TUJUH
[ 18.56 -- 19.24 ]
Mataku menikmati lukisan jendela di atas keran cuci piring. Lukisan berukuran kira-kira 1x1,5 meter ini terasa menyatu dengan tembok. Mulanya aku hampir tidak menyadari jika itu adalah lukisan. Tapi, aku mulai bisa merasakan sensasi baru memandang lukisan ketika mencuci piring. Serupa pemandangan yang membawaku ke tempat yang menakjubkan. Aku tidak hanya mencucikan piring sisa kentang goreng dan roti bakar. Namun juga ada piring kotor lain dan aku tidak tahu kapan terakhir itu di gunakan.
Riani baru bergabung saat aku menggosokkan spons ke piring-piring lain. "Hay, buddy!" sapanya. Dia bejalan melewati belakangku untuk menuju ke kulkas. "Aku belun sempat cuci piring kemarin malam.
"Kamu menyukai metafor?" tanyaku. Mataku berusaha mengikuti gerakannyan, birapun tanganku masih tersibukkan.
Riani menatapku sekilas. Dia begumam saat membuka pintu kulkas. "Maksudnya?"
Tanganku yang penuh dengan busa sabun menunjuk ke lukisan di depanku. "Metafora. Eksesif? Tentang melampaui sesuatu yang tidak lazim."
"Eksesif?" Riani mengeluarkan botol kaca berisi air. Dia kembali melewati punggungku sekali lagi dan berhenti di sebelah kanan tepat aku berdiri untuk mengambil gelas di dalam lemari gantung. "Impresif! Seorang ojek online menggunakan kata eksesif dalam percakapan," serunya.
Aku rasanya ingin tersenyum. Tapi dia tidak melihatku melainkan asik menuangkan air ke dalam gelas. Aku kembali menyelesaikan kegiatanku. Berusaha menutupi kesenanganku. "Kamu bermain kurang jauh. Di waktu luang aku membaca senandika. Untuk hiburan saja.... Kalau kamu bagaimana bisa mengenal kata itu?"
Dia menggelengkan kepala. "Kamu membaca senandika?!" Tatapannya meremehkan. Aku mengerutkan dahi tidak pecaya dengan ekspresinya. "Aku sering menghadiri acara kesenian daerah. Zaman dulu ketika masih bergabung di Dewan Kesenian Banyuwangi. Seniman sastra sejenis senandika atau atologi puisi juga dikemas di dalam acara itu."
"Sebutkan satu bait senandika yang pernah kamu baca," tambahnya.
Aku menghela napas. "Ini adalah kalimat yang yang terpikirkan olehku. Penulisnya anonim."
Dia memandangku dengan serius. Aku berusaha tenang demi menengingat susunan kata yang pernah kubaca pada buku prosa jalanan. "Coba dengar suara letusan yang gemar mengusikmu. Dia sedang membagi logika dan hati dalam gerhana. Demi tuduhan kepada siapa yang dibutakan dan untuk siapa yang dikacaukan. Tentang yang kau pertahankan dalam delusi lini masa meresah."
"Terpasah. Dia seperti akan tiba pada tempat yang tidak dia inginkan." Riani tidak berekspresi ketika mengatakan itu tapi aku menyetujuhi tanggapannya. "Aku tidak tahu berapa banyak senandika yang berhasil kamu baca. Tapi jujur aku suka kamu memilih yang itu."
"Bait itu selalu kuulang di kepalaku." Aku mengangguk. "Sampai saat ini aku belum bisa memecahkannya."
"Aku jadi ingat sesuatu." Wajah Riani tampak berbunga pada ingatannya tentang sesuatu hal yang sepertinya itu menarik. Dia tersenyum. "Kamu tahu suamiku menyebut lukisan ini apa?"
"Apa?" Aku menoleh ke arahnya. Aku tertarik dengan itu. Dia mengangkat gelasnya dan menumpu sikunya dengan tangan yang lain. Matanya tertuju pada lukisan. Dia menyunggingkan senyum.
"Parokial. Aku heran kenapa dia menyebut lukisan dengan ungkapan kata seperti itu." Riani akhirnya meminum air dalam gelas itu dengan tatapan kosong, kendati mengarah ke lukisan jendela. "Dia orang pertama yang melihat lukisan ini dan langsung bertanya, 'apa yang kamu pikirkan saat melukis ini?'."
Tanpa sadar kepalaku mengangguk. Baru kusadari jika suami Riani mungkin berusia lumayan jauh denganku, pula beberapa tahun di atasnya. Dari sebuah lukisan jendela tidak pernah terpikirkan kalau itu sama halnya dengan terbatas. Aku mungkin bukan pemakna ulung, tapi aku bisa tahu jika suami Riani adalah penikmat lukisan atau seniman atau kolektor yang luar biasa hebat.
