TIGA PULUH LIMA
[ 12.27 -- 13.47 ]
Riani menatapku dengan ekspresi hampa. Setelah makan siang tanpa pembicaraan apa pun, cara Riani memandangku tidak menimbulkan makna yang berarti. Aku membaca matanya tapi dia malah menggeleng. Baru kusadarai bahwa aku terlalu lama memperhatikannya, aku sampai lupa kalau ada Pak Agastya di sekitar kami.
Aku berdiri seraya membereskan meja. Riani ikut bergerak sedangkan Pak Agastya berdiri untuk berjalan menuju kamar. Aku membawa beberapa wadah rantang dan Riani menumpuk piring kotor. Ketika aku kembali ke meja makan, Pak Agastya baru saja keluar dari kamar membawa bolpoin dan selembar kertas.
"Mungkin kamu bisa memulai?" Pak Agastya meletakkan dua benda itu di meja ketika Riani mengambil mangkok nasi. "Kami akan meninggalkan kamu di sini." Dia bergabung dengan Riani untuk mencuci piring.
Aku benci kebimbangan ini. Seharusnya aku tidak datang lagi ke rumah ini. Aku tidak suka desakan untuk bertahan di samping Riani. Aku masih berdiri berusaha mengumpulkan nait untuk meninggalkan rumah ini. Aku tidak tahu apa yang harus aku tulis. Aku hanya berdiri. Kupandang Riani dan Pak Agastya sedang asik memunggungiku mencuci piring. Riani membilas rantang yang sudah dibuang oleh Pak Agastya sisa makanannya ke kantong sampah.
Sepertinya aku merasa hidup dalam masa lalu. Tepat di meja samping Pak Agastya berdiri di sanalah aku melakukan hal gila dengan Riani. Jika saja lukisan jendela itu bisa bicara pasti dia sudah menceritakan pada Pak Agastya. Aku tahu aku harus pergi dari sini tapi aku tidak punya tekad sebesar itu untuk pergi dalam diam. Detik tiap detik berlalu aku masih tidak menemukan kata-kata yang tepat untuk mengekspresikan diriku pada selemabar kertas berisi senandika, aku tidak kuasa menghalau pikiranku untuk tidak mengingat kejadian yang aku lakukan di rumah ini, yang menjadi saksi bisu keburukan, atau kejahatan personal, pikiranku membawaku pada lintasan waktu memalukan.
Aku menghela napas. Kucoba untuk menarik kursi dan bergerak melambat untuk duduk. Kupastikan benar bahwa tidak ada kalimat yang terangkai dalam pikiranku untuk mengubahnya sebagai tulisan senandika. Atau sebenarnya aku merasa tertekan jika saja aku menulis tentang Riani atau perasaanku untuknya, itu tidak akan berjalan baik. Riani menoleh ke arahku, dia melemparkan senyum tipis padaku saat Pak Agastya lengah. Sejak aku mendengar kisah pernikahannya, yang kurasakan adalah sebuah pengkhianatan. Dan benar kata Pak Agastya mengenai lukisan Nara Senja, itu alasan yang cukup kuat untuk mengatakan desersi. Padahal lukisan itu tercipta sebelum aku dan Riani berhubungan seks.
Sekarang, ketika kucoba mencermati sekeliling. Tempat ini tidak lebih dari sangsi menghambatku untuk berpikir jernih menuju kedewasaan. Meski secuil aku tetap tidak bisa menyangkal bahwa masalah ini akan menghancurkan rumah tangga Riani. Sudah kulalukan sebelumnya untuk menghindar dari rumah ini, termasuk Riani. Tapi dia yang mendatangiku. Siapa juga yang bisa menolak seseorang dengan tatapan memikat itu.
Mataku mondar-mandir di sepanjang ruang tamu. Mencerna situasi dan berusaha sekeras mungkin untuk tidak menampakkan kegelisahan. Kucoba untuk mencari solusi bahwa senandikaku akan mengubah keadaan untuk Riani menghadapi hari demi hari berikutnya. Aku menghela napas. Kuraih bolpoin dan kumulai kata demi kata yang kurangkai sedemikian rupa. Bukan pemilihan diksi yang rumit. Sepatutnya kuhanya ingin sesagala sesuatunya berakhir dengan baik.
"Saya lupa kalau kalian tadi datang membawa kopi." Pak Agastya mendatango meja ruang tamu. Aku hanya menoleh. Dia menyajikan satu untukku. Dia melirik ke kertas, hanya beberapa kalimat yang berhasil kutulis. "Lakukan seperti biasanya kamu lakukan. Kamu bisa masuk ke kamar atau keluar rusun. Barangkali kamu berlu udara segar." Lalu dia membawanya dua cup ke dapur.
Aku menusukkan sedotan ke atas cup. Kuminum sampai setengah gelas. Saat kafein mulai membersihkan pikiran. Aku akhirnya bisa memulai lagi. Mataku kadang kala melihat Riani dibantu Pak Agastya untuk meminum kopinya. Aku terheran-heran. Piring dan wadah kotor yang harusnya dicuci hanya sedikit tapi mereka menghabiskan waktu begitu banyak.
