TIGA

[ 15.30 -- 17.00 ]

"Kalau bukan karena kerjaanku banyak aku pasti menunggumu di lobi." Kalista menyandarkan dagunya di atas papan bilik kerja. "Kamu menghindariku di jam makan siang. Dan ke mana kamu tadi pagi?"

"Memangnya kamu bosku menanyaiku seperti itu?" Aku menggeleng. Baru beberapa detik rasanya punggungku merasakan sandaran kursi yang empuk ini. Aku begitu menikmati nikmatnya bersandar seolah telah melepas semua beban di punggung. Saat masuk kantor aku harus duduk tegang di ruang rapat. Tidak sempat ke kantin karena ada rekan kerja yang membagikan nasi kotak perayaan ulang tahun. Terus aku harus datang ke ruangan perencanaan dan pembangunan. Dan sekarang harus menghadapi Kalista. Bukan dia yang membuat resah tapi rasa penasarannya dengan kisahku dengan Arestia.

"Jadi bagaimana ceritanya?" Dia berjalan memutar untuk berada di sampingku dia mengambil kursi beroda di dekat meja kerja sebelah. "Serius bukan aku yang bilang kalau kamu pindah indekos."

Aku menggeleng dan menyalakan komputer. Sama sekali tidak ada dorongan harus menanggapi perkataan Kalista. Sudah menjadi kebiasaanya berkelana ke ruangan-ruangan untuk menyebarkan berita hangat. Semua orang juga mengenal siapa Kalista dan ada hubungan apa aku dengan Kalista. Saat komputerku menyala Kalista masih memandangiku, dia bahkan rela menunggu hingga aku menjawab. Kubuka file komputer untuk aku mentranskrip data. Lalu Kuambil beberapa fail di lemari dan kubawa ke meja kerjaku. Aku membuka beberapa surat di sana lalu membandingkan apakah semuanya sudah tercatat.

"Hei! Kamu mengabaikanku?"

"Kalista, kamu bilang tadi kerjaan kamu banyak. Dan sekarang kenapa masih di sini?" Aku berkata tanpa menatapnya. Jadi aku tidak tahu bagaimana ekspresinya saat ini. "Kalau aku teraktir makan malam kamu harus berjanji segera pergi dari ruanganku."

"Aku tidak ingin kamu teraktir. Aku datang ke sini karena ada urusan dengan Pak Afnan. Sekarang tinggal nunggu finger print."

"Uhh!" keluhku. Aku bingung mencari cara agar Kalista segera pergi dari ruanganku. "Oke, mau kamu apa? Memangnya Ares tidak cerita kalau pemilik indekos itu adalah Chris?"

"Cerita sih, aku hanya ingin tahu perasaan kamu. Kamu pasti sudah bertemu Chris, kan?" Kalista mendekatkan badannya ke arahku dengan tatapan meneliti. "Jujur kamu pasti panik, mati gaya."

"Apa pedulimu."

"Yah, aku mau kita datang bersama ke acara resepsinya Ares." Kalista mengeluarkan ponselnya dari saku jas. "Aku minta saran ke kamu nanti aku pakai gaun yang mana. Nah, pakaian kamu juga harus senada denganku."

"Kenapa aku harus?"

"Danu, ayolah, kita bertiga kan sahabatan sejak kuliah. Jadi kita tunjukan ke dunia kalau kita ini kompak." Kalista melanjutkan menggulir ponsel layar ponselnya setelah sempat terhenti untuk menjelaskan kepadaku.

"Dunia tidak peduli itu?"

"Sudahlah, aku gak mau tahu kamu harus datang. Waktu akad kamu sudah cari-cari alasan untuk tidak datang. Kata kamu lembur, kecapekan atau apalah itu. Dan sekarang? Alasan apa lagi?"

"Aku ngojek."

"Helloooo... lihat sekelilingmu." Tangan Kalista bergerak aktif ketika berbicara seolah dia sedang mendongeng di taman kanak-kanak. "Apa gaji kamu kerja di sini masih kurang?"

Sebesar apapun alasanku untuk mendalih, Kalista tetap akan menolaknya mentah-mentah. Jadi, aku kembali terfokus dengan kerjaanku. Sebelum akhirnya aku mendapatkan SP sebab aku juga telat datang ke kantor pagi ini karena urusan di jalan.

"Kamu juga gak boros orangnya. Jam tangan Rolex sejak satu tahun yang lalu yang waktu itu kamu bilang keluaran terbaru...,"

"Ya, karena ini awet. Tidak pernah rusak kecuali mengganti baterai."

