III
Mulut Berlin membulat sempurna, tadi cuman jokes receh yang dilontarkan Bintang 'kan? Itu nggak seriuskan?
"Ya kalaupun gue nya enggak sayang, diyakinin lah biar sayang." Niatnya Berlin hanya ingin menimpali ucapan Bintang sebelumnya dengan lelucon, tapi kenapa wajah Bintang justru menampilkan raut wajah serius yang mebuat hati Berlin kebat-kebit tak jelas.
"Sampai Menara Pisa pindah ke Jakarta juga nggak akan bisa yakinin lah, percuma kalau yang diyakininnya nggak ada rasa."
Blessssshhhh..... Rasanya seperti ada keringat dingin tak kasat mata di dahi Berlin yang kini menetes perlahan.
"Udahan ah obrolannya bikin gue tremor tiba-tiba," kilah Berlin, rasanya ia ingin mengirim Lisa ke alaska sekarang juga. Bisa-bisanya membiarkan Berlin terjebak dengan Bintang si Alien dari perut bumi.
"Tipe cowok lo kayak gimana?" tanya Bintang, ia melirik ke arah jam di tangannya sebelum kembali fokus menatap Berlin dengan raut wajah yang mulai kembali datar.
"Kayak gimana ya?" Berlin tidak tahu harus menjawab apa, mungkin ia bisa menjawab dengan mudah pertanyaan seperti ini jika saja bukan dari mulut Bintang pertanyaan ini keluar. Bintang masih menunggu jawaban Berlin, sementara Berlin sudah dibuat was-was karena takut salah menjawab.
"Nggak muluk-muluk, yang penting tinggi badannya lebih tinggi dari gue. Umurnya juga harus lebih tua dari gue, dan yang penting dia punya rasa tanggungjawab yang tinggi." Berlin kembali meneguk sisa kopi di cup nya untuk menghilangkan rasa kering di tenggorokannya, belajar dari percakapan yang lalu dengan Bintang akhirnya Berlin menurunkan sedikit egonya bertanya balik pada Bintang, "Kalau lo? Pasti harus cewek cantik, modis, kulit putih, highsociety...,"
"Gue nyari cewek buat jadi istri gue, bukan buat cover majalah woyy," Bintang menginterupsi ucapan Berlin yang mulai meracau sampai-sampai gadis di depannya kini terdiam kikuk.
"Type cewek idaman gue nggak harus kayak gadis sampul kok," ucap Bintang, "Toh yang lebih penting cantiknya itu kan dari hatinya bukan luarnya."
"Ye elaah, semua cowok munafik pasti bilang begitu." Berlin rasanya ingin tertawa mendengar ucapan Bintang yang memang sering dilontarkan oleh kaum adam, pada dasarnya pria tetap saja akan terpana pertama kali oleh penampilan. "Cowok yah tetep cowok yang awalnya akan terpana sama paras cantik."
"Ya emang, tapi lo pernah tau apa isi pikiran cowok?" Bintang bertanya balik, dan Berlin menggeleng pasrah. "Walaupun dia terpana sama kecantikan si cewek, lantas apa mereka bakalan langsung jadiin si cewek itu pacarnya? Cuman cowok bego yang punya satu aspek buat jadiin cewek cantik pacarnya, ada banyak nilai yang harus dipertimbangkan. Karena cantik itu belum tentu bikin nyaman."
Kenapa obrolannya dengan Bintang menjelang malam begitu berat, dan kemana Lisa? Apa temannya satu ini tersesat saat mencari dragon ball?
"That's enough," Berlin menguap, rasa kantuk mulai menyerangnya. Setidaknya walaupun obrolannya dengan Bintang begitu random, paling tidak ia akhirnya yakin jika pria di depannya kini single. "Gue mau pulang."
Masa bodo dengan Lisa, Berlin tidak mau terjebak dengan Bintang semakin lama. Udah cukup terjebak dengan kenangan mantan aja yang bikin dia sesak, jangan ditambah terjebak dengan Bintang yang mungkin bisa membuat Berlin kena asma mendadak.
"Lo takut yah ngobrol sama gue?"
Lo pikir? Dari tadi pembahasan kita muter-muter di cewek dan cowok, mana situ serius banget diajak ngobrolnya. Cewek mana yang nggak takut ngobrol sama cowok kayak lo.
"Pasti lo mikir gue cowok freak dengan pembahasan random yang bikin lo kikuk?"
Mampus dia bisa baca pikiran gue, jangan-jangan dia titisan doctor strange eh salah Mantis kali yaa..
Berlin melirik ponselnya di sana muncul notifikasi chat whatsapp dari Lisa.
Lisana rasa jeruk.
Perut gue keram bulak-balik toilet gara-gara ayam tadi siang kayaknya, gue langsung pulang nggak jadi nyusul lo ke caffee.
