TUJUH BELAS
[ 23.01 -- 23.38 ]
Aku merasa malu karena Riani mengataiku pria yang suka berkhayal dan berharap menjadi pahlawan. Kuharap dia juga menyesali kalimatnya itu, bukan hanya yang dia lakukan di rumah Chris. Tapi dari sana aku telah diperingatkan bahwa aku harusnya tetap berada di batasku. Seseorang yang mengantarkan kopi tetapi tidak dibayar.
Aku sebenarnya juga kesal pada Rifan, karena kehadirannya membuat aku jadi seperti ini. Boleh jadi orang tua Arestia pasti menyebut namaku puluhan kali bahkan sebelum aku menghantamkan pukulan ke wajah si keparat itu. Yang jelas mereka membicarakan tentangku lebih dari sekadar aku adalah mantan kekasihnya Arestia, membawa seorang wanita kacau. Padahal Riani bukan wanita seperti itu, dia hanya kesal dengan dunia yang membuatnya jatuh.
Selama sisa perjalanan menuju rusun aku hanya menoleh ke luar jendela mobil karena sudah tidak tahu lagi apa yang akan aku katakan padanya. Tanganku masih terasa panas dan tidak mengenakan, aku merasa ada sesuatu yang salah di sana, tapi aku membiarkannya. Menahannya dan kadang aku hanya membuka dan menutupkan tanganku, tapi rasa tidak mengenakan itu tidak pernah berubah. Riani juga tidak bertanya apa telah aku lakukan, dia memilih untuk menyetir dalam diam. Matanya terfokus pada jalanan yang sepi.
Saat mobil berhasil terparkir menghadap ke depan pun kami masih saling diam. Riani juga tidak berjalan di sampingku saat menuju ke rumah, dia beberapa langkah di belakang. Aku berusaha melambatkan langkah agar dia bisa menyusul tapi Riani tidak segera berada di sampingku. Hingga aku berdiri di depan pintu rusun. Riani langsung menerobos untuk membuka pintu dan mendahului. Aku menghela napas untuk sikap dinginnya sebelum melesak masuk.
Riani menungguku di depan bufet. Dia sudah menanggalkan sepatunya. "Kita perlu bicara. Sebelum kamu pulang."
Aku bahkan belum sempat memikirkan untuk pulang. Yang aku rasakan saat ini aku akan berada di sini pada waktu yang tidak dapat ditentukan. Jika Riani telah menyinggung kata pulang maka usai sudah aku di sini. Kami mungkin akan kembali menjadi orang asing. "Apa ada sesuatu yang salah?"
Riani menggigit bibir bawahnya. "Aku tahu mungkin terlalu dini mengatakannya. Kita baru saja bertemu sehari dan rasanya aku telah mengenal kamu jauh lebih banyak. Aku hanya ingin memastikan bahwa kita tidak saling ada ketertarikan," ujarnya. "Maksud aku kita masih tetap berada di sana."
Aku mengerti apa yang diungkapkan Riani. Dia masih ada untuk suaminya. Dia berusaha keras untuk melawan gejolak dia antara kami, hasrat yang meracuni pikiran kami, serta sesuatu hal yang aku tidak tahu itu apa, tapi kami harus memerangi itu. "Aku baik-baik saja." Dia menghela napas. "Harusnya memang seperti itu. Alasanku berada di sini bukan untuk semua yang kamu pikirkan sekarang."
Riani menganggukkan kepala satu kali lalu dia berjalan menuju kamarnya. "Aku takut, Danu." Suaranya terdengar lemah. Tapi tatapannya menyakinkan.
"Aku akan pulang." Aku menghela napas seraya melepas sepatu dan kaos kaki. "Tapi apa aku boleh menumpang mandi?"
Riani menunjuk ke arah dapur. "Kamu bisa pakai kamar mandi luar." Dia langsung menutup pintu kamarnya dan menguncinya.
Aku berjalan menuju kamar Susan. Pakaianku, jaket ojek online, dan weistbag tergeletak di atas tempat tidur. Aku tidak tahu sejak kapan aku menganggap bahwa rumah ini adalah milikku, semua terasa nyaman. Aku bahkan lupa kalau mempunyai tempat tinggal di indekos yang jauh beberapa kilometer dari sini.