"Ponsel juga bukan keluaran terbaru...,"

"Sebab aku hanya butuh untuk menghubungi seseorang. Sekarang jomlo kurasa itu tidak kubutuhkan lagi."

"Kemeja yang itu-itu saja...,"

"Aku punya 17 setelan kemeja untuk bekerja. Dan semuanya dalam kondisi bagus karena aku tepat dalam merawatnya."

"Sepeda motor juga tidak pernah ganti sejak kamu magang."

"Aku baru lunas cicilan awal tahun lalu, masak harus aku jual?"

Kalista mendesis dengan kilahku. Dia mengangkat tangan seolah dia pencuri yang tertangkap basah. "Aku menyerah." Dia menggeleng seraya berdiri. "Pokoknya nanti aku akan menjemput kamu. Kamu harus datang ke acaranya Ares."

"Aku sudah bilang tadi kalau aku nanti ngojek. Jadi aku tidak ada di indekos."

Kututup fail lalu mengembalikan ke lemari mengganti dengan fail yang ada di meja rekan kerjaku. Sebab data yang kubutuhkan ada di sana. Kalista masih berdiri di tempatnya dan terus memerhatikan aku bejalan ke sana kemari melewatinya. Ada kalanya aku sedikit mendiskusikan dengan rekan kerjaku, Kalista masih tetap setia menungguku.

"Jujur sama aku, kenapa kamu gak mau datang ke acaranya Ares? Kalian juga gak cerita ke aku kenapa kalian putus." Aku baru saja duduk ketika itu dan mengetikkan data yang aku dapat dari rekan kerjaku. "Apa karena Ares dijodohkan oleh Chris?"

"Chirs dan Ares baru dijodohkan seminggu setelah kami putus," jawabku singkat. Percuma saja aku menjelaskan panjang kepadanya alasan terbesarku sebab semuanya sudah terjadi. Tidak ada yang bisa aku lakukan. Jika Kalista nantinya akan memberiku saran, itu percuma. Tidak ada waktu untuk memperbaiki. Arestia sudah sah menjadi istri orang lain.

"Terus masalahnya apa? Kenapa susah sekali mengajak kamu datang ke acaranya Ares. Kamu selalu saja menghindar."

"Aku tidak menghindar. Aku memang sedang bekerja. Jadi tidak ada waktu untuk menghadiri pesta." Suaraku memekik ketika mengatakan itu.  Aku takut semua orang yang ada di ruang ini merasa terganggu dengan percakapan kami. Sebab aku dan Kalista seperti orang berantem adu mulut. Biarpun Kalista terlihat frustasi tetapi dia juga menahan volume suaranya. Padahal sebenarnya kami sering melakulan ini.

"Kemarin di acara nikahan anaknya Pak Afnan, kamu bisa itu datang." Aku lupa kalau Kalista mempunyai segudang informasi seputar kantor. Dan berita kecil ini pasti sampai ke telinganya

"Ya, karena waktu itu datangnya barengan satu ruangan. Gak mungkin juga aku gak ikut."

"Aku sudah ajak kamu bareng, loh? Apa susahnya sih tinggal dateng terus makan. Selesai?"

Jam tanganku berbunyi. Penanda bahwa jam kerja telah berakhir. Beberapa rekan kerja di ruanganku beranjak pergi. Berpamitan padaku dan Kalista. Sedangkan aku masih membereskan berkas di meja selagi menunggu komputerku mati.

"Jadi? Kamu ikut bersamaku atau tidak?"

"Aku ngojek." Aku segera beranjak meninggalkan meja menuju
Finger print.

Kalista mendengus kesal berjalan di belakangku. "Aku yakin kalau kamu belum membuka undangan dari Ares."

"Aku saja lupa meletakkannya di mana?" jawabku tanpa menoleh ke arahnya.

Saat di area parkir aku dan Kalista berpisah. Karena dia menuju tempat parkir mobil di basemen sedangkan aku menuju sisi luar gedung. Kalista bilang ia pulang bersama rekan kerjanya karena perlu mampir ke toko pakaian untuk mengambil gaun yang dia gunakan untuk pesta resepsinya Arestia. Saat di area parkir aku segera kembali ke indekos karena harus mandi dan bersiap untuk ngojek. Sesampainya di indekos, aku menyalakan aplikasi siapa tahu setelah aku mandi aku mendapati pelanggan.

Aku sudah siap dengan jaket ojek online. Ketika sedang memakai sepatu aku mendapati pesanan kopi di tempat aku bertemu dengam sales tadi pagi. Aku segera beranjak.