Sudah lebih dari sepuluh menit berlalu aku sudah memperoleh banyak kalimat. Aku menegakkan badan dan mendapati Riani dan Pak Agastya sedang asik bermain air. Aku kembali mencondongkan badan untuk melanjutkan, karena kurasa ini belum berakhir. Beberapa saat kemudian aku merasa sendirian di rumah ini. Aku tidak bisa mendengar, atau menyadari ada orang lain di sekitarku. Kumemaksa diri untuk tidak memandang Riani dan Pak Agastya. Jika kulakukan maka aku tidak akan ada kesempatan untuk bernapas.
Sesungguhnya ini adalah senandika dari pikiran dan perasaaanku atas kejadian-kejadian kurang dari 48 jam sebelumnya. Menceritakan juga mengakui bahwa segala sesuatu tentang pertemyan pertama dan kesan yang membumbung.
Aku mengakhiri satu kalimat dengan sangat intens. Lalu aku meletakkan bolpoin. Kuraih cup kopi dan menghabiskan sisanya sekaligus. Kemudian aku berdiri memandangi ke arah Riani dan Mas Agastya, mereka ternyata lebih sering bercanada daripada bekerja. Sebelum aku mengatakan sesuatu aku mendorong kursi merapatkan ke meja. Memberikan diriku sedikit waktu untuk memikirkan langkah selanjutnya. Bibirku sudah terbuka tapi tidak ada kata-kata yang keluar.
Kuputusakan untuk mengambil tasku di samping rak sepatu. "Aku sudah selesai," ungkapku. "Saya rasa kalian harus membacanya tanpa ada saya. Eh, boleh saya pamit pulang. Mau mengejar kereta soalnya."
Riani yang pertama terlihat keluar dari dapur. "Kamu sudah beli tiket? Kapan?"
"Mau ke mana?" tambah Pak Agastya. "Kenapa buru-buru. Pukul berapa kereta berangkat?"
Aku bingung harus menjawab yang mana. Aku sudah membeli tiket melalui aplikasi saat memesan kopi di Kuy Kaf. Seingatku kereta berangkat pukul dua. Aku memeriksa waktu pada jam tangan.
Aku hendak menjawab tapi lebih dulu Riani. "Dia mau ke Surabaya, Mas." Riani berjalan cepat menuju kamar. Lalu dia keluar membawa lukisan "Nara Senja". "Kamu hampir melupakannya." Riani memberiku lukisan. "Apa perlu aku bungkus?"
"Tidak masalah, Masih ada waktu untuk membawanya ke indekos." Aku mengambil lukisan itu dari tangan Riani. Di belakang sana Pam Agastya berjalan mendekat
"Kalau begitu saya akan antar kamu ke bawah." Dia membuka pintu untukku agar aku keluar lebih dulu. "Kamu lanjutkan cuci piringnya."
"Telepon Kalista dia punya rahasia untuk kamu," Aku hendak melangkah tapi terhenti karena ucapan Riani.
Aku tertawa. "Dan aku juga punya rahasia."
"Apa?"
Kuangkat tangan kiri, berniat menunjukkan jam tangan yang melingkar di pergelangan. "Jam tangan ini hadiah dari Arestia."
Riani langsung memukul lengan kiriku. Selalu seperti itu. "Sialan, aku berkali-kali mengira kamu kaya, dan berusaha mengimbangi kekayaan prang tua Arestia. Ternyata, astaga Danu. Kamu bergaya karena pemberian mantan."
"Siapa peduli." Aku langsung melangkah keluar.
Beberapa saat kemudian aku dan Pak Agastya sudah berjalan menuju tangga. "Saya senang bisa berkenalan dengan kamu. Pantas saja Riani bisa akrab sama kamu."
"Saya juga senang bisa bertemu dengan Anda, paling tidak bukan hanya mendengar dari cerita Riani saja," timpalku.
"Ayah?" seru Pak Agastya, pandangannya turun. Memandang ujung tangga dari lantau ke tiga ke lantai dua. "Kenapa Ayah di sini? Kenapa gak masuk?" Pak Agastya berjalan mendahului.
Aku baru menyadari jika yang dipanggil Pak Agastya Ayah itu adalah si keparat itu. Rifan. Untuk apa dia datang ke sini. Penampilanya tidak lebih dari terakhir aku bertemu dengannya. Panggal bibirnya membiru dan pakian kemeja biru tua, celana pantalon. Apa pria ini belum pulang sejak kemarin malam.
"Om Rifan?" panggilku. "Kenapa Anda ke sini?" Aku berjalan mendekat.
"Kalian kenal." Pak Agastya tampak bingung.
"Danu saya hanya ingin memberikan ini. Tapi saya takut Riani masih marah kepada saya." Wajah si keparat itu memelas meminta ampun. Aku hanya mendesis ketika dia menunjukkan kotak perhiasan berwarna hitam, berlapis kain beludru.
