TIGA PULUH ENAM

[ 12.27 -- 13.47 ]

Aku meletakkan piring terakhir yang baru saja aku bilas di samping wastafel bersama piring dan mangkok makanan yang lain.

Mas Agastya duduk pada kursi di samping meja makan. Dia membawa kotak perhiasan dari luar. Darimana dia mendapatkan kotak itu, dia tidak bercerita. Aku juga tidak ingin bertanya karena aku tahu itu milik almarhum ibuku. Aku mengelap tanganku pada kain lap yang menggantung di samping dispenser. Lalu berjalan untuk meraih kotak perhiasan itu. Aku mengambil posisi duduk kursi panjang ruang tamu.

Aku membuka kotak perhiasan itu. Aku terkejut ternyata kalung berbandul kunci masih tersimpan.

"Apa yang terjadi dengan kamu dan Ayah?" tanya Mas Agastya saat jemariku menyusuri setiap bentuk dari bandul kunci itu. Ukurannya tiga kali uang koin 500 rupiah.

"Aku tidak ingin membahas itu sekarang. Karena ada yang lebih penting dari itu."  Aku mendongak. Pandanganku langsung terarah ke Mas Agastya. Dia mengatur posisi kursi agar menghadap ke arahku. "Mungkin kita bisa bicarakan sesuatu tentang kita."

Sunyi untuk beberapa saat. Kami saling bertukar pandang. Aku sudah meyakinkan diri untuk membicarakannya. Pikiranku sedikit terbuka saat membaca senandika dari Danu. Saat mereka keluar, aku menyempatkan untuk mengambil senandika dan membacanya di depan wastafel. Sekarang senandika itu aku simpan di lemari gelas. Aku tidak ingin Mas Agastya membaca senandika yang jelas-jelas ditujukan untuk aku.

"Saya tidak tahu harus memulai darimana." Mas Agastya menopang dagu. Dia menggeleng. "Memangnya ada apa dengan kita?"

"Aku merasa aneh dengan kedatangan kamu di Banyuwangi dengan sikap tenang seperti ini." Aku menghela napas seraya menutup kotak perhiasan dan meletakkannya ke atas meja. "Mengingat apa yang telah aku lakukan ke kamu, juga terakhir kita bertelepon." Aku meremas ibu jariku dan pandanganku terarah ke sana."Kamu tahu kenapa aku ingin tetap tinggal di Banyuwangi?"

"Tidak," hanya itu yang diucapkannya aku mendongak. Hingga beberapa saat aku menunggu dia seperti tidak ingin menambahkan sebuah kalimat karena mulutnya tertutup dengan tangan.

"Hanya tidak?" Aku meletakkan tangan kiri di atas meja. "Kamu tidak ingin bertanya kenapa dan bagaimana itu bisa terjadi."

"Saya tidak mengerti." Mas Agastya membuka tangannya dan mengarahkan padaku. "Tepat seperti pertanyaan kamu."

"Kamu ingat, katamu waktu itu akan bisa mengatur waktu selama tiga bulan terakhir untuk bisa datang ke Banyuwangi."

"Empat jam perjalanan darat dan satu jam berjalanan laut. Kamu pikir itu hal yang mudah?"

"Kamu menolak untuk tinggal di sini," bentakku.

"Saya punya banyak hal di sana," timpalnya sambil berdiri berjalan menuju bufet. Dia memilih berdiri di sana.

"Apa aku tidak terlalu penting?" Aku mendongak. "Kamu pernah bilang aku adalah segalanya."

Mas Agastya terdiam beberapa saat. "Iya, kamu segalanya buatku." Suaranya terdengar lemah.

"Katakan saja kalau itu hanya omong kosong." Aku tidak bisa menahan amarahku lagi. Aku sudah merasa penuh emosional sekarang. Terlebih dia masih berisikap tenang sedangkan aku sudah naik pitam. "Aku siap mendengarnya."

Kami sama-sama terdiam beberapa saat.

"Saya rasa pembicaraan ini tidak berhasil memperbaiki keadaan." Mas Agastya masuk ke kamar. Aku lansung bergerak mengikuti. "Kalau seperti itu kenapa kamu ingin tetap berada di sini." Dia berbalik saat aku baru sampai di ambang pintu. Dia berdiri di depan lemari.

Aku menggeleng. Mas Agastya tidak akan bisa menerima alasanku. Dia pasti akan menyalahkan aku. Atau yang lebih parah dia akan menyangkal segala fakta yang aku ungkap.

"Masalah apa lagi sekarang?" Suaranya menjadi serak, karena tertahan.

"Masalah apa?" Aku memekik. Aku mengusap tengkuk dan berjalan beberapa langkah ke depan. "Seharusnya aku yang tanya kenapa kamu mengingkari janji."

