TIGA PULUH SATU
[ 09.22 -- 10.06 ]
Kudorong pintu kaca McDonald sambil menggandeng tangan Olivia. Kupandangi dia lantas mengusap puncak kepalanya dengan tanganku yang masih terasa tidak nyaman, sambil berjalan masuk menuju antrian di depan kasir. Olivia memiliki rambut hitam bergelombang mirip dengan ibunya, hanya saja belum sepanjang itu. Aku berjongkok ketika sampai di deretan terakhir antrian.
"Bawa kuncir rambut?" tanyaku, wajah Olivia tampak tidak bersemangat. Dia mengangguk tapi juga memelukku untuk menyandarkan kepalanya di bahuku. "Di mana? Di dalam tas?" sebelum Olivia menjawab aku sudah menurunkan tas dari punggung lalu membukanya. Tas kecil bergambar Princess Sofia yang diberi Bu Iwung sebelum berangkat ke puskesmas.
Isi tas itu ada botol minum, boneka kelinci hadiah Natal tahun lalu, dan satu kotak kecil berisi karet kuncir serta kantong obat dari puskesmas. Aku mengambil kotak itu dan membukanya.
"Mau warna apa?" Olivia hanya menoleh sekilas lalu kembali ke posisi semula. Aku akhirnya memutuskan untuk mengambil warna ungu sesuai dengan warna jaketnya.
Saat aku hendak menguncir rambutnya, Olivia merengek, juga antrian yang semakin maju. Kututup kotak dan menyimpan tas lalu menutup resleting. Olivia masih dalam posisi ketika aku menyangklong tas. Aku menghela napas, juga menahan rasa sakit di pergelangan tangan lalu aku mengangkat tubuh Olivia.
Kami maju semakin dekat dengan kasir. Aku menanyakan apa yang ingin di pesan Olivia dia hanya bilang ingin memakan ayam dan scrumble egg, dia menyebutnya dengan dadar mekdi. Olivia juga menunjuk mainan, kali ini seri mainannya dari kartun We Bare Bears. Aku mengiakan sedangkan Olivia kembali mendekap di leherku.
Sampai akhirnya kami sampai di meja kasir, aku langsung memesan sesuai keinginannya. Olivia tidak ingin turun dari gendongan. Dia tetap dalam posisi selagi kami menunggu makanan siap. Dengan susah payah tanganku terlalu sibuk tangan kanan merangkul gendongan sedangkan tangan kiri membawa nampan.
Kami sempat kesusahan mencari tempat sampai akhirnya ada satu tempat di samping sepasang pemuda. Seharusnya memang digunakan untuk berempat, jadi aku langsung mendatangi mereka dan meminta izin untuk berbagi tempat. Beruntung mereka tidak keberatan. Bahkan si lelaki memilih pindah duduk di samping si perempuan. Aku meletakkan nampan berisi makanan ke meja juga menurunkan tas bergambar Sofia ke kursi.
Aku meminta tolong ke dua pemuda itu untuk menjaga makanan dan tas selagi kami pergi ke tempat cuci tangan. Mereka tersenyum ramah dan mengangguk. Aku yakin mereka pasti masih anak kuliah, karena mereka membawa tas ransel. Dan di jam sibuk seperti ini jika mereka pelajar pasti memakai seragam dan bukan pakaian semi-formal.
Ketika kami berjalan menuju tempat cuci tangan, Olivia tidak lagi mendekap di leherku. Dia ingin turun dan lalu berjalan dengan malas menuju wastafel. Saat Olivia sedang membasuh tangannya aku tersibukkan mengucir rambutnya. Bukan orang ulung tapi hasil mengamati Bu Iwung dan Bu Toni dulu ketika menguncir rambut anak-anak, paling tidak hasilnya tidak mengecewakan.
Setelah itu kami kembali ke meja. Olivia memanjat kursi tanpa kesulitan, biarpun aku juga memegangi kursi agar tidak bergeser. Baru kemudian aku menyiapkan makan untuk Olivia dan juga untukku. Aku hanya memesan burger dan air putih. Untuk lebih simpel dan cepat, karena aku tahu Olivia tidak akan bertahan lama untuk makan sendiri.
Aku menggigit burger sambil melirik ke arah gadis kecil di sebelahku ini yang sedang bermain hadiah dari Happy Meal. "Mainannya nanti dulu. Makan dulu, sayang," kataku setelah berhasil menelan. "Olivia?"
Olivia hanya mengerang. Aku memutuskan untuk menyuapinya, kuletakkan burgerku. Aku mengambil alih piring kertas dan segera bertindak. Olivia membuka mulut ketika tanganku menyodorkan sesuap nasi dan potongan kecil ayam di dekat mulutnya. Lalu aku berganti mengigit burger selagi menunggu Olivia mengunyah.
