TIGA PULUH SEMBILAN
[ DUA HARI SETELAHNYA ]
Ibu masuk ke kamarku saat aku usai bertelepon dengan Kalista. Beliau membawa minyak urut, dan obat luka. Aku baru menyadari kalau ujung-ujung pangkal jari sedikit terbaret. Aku langsung mengubah posisi duduk di sandaran tempat tidur dengan kaki terbalut selimut. Aku meletakkan ponsel di atas meja belajar. Tidak jauh dari tempat tidur.
"Ibu lihat dua hari ini kamu sering kesusahan menggunakan tangan kanan." Ibu duduk di pinggir tempat tidur, di posisi sebelah tubuhku. "Coba Ibu lihat."
Aku menunjukkan tangan kananku. Beberapa luka ada yang mulai mengering dan yang lain masih terlihat basah karena kegiatan baru. Pergelangan tanganku juga terlihat merah tapi bengkaknya jauh lebih baik terakhir diobati oleh Riani.
"Kamu habis pukuli siapa?" Ibu menekan-nekan bagian di sekitar area yang memerah. "Kenapa bisa seperti ini?"
"Cidera karena olahraga," dustaku. Karena setelah dipikir-pikir tidak etis kalau aku menceritakan telah memukul si keparat yang telah menelantarkan kedua putrinya.
Ibu mulai mengoleskan obat luka ke setiap pangkal jari. "Adikmu Dini, itu katanya cuma sehari di Solo. Sampai hari ini kok belum pulang. Ibu khawatir, Danu."
"Dini lagi di kereta perjalan pulang, Bu," sahutku. "Bukannya tadi Danu sudah kasih tahu Ibu? Lagipula sebelum berangkat Dini juga bilang kalau menginap sehari di sana."
"Ayah kamu ngedumel terus," aku menghembuskan napas melalui mulut mendengar perkataan Ibu. "Sudah enak-enak kuliah di Surabaya. Malah ambil magang di Solo. Kalau di Surabaya kan enak gak perlu nambah biaya buat sewa indekos, atau biaya lain-lainnya."
"Ibu masih ingat 'kan saat Danu ke Banyuwangi. Ibu rela cari hutangan. Sekarang 'kan ada Danu yang bisa bantu adik-adik," tegurku. "Ibu gak usah khawatir. Dini bilang ke Danu kalau dia ke sana bersama dua teman laki-lakimya. Pasti mereka yang jagain. Kuga ada tiga teman perempuannya."
"Orang tua mana yang tidak khawatir anaknya yang ada di luar kota."
Tidak berlaku untuk si keparat Rifan, batinku.
"Apa lagi kalau punya anak perempuan. Ibu bingung kenapa juga harus pilih tempat magang jauh-jauh. Itu 'kan cuma magang, apa di Surabaya tidak ada yang lebih bagus daripada di Solo?" Aku hanya manggut-manggut mendengarkan. Ibu terus saja mengalihkan omonganku. "Ibu tidak apa-apa kalau Dini ke Solo, tapi Ayah kamu yang khawatir, bagaimana kalau nanti lama kelamaan jadi kerja di sana, bagaimana?"
"Ibu juga ingat 'kan saat Danu pergi ke Banyuwangi," bujukku. "Sama, Dini juga punya hak untuk mengejar cita-citanya. Selagi ada jalan kenapa harus ditolak? Dini akan baik-baik saja. Percaya sama Danu."
"Dulu, waktu kalian masih kecil selalu nurut apa kata orang tua." Kali ini pijatan Ibu sedikit menyakitkan aku sampai melirih menahan sakit. "Sekarang begitu sudah besar makin susah di atur."
Aku tertawa. "Ibu hanya perlu berdoa yang terbaik untuk anak-anaknya. Ibu dulu dukung Danu ke Banyuwangi. Seharusnya Dini juga punya kesempatan yang sama, bukan?"
Ibu mendesah. "Yasudah." Ibu akhirnya menyudahi memijat tanganku. "Bagaimana pekerjaan kamu di sana. Beres 'kan?"
Aku mengangguk. "Ya, tidak ada masalah. Masih ditempat yang dulu. Danu juga ikut bergabung bisnis kedai kopi."
Ibu tersenyum. "Dari awal kamu datang langsung masuk ke kamar, terus tidur, keluar kamar cuma makan terus kembali lagi, tidur lagi. Ibu takutnya ada masalah di Banyuwangi. Makanya kamu pulang."
