolah Alpha yang baru saja menemukan matenya.

"Gue," ucap Bintang tegas, "Apa perlu gue izin sama orang tua lo. Biar mereka tahu gue yang akan bertanggung jawab selama anak mereka liburan di Sumba."

"Kenapa gue harus percaya sama lo? Yang notabenenya kenal aja baru seumur jagung. Lo sama gue itu orang asing yang kebetulan dipertemukan." Berlin tahu Bintang punya sejuta cara untuk membujuknya, tapi Berlin juga punya banyak tanya dalam pikirannya yang belum tersampaikan pada Bintang. Hening malam dang angin dingin yang berhembus membuat Berlin semakin terlarut dengan pikirannya yang sedikit menembus batas logika.

"Nggak ada yang kebetulan di dunia ini," Bintang menahan tatapannya pada mata Berlin yang kini menuntut jawaban. "Tuhan selalu punya alasan di balik sebuah kejadian, mungkin dengan Tuhan mempertemukan lo sama gue dia punya rencana yang lebih baik."

Berlin terdiam, Bintang terlalu banyak menyudutkannya malam ini. "Gue tetep nggak mau pergi sama lo, gue takut diculik sama lo terus dimutilasi dijual ginjalnya."

"Emang muka gue sekriminal itu ya?" tanya Bintang lesu, entah harus bagaimana lagi dia meyakinkan Berlin.

"Memang kenapa banget lo ngebet pergi liburan sama gue, pasti lo punya rencana jahat kan sama gue? Jangan-jangan lo mau jual gue." Berlin menatap tajam Bintang yang kini terlihat frustasi.

"Ya lord," Bintang merenas pelan rambutnya, "Muka gue seilegal itu ya? Apa yang lo tuduhkan itu nggak pernah terlintas di pikiran gue sama sekali."

"Ya gue heran aja kenapa lo ngebet gitu."

"Bisa nggak lo berpikir sederhana, nggak usah sehorror itu." Bintang menepuk pelan punggung tangan Berlin, lalu menatap Berlin yang justru kini terlihat polos dengan pikiran absurdnya. "Lo bisa anggap gue lelaki yang lagi ingin mendekatkan diri pada perempuan yang gue anggap kelak cocok buat jadi ibu untuk anak-anak gue."

"Atau yang lebih simple, anggap aja gue jodoh lo yang sengaja Tuhan kirim buat mengakhiri status jomlo lo." Bintang tersenyum lembut membuat Berlin berpikir jika Bintang mungkin mengkonsumsi softener sampai wajahnya pria di depannya terlihat begitu lembut dan teduh.

TBC

O

ra's note :

Here we gooooo
Gue punya cast versi Indonya.

Yang nggak suka boleh bayangin sesuai imajinasi kalian heheheh
Gue mah bebas kalian mau mikir siapa, ini yang ada di pikiran gue. Kan setiap orang punya pikiran berbeda jadi yah tak apalah kalau kalian punya versi sendiri bisa sebutin di bawah coba pas nama-namanya. wkwkwkwkwk

Berlin 24 tahun.

Bintang 28 tahun.


Semesta 30 tahun.



Seee uu bubayy.

13-Juni-2018.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top