TIGA BELAS

[ 21.17 -- 21. 32 ]

Langkahku sempat terhenti setelah menyampirkan jaket ke lengan. Aku mendapati pesan masuk, dan segera kubuka. Dari panel notifikasi terlihat pesan masuk dari Kalista. Aku menghembuskan napas setengah kesal.

Kalista
Acara resminya sudah selesai
Kamu harus datang

Riani tiba-tiba menepuk bahuku. "Kenapa?"

Buru-buru aku memasukkan ponselku ke dalam weistbag. "Tidak apa." Aku langsung kembali berjalan menuju deretan troli. Aku menarik satu dan masuk ke area swalayannya.  Sempat kupindahkan jaket ke pegangan troli.

"Aku bingung mau beli apa?" seru Riani.

"Mungkin beli sesuatu untuk dimakan atau keperluan memasak yang sekiranya di rumah sudah mau habis?" Kamu berjalan-jalan santai beriringan sambil melihat ke kanan dan ke kiri. Aku sendiri juga tidak ada barang yang aku butuhkan sebab bukan waktunya untuk belanja bulanan. Persediaan di indekos juga masih ada.

Riani memasukkan satu boks sereal dan juga susu UHT kemasan satu liter. Masing-masing dua pak. Dia juga mengambil enam sekaligus susu kaleng. "Untuk sarapan besok pagi."

Aku hanya menjawab dengan mengangkat alis. Riani sudah jalan mendahului saat dia harus mengambil nutela. Kudorong troli dengan posisi membungkuk menyadarkan siku ke pegangan mengikuti gerak langkah Riani.

"Kamu bisa masak?" tanya Riani saat itu aku sudah merasakan getaran di dalam weistbag tapi tidak lama.

"Aku hidup merantau dari Surabaya sudah enam tahun. Mau gak mau harus belajar masak untuk menghemat biaya hidup."

"Untuk manusia seperti kamu yang punya jam tangan Rolex seharga ratusan juta masih mengenal kata menghemat biaya hidup, yah?" Riani manggut-mangut dengan memajukan bibir bawahnya. Itu ekspresi andalannya untuk mengejekku.

"Mau aku masakin?" tanyaku. Lebih tepatnya aku ingin berlama-lama dengan Riani supaya bisa menghindari acara Arestia.

"Boleh." Riani menoleh ke belekang. "Aku tantang kamu masak olahan ayam."

"Setuju," jawabku sambil membuka retsleting weistbag. Memeriksa sebentar siapa yang baru saja menelepon. Setelah melihat catatan panggilan dari Kalista aku langsung menutup retsleting.

Belum cukup Kalista mengirimkan pesan whatsapp, dia terus menghubungiku. Padahal tadi siang aku bilang padanya jika aku tidak bisa datang ke acara itu. Ponselku tidak ada henti-hentinya bergetar di dalam weistbag. Aku takut kalau Riani terganggu. Lantaran sekarang dia sedang menceritakan tentang anaknya, dia mengoceh di depan troli tanpa menoleh ke belakang.

"Kamu tahu gak kalau Qiara pernah bilang ke aku sama Danu. 'Mama hebat'. Dan aneh gak sih kalau Danu cemburu dapat pujian dari anaknya. Dia langsung membantuku masak, cuci piring, bahkan dia yang memandikan Qiara, tapi tetap saja aku yang dapat pujian karena bisa menguncir rambut Qiara seperti mahkota." Riani memasukkan mentega tawar ke troli. Aku hampir tidak menyimak kalimatnya lantaran pikiranku terfokus pada ponsel yang terus saja bergetar.

"Danu waktu itu menawarkan memasak untuk makan malam. Dan Danu mencoba masak olahan ayam. Eh, malah belum matang. Jadi aku pesankan makanan lewat aplikasi. Waktu makan malam akhirnya tertunda. Qiara mengeluh." Dia terus saja bercerita. "Semoga Danu yang ini gak mengecewakan."

Kami berhenti di depan lemari pendingin untuk daging beku. Riani tidak berbicara lagi. Saat itu dia sedang memilih-milih sesuatu aku mengambil ponselku dan langsung mengangkat telepon Kalista.

"Ada apa?" Riani langsung menoleh aku menunjuk  ke arah ponsel dan dia mengangguk.

Saat itu Kalista sudah mulai bicara. "Astaga susah sekali telepon kamu. Memangnya kamu presiden apa?"