Sampai akhirnya burgerku habis, dan Olivia sudah tidak ingin melanjutkan makan nasi dan ayam dan memilih menghabiskan dadar mekdi. Dia selalu melakukan itu setiap kami pergi makan ke McD. Sengaja tidak memakan scrumble egg ketika menyantap nasi dan ayam dan akan menghabiskan setelah mulai terasa tidak tertarik dengan ayam dan nasi lagi.
Selagi itu aku berpamitan untuk mencuci tangan lebih dulu. Sekali lagi aku harus merepotkan dua pemuda di depanku yang sejak tadi asik berbincang-bincang. Dan beruntungnya aku mereka juga tidak segera ingin pergi dari McD, jadi mereka mengiakan.
Saat aku kembali Olivia sudah menghabiskan scrumbel eggnya. Aku ambil tisu dan membersihkan ingus di atas bibirnya. Olivia berusaha menghindar, dia tampak tidak nyaman tapi aku berhasil melakukannya.
"Kamu berani cuci tangan sendiri?" kataku sambil kembali duduk.
Olivia mengangguk dan dia segera turun dari kursi lalu berlari menuju tempat cuci tangan.
"Jangan lari, sayang," teriakku. Olivia tidak menghiraukan. Dan dia berbelok dan menghilang.
"Sendirian saja, Mas?" tanya si pemuda lelaki itu. "Ibunya ke mana?"
"Iya," jawabku. Aku tidak bisa menjawab ke mana Ibu Olivia. Karena buat apa juga aku bercerita kepada mereka. Sehingga aku mengalihkan pembicaraan menjadi. "Dari puskesmas terus mampir ke sini."
"Loh, sakit apa?" sahut si perempuan.
"Demam biasa, habis main air sorenya terus malamnya demam."
"Namanya siapa, Mas?"
"Olivia," jawabku.
Aku menoleh ke arah belokan tempat cuci tangan. Olivia terlihat sedang mengusap tangannya ke jaket. Aku mengambil sehelai tisu baru bersiap membersihan ingusnya sekali lagi.
Olivia tidak memanjat kursinya tapi dia meminta agar aku menggendongnya. Kulakukan setelah aku berhasil membersihkan ingusnya. Baru kemudian kupangku dan dan memberinya mainan hadiah. Selagi itu aku mengeluarkan ponsel untuk memesan taksi online.
"Kami duluan ya, Mas!" seru si lelaki sambil memundurkan kursi lalu berdiri.
Sedangkan si perempuan menyempatkan untuk mencolek dagu Olivia. "Cepat sembuh, ya!"
"Terima kasih," jawabku sambil menoleh ke arah Olivia agar dia menirukan kalimatku.
"Terima kasih," kata Olivia lemah.
Mereka langsung berjalan menuju pintu depan. Ketika itu aku sudah selesai memesan taksi online. Olivia duduk dengan malas di dadaku. Aku memegang dagunya yang masih terasa panas, tetapi tidak separah tadi pagi.
"Minum obat, ya?" bujukku. Olivia menggeleng. Aku mendesis. "Dengarkan ayah."
Olivia hanya memandang diam kearah mainan barunya. Dia tidak melihat ke arahku. Aku mengurai rambut halus di sekitar dahi Olivia.
"Ayah nanti ke Surabaya. Itu sangat jauh dari rumah. Jadi, selama ayah di sana Olivia harus rajin minum obat." Aku tidak sadarkan bahwa mungkin Olivia tidak bisa mencerna kalimatku. Tapi kubiarkan dia membenamkan wajahnya ke dadaku. "Olivia harus nurut sama Bu Toni dan Bu Iwung. Janji?"
"Ayah, boneka barbie?" rengeknya. Membuatku teringat bahwa aku menjanjikan boneka barbie.
"Oke, nanti kita mampir untuk membeli bonek barbei." Aku mendesah. "Tapi janji dulu sama Ayah selama Ayah pergi Olivia harus menurut sesuai kata Bu Toni dan Bu Iwung. Kalau waktunya minum obat harus minum obat. Mengert?"
Olivia tidak merespon.
"Olivia dengar kata Ayah tidak?" Aku mengusap lengannya.
"Ayah gak boleh pergi." Olivia kembali merengek. "Oliv mau tidur sama Ayah."
"Baiklah nanti Olivia tidur sama Ayah."
"Ayah janji?" Olivia mendongak. Dan menempelkan tangannya ke pipiku.
"Ya. Janji." Aku meraih tangan Olivia dan mengusap telapak tangannya dengan ibu jari.