"Dan kamu menjawab?" Aku mengisyaratkan dia untuk memberikan sedikit air padaku. Dia langsung bergerak.
Riani terlalu cepat membantuku minum hingga membuatku tersedak. "Maaf," katanya. Dia pun sedikit tertawa dan mengelap bibirku dengan tanganya. Aku masih ingin minum dan dia tetap memberiku minum usai aku terbatuk-batuk.
"Aku bilang, 'aku ingin melampaui batas'." Dia meletakkan gelas kosong itu di meja dapur. Lalu menghembuskan napas. "Waktu itu aku memikirkan tentang hidup dan kebebasan."
Benar dugaanku pemikiran suami Riani sungguh jauh dari batas kemampuanku. Dia bahkan menembak tepat sasaran sebelum tahu sasaran itu seperti apa. "Siapa nama suamimu?"
"Agastya. I Kadek Agastya." Saat itu aku sedang membilas tanganku. Riani mengambilkan kain lap di lemari lain di samping dia menyimpan gelas dan piring. Lalu dia memberikan kepadaku.
Aku mengeringkan tangan dengan mengusapkannya ke kain lap, kemudian kugunakan untuk membersihkan cipratan air di sekitar wastafel cuci piring. "Apa yang kamu harapkan dari kebebasan? Maksudku apa semuanya baik-baik saja, kamu dan Mas Agastya."
Dia mengangguk. Tatapannya berubah kosong. Aku berbalik dan bersandar pada meja. "Semuanya baik-baik saja."
"Secara harfiah."
Dia tertawa. "Jesus. Kamu selalu menggunakan kata itu!"
Aku tidak sedang melawak tapi tawanya menular. Aku juga ikut tertawa akhirnya. "Mulailah dari hal yang realistis."
"Tunggu, kita sedang membicarakan apa?" Dia berdiri tegak. "Kenapa arahnya menjadi serius?"
"Baiklah." Kupejamkan mata untuk menjernihkan pikiranku untuk tidak berusaha masuk dalam dunianya. "Apa yang kamu pikirkan sekarang?"
"Kamu."
"Tentangku?" Kubuka mataku dan menunjuk diriku sendiri. "Apa ini tentang bait senandika tadi?"
Dia mengangguk. "Kamu mintaku untuk berpikir realistis. Dan asal kamu tahu aku baru saja memikirkan apa yang membuat seorang pria bertahan di rumah seorang wanita yang sudah bersuami sedangkan sang suami berada jauh dari rumah?"
Aku mencondongkan tubuhku ke arahnya. Menyejajarkan bibirku dengan bibirnya. Wajah kami hanya berjarak dua jengkal. "Jadi ini cara kamu mengusirku?"
Dia melangkah beberapa langkah mundur. "Aku tidak mengusir. Aku hanya ingin tahu."
Kutarik tangannya dan tubuhnya langsung menempel denganku. Kudekatkan bibirku padanya. Waktu berjalan lambat. Dia tidak bergerak ketika aku hampir sampai menyentuh bibirnya. Aku yakin ini bukan ciuman yang berarti nantinya. Jadi aku berusaha melancarkam aksiku. Sungguh aku tidak bisa menahannya gairah ini. Entah aku yang atau dia seperti kutub magnet yang kuat dan tidak bisa di lawan.
Dia menempelkan tanganya pada bibirku saat hampir benar-benar dekat. Dia bahkan mencium tanganya sendiri. "Aku tidak bisa mencium seseorang yang belum menggosok gigi."
Riani mendorongku lalu mencubit pinggangku. "Ingat, aku sudah bersuami!" Lalu dia berbalik dan berjalan menjauh mengabaikanku.
"Kamu ingin aku menggosok gigi?" Aku berteriak dia hanya mengacungkan jempol.
Suara bel rumah berbunyi. Riani yang mulanya hendak berjalan menuju kamar kemudian membukakan pintu. Jantungku berdebar pasalnya yang kutakutkan adalah jika itu adalah suaminya. Tapi setelah kupiki-pikir lagi jika itu suaminya seharusnya tidak menekan bel. Hingga akhirnya terjawab, tetanga Riani datang untuk melayat, saat pintu rumah tebuka. Aku berdiri di ambang pintu antara ruang tamu dan dapur.
Riani menyilakan masuk semua orang. Ada lima orang dan semuanya wanita paruh baya. Mereka membawa tas dan aku membantu membawanya ke kamar. Kemudian mereka duduk-duduk. Aku juga membantu menyiapkan kursi yang aku ambil dari ruang makan, berdampingan dengan ruang tamu. Riani mengenalkanku sebagai sepupunya. Dan mereka tidak mempermasalahkan. Aku tidak bergabung dengan mereka melainkan sibuk mengeluarkan isi dari tas-tas yang dibawa Ibu-ibu tadi.