Aku melepas jas dan kemeja. Kuletakkan di atas tempat tidur. Juga jam tangan kuletakkan hati-hati di atas wistbag. Saat itu aku teringat jika Riani memberikan handuk di meja makan. Jadi aku berjalan menuju ke sana menyisakan celana. Kuambil handuk itu dan membentangkan untuk menutupi tubuh bagian atas. Saat aku berjalan menuju kamar mandi aku mendengar suara Riani membuka kunci kamar.
"Danu?" panggilnya.
Aku langsung berbalik dan tercengang. Riani hanya mengenakan pakaian dalam. Dia berjalan sedikit kaku menghampiriku. "Ada apa?" Aku menelan ludah ketika melihat tubuh Riani. Pikiranku liar.
Riani mendorong tubuhku sampai punggungku terbentur pintu kamar mandi. Dia memegang tanganku yang mengunci handuk agar tetap menutupi tubuhku. Napasnya terdengar tenang sedangkan aku hampir kesulitan mencari udara. Dia berjinjit dan mendekatkan dadanya ke dadaku. Tubuhku terimpit. Hingga akhirnya bibirnya memagut bibirku.
Aku tidak membalas ciuman itu. Aku masih berusaha melawan tekatku sendiri. Aku tidak tahu apa yang Riani inginkan padaku. Dia akhirnya melepas bibirnya padaku, saat itu aku merasa tubuhku menegang. Jika Riani melakukannya sekali lagi aku akan membalasnya. Tapi dia tidak melakukan itu. Tubuhnya turun.
"Kamu tidak apa?" kataku, akhirnya ada kalimat yang bisa keluar dari mulutku. "Jangan paksakan dirimu melakukan ini Riani."
Riani menggeleng. "Karena kita sudah menceritakan banyak hal. Aku ingin melakukannya untukmu."
"Aku baik-baik saja." Riani tidak menghiraukan perkataanku. Dia menarik handuk di depan dadaku sampai aku sedikit menunduk agar dia bisa menempelkan bibirnya di bibirku.
Cukup lama bibir kami bertemu, selama itu aku tidak melakukan apa pun. Aku berusaha memikirkan akankah aku harus terkesiap lebih dulu. Hingga akhirnya aku langsung memulai mengulum bibir Riani. Mulanya terasa manis dan lembut, juga intens. Tapi aku merasa gagal ketika memasukkan lidahku ke dalam mulutnya. Kemungkinan ini adalah ciuman terparah yang pernah aku berikan kepada seorang wanita. Tidak lama setelah itu aku menarik diri.
"Kenapa?" tanya Riani. "Aku rasa kamu sudah begitu menikmati."
"Aku takut kamu tersedak," desisku. "Aku belum sikat gigi."
Riani tertawa geli. "Jujur, ciuman kamu mengerikan, Danu." Dia menempelkan bibirnya ke bibirku lalu tersenyum. "Apa ini pertama kali kamu melakukannya." Bibir kami masih bertemu.
Aku menggeleng, juga membalas ciuman.
"Lakukan lagi." Riani mendorong dadaku sampai aku tidak sadar tanganku memegang lehernya dan handukku sudah merosot ke lantai.
Saat lidahku berusaha masuk ke mulut Riani. Dia berusaha menyingkirkan dengan lidahnya. Dan itu membuat ciumanku semakin mengerikan. Riani tertawa saat tahu jika aku telah kalah dalam beradu lidah di dalam mulutnya.
"Kamu membuatku semakin mengerikan," protesku. Aku menggigit bibir bawahnya.
Riani tertawa geli juga mengusap dadaku. Dia memutus ciuman kami untuk mengecup pada dadaku di beberapa tempat. Tubuhku semakin menegang. "Apa kamu gugup, wahai pria perkasa."