"No, awalnya gue pikir lo emang cowok yang freak dan punya bad attitude. Yahh makin kesini gue mulai terbiasa kayaknya dengan sikap random lo dan keanehan lo," sejujurnya Berlin masih merasa aneh dengan sikapnya sendiri, kenapa ia bisa menjadi se'welcome' ini pada Bintang, mungkin karena pada dasarnya manusia itu diciptakan untuk hidup saling berdampingan bukan saling bermusuhan. Jadi Berlin menurunkan sedikit egonya berdamai dengan Bintang, mungkin untuk hari ini saja. Enggak tau besok.
"Asal berhenti panggil gue dengan embel-embel kondom, mungkin kita bisa jadi temen," ucap Berlin ringan seolah tawaran itu menggiurkan untuk Bintang, tapi Bintang masih terdiam.
"Temenan aja?" sebelah alis Bintang terangkat, tangannya kini terlipat di atas dada dengan pandangan yang menyudutkan Berlin.
"Lah apa salahnya temenan?" Berlin mengoceh, sedikit meninggikan suaranya yang entah kenapa ia kesal dengan respon Bintang.
"Yah nggak apa-apa," Bintang membuang napas pelan, pria itu mengalah membiarkan Berlin meraup udara bebas karena kali ini ia tak mau mendebat Berlin, "Megan Markle sama Prince Harry juga awalnya temenan sebelum akhirnya mereka menikah. Jadi nggak ada salahnya kita jadi temen dulu."
Untuk kesekian kalinya Berlin dibuat menganga dengan sikap Bintang.
"Tadi katanya lo mau pulang 'kan?" kursi yang diduduki Bintang berderit, "Gue anterin, tunggu gue di depan Lobby."
Itu perintah, Berlin yakin itu. Sebagai seorang pria ternyata Bintang tergolong cuek. Ia sama sekali tak meminta Berlin mengikuti langkahnya pergi ke Basment, Bintang lebih memilih menyuruh Berlin menunggu.
Setelah sepuluh menit berlalu Bintang tiba di depan lobby dengan motornya, lagi-lagi Berlin rasanya ingin berteriak di depan Bintang.
Gue pake rok dan lo nyuruh gue naek motor lo yang mirip Bison itu? Nggak yakin gue nyampe rumah selamet.
"Ayo naik!" Bintang memberikan helmnya pada Berlin, namun tangan Berlin masih belum ikhlas menerima helm dari Bintang. Tangan kurus Berlin justru sibuk memilin rok lipit selututnya.
Gue naik taksi aja boleh nggak? Mahal dikit yang penting selamet.
"Lo takut?" Bintang menarik tangan Berlin yang sejak tadi sibuk memilin ujung roknya, ia bisa melihat anggukan kecil Berlin. Dengan perlahan Bintang membuka klip pengunci helmnya. Menepuk pelan puncak kepala Berlin sebelum akhirnya memakaikan helm pada Berlin, "Kalau lo takut, peluk aja gue yang erat. Biar ketakutan lo pindah ke gue."
"Receh banget," Berlin memukul helm yang dikenakan Bintang hingga pria itu mengaduh, "Gue takut rok gue berkibar aja."
Bintang melepas jaketnya, mengikatkan jaketnya di sekitar pinggang Berlin. Bagian belakang jaket sengaja ia hadapkan di depan rok Berlin, agar ketika duduk nanti jaketnya menutupi paha Berlin.
"Besok-besok pake celana aja, biar gue lebih gampang anterin pulangnya."
Berlin masih penasaran, tadi Bintang belum secara spesifik menyebutkan kriteria perempuan idamannya. Kan bisa jadi informasi tambahan untuk Lisa agar mulus jalannya mendekati Bintang, "Lo belum jawab dengan jelas pertanyaan gue tadi."
Bintang menaikan sebelah alisnya, "Yang mana?"
"Soal cewek idaman lo?"
"Kan gue bilang, gue itu nggak punya kriteria khusus. " Bintang mengencangkan tali jaketnya, memastikan helm yang dipakai Berlin terpasang dengan benar lalu ia menepuk pelan pipi Berlin. "Asal tuh cewek bisa bedain mana lengkuas sama jahe aja itu udah nilai plus buat gue."
Lisa harus belajar banyak sepertinya, jangankan membedakan sama jahe. Mana ketumbar mana merica aja masih linglung, haruz les private sama chef Juna kayaknya.
"Semudah itu?" Berlin memutuskan untuk menaiki motor Bintang.
"Mudahkan?" Bintang tersenyum sebelum menstater motornya dan suara motornya mulai meraung memecah sunyi, "Semudah gue menjatuhkan hati gue sama lo."
TBC
Ora's note :
Jadi yang bakalan gue tamatin pertama kali adalah work ini.
Silahkan dinikmati selagi masih bisa dinikmati alurnya wkwkwkwk 😂😂
11-06-2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top