"Saya sudah bilang tadi." Mas Agastya berjalan menuju pintu balkon. Dia mengambil beberapa tumpukan kertas di sana. Membaca sekilas lalu meletakkannya kembali. "Banyak yang saya harus lakukan di Bali, Bisnis saya ada di sana, Riani. Kamu tahu sendiri jika saya anak tunggal. Yang menjadi penerus bisnis keluarga hanya saya." Aku memilih duduk di depan kursi rias sambil menangkupkan tangan ke wajah. "Lagipula hotel yang ada di Banyuwangi sudah di ambil alih oleh paman saya."

"Bukan itu, aku sudah tahu tentang semuanya." Tanganku bergetar.

"Lantas ini tentang apa? Apa yang sedang kita perdebatkan sekarang?" tanyanya. Haruskah dia bertanya sebelum memikirkan sesuatu. Apa dia tidak memahami kesalahannya sendiri.

"Saya membaca pesan dari teman-temanmu, tentang kamu yang ingin mempunyai anak," teriakku. Eskpresi wajah Mas Agastya melemah.

"Kapan?" tanyanya setelah hening beberapa saat.

"Tiga bulan yang lalu," jawanku. "Tepat sebelum kamu memutuskan untuk pindah ke Bali. Hingga akhirnya kamu memaksaku untuk pindah ke sana juga."

"Harusnya memang seperti itu." Aku memejamkan mata saat mendengar kalimat itu.

"Aku sudah berusaha memperbaiki situasi, dan kamu sepakat dengan pengaturan waktu kapan kamu bisa datang ke Banyuwangi." Aku berjalan menuju laci di meja kerja dan mengambil satu kalender duduk yang beberapa dari tanggalnya sudah aku coret. "Aku terikat kontrak kerja di sini, dan kamu jauh lebih fleksibel dengan pekerjaanmu. Dan lihat berapa sering kamu mengikari ini." Aku menyodorkan kalender. "Hanya dua minggu."

"Setelah itu karena ada proyek besar yang harusnya saya fokuskan." Mas Agastya menerima kalender lalu dia meletakkan ke atas nakas. "Kamu harusnya juga mengerti situasinya."

"Kapan kamu pernah bilang ini kepadaku?"

"Saya pernah membahas ini." Tangannya teracung padaku.

"Kapan?" protesku. "Kamu hanya memaksaku untuk pindah. Terus dan terus," tanganku berputar di udara. "Aku sampai bosan dengan masalah ini yang tidak pernah berakhir." Sorot mataku mengarah tegas menatao mata Mas Agastya.

"Saya tidak tahu kapan, tapi rasanya saya pernah membahas ini di telepon."

"Mas, Apa ada alasan yang lebih dari sekadar keinginanmu mempertahankan bisnis keluarga untuk menolak tinggal di sini?" Aku berjalan menuju pintu kamar menuju ruang tamu untuk mengambil kotak perhiasan. "Coba pikirkan bagaimana rasanya jadi aku, jika tinggal bersama orang tuamu sedangkan mereka tidak menyetujuhi kehadiranku. Bagaimana aku bisa tinggal lama di sana dengan keadaan seperti itu?" Aku mengatakan itu tanpa memandang Mas Agastya.

"Astaga, Saya tidak tahu tentang ini. Apa yang sudah ibuku lakukan kepadamu?" Suara Mas Agastya terdengar dekat di belakangku.

"Itu yang aku rasakan selama seminggu tinggal di Bali di awal pernikahan kita." Aku kembali masuk ke kamar melewatinya di ambang pintu. "Dan kamu pikir akan lebih baik menggunakan alasan ibu kamu yang meminta aku pindah ketika bertelepon denganku waktu itu?" Aku membuka pintu lemari dan menyimpan kotak itu pada laci. "Mas, saya dulunya memang seorang janda yang gagal dipernikahan tapi Ibu kamu menambahkan bahwa masakkanku tidak lebih baik darinya." Aku berbalik. "Penampilanku bahkan terkesan buruk ketika mengahadiri acara keluarga di pernikahan sepupu kamu."

Mas Agasrya berusaha untuk memeluk aku tidak bisa mundur untuk menghindar. Punggungku sudah menanrak lemari. Lalu aku mendorong tubuhnya agar menjauh dariku. Aku tidak ingin belas kasihannya untuk saat ini.

"Aku memilih menikah dengan kamu tapi aku juga merasa menjadi orang lain. Kamu pikir aku baik-baik saja akan itu?" Aku menutup pintu lemari dan memilih duduk di sisi kiri tempat tidur.