Kami saling pandang untuk beberapa saat hingga aku kembali menunduk juga memejamkan mata. Riani membantuku agar aku bisa menemukan bibirnya. Dia menekan bibirku sekali lagi dengan ciuman panjang. Aku terkejut dengan erangan ku sendiri. Aku memulai dengan kecupan lembut di seluruh bibirnya. Tanganku berada di tengguknya dan Riani melingkarkan kedua lengannya di leherku. Dia meremas rambutku. Tersadar kami sama-sama mengerang. Ciuman kami semakin terasa tergesa saat lidahku menerobos masuk untuk menjelajahi mulut Riani. Aku mulai percaya diri bahwa ciumanku kali ini tidak main-main.
Tanganku turun ke pinggang Riani lalu menyentaknya agar tubuh kami semakin dekat. Riani merintih. Aku tidak ingin mengakhiri ini. Tapi akhirnya kami sama-sama melepaskan.
"Aku tidak tahu apa yang aku pikirkan sekarang," kataku dalam desahan napas.
"Kamu ingin berhenti menciumiku?" tanyanya.
Aku menggeleng. "Ini luar biasa. Kamu membuatku susah bernapas."
"Kalau begitu kita lakukan hal lain." Mataku terbelalak.
"Maksudnya," desisku.
"Jangan berlaga polos, Danu." Riani menyusuri dada lalu turun ke perutku untuk mencari sesuatu. Aku hanya memandang gerakan tangannya. Sensasi mengelenyar membuatku kesulitan bernapas. "Kamu pasti pernah melakukannya."
"Aku tidak punya pengaman." Aku mendesis saat Riani mulai memegang ikat pinggang. Aku tiba-tiba merasa gugup. "Kamu tahu kapan terakhir aku melakukan...?" Aku menahan napas saat tangan Riani menyusuri pinggangku. Dia membungkuk untuk menciumi bagian itu. "Satu-satunya pengaman yang kusimpan di dompet sudah kugunakan tujuh minggu yang lalu." Napasku tersekat-sekat.
Aku mendongak saat dia mulai berjongkok di depanku. Dia melepas ikat pinggang dan menyentuh ritsleting. "Belum saatnya untuk melangkah sejauh itu, Danu," katanya.
Ritsleting terbuka, tangan Riani menerobos masuk. Membuatku mengerang begitu keras. Aku butuh ambulan, jantungku hendak meledak saat ini. Aku menunduk melihat apa yang sedang dia lakukan sekarang juga memastikan apakah kakiku masih berpijak di lantai.
Riani memutari pinggangku. Aku kembali mendongak saat dia menurunkan celana pantalon menyisakan celana dalam untuk tetap menempel di badanku. Rasanya membuatku gila, saat tangan Riani bekerja dia menekan bibirnya di perutku. Mengecupnya di beberapa tempat termasuk pinggang dan pangkal paha.
Kedua tanganku meremas tengkuk, aku mendongak, memejamkan mata juga mendesis. Otot perut bawahku menegang begitu Riani menjulurkan lidah untuk menjelajahinya. "Riani, perutku bukan es krim." Tanganku berpindah ke sela-sela rambutnya. Aku menunduk mendapati dia tetap melakukan aksinya. Tangannya terus bekerja menurunkan celana sampai ke lutut, hingga turun ke pergelangan kaki.
"Perutmu manis," ujarnya. "Apa kamu ingin aku berhenti sekarang?"
Jantungku seakan bersiap-siap untuk meledak jika celana ini lepas. Aku mengeluarkan kaki dari lubang celana. Riani mengabaikan gerakan kakiku, tangannya sudah berpindah ke karet celana dalam. Dia tidak langsung menurunkan tetapi mengecupnya tepat di tempat yang rawan. Aku merasa tersengat listrik saat hidung Riani mengendus tubuhku yang hampir menegang.
Sebelum Riani melakukan hal lain aku membungkuk dan menariknya agar dia berdiri. Dia menurut. "Giliranku."
Aku berbalik menjadi di belakang Riani. Kudorong tubuhnya untuk merapat ke pintu kamar mandi. Tanganku merayap ke perutnya hingga ke ulu hati dan bermuara di bawah bra. "Kamu memakai bantalan bra?" bisikku, aku sempatkan untuk lidahku menyentuh telinga kirinya. Lalu turun sampai ke leher. Riani meringis juga menggerakkan lehernya.
