TIGA PULUH TIGA

[ 10.45 -- 11.15 ]

Aku menidurkan Olivia dengan hati-hati ke atas tempat tidurnya. Bu Iwung menungguiku di ambang pintu. Kemudian saat aku menyelimuti tubuh Olivia, Bu Iwung ikut membantu.

"Sepekan ke depan saya ada di Surabaya," jelasku dengan berbisik. "Kata dokter hanya perlu istirahat. Obatnya ada di dalam tas."

"Iya, Pak Danu," kata Bu Iwung. "Bu Toni sudah kasih tahu saya. Saya dan Ibu panti yang lain akan jaga Olivia dengan baik."

"Kalau begitu saya permisi." Aku mengambil tas tanganku lalu berjalan keluar. Ternyata Bu Iwung mengikutiku di belakang.

Saat ada di ruangan depan Riani masih duduk di kursi dan tatapannya menerawang. Ada begitu banyak yang kuingin tanyakan padanya sekarang. Tapi aku tidak bisa memahami kenapa begitu banyak yang dia pikirkan sampai bisa mengubah hari-harinya menjadi terlihat lebih menyedihkan.

"Apa yang kamu lakukan?" seruku.

Riani langsung mendongak. "Tidak." Pandangannya terarah ke tas yang kubawa. "Kamu mau pergi ke Surabaya sekarang," katanya sambil berjalan mendekat. "Jam berapa sekarang." Pandangannya menyapu sesisi ruangan.

"Sepuluh-empat enam," sahut Bu Iwung. Pandangan kami terarah ke jam dinding di atas kusen pintu depan.

"Kereta kamu jam 11, ya?" tanya Riani. Jadi, seberapa banyak yang dibicarakan Kalista pada Riani. Sampai dia tahu jadwal keretaku.

"Kamu masih ingin ada di sini apa bagaimana? Aku harus segera ke stasiun." Aku mengeluarkan ponsel untuk memesan taksi online. "Kamu pulang naik apa?"

"Grab-car," jawabnya. Aku sudah berjalan ke beranda. Riani dan Bu Iwung mengikuti di belakang.

Begitu sudah terpesan aku menoleh ke Bu Iwung. "Kalau Ibu masih ada perlu di dalam tidak apa saya masih perlu menunggu taksi online datang."

"Kalau begitu saya masuk dulu, mari." Bu Iwung berbalik dan langsung masuk.

Tatapanku teralih ke Riani. "Apa?" Aku tidak pernah merasa se kesal ini berbicara dengan Riani. Sebab aku ingin sesuatu yang aman agar dia tidak kembali lagi menemuiku.

Dia berdeham. "Aku ada rencana."

Aku mendesah. Lebih terdengar sepertu keluhan. Bagus sekali sekarang dia menatapku seolah aku sedang telanjang di depannya. Menyedihkan mengingat bahwa tidak ada pekerjaa dan malah menyeretku terlibat dalam pelariannya.

"Kalau kamu mau. Kamu bisa menemui suami aku." Riani menggigit bibir bawah. "Dia tidak mencari aku melainkan pulang ke rusunawa. Beberapa menit yang lalu dia memberi kabar."

Aku menggeleng. "Apa yang harus aku lalukan di depan suami kamu?" Bertepatan dengan mobil yang kupesan berhenti di halaman depan.

"Aku yakin kalian pasti nyambung," seru Riani.

Aku turun ke halaman dengan langkah cepat. Riani berusaha mengimbangi langkahku. Saat aku membuka pintu dan bertanya kepada supir untuk mengganti arah tujuan membuatku mepertanyakan mortalitas. Membayangkan bertemu dengan suami Riani di tempat di mana aku berhubungan seks. Aku membenci situasi ini.

"Baiklah," keluhku. "Ayo, naik!"

Riani memutari belakang mobil untuk mencapai pintu sebelah kanan. Sedangkan aku sudah menyamankan diri pada sandaran kursi. Tidak lama mobil akhirnya melaju tapi perlu untuk berputar balik.

"Mengenai tadi kenapa kamu bertanya apakah aku sudah menonton film Supernova."

"Aku hanya suka adegan saat seorang anak perempuan bertanya pada ibunya apakah bahagia melihat anaknya menikah." Kata Riani. "Aku ingin bertanya soal itu ke ibuku. Tapi... Hemm."