Om Rifan memberikan kota itu kepada Pak Agastya. "Sungguh saya hanya ingin memberikan ini. Ini milik Riani."
Pak Agastya membuka kotak itu. Di dalam sana terdapat kalung dengan bandul kunci. Itu yang mungkin diceritakan Riani pemberian dari neneknya. "Ayah gak mampir dulu," sergah Pak Agastya begitu Om Rifan berbalik badan.
"Tidak sekarang." Om Rifan langsung berjalan menjauh. Aku menyusul langkah Om Rifan mengabaikan Pak Agastya di belakang sana.
Sampai akhirnya di lantai satu aku menarik tangan Om Rifan. "Anda baik-baik saja?"
Dia menggeleng. "Tidak karena kamu." Aku tercengang dengan ekspresi marahnya. "Kamu pikir setelah yang kamu lakukan kemarin, hubungan saya baik-baik saja dengan istri saya?" Aku terfokus pada kantong mata yang gelap. Aku curiga kalau dia tidak tidur semalam.
"Memang itu pantas Anda dapatkan," sahutku. "Saya hanya ingin tahu kenapa Anda berniat datang ke sini?"
"Karena saya harus mempertanggungjawabkan kesalahpahaman Riani terhadap saya." Om Rifan berusaha menyingkirkan tanganku. Dia berjalan menjauh.
Kuyakin Om Rifan punya masalah besar setelah kejadian kemarin. Mungkin mengenai bisnisnya atau rumah tangganya. Sekarang sudah tengah hari dan dia masih mengenakan pakaian saat pesta. Aku mengehela napas, merasa bersalah dan juga benci dengan kehadirannya.
Aku berusaha mengalihkan pikiran denfa mengeluarkan ponsel. Melihat beberapa pesan dari Kalista pada layar kunci. Aku langsung membukanya.
Dari : Kalista
[Kamu sudah di kereta? Maaf aku terpaksa bilang kalau kamu ke panti. Aku tidak tega dengan keadaannya. Aku tahu semua yang terjadi di antara kalian.]
Pesan kedua berbunyi.
[Aku tidak mempermasalahkan itu. Karena kamu sudaj terbebas dengan Arestia. Ngomong-ngomong kamu sudah tahu kalau Arestia pindah ke Jakarta pagi ini?]
Berlanjut pada pesan berikutnya.
[Aku baru tahu dari Riani tadi. Dia datang ke kantor. Bicara soal cuti dan buku agenda semua sudah beres.]
Tersadar aku tersenyum membaca pesan darinya. Cukup bisa membayangkan bagaimana ekspresinya ketika mengatakan itu. Dia pasti berubah-ubah ekspresi dari sedih, senang, dan menyesal. Aku langsung menekan tombol panggil.
Aku mendengar nada sambung sampai akhirnya terhubung. "Kalista?" Panggilku.
"Danu?" sahutnya. "Kamu sudah baca pesanku. Aku bodoh sekali harus bilang ke Mbak Riani. Dia datang ke panti yah?"
Aku tertawa. "Iya santai saja."
"Aku minta maaf Danu. Serius aku gak akan bilang siapa-siapa lagi. Lagian juga Arestia juga sudah pindah ke Jakarta. Dia pamit sama kamu tidak?"
"Tidak?" jawabku tapi lebih terdengar seperti bertanya. "Dia pamit sama kamu?"
"Tidak juga," ketika itu aku berjalan keluar dari area gedung menuju ke pinggir jalan raya. "Mereka mendadak pindah ke Jakarta. Kalau dengar dari cerita Mbak Riani."
Aku menghembuskan napas. "Aku boleh minta tolong sekali lagi tidak?"
"Apa?"
"Bisa bantu aku carikan rumah di daerah sekitar kantor." Aku meringis. "Berapapun harganya semoga yang penting bisa diangsur."
"Astaga, demi apa seorang Danu beli rumah. Kamu habis kerasukan setan di mana?"
"Bisa bantu tidak?" desakku.
"Pasti bisa. Serahkan semuanya pada Kalista."
"Pilih yang paling kamu suka. Aku pasti suka." Aku sudah berdiri di pinggir jalan. Kuletakkan tas tangan karena pergelangan tangan kanan mulai terasa nyeri.
"Pasti. Pilihanku tidak akan mengecewakan," Aku tersenyum mendengar kalimat Kalista.
"Baiklah, aku mau pesan grab car dulu. Ini dari rusunawa Riani."
"Astaga kamu kembali lagi ke sana?" Aku sampai menjauhkan ponsel dari telinga mendengar teriakannya.
"Kenapa memang?" Aku akhirnya menyalakan speaker.
"Kan suaminya Mbak Riani pulang ke Banyuwangi?"
Aku menghela napas. "Nanti aku cerita lagi."
"Baiklah, hati-hati di jalan."
"Iya, terima kasih." Aku langsung memutus sambungan dan beralih ke aplikasi taksi online.
BERSAMBUNG
If you're enjoying the story, please consider voting/commenting. Thanks!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top