SEBELAS

[ 20.04 -- 21.05 ]

Pintu rumah Riani terasa panas. Kuyakin Riani masih ada di balik pintu. Kuketuk berharap dia membukanya, tapi aku tidak mengatakan apa-apa. Karena jika aku menjelaskan banyak hal Riani masih akan tetap mengusirku. Juga, aku tidak ingin terlibat masalah baru dengan menggangu orang-orang sekitar.

Aku berdiri di depan pintu rumahnya berusaha mengingat warna matanya dan rambutnya yang bergelombang saat pertama kali bertemu di pinggir jalan ketika bensin mobilnya habis. Juga aku mengingat suara tawanya ketika bermain Truth or Dare. Aku juga berusaha mengingat genggaman tangannya, saat dia menyadarkan kepalanya, dan saat dia duduk di punggungku. Hanya beberapa jam berlalu tapi ketika semua itu berputar di kepalaku tidak lebih dari setengah menit.

Aku berbalik. Kupandangi lorong-lorong rusun. Semua tampak hening. Aku menggaruk kulit kepalaku dengan gusar. Mengurai rambut dengan tangan. Aku sungguh menyesal tidak tahu kalau ceritaku akan menyinggung perasaanya. Aku memang belum pernah merasakan kehilangan seseorang sedangkan Riani sudah kehilangan banyak orang dalam hidupnya. Aku menyadari penuh jika tidak ada orang siap merasakan kehilangan.

Rasanya aku ingin menghantam kepalaku ke tembok mengingat ekspresi kesal dan ketakutan yang tertampang di wajah Riani. Kemurkaannya padaku, pada ceritaku, dan saat dia mengusirku. Semua itu masih terngiang di telingaku. Hanya butuh waktu sedikit sampai hal itu terjadi hingga aku dan Riani berakhir seperti ini. Amarah masih membakarnya untukku.

Kemudian aku hanya berdiri dalam diam menatap langit-langit. Ponselku berdering tidak lama setelah itu. Aku merogohnya di dalam weistbag. Ibuku mencoba menghubungiku. Kutatap pintu rumah Riani sejenak, masih mengharapakan hal yang sama pintu itu terbuka, sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi.

Mataku kembali menatap layar. Sudah enam minggu Ibu tidak pernah meneleponku. Sejak televisi di rumah rusak. Dan aku berusaha menduga. Apa lagi sekarang? Apa yang sebenarnya terjadi di rumah.

"Halo, Bu," sahutku. Aku sudah melangkah lima meter dari pintu rumah Riani hingga aku berada di ujung tangga tatapanku baru teralihkan. "Ada apa, Bu?"

Aku mendengar suara Ibu terisak. "Danu lagi di mana?" Aku terus melangkah. Kupekakan telinga karena suara Ibu selalu lemah ketika memulai telepon.

"Lagi di rumah teman." Aku sudah setengah perjalanan menuju lantai dasar. "Ibu tidak apa-apa kan di Surabaya?"

"Ibu baik, kamu apa kabar, Nak?" Aku berniat menilik waktu di jam tanganku. Tetapi aku lupa jika jam tanganku masih tergeletak di atas tempat tidur Riani. Jika, aku meminta untuk mengambilnya jangankan seperti itu, masuk ke rumahnya saja mungkin tidak dia tidak mengizinkanku.

"Danu, baik." Jadi aku menilik waktu pada layar ponsel. "Ayah dan Adik-adik, gimana, Bu?"

"Dian lagi main ke tetangga. Kalau adikumu si Dini lagi belajar di kamar, katanya ada tugas kuliah." Suara Ibu terdengar serak.

Aku merasa jika Ibu hendak mengatakan sesuatu. Karena saat aku diam Ibu juga ikut diam. "Apa ada yang perlu Ibu bicarakan ke Danu? Mungkin Ibu atau adik-adik butuh sesuatu."

"Danu," lirih Ibu. "Kemarin Dian baru dibelikan sepeda motor oleh Ayah kamu. Supaya Dian ke sekolah gak usah naik angkot lagi. Terus Dini...,"

Aku mencurigai jika Ibu dan Ayah sedang ada masalah. Sehingga aku memutuskan untuk mengatakan. "Dini butuh apa, Bu? Mungkin Danu bisa bantu."

Ibu tiba-tiba terisak-isak. Perutku terasa mencelus. Aku yakin jika Ibu dan Ayah usai berantem. Aku berusaha menebak masalahnya. Tapi, semua tampak abu-abu. Terhitung empat bulan yang lalu aku pulang ke Surabaya. Dan semuanya tampak baik-baik saja.

"Kenapa, Bu?" Aku berusaha mendengar begitu serius. Saat ini aku sudah berada di atas sepeda motor. "Ibu bilang saja ke Danu kalau memang ada masalah. Apa Danu perlu pulang?"

"Gak usah, Nak. Di sini baik-baik saja."