"Orang tuaku tidak pernah membicarakan kemungkinan bagaimana aku bisa jatuh cinta, menikah, atau memiliki anak. Mereka tidak pernah memaksaku untuk memikirkan masa depan, pekerjaan, atau profit yang besar. Entah, aku nanti jadi PNS, Pebisnis, seniman sastra atau pekerja kantoran, dan orang tuaku percaya bahwa setiap anak memiliki masa depannya sendiri-sendiri."

"Sama halnya dengan setiap makhluk memiliki jalur kematiannya masing-masing." Riani mengerutkan bibir. "Itu salah satu bentuk dari masa depan, bukan?"

Aku sepakat dengan itu. "Tapi, untuk apa memikirkan kematian?"

"Bayangkan saja bagaimana aku waktu itu." yang dia katakan tidak membuatku nyawam. Karena aku tidak ingin seseorang berpikir tentang kematian daripada arti penting dari kehidupan. "Saat umurku 17 tahun, Ibuku menyebutkan tentang kematian. Maksud aku, aku baru saja merangkak untuk merencanakan masa depanku sendiri. Bagaimana cara agar aku bisa mencapai cita-cita "

"Tidak ada manusia yang siap menghadapi kematian." Aku melihat dampak kalimatku untuk Riani.

"Tidak berlaku untuk Susan." Riani menyembunyikan sesuatu sampai ekspresinya terlihat berjuang untuk bisa bernapas. "Dia yang mendatangi kematiannya sendiri."

Aku mendesah. "Kamu ingin membicarakan ini?"

Riani menggeleng.

"Baiklah, aku punya ide," Aku menoleh ke kiri. "Lihat ke luar jendela." Riani mengikuti, dia sampai mencodongkan tubuhnya mendekat ke arahku. "Pakai jendelamu sendiri."

Selama lima menit kami memandang ke luar jendela dan tidak ada percakapan sekalipun. Kami hanya diam menikmati pemandangan yang sebenarnya tidak ada sesuatu yang spesial. Hanya deretan bangunan rumah-rumah dan beberapa tempat keramaian seperti rumah makan, mini market, atau pedagang makanan pinggir jalan.

"Apa yang sebenarnya kita lakukan?" tanya Riani. Aku hanya mendesis. "Apa kita harus melakukan ini sampai di tujuan?"

Kami saling berpandangan. Kemudian aku tertawa dan dia mencibir.

Aku mengangguk. "Kesepakatan. Jangan pernah membicarakan tentang bagaimana kita betemu di depan suami kamu." Riani memejamkan mata. Dia membayangkan bagaimana itu bisa terjadi. "Kecuali, jika tidak ada aku."

"Kenapa?" Riani memiringkan kepalanya.

"Karena aku benci itu terjadi." Aku menatap ke arah depan.

"Sepakat." Riani mengusap punggung tanganku. Lebih tepatnya tanganku yang masih terasa tidak mengenakkan di sana. "Aku sendiri benci dengan hidupku."

"Aku pernah membaca buku," seruku.

"Kamu terlalu banyak membaca buku," Sergah Riani.

Aku mengabaikan karena bukan itu yang kumaksudkan. "Buku itu menulis tentang tiga poin penting dalam hubungan erat antar manusia."

Riani menatapku dengan tatapan antusias sedangkan aku hanya meliriknya. Wajahnya begitu dekat dengan. Memang posisi duduk kita cukup berdekatan.

"Tiga hal yang tidak bisa dihilangkan salah satunya." Aku mengambil jeda dengan menghela napas. Karena tiga hal inilah yang membuatku ragu dalam melanjutkan sebuah hubungan. "Cinta, Cerita, dan Harta."

"Cukup menarik." Riani mengusap tulang kering, aku mengikuti pandang pada gerakannya. Dia hanya merasakan kedinginan. "Kalau kamu bicara tentang cinta, Danu. Itu sangat rumit. Sampai kita di rusun pun itu belum juga selesai."

Aku mengangguk. "Aku yakin ini adalah pembicaraan paling membosankan yang pernah kita bahas."

Riani tertawa, dia sampai menepukkan tangan. "Aku setuju."