"Aduh, kurasa tidak," jawabnya. Tanganku melepas pengait bra tanpa masalah.
Aku menahan napas saat melepas penutup dadanya. Setelah bra semakin turun Riani berbalik secara tiba-tiba. "Aku hanya punya sepasang bantalan bra. Jika aku tidak memakainya apa ukuran jadi masalah untukmu?"
Aku menatap tubuh Riani. Lalu menghembuskan napas. Hingga aku mencampakkan bra bersama celana pantalon di lantai. Tanganku merayap ke dadanya. "Yang jadi masalah adalah kamu merahasiakan wujud aslinya selama bertemu denganku."
Kepalanya sampai miring untuk mengatur napas dan erangan. Aku tersenyum dan menekan sikat bibirku ke bibirnya. "Kamu suka?" tanyanya.
"Luar biasa," seruku. "Aku bisa saja menciummu tadi sore."
"Astaga." Tangan Riani menerobos masuk ke celana dalamku. "Dan kamu sampai kapan harus merahasiakan ukuran tubuhmu yang ini?" Dia meremasnya dan aku merintih.
Riani tertawa geli. Gerakan tangannya di bawah sana membuat gerakanku terbatas. Yang bisa aku lakukan adalah tangan merayap ke punggung bawah sedangkan tangan satunya menggenggam rambutnya lalu menarik lembut tubuhnya agar lehernya bebas untuk bibirku.
Saat tubuhku semakin tegang. Remasan tangan Riani melemah hingga dia keluar dari sana. Aku tidak ingin mengabaikan kesempatan ini, aku langsung mendorong tubuhku untuk semakin merapat. Riani meringis ketika aku menyentuh lehernya, suaranya yang tertahan membuatku semakin tertantang dan ingin menguasai tubuhnya tanpa ampun.
Riani juga tidak bisa terlena begitu saja. Dia menjelajah, mengusap lembut pinggangku dan melancarkan aksinya untuk menurunkan celana dalamku. Tapi dia tidak mengeluarkan tubuhku, dia hanya menyentuh satu titik luar biasa hingga membuatku merasa terkalahkan olehnya.
"Paling tidak kedudukan kita seri," katanya. Ternyata dia menganggap bahwa semua ini adalah perlombaan.
Aku menggeleng. "Kamu curang."
"Tanganku bebas, Danu." Riani menciumku terlalu posesif saat aku menyentuh dadanya. "Kamu terlalu sibuk menikmati. Itu justru membuat kamu semakin terlengah."
Aku melepaskan diri dari ciuman. Dan tanganku merayap turun seraya berjongkok di depannya. "Kalau begitu bagaimana jika aku melakukan ini."
Tanpa menunggu lama aku langsung menurunkan pakaian satu-satunya yang menempel di tubuh Riani. Aku melakukan hal yang Riani lakukan padaku. Mencium, dan menjilat di berbagai tempat di pinggang hingga ke pangkal paha. Aku sedikit agresif kali ini. Kulempar sembarangan celana dalamnya.
"Danu pelan-pelan," pintanya. Tapi aku tidak peduli. "Kamu bukan bunglon, Danu. Jangan gunakan...." Riani mengerang hebat. "Lidahmu terlalu liar." Suaranya erangannya semakin keras. "Danu hentikan." Aku semakin gusar dengan rintihannya.
"Danu kumohon." Suara Riani semakin memekik. Dia mempererat cengkeraman di bahuku. Meremas rambutku. Lidah dan bibirku terus menjelajahi tubuhnya membuat kakinya semakin lama semakin menegang. Aku suka perlombaan ini, dan ini membuatku barada dekat dengan titik kemenangan. Hingga akhirnya Riani menjerit tertahan. "Danu!" Beberapa detik kemudian napasnya menggebu. Mendesis.
Aku juga mengatur napas sebelum akhirnya bangkit. "Kendalikan suaramu. Aku tidak ingin orang lain mendengarnya."
Riani menyandarkan tubuhnya ke pintu. Dia memejamkan mata, mendesis juga berusaha mengatur napas. "Kurasa aku belum pernah sebasah ini dalam hidupku."
"Aku belum pernah merasakan kulit manusia senikmat ini!" sahutku.
