SATU
[ P A G I ]
Karena alasan yang tak pasti, aku membutuhkan waktu sekian detik untuk menyadari jika ada seseorang di depan pintu indekosku. Terlihat dari kisi-kisi kaca pintu Arestia menyeka air matanya. Kudongakkan kepalaku lalu kuhela napas berat. Setelah kubutuhkan beberapa detik lagi untuk berjalan mendekat aku meraih ganggang pintu tanpa melihat. Arestia tampak belum siap jika aku menyambutnya. Dia tersentak. Jarak aku dan dia kira-kira satu meter dari ambang pintu.
Kubenarkan posisi dasi lalu menyapa. "Hai?!" Memang terdengar seperti keraguan, tapi, sudahlah, dia telah mendengarnya.
"Eh, Hai!" sahutnya. Dia tersenyum dengan menampakkan giginya yang rata dan bersih. Gincu merah padam seperti biasa, tidak ada yang berubah, aku cukup mengenalnya.
"Sama siapa datang ke sini?" Aku menyadari di pinggir jalan ada sebuah mobil berhenti. Tampak di jendela depan mobil terbuka. Di kursi kemudi, seorang pria tengah duduk menatap ke arah indekosku alih-alih kepadaku. Kemudian aku mengangguk.
Arestia tersedak ketika hendak mengatakan sesuatu. "Aku datang hendak memberikan ini." Dia mengulurkan semua kertas bermotif terbungkus plastik bening. Itu adalah undangan resepsi pernikahan. "Aku datang ke indekos kamu untuk mengantarkan undangan akad waktu itu, tapi ternyata kamu pindah ke indekos milik keluarganya Chris."
Aku segera menerimanya. Pandanganku tidak bisa tidak lepas ke arah mobil Pajero di seberang jalan. Arestia menyadari perbuatanku. Dia ikut menoleh setelah undangan berhasil pindah ke tanganku. Aku tahu situasinya sangat canggung tapi aku tak kuasa mengubahnya. Bukan karena aku berusaha menghindarinya, Arestia tidak melakukan kesalahan, hanya saja dia bukan lagi milikku sekarang. Lusa lalu, dia menikah dengan seorang pria, dia duduk di dalam mobil hitam itu. Hubungan kami memang tidak berhasil, orang boleh beranggapan bahwa aku gengsi mendatangi acara pernikahannya. Sedangkan bukan itu, aku harus lembur di kantor hingga menyita waktu akhir pekanku karena lelah dan mengantuk.
"Aku berharap kamu bisa datang. Aku akan senang sekali jika kamu datang." Arestia menatap mataku. Kontes saling berpandangan terlama pun di mulai, dan aku kalah. Aku yang pertama memutus kontak. "Acaranya nanti sore. Maaf baru kirim undanganya hari ini."
Setetes air mata turun di pipinya sebelah kanan. Jatungku tiba berdegup kencang. Ingin rasanya kubelai rambutnya lalu mengatakan "Kita akan baik-baik saja seperti ini." Namun, bukan saatnya bagi kami menyesali keputusan yang telah kami buat sebulan yang lalu. Juga bukan karena aku mengiinginkannya kembali. Pada akhirnya aku menyadari bahwa tidak pernah tidak seyakin ini dalam hidupku.
Aku mengangguk. Tidak ada kalimat yang bisa kuucapkan. Aku masih menimbang apakah aku bisa datang ke acara itu. Seperti halnya ular yang mendatangi sarang elang pasti aku tidak akan bertahan lama di sana. Semua kenangan itu terus berputar di depanku telah merenggut hari-hari tenangku. Hubungan kami berakhir bukan setelah kami berdebat hebat, atau ada orang ketiga di antaranya, melainkan kami memang bukan ditakdirkan bersama. Aku hanya sebagai penjaga istri seseorang. Seperti itulah takdirku untuknya.
Hubunganku dengan Arestia dimulai ketika kami di bangku kuliah. Mulanya aku datang dari Surabaya tidak mengenal tempat-tempat di Banyuwangi dengan baik. Hingga akhirnya aku bertemu Arestia dan sahabatnya, Kalista. Mereka yang membantuku mencarikan keperluanku selama kuliah, seperti tempat yang bisa aku gunakan untuk fotokopi, scan, jilid, print, dan juga tempat di mana aku bisa membeli laptop dan keperluan lainnya. Kami berada di jurusan yang sama yaitu strata satu program studi akuntansi.