"Aku memaknai ungkapan cinta dengan aroma kopi. Dia bersifat menetralkan. Atau aku menyebutnya sebuah transaksi selayaknya kita membeli satu cup kopi. Kamu memberikan uang dan kamu mendapatkan kopi. Jika takaran kopi yang dibuat tidak sesuai seleramu pilihannya cuma dua kamu tetap meminumnya atau membuangnya tetapi uangmu tidak kembali." Tangan Riani berhenti bergerak di kulitku. Dia memandangku lamat-lamat. "Bukan kopi yang aku anggap cinta tapi aromanya." Aku menghela napas. "The smell of coffee is almost the same as the smell of love, because love has a taste like the enjoyment of coffee."

"Baiklah, kita perlu mampir ke toko kopi kamu." Riani menepuk pundak supir. "Pak, bisa mampir ke kafe Kuy Kaf."

"Masih searah ke rusunawa," tambahku. "Nanti saya tunjukkan kalau hampir sampai. Kalau Bapak berkenan menunggu bisa nanti saya tambahkan tagihannya."

"Baik, Mas," sahut pak supir.

"Suami aku suka sekali dengan kopi susu gula aren."

Aku menganggukkan kepala. "Kalau menurutmu?"

"Eh, kita masih melanjutkan ini?" Riani mengusap lengan bawahnya. Pandangannya menerawang solah pertanyaan ini perlu menyeberang benua untuk menemukan jawabannya. "Waktu aku umur lima belas tahun aku mendapatkan hadiah Natal dari Nenekku. Bukan sesuatu yang besar. Hanya sebuah kalung dengan bandul berbentuk kunci."

Riani mengambil napas untuk melanjutkan ceritanyan jadi aku tidak menanggapi sebelum itu. "Nenekku bilang, pintu tidak akan terbuka jika masih terkunci, dan kamu tidak akan pernah melihat sesuatu yang besar jika tetap membiarkannya terkunci. Bukalah pintu itu dan nikmati apa yang tersaji di depan sana."

Aku menggeleng. "Untuk apa kita membuka sesuatu yang seharusnya tetap terkunci. Maksudku sesuatu yang terkunci pasti menyimpan sesuatu yang rahasia..."

"Dan berharga...," tambah Riani.

"Rahasia yang berharga." Aku mengusap lubang hidungku dengan punggung jari telunjuk. "Kita tidak bisa melakukan apa pun atau ambil apa pun. Apa pun itu yang seharusnya bukan hak kita."

"Kecuali kita punya kunci itu." Riani mengusap pelipisnya ada rambut yang mengganggu pandangannya. "Sementara jika tidak, tanpa itu kita tidak akan tahu apa yang sebenarnya tersimpan di sana."

"Jadi, menurutmu cinta sama dengan kunci?" sergahku. Riani benar dengan cinta itu rumit.

"Aku tidak punya kunci untuk Susan." Ekspresi Riani kian melemah. Dia mengusap puncak kepala juga mendesah. "Aku kehilangan kunci yang seharusnya aku miliki."

"Seharusnya kamu masih punya kunci untuk suamimu." Kurangkul tubuh Riani. Dan mengusap bahunya. "Tapi riskan untuk aku gunakan."

"Riskan?" Aku memaksa tubuhnya agar menghadap ke arahku. "Apa maskudnya seperti itu?"

Riani terbungkam dan air matanya menggenang. Aku belum pernah merasakan situasi seperti ini. Aku tidak bisa membayangkan jika memang sekarang Riani sedang merasakan serangan yang bertubi untuk dirinya. Kami pernah membicarakan ini aku kira perasaannya akan berakhir tapi nyatanya tidak. Aku melewatkan satu hal, membicarakan masalahmu hanya sedikit menenangkan tapi solusi masih perlu dilakukan.

"Ini bukan tentang ki...."

"Aku tidak tahu. Hanya kembali kepadamu adalah tempat aman bagiku." Riani mengusap panggal matanya untuk menghapus air mata. "Danu, dia pria yang baik. Sangat baik kepadaku. Terkadang dia memang tidak seperti itu, maksudku secara verbal. Tapi...."