"Mengerikan." Riani menggeleng, lalu membuka mata. "Itu terdengar seperti kanibalisme."
"Aku tidak ingin pulang malam ini," ujarku juga menggigit bibir bawah. "Luar biasa hebat."
Riani menepuk bibirku. "Aku tidak tahu apa yang kamu lakukan di bawah sana. Katakan padaku bahwa kamu meminta bantuan tangan agar aku berada di puncak lebih dulu."
Aku menggeleng. "Apa itu seperti menantang aturan?"
"Astaga, aku ingin kita berada di puncak bersama." Riani terlihat lelah. "Aku hampir lepas kendali."
"Padahal ini baru permulaan." Riani melingkarkan tangganya di pinggulku. Dia menempelkan dahinya yang berkeringat di dadaku. "Dan suaramu yang terakhir itu terlalu keras."
Riani tidak melakukan gerakan yang berarti selain menyamankan diri di dadaku.
Tanganku turun ke pinggang lalu menangkup bokongnya. Riani melompat dan memantapkan pegangan di bahu juga melingkarkan lengan pada leherku. Saat aku mengangkat tubuhnya dada Riani sejajar dengan wajahku. Bibir dan lidahku membelai lembut payudaranya, sementara aku mengulum puncaknya dia merintih. Aku membawa tubuh Riani ke meja makan.
"Jangan meja makan?" kata Riani tegas di tengah erangannya. Jadi aku berbelok dan mendudukkan Riani di meja dapur di dekat lukisan jendela.
Aku belum puas mengulum puncak payudaranya. Aku berganti dari kiri ke kanan. Dan yang terakhir aku mengecup di antaranya. Tanganku merayap ke bawah tubuhnya. Riani menegangkan kaki dan mengangkat lututnya.
"Rileks," ujarku. Lalu aku meninggalkan kecupan di bibirnya. "Kamu ingin aku hanya menggunakan jari atau bagaimana?"
Tangan Riani juga turun untuk berusaha menanggalkan celana dalamku. Dia membenamkan wajahnya di leherku. Aku memegang sikunya untuk menghentikan.
"Kamu ingin aku melakukannya?" Aku menangkup pipinya dengan kedua tanganku.
Riani menciumiku sedangkan aku mulai merenggangkan jarak. "Jawab aku?"
Tatapannya turun dan melemah. Keadaan tiba-tiba menjadi sunyi. Entah karena kami sebelumnya terlalu bergairah atau kami berusaha memulihkan hasrat untuk kembali normal. Tubuh Riani terlalu sempurna dan aku tidak ingin dia menyesal melakukannya. Aku membenarkan posisi celana dalam yang merosot. Tubuhku masih menegang di dalam sana.
"Katakan sesuatu atau kita harus mengakhirinya sekarang." Aku mendesaknya. Dia meneteskan air mata.
"Aku menginginkannya," katanya lemah. "Lakukan Danu."
"Sungguh?" Aku mengusap pahanya. "Aku tidak ingin merusak satu-satunya yang kamu punya. Kamu punya suami Riani. Aku tidak ingin menjadi tempat pelampiasan."
"Aku tahu," kata Riani dia meremas lenganku. "Tapi bagaimana aku membuktikan padamu kalau aku masih tetap di sana. Kamu bukan pria brengsek Danu. Aku yakin itu."
Aku menghembuskan napas. "Kamu punya pengaman?"
Tangan Riani berusaha meraih kantong di samping kulkas. Dia berhasil menemukan sebungkus kondom dan memberikannya padaku. Aku mengambilnya lalu membuka dengan menyelipkan di antara gigi.
Tatapan kami terkunci saat aku menurunkan celana dalam dan memasang pengaman. Dia renggangkan lutut agar aku bisa lebih dekat berada di sela-sela pahanya. "Aku tidak ingin kamu menyesali setelah kita melakukannya."
Aku mencari bibirnya dan menempelkan bibirku padanya. "Sampai saja aku berada dalam tubuhmu, jujur itu adalah hal paling menjengkelkan dalam hidupku."
Aku meninggalkan kecupan sekali lagi di bibirnya. "Aku tidak menginginkan lebih dari apa pun," tambahku.