"Terus Ibu kenapa menangis?" kataku berusaha agar suaraku terdengar tenang dan santai. Biarpun aku panik sekarang.

Ibu tidak menjawab. Suara isaknya terdengar nyaring di telepon. Aku semakin tidak sabaran.

"Kalau begitu tolong Ibu kasih teleponnya ke Dini. Biar Danu ngomong sama Dini. Ibu jangan menangis lagi. Danu jadi merasa bersalah gak ada di rumah," pintaku.

"Sebentar."

Aku menghela napas setelah itu. Sambil menunggu Ibu sedang mengetuk pintu. Dan sedikit berbicara kepada Dini. Ada sedikit perbimcangan atara mereka yang tidak terdengar jelas di telepon. Sebab mereka berbisik-bisik.

"Halo, Mas Danu," ucap Dini. "Ada apa, Mas?"

"Ibu kenapa?" Sergahku.

Aku mendengar suara bisik-bisik. Hingga Dini menjawab, "Ibu tidak apa-apa, Mas."

"Jangan bohong sama aku. Tadi Ibu nangis kenapa coba?" Aku mengusap tengkukku. "Ibu masih di sana?"

"Iya," jawab Dini singkat.

"Kamu lagi butuh apa sama kuliah kamu?" tebakku. Dini berbisik mengulang kalimatku.

"Dua minggu lagi sudah aktif magang, Mas."

"Terus kamu minta uang ke Ayah?" Aku menghembuskan napas. "'Kan sudah Mas bilang, kalau kamu butuh apa-apa bilang ke Mas."

"Iya, Mas, maaf." Suara Dini terdengar lemah. "Dini sudah bilang ke Mas Dhani tapi kata Mas Dhani lagi gak ada uang."

"Di rumah habis ribut pasti." Aku mengubah posisi ponselku ke telinga kiri. "Coba ceritakan!"

"Iya." Suara Dini hampir tidak terdengar olehku. "Jadi, tadi Dini bilang ke Ayah kalau butuh uang 500 ribu untuk perjalanan pulang-pergi dari Surabaya Ke Solo, untuk biaya tiket dan makan juga di sana. Terus Ayah bilang aku kalau disuruh cari tempat magang di Surabaya. Teman-temanku ambil magangnya di Solo, Mas. Dini ingin magang di sana. Lagi pula sudah ajukan surat magang di sana."

"Hem," kuhela napas dalam-dalam. Sudah pasti Ibu berniat membela Dini tapi imbasnya Ibu kena marah juga. "Ya sudah. Lain kali bilang ke Mas dulu. Kapan berangkat?"

"Rencanya lusa. Lagi mau cari tiket kereta dulu." Dini diam sejenak lalu melanjutkan. Saat itu mataku teralih pada seseorang yang baru masuk ke gedung. "Kata teman-teman besok di sana menginap semalam."

"Ya sudah habis ini Mas transfer. Kirim nomor rekeningnya lewat WA."

"Serius, Mas," kata Dini semangat tapi setelah sedikit berdebat dengan Ibu. "Dini jadi pergi ke Solo?" Suara Dini hampir tidak terdengar karena suara Ibu.

Kemudian Ibu mengambil alih teleponnya. "Kalau kamu lagi gak ada uang gak usah, Nak. Dini bisa usahkan cari tempat magang di sini dulu."

Terdengar suara Dini mengeluh. "Ah, Ibu."

"Danu ada uang. Ibu gak usah pikirkan itu. Juga kan Dini inginnya bareng sama teman-temannya." Aku berusaha menenangkan. Ibu selalu bersikap seperti itu padahal aku juga tidak pernah mempermasalahan itu. "Danu juga kirim buat Ibu dan Dian."

"Terima kasih, Nak."

"Lain kali bicarakan ke Danu dulu sebelum bilang ke ayah. Kalau seperti ini kan kasihan Ibu."

"Iya, Nak, Ibu akan bilang ke kamu." Ibu mengembuskan napas. "Waktu itu Ibu sudah minta kiriman uang ke kamu buat beli televisi. Dan Ibu kira Mas kamu, Dhani ada uang jadi gak usah minta kamu lagi."

"Ya sudah. Ibu istirahat dulu. Tolong kasih teleponnya ke Dini."

Kumenunggu beberapa detik hingga suara Dini kembali muncul. "Mas pesan sama kamu. Kalau di rumah ada apa-apa bilang ke Mas. Jangan sampai Ibu dan Ayah tahu."

"Iya, Mas."

"Ya sudah tutup teleponnya. Juga segera kirim nomor rekeningnya. Biar Mas langsung transfer. Satu hal lagi, kalau Ayah tanya kamu dapat uang dari mana bilang saja 'Mas Danu tiba-tiba transfer ke rekening aku, buat jajan.'."

"Iya, Mas."

"Oke." Aku menjauhkan ponselku dari telinga. sambungan panggilan sudah di putus oleh Dini.

