IV
Dua hari lalu Berlin dibuat tercengang dengan sikap Bintang, sekarang ia harus dibuat sakit kepala dengan sikap Semesta yang tengah memeluknya erat. awalnya Berlin tak mengerti kenapa Semesta bisa menjadi semelankolis ini.
Harusnya Berlin baik-baik saja ketika Semesta melingkarkan lengannya di sepanjang bahu miliknya, tapi rasanya ada yang aneh.
"Gue enggak mau lo marah lagi sama gue," di atas puncak kepala Berlin suara Semesta terdengar lebih berat dari biasanya. "Setelah gue nggak ada di sini tolong jangan lupain gue."
Berlin masih terdiam, kenapa Semesta harus memeluknya hanya untuk mengucapkan kata-kata perpisahan. Ini bukan kali pertama mereka berpelukan, tapi pelukan kali ini rasanya lebih sarat makna "Jangan kebanyakan minum kopi, banyakin minum air putih. Jangan kerja sampi lupa waktu, kalau mikirin kerjaan terus memang nggak akan ada beresnya."
Detik berikutnya Berlin menikmati setiap lantunan kata yang keluar dari mulut Semesta, tak ada lagi Semesta yang dengan pengertiannya membuatkan Berlin teh hangat saat perutnya keram di hari pertama Menstruasi, tak ada lagi Semesta yang mengisikan botol airnya saat Berlin terlalu asyik dengan pekerjaannya. Tidak ada yang mendumel lagi saat Berlin ceroboh, tidak ada lagi Semesta di kantornya.
"Ta," masih dalam suasana hening Berlin mendongakan kepalanya, menatap tepat pada mata jernih milik Semesta, "Gue boleh sedih nggak?"
"Boleh," Semesta bukannya berpura-pura bodoh, ia tahu jelas jika Berlin adalah orang yang paling merasa kehilangan atas kepergiannya, "Tapi jangan kelamaan sedihnya, karena seorang Berlin itu ditakdirkan hidup dalam kebahagiaan bukan dalam kesedihan."
"Kalau gue nggak kenal lo deket pasti gue udah tersipu malu dengan jantung berdebar, sayangnya gue udah cukup mengenal seorang Semesta Adiwijaya. Yang memang mulut manisnya ngalahin sirup marjan." Berlin tertawa, meski tak bisa ia pungkiri jika hatinya menghangat setelah mendengar ucapan Semesta tadi, ketidaktahu dirian Berlin kadang membawa dirinya ke atas awan saat Semesta memperlakukannya begitu sopan dan manis seolah Berlin adalah satu-satunya perempuan yang pantas untuk Semesta.
Semesta mengusap pipi Berlin pelan dengan tangan besarnya. "Jangan lupa cari jodoh, itu yang paling penting."
Berlin memukul bahu Semesta pelan, pria yang kini memeluknya erat hanya tertawa ringan. Terkadang hubungan pria dan wanita memang bisa serumit ini.
****
Berlin bodoh, memang ia akui itu. Seharusnya ia tidak menolak ajakan Semesta yang ingin mengantarkannya pulang, karena Berlin terlalu picisan akhirnya ia menolak ajakan Semesta yang berbaik hati ingin memastikannya selamat sampai rumah.
Sehingga sekarang ia harus terjebak dengan kaum asgardian yang dimutasi dari perut Bumi bernama Bintang, "Nggak ikhlas banget nemenin gue makan kayaknya."
Dengan alasan ingin membicarakan soal kepergiannya ke Sumba nanti Bintang mengajak Berlin makan di salah satu rumah makan yang ada di daerah Ancol.
"Nggak kurang jauh makan di sini?" sindir Berlin dengan nada sarkasnya, kantoenya di daerah Jakarta Selatan dan sekarang ia di daerah Jakarta Utara. Kurang jauh apalagi sekarang?
"Karena gue tau lo mainnya cuman daerah segitiga emas yang macet itu, makanya gue ajak kesini. Pasti lo belum pernah 'kan makan Seafood di sini?" Bintang tersenyum bangga, seolah apa yang ia lakukan memang layak mendapatkan apresiasi.
"Terserah deh," Berlin mendengkus, terlihat jelas ia tak nyaman berada di sini bersama Bintang, "Dan gue udah bilang kalau gue enggak mau ikut ke Sumba."
"Gue enggak menerima penolakan, gimana dong?" Bintang takkan menyerah begitu saja, jangan remehkan dirinya yang mendapat gelar donjuan. Selain pandai memikat wanita Bintang juga punya keahlian merayu level dewa. "Ini kan hasil kerja keras kita berdua, masa gue nikmati sendiri. Susahnya bareng, berarti senangnya juga harus bareng dong."
"Yakin banget gue bakal senang di sana," cibir Berlin.
"Selama ada gue di samping lo, gue jamin bisa nyenengin hati lo."
Alarm di pikiran Berlin berbunyi keras, senang bagi Bintang bisa jadi berbeda dengan apa yang Berlin harapkan. Dilihat dari mana saja Bintang memang terlihat brengsek.
B
erlin menekan hidungnya dengan jari telunjuk, membuat ekspresi menyebalkan terpatri di wajahnya. "Ngomong nih sama upil gue, cowok jaman sekarang bisanya modus aja. Emang cewek bakal kenyang dikasih rayuan receh kayak gitu."
Ini efek emosional karena perpisahan dengan Semesta mungkin, Berlin merasa ia terlalu berlebihan menanggapi ucapan Bintang.
"Rayuan gue emang nggak bisa bikin kenyang," Bintang masih dengan santai menanggapi ucapan Berlin, ia takkan mudah tersudutkan hanya dengan satu kalimat sarkas yang terlontar dari mulut Berlin, "Karena dari itu gue kerja, biar gaji gue donasikan buat istri seorang."
"Beuhh gaya lu tong," Berlin mendecih dengan wajah juteknya, "Jangan ngomongin istri kalau masih suka tebar sperma sembarangan."
"Idihhh sok tau banget," Bintang tak terima dengan ucapan Berlin, biarpun dia suka Check in club ternama di Jakarta bisa dipastikan kalau dia masih Perjaka. "Gue masih perjaka kali, mana ada gue buang sperma sembarangan. Kasian calon anak-anak gue kelak."
Berlin sukses terbatuk mendengar penjelasan Bintang, obrolan macam apa sebenarnya ini. "Sakit kepala gue lama-lama ngobrol sama lo."
"Nggak apalah kalau gue cuman buat lo sakit kepala," ucap Bintang pelan, "Yang penting gue nggak nyakitin hati lo."
TBC
Ora's Note :
Jadi yang ada di pikiran kalian Berlin itu cewek kayak gimana sih?
Karakter seperti Berlin itu menurut kalian ada nggak di kehidupan kita ini?
Gue udah mikirin sampe konflik ini cerita dan penyelesaiannya, jadi be aware kalau ada hal-hal yang mungkin nggak terduga 🙏😂
Lets komen below, biar gue tau seberapa persen gue berhasil membentuk karakter Berlin.
Dan ini Semesta versi korea.
Gue lagi mikir versi Indonesia nya juga buat karakter di sini wkskskk
Bubayyy
12-06-2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top