Aku tidak bisa menahan untuk tidak menguping pembicaraan mereka. Juga menyiapkan uang dua ribuan yang aku lipat membentuk segitiga. Ibuku pernah bilang seharusnya ini tidak perlu karena keluarga sudah berduka tidak perlu memikirkan soal materi. Saat itu aku berusia sebelah tahun mendapatkan amplop kematian Pamanku, tapi Riani memintaku untuk melakukannya. menggunakan uang yang kupunya, karena ini sudah kebiasaan orang Jawa. Aku juga diminta membungkusnya pada amplop kecil yang kudapatkan di laci meja kerja.
"Bagaimana ceritanya, kok bisa itu terjadi?" tanya seorang wanita yang bersuara sedikit serak.
"Saya baru tiba di indekos Susan dan sudah melihat keadaanya seperti itu." Riani suaramya terdengar lemah.
"Waduh, kamu yang sabar, yah," kata wanita bersuara serak.
"Suami di Bali apa kabar? Kata suami saya kok tadi di pemakaman tidak ada." Kali ini wanita lain bersuara renyah. "Apa masih perjalanan?"
"Gak bisa datang, di sana masih repot juga." Suara Riani bahkan tidak terdengar seperti saat berbicara denganku. Sangat lemah dan tidak bersemangat.
"Sekarang barang-barang Susan masih di sana?" tanya wanita bersuara serak. "Padahal baru beberapa bulan Susan pindah ke indekos dekat kampusnha, 'kan ya?"
"Iya, dia yang minta pindah. Padahal saya sudah berikan mobil kalau dia memang ingin tetap tinggal sini. Tapi kata dia lebih baik tidak merepotkan saya."
"Waduh, masak sama Kakak sendiri kok bilang repot," seru wanita bersuara serak.
Semua orang tertawa santai. Aku tidak tahu apa yang mereka tertawakan. Hingga percakapan pun berganti ke sekolah dari anak-anak mereka. Mereka saling bertukar cerita sampai aku tidak tahu lagi mana dan siapa yang berkata. Aku pun memutuskan untuk bergabung, meletakkan tas-tas di dekat bufet. Aku berfirasat jika Riani tidak nyaman di tengah mereka.
Mereka pun berpamitan dan beranjak dari kursi masing-masing berjalan menuju pintu. Aku dan Riani menghalau di belakangnya. Mereka mengucapkan banyak kalimat yang bebau menegarkan, tapi Riani hanya menjawab dengan terima kasih juga tersenyum. Mereka akhirnya berhasil keluar, aku menutup pintu. Tanganku merangkulnya.
Riani begitu tenang memang. Dia tidak terlihat sedih. Tapi dia begitu dingin kali ini. Aku tidak ingin dia seperti itu. Dia juga melingkarkan lengannya di pinggangku.
"Jangan pergi dulu," katanya lemah.
Aku mengangguk di atas bahunya. "Aku siap mendengar semuanya. Cukup katakan seperti apa sebenarnya perasaanmu. Aku yakin Itu bisa melegakan otakmu. Jika, kamu terus menyimpannya bisa-bisa meledak," bisikku ke telinganya seraya mengusap rambut Riani. "Bagaimana kalau kamu melukis untukku?"
Aku memegang bahunya dengan lembut menyudahi pelukan ini. "Hem?"
Dia mengangguk dan segera beranjak menuju bufet untuk mengambil keperluanya. Sedangkan aku mengambil posisi duduk di ruang tamu. Dia meletakkan botol tabung berisi kuas, palet, dan beberapa botol cat minyak di meja. Lalu dia berjalan menuju ruangan yang terhubung dengan dapur. Mengeluarkan kanvas seukuran dengan lukisan di atas wastafel cuci piring. Dia mengambil posisi duduk di kursi sebelah kiriku.
"Kenapa kamu memandangku seperti?" tuduhnya. "Tolong ambilkan bandana di nakas."
Aku langsung berdiri. Dia juga ikut juga bergerak menyiapkan cat minyak ke palet. Aku segera masuk ke kamar. Setelah mencari-cari akhirnya berhasil kutemukan. Sebuah bandana bermotif bunga bakung berwarna merah dan berlatarkan warna ungu. Saat aku kembali dia memintaku untuk memasangkannya. Setelah terpasang aku mengecup dahinya. Dia tidak mempermasalahnya.
BERSAMBUNG
If you're enjoying the story, please consider voting/commenting. Thanks!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top