"Aku lagi di jalan, mana sempat aku terima telepon."

"Bohong!" sergahnya. Kupejamkan mataku. "Buktinya ini gak ada suara motor. Yang ada malah lagu-lagu."

"Iya, ini lagi belanja." Saat itu Riani menunjukkam dua jenis kemasan ayam potong beku. Ditangan kanannya ayam potong utuh sedangkan di tangan kirinya ayam potong drumstick. Aku menunjuk yang kiri dan dia langsung memaksukan ke keranjang.

"Kamu jadi ke sini, gak?" Kalista melanjutkan.

"Tidak," jawabku. Riani mengira aku bicara dengannya. Saat itu dia sedang memasukkan kemasan daging ayam utuh ke lemari pendingin. Aku langsung menggeleng dan menunjuk ke ponsel lagi. Dia langsung mengangguk. "Aku 'kan sudah bilang tadi siang kalau aku ngojek. Lagi pula kalau aku siap-siap terus ke sana pasti acaranya sudah selesai."

"Ini pesta rumahan Danu. Kamu bisa datang kapan saja. Acaranya bisa sampai pagi." Aku tidak bisa mengelak lagi. Tetapi aku masih ingin berlama-lama dengan Riani.

Saat itu Riani menunjuk ke troli dan aku melepaskan genggaman ke pegangan troli. Kali ini dia melanjutkan untuk berbelanja. Dia mendatangi rak berisi saus dan kecap. Dia mengambil saus tiram, kecap asin, kecap manis dan mayones. Aku memperhatikan dia berbelanja dari belakang.

"Aku gak bisa datang," perkataanku membuat Riani menoleh. Saat itu dia sedang memilih beberapa jenis saus. Dia datang menghampiriku meninggalkan troli.

"Ada apa?" kata Riani tanpa suara. Awalnya aku hanya diam saja. Tetapi dia menggoyang-goyangkan lenganku meminta jawaban.

"Temanku undang ke acara resepsi pernikahan," jawabku dengan berbisik.

Saat itu Kalista sedang mengatakan, "Aku gak mau tahu kamu harus datang. Memangnya kamu sekarang lagi di mana?"

"Ya kamu datang saja tidak apa. Biar aku selesaikan ini," kata Riani. Dia memelankan suaranya.

"Aku lagi di Roxy."

"Wah! Kebetulan sekali. Kalau begitu kamu beli baju sekarang, ganti di sana sekalian. Terus ke sini. Alamatnya sudah aku kirim ke whatsapp. Paling cuma tujuh menit perjalanan dari Roxy ke rumah Chris." Kalista langsung mematikan sambungan. Aku menatap layar dan kembali ke tampilan depan.

"Aku bisa naik ojek lain," tambah Riani. "Kamu berangkat saja ke pesta itu."

"Aku sudah janji sama kamu untuk masakin kamu." Aku memsaukkan ponselku ke dalam weistbag.

"Sepulang dari pesta 'kan bisa?" Riani mengurai rambutnya dengan tangan. "Aku janji gak tidur sampai kamu datang."

"Kamu mau tidak, ikut datang ke sana?" Kuharap Riani setuju. "Kita bisa beli baju di sini."

"Serius?" Wajah Riani langsung sumringah. "Eh... tapi ini pestanya siapa? Teman kamu?"

"Sudahlah gak penting." Aku langsung mengambil alih troli. Aku memasukkan semua jenis saus. Mulai dari saus barbeku, saus tomat, dan saus cabai. Aku juga mengambil tepung crispy, penyedap makanan, dan juga spageti. Sesampainya di dekat kasir aku mengambil telur.

"Kita pulang ke rumahku saja," usul Riani menyusul langkahku dia baru saja mengangkat satu kantong beras berat tiga kilogram. Dan meletakkan ke troli. "Kamu pakai baju Mas Agas."

Aku sampai mengerutkan dahi. "Serius kamu mau datang ke acara itu?"

"Gak apa, aku juga gak sibuk. Untuk melepas kesedihanku juga." Aku baru ingat kalau Riani baru kehilangan adik perempuanya. Aku jadi merasa bersalah mengajaknya ikut ke pesta padahal dia sedang berduka.

"Yakin? Aku gak enak saja."

"Halah, kamu cari-cari alasan 'kan biar gak datang ke acara itu? Memangnya acaranya siapa sih? Kok kamu kolot sekali."