Aku berniat pergi setelah mentranfer uang ke Dini. Tidak lama setelah itu aku segera membuka aplikasi mobile bangking saat Dini sudah mengirim nomor rekeningnya melalui pesan whatsapp. Saat transfer uang berhasil aku beralih ke aplikasi ojek. Mengaktifkan akun. Aku menunggu hingga mendapatkan pesanan.

Satu pesanan muncul aku segera mengambilnya. Ternyata salah satu dari penghuni rusunawa. Jadibaku memberi kabar kalau sudah di depan gedung. Aku menunggu beberapa menit hingga seorang lelaki muncul dan berjalan mendekat. Dia mengenakan celana hitam panjang dan kaos kuning.

"Mas, Danu? Saya Kevin."

Aku mengangguk. Aku memeriksa alamatnya. "Mas, saya kurang tahu alamatnya. Nanti, Mas kasih arahanya, ya? Maksud saya belok-beloknya."

"Iya, Mas." Aku langsung mengulurkan helm.

Saat lelaki itu naik ke boncengan aku segera melaju menjauhi rusunawa. Baru beberapa melintasi jalanan lelaki itu langsung menanyaiku memcah kesunyian.

"Mas, tadi kok cepat sudah di depan rusun?" tanyanya.

"Iya tadi dari rumah sepupu." Aku mengikuti alibi Riani takut dia adalah salah satu keluarga dari Ibu-Ibu yang melayat di rumah Riani tadi.

"Siapa Mas kalau boleh tahu, di lantai berapa?"

"Riani. Mas, kenal?" Aku cemas ketika menyebut nama Riani.

"Loh, Mas sepupunya Riani?" serunya. "Tadi ibu saya cerita kalau ada orang ganteng di rumah Riani." Dia tertawa setelah itu.

"Ada-ada saja." Aku ikut tertawa biarpun sedikit kikuk rasanya.

Kami pun melanjutkan perbuncangan ke hal lain. Mulai dari pekerjaan, juga dia sedikit penasaran dengan kota Surabaya, aku juga sedikit menceritakan tentang perbandingan kota Surabaya dan Banyuwangi. Dia tampak antusias akan itu hingga percakapan terus berlanjut di samping dia juga mengarahkan jalan sampai tidak menyadari kalau telah sampai ke tujuan yang dia inginkan.

Berlanjut sampai ke pesanan kedua dan ketiga berjalan lancar. Aku sampai tiba di jalan Jendaral Ahmad Yani menuju ke Jalan Adi Sucipto. Aku melewati Roxy Square di pinggir jalan aku bertemu dengan Riani. Aku tidak memahami bagaimana dia sampai ke sini. Dia sedang berusaha menenangkan anak kecil yang menangis. Aku putuskan untuk berhenti dan menyebut namanya.

"Riani!" panggilku. Dia menoleh. "Kenapa?"

"Danu, tolong bantu aku. Dia kehilangan orang tuanya," teriaknya. "Katanya tadi habis dari Roxy terus dia menyeberang sendirian."

"Waduh," sahutku. "Aku lagi mau antar pesanan makanan." Pandanganku mengarah ke sana dan ke mari. Anak kecil berumur sekitar delapan tahun itu masih menangis.

"Begini saja, kamu bilang ke petugas keamanan Roxy, bagaimana?" kataku mengusulkan. "Belikan sesuatu untuknya, es krim atau apa gitu supaya dia tidak menangis lagi."

Aku langsung membuka dompet dan memberikan uang seratus ribu ke Riani. Dia mulanya ragu menerima uang itu. Setelah aku paksa dia akhirnya menurut.

Aku turun dari sepeda. "Ayo, aku bantu menyebrang." Riani mengangguk dan dia segera menggandeng anak kecil itu yang kini masih terisak-isak.

Sesampainya di seberang. Aku lansung berjongkok berniat mengajak bicara anak kecil itu. "Adek jangan menangis Tante sama Om pasti bantu."

Dia menjawab dengan tangisan.

"Adik sama Tante tunggu di sini saja nanti biar orang tua adik gampang carinya." kataku berusaha menenangkan. "Beli jajan dulu ya, di dalam sama Tante."

Dia sudah tidak menangis tapi napasnya masih sesenggukan. Kemudian dia mengangguk.

Aku berdiri dan menatap Riani. "Kamu ke sini sama siapa?" tanyaku.

"Sendiri, tadi nebeng tetangga."

"Hem." Aku menggelengkan kepala. Sebab aku ingat dia tidak punya uang kenapa pula dia berada di sini. "Bagaimana perkembanganya nanti kamu tetap di sini. Aku yang akan antar kamu pulang. Tunggu aku. Paling cuma sebentar."

Dia mengangguk. Tanganku tidak bisa menahan untuk tidak mengusap lengannya. Aku juga mengusap rambut anak kecil itu. Kemudian aku langsung pergi kembali menyebrang jalan.

BERSAMBUNG

If you're enjoying the story, please consider voting/commenting. Thanks!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top