"Aku benci perasaan," lanjutku. Riani tidak menunjukkan penyangkalan.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku." Senyum meneroka tapi tatapannya kosong. "Suamiku mungkin akan mengerti situasi antara kita. Tapi aku tidak bisa menemukan alasan yang cukup kuat agar Mas Agastya menerima aku kembali. Dan aku tidak cukup kuat merahasiakan kita, di sanalah cinta itu berada."

Aku tanganku merosot dari punggung Riani. Ini tidak benar. Aku sudah berusaha keras mengakhiri ini. Aku bahkan sudah melupakan apa yang telah terjadi kepada kami. Dan rasanya Riani sudah tidaj berada di batas. Apa ini sebuah pengakuan atau apalah aku tidak ingin berada di dalam sana.

"Seperti kataku tadi." Aku mengatur posisi duduk dengan menjaga jarak. Kali ini aku berboacra dengan cukup pelan. "Kamu punya cinta untuknya, kamu tidak pernah bermasalah soal harta dengannya, hanya saja kamu tidak cukup yakin dengan cerita. Jangan membuatku bingung Riani. Hati kamu untuk suamimu. Kita akan jalani hidup kita masing-masing. Kita masih ada waktu untuk itu."

"Aku kurang sepedapat dengan itu." Riani menggeleng. Aku tidak memahami maksudnya. Riani memejamkan mata dan dia menunduk. Air matanya berderai. "Aku sepakat cukup dengan satu kata untuk menjalin hubungan, yaitu kesempatan. Jika satu hal itu telah hilang maka berakhir sudah. Seperti aku dan Susan."

Aku menangkup wajahku. Ini terlalu rumit. Tanganku mengusap sampai ke puncak kepala dan berakhir di tengkuk. "Baiklah, kita rehat dari masalah itu sejenak."

Tanganku meraih wajah Riani dan mengusap air matanya dengan segera. Riani hanya meneteskan air mata sedangkan sikapnya begitu tenang. Aku berharap caraku yang ini memberikan kedamaian.

"Jika ada kesempatan untuk kamu kembali ke masa saat umurmu 17 tahun. Kamu akan memilih pria seperti apa?" Aku sengaja tidak menatap ke arahnya untuk membiarkan dia untuk berpikir jernih menjawabnya. Aku tidak ingin ada hal lain yang mempengaruhinya.

"Ibarat seperti ini. Kamu kan memaknai penikahan sebagai kata tersesat," tambahku.

Riani langsung menyergah, "Bukan pernikahan yang aku maknai tersesat. Bukan seperti itu yang aku maksdukan." Riani mengambil jeda kalimatnya dengan menarik napas. "Dalam artian tersesat yang aku maksud adalah ketika kamu dianggap seseorang spesial tapi kamu sendiri tidak merasakan bahwa dirimu spesial."

"Sebentar." Tanganku mengarah padanya. "Aku ingin menyimpulkan. Jadi, kamu kehilangan rasa percaya dirimu ketika ada seorang yang menyatakan perasaannya padamu? Dan itu yang membuatmu menerimanya sehingga tidak ada kesempatan untuk memilih."

"Tepat." Jari telunjuk Riani terajung keudara. "Itulah kenapa aku menganggap bahwa kesempatan adalah sesuatu hal yang krusial."

"Baiklah." Aku mendesis. "Sekarang ibaratkan kamu tersesat di dalam hutan penuh dengan lelaki. Dan kamu akan memilih pria seperti apa untuk menemanimu keluar dari hutan itu?"

Riani menggeleng. "Bukan pria yang brengsek."

"Lebih spesifik lagi." Desakku.

Dia mendesah juga menyandarkan punggung. Pandangannya terarah ke luar mobil. Saat Riani sedang berpikir aku menunjukkan tempat seharusnya mobil berhenti. Yaitu di area parkir lade Kuy Kaf, milikku dan patner kerja.

"Hubungi suamimu kalau kamu akan pulang," kataku sebelum akhirnya mobil berhenti. Aku langsung segera membuka pintu. "Kamu pesan apa?"

"Sama seperti kemarin sore," jawabnya dengan hanya menoleh dan tetap bersandar.

Aku mengangguk dan segera turun. Aku juga ingat pesanan untuk suaminya Riani. Jadi, aku segera masuk dan menuju ke area staff only.

BERSAMBUNG

If you're enjoying the story, please consider voting/commenting. Thanks!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top