"Kamu gak perlu tahu."

Riani mendengkus kesal. "Ya sudah kitas selesaikan belanja kita. Terus pulang. Kalau kita beli baju di sini nanti pasti lama pilihnya. Aku juga perlu make up. Keburu acaranya buyar." Saat itu kami masuk ke antrian kasir. "Memangnya jam berapa mulai?"

"Dari jam delapan tadi. Katanya sampai pagi." Riani menunjukkan ekspresi bingung. "Pesta rumahan," tambahku.

Dia langsung mengangguk. "Seru tahu pesta rumahan. Terus tadi kenapa kamu menolak?"

"'Kan lagi belanja sama kamu," jawabku ketus. Dia terlalu banyak bicara membuat kepalaku pusing. Lebih-lebih aku juga memikirkan bagaimana aku bersikap saat melihat Arestia dengan Chris nanti. Aku mulai merasakan keringat dingin mulai muncul di sekujur tubuhku.

"Pasti mantan kamu?" tebak Riani. "Terus yang tadi telepon itu siapa?"

Aku tidak menjawab pertanyaan Riani karena saat itu kami sudah tiba di meja kasir. Aku sedang memindahkan barang dari troli ke meja kasir. Riani masih menatapku dia menunggu jawaban dariku. Tapi kuterus mencoba untuk tetap bergeming. Riani sampai mencubit lengan kiriku. Saking banyaknya dia menyakiti lengan kiriku aku sampai tidak sempat menghitungnya. Aku tetao bergeming biarpun lenganku terasa panas.

"Aku sudah menceritakan semua cerita asmara aku. Sekarang giliran kamu. Apa perlu kita bermain truth or dare supaya kamu mau...," Aku membungkam mulut Riani dengan tangan kiri sedangkan tangan kananku bersusah payah mengeluarkan dompet di dalam weistbag. Dia terus membeo. Tapi suaranya teredam. Petugas kasir sampai menahan tawa melihat Riani.

"Bisa pakai mandiri debet 'kan, mbak?" Aku bicara dengan kasir. Riani akhirnya diam. Aku mengulurkan kartu ke petugas kasir. "Nanti di jalan aku pasti cerita." Aku memberikan sorotan mata tajam ke Riani sedangkan dia hanya senyum-senyum menggodaku.

Saat semua barang belanjaan sudah di masukkan ke kantong kresek. Proses pembayaran juga sudah berhasil. Aku dan Riani tanpa kesepakatan membagi untuk membawanya  aku membawa kanton beras dan kantong kresek kecil. Sisanya di bawa oleh Riani. Sesampainya di depan gedung aku meminta Riani untuk menunggu di pinggir jalan. Kami pun berpisah. Aku langsung menuju ke area parkir.

Aku meletakkan kantong beras ke pijakan sepeda dan mengaitkan kantong belanja ke pengait sepeda. Aku akhirnya melaju mendatangi Riani. Saat aku tawari barang belanja yang dia bawa untuk dikaitkan di depan, dia hanya menggeleng. Dia mengisyaratkan dengan menggelengkan kepala agar aku membantu memasangkan helm ke kepalanya.

"Dasar gadis remaja puber," ledekku. Dia hanya menjulurkan lidah. Aku menghela napas sambil memejamkan mata. Berusaha sabar dengan tingkah ke kanak-kanakannya.

Saat semua sudah siap aku segera melajukan sepeda motorku. Selama perjalanan Riani terus mendesakku agar aku bercerita tapiaku tetap bergeming. Jika tangannya bebas mungkin dia sudah mencubit pinggangku. Tapi tangannya penuh dengan barang belanjaan. 

"Ini acara resepsinya mantan aku. Namanya Arestia"

Riani langsung teriak. "PANTESAN KAMU MENOLAK DATANG."

"Gak usah berlebihan." Aku melirik Riani melalui spion. "Nanti cuma datang sapa teman-temanku terus pulang. Paling tidak dia melihat aku datang."

"Lah, aku sudah capek-capek make-up. Terus di sana hanya mampir?"

"Kamu mau lakukan apa lagi di sana?"

Riani hanya berdengus. "Terus yang telepon tadi siapa? Mantan kamu juga?"

"Dia sahabat aku, namanya Kalista. Temannya Arestia juga."

BERSAMBUNG

If you're enjoying the story, please consider voting/commenting. Thanks!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top