"Akhir-akhir ini aku sering kurang tidur." Aku mendesis. "Tapi semuanya baik-baik saja. Danu cuma mau ambil cuti sepekan, setelah itu kembali lagi. Karena besok Natal Danu gak bisa pulang seperti tahu lalu."
"Pacar kamu sehat?" tanya Ibu.
"Yang mana?" Aku meringis. Karena aku tidak pernah bercerita tentang kisah asmaraku. Kecula pernah suatu waktu, ketika malam Natal, aku berkumpul dengan keluarga Arestia. Ibu menelepon dan saat itulah beliau mengenal Arestia.
"Loh, sudah ganti. Bukannya cuma ada satu, Arestia?" Ibu tertawa. Aku ikut tertawa juga mengangguk. "Ada fotonya? Coba mana, Ibu ingin lihat."
Aku mengambil ponselku. Aku tidak ingat apakah menyimpan foto Kalista atau tidak. Aku bahkan masih mencari-cari Ibu sudah berusaha menengok.
"Itu foto anak kecil siapa, Nak?" tanya Ibu menghentikan gerakan jariku ketika menggulirkan tampilan layar.
"Ini Olivia," jawabku. "Danu berencana mengadopsi dia setelah menikah."
Kami sama-sama memandang foto itu. Layar ponselku menampakkan Olivia ketika sedang membuka kado Natal pertamanya, yang sudah aku siapkan sebelumnya. Saat itu aku mengabadikan karena baru kali pertama melihat wajah bahagia terpancar di wajah Olivia yang masih berusia tiga tahun. Kejadiannya di ruangan depan panti bersama anak-anak panti yang lain juga Papanya Olivia ikut hadir.
"Bagaimana ceritanya kamu bisa mengenal anak ini?" Ibu mengambil alih ponselku. Dia tersenyum saat jemarinya berusaha memperbesar wajah Olivia. "Cantiknya. Umur berapa dia sekarang?"
"Empat tahun. Dia kemarin baru sakit, Bu. Sebelum aku balik ke Surabaya aku sempatkan untuk mengantar Olivia ke Puskesmas."
"Waduh, sekarang sudah sembuh, 'kan?" Ekspresi Ibu berubah cemas juga penasaran.
"Puji Tuhan. Kemarin aku dapat kabar dari Ibu panti Olivia sudah ceria lagi. Sudah punya semangat lagu untuk bermain boneka baru yang Danu belikan dengan teman-temannya."
Aku akhirnya menceritakan kejadian saat aku bertemu dengan Ally. Bahkan sampai ketika membawa ke panti asuhan bersama ibu-ibu warga yang tinggal di sekitar lingkungan tempat tinggal Ally. Ibu tersenyum ketika mendengar akhir ceritanya ketika aku menyebutkan orang tua kandung Olivia, Antonio, mengizinkan aku untuk mengadopsinya.
"Semoga Tuhan memberkati." Ibu menepuk pundakku.
"Terima kasih, Bu," jawabku.
Ibu mengembalikan ponselku. Tanpa berpikir panjang aku langsung berpindah ke aplikasi Instagram, mencari akun Kalista dan menunjukan pada Ibu. Ini adalah cara termudah.
"Namanya Kalista," seruku. "Kami sudah berencana mengangsur rumah di Banyuwangi."
Wajah Ibu tampak berseri-seri. "Ibu bangga sama kamu. Terus pacar kamu yang lama ke mana?"
Aku tertawa. Ternyata Ibu masih penasaran dengan ceritaku yang itu. "Dia sudah menikah, Bu. Sekarang dia pindah ke Jakarta."
"Oalah." Ibu manggut-manggut. "Terus dengan pacar kamu yang ini, kamu ada pikiran untuk menikah dengannya?"
Sebelum aku menjawab Ibu sudah memberiku pertanyaan lain. "Umur kamu sekarang berapa, toh, Le?"
"Umurku baru 24."
"Wah, kalau begitu pas." Ibu menepuk pahaku. "Tahun depan umur kamu 25. Kamu bisa menikah."
Aku mengangguk. Sebenarnya tidak pernah terbesit untuk menikah di waktu dekat tapi aku mengupayakan pasti akan menikahi Kalista.
"Gak, kayak Mas kamu. Lulus kuliah langsung buru-buru ingin menikah. Dan sekarang kelimpungan gak karuan. Apalagi sekaranh sudah punya anak dua."
Aku mendesis. "Ibu bagaimana? Apa Ibu bahagia melihat Danu menikah nanti?" Terlalu riskan untuk menanyakan ini. Tapi aku merasa banyak tekanan ketika Mas Dhani menikah dulu. Aku tidak ingin itu terjadi lagi.