Ponselku berdering. Aku kira dari sopir taksi online, ternyata Riani mencoba menghubungiku. Ini adalah kelima kalinya dia mencoba menghubungiku. Aku bisa mengenali nomornya dari foto profil yang tampak ketika dia menghubungiku melalui WhatsApp. Dan kesekian kalinya aku mengabaikan.
Selebihnya aku hanya ingin memutus keadaan yang semakin rumit antara aku dengannya. Dan aku tidak ingin semakin memperparah keadaan. Secara jujur bisa kukatakan aku tidak tega dengan keadaanya. Dia kehilangan banyak orang dalam hidupnya dan kehadiranku yang semakin dalam untuknya akan terhitung sebagai rasa kehilangan yang menanti di depan sana. Dan sudah saatnya dia memilih sesuatu yang benar. Menerima kepergianku dan kembali kepada suaminya. Memperbaiki sesuatu yang seharusnya aku tidak terlinat di dalamnya.
Kuletakkan ponselku di meja dan dengan susah payah mengambil tas di sandaran kursi karena harus memegangi Olivia. Olivia hanya mengerang saat aku mengeluatkan kantong obat.
"Sudah waktunya minum obat sayang." Aku mengangkat tubuh Olivia dan mendudukan di kursi lain. "Oke?"
Olivia menggeleng.
"Olivia, minum obat dulu, ya?" bujukku. Dia malah merengek. Sudah kuduga hasilnya akan seperti ini. Aku berniat meminta minum obat agar sepanjang perjalanan pulang dia tertidur.
Aku mengambil botol obat, kusempatkan membaca petunjuk aturan konsumsi untuk anak usia empat tahu. Lalu kutuangkan dengan hati-hati pada sendok takar. Lalu aku meletakkan botol obat di samping ponselku dan mengarahkan sendok ke mulut Olivia.
Dia merengek dan langsung menangis. Aku sadar jika beberapa orang memandangiku, tapi aku mengabaikan. Karena ini pernah terjadi sebelumnya. Saat malam tahun baru, Olivia terkena sakit batuk. Aku memaksanya minum obat saat sedang duduk-duduk di depan minimarket. Aku sempat menumpahkan botol obatnya saat itu. Sehingga pekerjaanku bertambah bukan hanya menenangkan Olivia yang menangis tetapi juga membersihkan tumpahan cairan obat di lantai dengan tisu.
Hingga akhirnya aku berhasil memasukkan obat ke dalam mulut Olivia. Tapi bayarannya dia menangis dengan sangat keras. Sebelum orang merasa tertanggu aku segera berkemas dan kugendong Olivia keluar dari McD.
Olivia masih terisak bahkan ketika kami sampai di pinggir jalan menunggu taksi online datang. Dan beruntung sekitar semenit ponselku berdering dari sopir taksi yang kupesan. Aku menjelaskan lokasiku saat ini. Warna pakaian
nku, biru tua, bercelana hitam dan aku juga menyebutkan sedang menggedong anak perempuan berjaket ungu. Butuh sekitar dua menit akhirnya sopir berhasil menemukan.
Aku masih berusaha menenangkan Olivia yang masih terisak-isak. Air matanya terus menetes ketika kami masuk ke kursi penumpang. Aku menyimpan ponselku ke dalam tas dalam posisi masih memangku Olivia.
"Kita mampir toko boneka terdekat yah, Pak?" pintaku juga berharap Olivia segera mereda dari tangisnya.
"Iya, Pak," sahut pak supir. Aku hampir mengabaikannya karena terlalu sibuk dengan Olivia.
"Minum obatnya kan sudah. Kok masih menangis?" Aku menawarinya minum. Dia menggeleng. "Biar rasa obatnya hilang."
Setelah banyak bujukam dan rayuan akhirnya Olivia sudah teratasi. Dia mau minum air. Setelah itu dia meminta untuk memutarkan video serial kartun We Bare Bear. Sepertinya dia dalam euforia mainan baru. Sempat aku mengira dia akan meminta Sofia The First. Hingga akhirnya aku mengeluarkan ponselku dan mencarinya di youtube. Olivia mau duduk dan memegang ponselnya sendiri tapi tetap saja dia dalam rangkulanku, sedangkan kepalanya bersandar di badanku.
Aku menghembuskan napas lega. Lalu mengarahkan pandangan keluar mobil. Pikiranku terasa tenang setelah itu. Tersadar ternyata menenangkan Olivia membuat peluh bercucuran di dahi. Aku mengambil minum sisa dari McD lalu meneguknya sampai habis.
Aku menghembuskan napas penuh kelegaan sekali lagi.
BERSAMBUNG
If you're enjoying the story, please consider voting/commenting. Thanks!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top