"Danu, aku tidak akan mengulangi hal ini lagi," kata Riani memberikan sedikit kelegaan dalam hidupku. "Aku akan terus memastikan bahwa aku masih ada di sana."
"Baiklah, itu melegakan." Aku memegang tengkuknya. Mengunci bibir Riani dengan bibirku. Aku mendorong tubuhku dengan gerakan kuat dan cepat. Sampai Riani berteriak di dalam mulutku.
Aku tidak ingin menghentikan gerakan ku hanya untuk sekadar bertanya apakah dia kesakitan, menyesal, atau ingin mengakhirinya sebelum aku berhasil menyelesaikan. Tidak sedetik aku melambatkan gerakan. Aku mendesak tubuhnya dengan kuat sampai tubuh kami bahkan tidak mungkin dapat lebih merapat lagi.
Riani merintih kesakitan dan aku segera melepaskan ciuman. Aku membiarkan dia membenamkan wajahnya di leherku selagi aku terus menghujam tubuhnya. Dia menahan erangan dan rintihan di leherku. Bibirnya berusaha mengecup bahu dan leherku tapi desahan tidak bisa dia hentikan.
Tubuhku terus menerobos masuk dengan kuat, liar, dan berlangsung dengan cepat. Riani mencengkram kuat lengan dan punggungku. Dia merengek tapi tidak memintaku untuk menghentikan semua ini.
Aku hampir sampai ke puncak. Aku merasakan kakiku mulai menegang. Otot-otot bokongku mulai mengeras. Aku masih bisa menahannya sampai tubuhku bergetar. Kami sama-sama mengerang, merintih, mendesis, dan mendesah. Aku hampir sampai.
Aku terus menghentakkan tubuhku masuk. Sampai rasanya aku ingin berteriak karena tidak kuat menahan. Desahan Riani membuatku semakin bergairah. Inilah akhir dari rasa menjengkelkan. Tubuhku terus menghujam masuk. Saat tubuhku mulai terasa kaku aku mencari bibirnya. Aku menciumnya kuat-kuat dan sekujur tubuhku semakin bergetar dan terkesiap. Aku mengerang hebat. Riani meremas rambutku kuat-kuat demi menahan teriakan. Tubuhku menegang sangat keras. Aku menahan diri di dalam tubuh Riani. Tidak ingin menyelesaikan.
Tubuhku masih bergetar saat kamu memutus ciuman. Aku menjatuhkan dahiku ke bahunya. "Aku minta maaf, Riani." Lututku gemetar, bokong dan pahaku mengeras. Tubuhku Riani terus menerobos masuk. Napasku terasa panas dan mulai berkeringat. Aku semakin bergairah dengan gesekan tubuh kami. Aku mengerang ketika sampai di pucak. Aku sampai mendongak merasakan kehangatan di dalam tubuh Riani.
"Kita masih di sana, Danu," kata Riani mencium pipiku dan memeluk leherku rapat-rapat. Aku menahan dinamika hentakan tidak terkendali dan merapatkan diri kuat-kuat ke tubuh Riani.
Aku mendesah saat menarik diri dari tubuh Riani. Terdengar suara "Ah" tidak sengaja keluar dariku. Dahiku membentur pintu lemari atas. Tubuhku terasa panas dan perlahan melemas. "Kita masih di sana." Riani merenggangkan lengannya dari leherku. Tubuh kami banjir keringat.
Aku menempelkan bibirku ke bibirnya sekali lagi. Lalu turun dan mengulum puncak payudaranya tidak lama lalu kembali ke bibirnya. Aku membantunya turun dari meja dapur.
"Kamu masih berhutang janji padaku," katanya lemah. Wajahnya terlihat pucat. "Masaklah sesuatu. Aku lapar."
Aku mengangguk dan kami pun berpisah. Dia menuju kamarnya sedangkan aku memungut handuk dan langsung masuk ke dalam kamar mandi. Aku berjalan dengan tubuh yang masih menegang dan pengaman masih terpasang. "Sialan," umpat ku pada diri sendiri.
BERSAMBUNG
If you're enjoying the story, please consider voting/commenting. Thanks!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top