Si pemesan bernama Riani. Aku mencoba menghubunginya bermaksud untuk menanyakan aku harus mengantarnya ke mana. Biarpun sekarang aku menuju ke rusunawa yang ditujukan oleh aplikasi, tetapi tidak ada petunjuk lain berada di lantai dan nomor berapa. Percobaan pertama dia berada di panggilan lain. Baru masuk percobaan ketiga panggilan kami tersambung. Dia memintaku untuk menunggu di lantai bawah.

Sesampainya di sana, aku langsung mengabari. Perlu beberapa waktu untuk menunggunya datang. Penampilan wanita itu begitu kacau. Matanya sembab dan dia mengenakan pakaian serba hitam dan rambut digelung ketat tidak rapi sampai terlihat kulit kepalanya tertarik.

"Aku berusaha membatalkan pesanan. Tapi kamu datang juga." Tiba akhirnya dia sedikit bingung. Mulutnya terbuka sepertinya dia hendak mengatakan sesuatu. "Kamu?"

Aku berusaha mengingat kapan aku bertemu dengannya. Hingga dia mengatakan, "Kita bertemu tadi pagi. Kamu yang membantuku mengisi bensin."

"Ah!" seruku sambil mengangguk. "Terus pesanan ini, bagaimana?"

"Saya mau cancle pesanannya. Aku baru sadar kalau tidak ada uang cash."

Aku menepuk dahi. "Tidak bisa seperti itu, Mbak."

"Hemm," gumamnya. "Kalau begitu aku ke ATM dulu. Di dekat sini kok."

"Baik saya tunggu di sini." Saat itu aku berdiri di dekat tangga. Aku pun duduk dengan sekantong es kopi mengantung di ujung jariku.

Aku berusaha memeriksa waktu. Wanita itu sudah pergi hampir lima belas menit, tetapi tidak juga datang. Aku menyerah. Hanya karena segelas kopi aku menunggu selama ini. Lebih baik aku menerima pesanan lain. Dia adalah pelanggan pertamaku tapi sudah seperti ini. Aku pun berdiri. Meletakan kopi itu di tangga. Dan segera pergi.

Aku baru keluar gedung, aku melihat seorang wanita dengan pakaian serba hitam duduk berjongkok di pinggir jalan. Aku segera menghampiri karena penampilannya tampak familier.

"Mbak Riani?" Dia mendongak ketika kupanggil namanya. Wajahnya basah dan matanya merah berair. "Mbak, kenapa duduk di sini?" Mulanya aku ingin mengintrogasi kenapa dia malah bersembunyi dan tidak pergi ke ATM.

"Kartuku ketelan mesin ATM," rengeknya. "Aku gak tahu harus membayar kopi itu dengan apa. Aku minta maaf."

"Iya tidak apa, kopinya sudah saya buang. Pesanaan Mbak juga sudah saya batalkan," kataku sambil mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri.

"Aku sudah merepotkan kamu dua kali." Dia terus saja merengek bahkan lupa kalau dia bukan lagi anak kecil, melainkan wanita dewasa. "Dan aku mengalami masa sulit bertubi-tubi."

Aku bergeming. Melihat kondisinya dari dekat aku langsung merasa iba. Dia menatapku seakan dia minta pertolongan, sedangkan aku tidak tahu hal buruk apa menimpanya.

"Nama kamu juga mirip dengan mantan suami saya. Saya kira kamu mantan suami saya. Saya sempat ingin membatalkan pesanannya setelah tahu nama kamu. Tapi kamu sudah membeli kopinya."

Aku tidak bisa memahami apa yang dia maksud. Dalam artian aku berusaha melihat informasi lain apakah dia menjadi seperti ini karena mantan suaminya itu atau bukan.

"Kontrakan Mbak ada di lantai berapa? Biar saya antar ke sana. Mbak perlu istirahat."

Dia tidak bergerak dan tidak menunjukan ekspresi menyetujui tawaranku. Aku jadi ingin menarik perkataanku. Aku menunggu hingga beberapa detik sampai akhirnya dia mengangguk.

Anehnya dia hanya bergeming dengan memegang kedua sikunya. Tanganku ragu untuk menyentuhnya. Aku takut dia tersinggung. Saat aku mengarahkan tangan ke lengannya. Dia tidak menunjukan penolakan. Jadi, aku mencoba untuk merangkulnya dan menghalau untuk berjalan menuju gedung.

BERSAMBUNG

If you're enjoying the story, please consider voting/commenting. Thanks!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top