"Bahagia, sangat bahagia." Tapi mata Ibu mengisyaratkan berbeda. "Ibu bahagia, kalau anak-anak Ibu sukses."
"Ibu gak ingin buka warung makan? Seperti yang Ibu cita-citakan dulu." Aku memegang tangan Ibu yang kasar dan dingin. "Danu bisa bantu modal."
"Simpan untuk pernikahan kamu, untuk Olivia, untuk rumah tangga kamu." Air mata Ibu menggenang. Aku tidak menyangka kalau percakapan ini bisa menjadi begitu emosional. "Katanya kamu mau mengangsur rumah. Ibu baik-baik saja. Ibu ingin menikmati masa tua Ibu melihat anak-anak Ibu sukses."
Aku memeluk Ibu. Tidak tahu rasanya aku ingin tetap memeluknya seperti ini. Aku tidak menduga demikian bahwa Ibu akan meneteskan air mata. Ibu memegang kedua bahuku lalu kami menyudahi pelukan ini.
"Sekali-kali kamu ajak Kalista ke Surabaya." Aku meraih obat luka dan minyak urut dari atas kasur. "Dulu waktu pacaran sama Arestia, gak pernah kamu bawa ke rumah."
"Ibu saja yang ke sana."
"Kalau hanya Ibu yang ke sana juga Ayah kamu gak bakal setuju." Tangan Ibu mengusap lututku. "Pasti harus ajak Adik-adik."
"Boleh, nanti Danu bisa belikan tiket."
"Kamu itu kayak gak kenal Ayah kamu saja." Ibu langsung berdiri. "Harga tiket kereta ke Banyuwangi 'kan mahal. Ayah juga gak mau merepotkan kamu. Lebih baik dua orang ke sini daripada empat orang ke sana."
Aku mengangguk.
"Nanti Dini minta jemput atau bagaimana?"
"Nebeng temannya katanya."
Ibu mengangguk. Lalu beliau berjalan keluar kamar. Aku meletakkan ponsel ke meja belajar. Lalu mengambil posisi untuk tidur.
Tidak tahu kapan itu terjadi. Aku sudah terlelap dalam tidur. Tiba-tiba aku terbangun dan mendengar suara ponselku bergetar di atas meja belajar. Aku segera mengambilnya. Kukira itu dari Dini, namun yang tertera adalah deretan nomor disertai foto bergambar Riani.
Aku segera menerima telepon itu. "Halo, Riani?"
"Danu," suara Riani terdengar lirih dan dia sesenggukan. Aku langsung bangkit dan terduduk.
"Ada apa?" sergahku kelewat cemas. Riani tidak segera menjawab. "Riani ada apa?"
"Mas Agastya," jawabnya. "Danu dia tahu kita melakukan itu."
"Hei!" Aku mendengar suara ledakkan di kepalaku. "Bagaimana bisa? Astaga, Riani. Aku harus apa?"
"Mas Agastya tidak mau berbicara denganku," Riani berusaha mengatur napasnya yang sesenggukan ketika mengatakannya. "Danu, aku takut."
Aku mengusap wajahku. Mataku terasa perih. Desakan tidak mengenakan menjalar ke setiap pembuluh darahku. Aku cemas dan perasaan ini tidak karuan. "Riani bagaimana bisa?"
Kalau saja kita di kota yang sama aku pasti akan mendatanginya. Riani tidak menjawab. "Sekarang kamu di mana?"
"Aku di Bali, di rumah orang tua Mas Agastya." Aku mendesis berusaha mengatur napas.
"Riani," panggilku. "Kamu di sana?"
"Iya," jawabnya.
"Di mana suami kamu?" Aku harus lakukan. Tidak mungkin aku pergi ke Bali sekarang juga. "Aku akan bicara dengan suami kamu."
"Bagaimana?" desakku karena Riani tidak kunjung merespon. "Aku yang akan jelaskan ke dia."
"Mas Agastya ada di kamarnya." Riani terpekik. "Dia tidak ingin bicara denganku."
"Berikan saja ponselmu!" Jantungku berdetak kencang. Napasku semakin lama semakin menggebu-gebu. Aku mengkhawatirkan Riani. Aku mencemaskan dia.
"Riani?" panggilku. Riani tidak merespon tapi aku mendengar suara ketukan pintu.
BERSAMBUNG
If you're enjoying the story, please consider voting/commenting. Thanks
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top