"Kamu salah, Riani, beberapa bulan terkahir memang masa yang sulit bagi saya." Mas Agastya mengikuti pandang setiap gerakanku. "Saya kira kita saling mengerti satu sama lain. Tapi kita sudah salah mendefinisikan pernikahan. Apa yang ingin kamu lakukan setelah semua kesalahapahaman ini? Apa yang perlu kita perbaiki?"

"Aku ingin lebih bersemangat lagi menjalani pernikahan ini, Mas. Tapi kamu mengkhianati omongan kamu sendiri, aku sudah pernah bilang bahwa aku tidak ingin mempunyai anak lagi, dan kamu setuju tapi tiba-tiba hanya karena pesan dari teman-temanmu kamu bersikeras untuk itu." Aku mengusap air mata yang menggenang di kelopak mataku.

"Kamu selalu begitu, menyalahkan orang lain untuk menutupi kesalahanmu," tegur Mas Agastya. "Kamu menganggap bahwa dirimu putih dan aku hitam."

"Kamu sadar? Kamu juga melakukan hal itu padaku." Aku memijat pangkal hidungku. Rasanya di sana berdenyut.

Mas Agastya menyugar rambutnya. "Astaga, Oke aku minta maaf."

"Aku merasa sepuluh tahun kedepan kita akan bahagia, kami akan menjadi pasangan yang terhebat. Tapi aku terlena dengan kalimat-kalimatmu yang kamu kutip dari novel-novel roman murahan itu."

"Kamu yang memilih hidup seperti ini, saya akan berusaha memahami ini," balas Mas Agastya. "Masih banyak waktu untuk kita perbaiki. Tapi yang seharusnya kamu pahami untuk saya, umur saya sudah menginjak 32 tahun kamu pikir saya harus mempunyai anak di umur berapa? Seharusnya jika kamu masih ingin mempertahankan hubungan pernikahan ini coba kamu pikirkan bagaimana keadaan saya mengenai itu, kamu coba pikirkan lagi bagimana rasanya kita perlu mencoba melakukan di luar batas kemampuan berpikir kita."

"Ya, aku yang terburuk buat kamu." Aku berdiri dan berjalan menuju dapur. Tenggorokanku terasa kering. Aku mengambil minum di dispenser. Aku baru sadar kalau ternyata Mas Agastya berdiri di samping meja makan. "Aku gila harus menerima semua ini. Aku seharusnya meyakinkan orang tua kamu bahwa aku adalah menantu yang terbaik. Selebihnya aku terlalu naif untuk melakukan itu."

"Riani," Mas Agastya masih bersikeras mendekat ke tubuhku. Aku meletakkan gelas dengan kasar ke atas gelas. "Ayo kita coba kembali."

Aku mendesah. Tatapannya begitu tulus. Seberapa keras aku mengelak, aku semakin terikat dengannya. Aku memejamkan mata saat dia mendekapku dalam pelukan.

"Saya minta maaf." Mas Agastya mengusap rambutku. "Aku yakin lama kelamaan Ibuku pasti suka sama kamu."

"Bagimana bisa?" lirihku.

"Saya yakin kamu pasti bisa." Mas Agastya merenggangkan pelukan. "Saya minta maaf."

Aku sedikit menjauhkan tubuh karene sebelumnya emosiku telah meluap. Aku tidak yakin bahwa kata maaf akan menemukan titik terang. Tapi setidaknya aku juga sedikit merasa bahwa aku sekarang tidak sendirian menghadapi masalahku. Aku akan tetap berjuang mempertahankan penikahan ini.

Aku sepakat dengan Danu waktu itu aku harus menghadapi ini. Aku berjalan menuju ke meja dapur sedikit merenungkan tindakkanku selanjutnya. Aku sedikit mempertimbangkan.

Mas Agastya memusatkan perhatian kepadaku. Dia masih berdiri di samping dispenser seakan menjaga jarak aman ketika aku hendak mengambil keputusan. "Katakan sesuatu," Mas Agastya memohon.

Aku mengusap tulang pipi dengan ibu jari. Ada bekas air mata menggangu pandagan.

Kami berdua membisu. Tidak bersuara dan tidak bergerak. Sampai akhirnya aku mengangkat kepalaku setalah aku yakin. "Aku akan coba pindah ke Bali."

Dia menghela napas dengan cepat. "Kamu yakin?"

Aku mengangguk. Ekspresi wajah Mas Agastya terlihat bahagia. Dia memberiku senyumam lebar dan merentangkan tangan sambil berjalan untuk memelukku. Aku melingkarkan lengan ke lehernya. Membenamkan wajahku di sana.

BERSAMBUNG

If you're enjoying the story, please consider voting/commenting. Thanks!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top