Waktu itu, selayaknya sebuah pasangan, aku menandai Arestia sebagai wanitaku. Tidak terbesit untuk mengkhianatinya. Dan tidak lewat sedetik kami rela kehilangan setiap momen antara aku dan dia. Aku menggungkapkan perasaanku padanya dan dia tampaknya juga mengingingkan hal yang sama. Jadi kamipun berpacaran hingga lulus kuliah.
Pasca-magang aku mendapatkam tawaran tanda tangan kontrak. Mulanya memang gaji yang kudapat tidak kurang dari satu juta perbulan. Setelah lulus kuliah nilainya bertambah, aku memutuskan menetap di Banyuwangi dan kira-kira gaji yang kudapat setelah itu lebih dari cukup. Namun, aku baru menyadari bahwa gajiku tidak seberapa dengan jika diukur bagaimana keluarganya membahagiakannya. Setelah dia dibelikan mobil oleh orang tuanya. Walapun dia tidak mempermasalahkan itu. Pasalnya kami belum memikirkan untuk membuat tabungan bersama. Tetapi aku tetap tidak bisa.
Pada dasarnya aku memang cupu jika memandang materi seseorang sebagai derajat kesuksesan. Sejak itu hubungan kami mulai merenggang. Semua karena kesalahanku. Tidak bisa bersikap biasa.
"Mau berangkat kerja?" tanyanya. Ibarat layar ponsel otakku muncul lingakaran putih yang terus berputar.
"I-iya." Aku menengok waktu di jam tangan. "Masih ada waktu satu jam, mau mampir dulu?"
"UGH!" Arestia mendengus kesal.
Dia melangkah maju. Jarak kami sekarang kurang dari setengah meter. Dia langsung melesakkan tangan ke antara dada dan lenganku. Aku hampir jatuh ke belakang menahan tubuhnya. Dia menangis. Kubalas pelukan itu dan kuusap punggungnya yang hangat.
"Aku bingung. Ada apa denganku," isaknya. Wajahnya terbenam di dadaku.
Kulihat suaminya turun dari mobil. Dia berjalan mendekat masuk ke area halaman indekosku. Wajahnya begitu tenang. Aku baru memahami bahwa dia lah yang bernama Chris. Seketika aku merasa menciut pasalnya aku sedang memeluk Arestia, istrinya. Bukan gayaku menilai penampilan seseorang, dia sedang mengenakan kaos berkerah berwarna putih dan celana panjang berwana biru navy dan sepatu oxford abu-abu.
Aku meremas bahu Arestia berusaha agar dia melepas pelukannya. Dia masih terisak saat dia menatapku. Kuusap sisa air mata di pipinya. Dia tampak menikmati sentuhan tanganku. Membuatku merasa kasihan dengan kondisinya. Padahal sebenarnya aku sedang terguncang hebat melihat Arestia dan suaminya berdiri di depanku.
"Masuk dulu, aku buatkan minuman." Aku membukakan pintu untuk mereka namun mereka tidak segera beranjak
"Terima kasih, tapi kami harus pergi karena masih ada keperluan untuk acara nanti sore." Suami Arestia yang mengatakan itu. "Mungkin lain waktu kami akan mampir." Dia merangkul Arestia dan menghalaunya berjalan menuju mobil.
Arestia kadang kala menoleh kebelakang untuk melihatku. Aku melambaikan tangan ketika itu. Setelah mereka masuk ke dalam mobil dan melaju menjauhi lingkungan indekosku, aku baru menyadari bahwa bajuku terdapat noda merah samar-samar. Aku langsung masuk dan berganti baju.
Setelah itu, aku tidak langsung pergi ke kantor melainkan menuju ke sebuah kafe di Jalan Jenderal Ahmad Yani. Di sana aku hendak menemui sales untuk pembelian barang di perusahaan. Sesampainya di sana ternyata orang yang kumaksudkan tengah duduk sedang menyesap kopi. Segera aku menghampirinya.
"Selamat pagi, mbak," sapaku. "PT. Bramana Dasa."
"Mas Danu?" sahutnya seraya meletakkan cangkir kopi ke meja. Dia berdiri lalu menjabat tanganku. "Saya Indah. Pesan dulu, Mas."
Aku segera menuju kasir dan memesan satu kap es kopi susu gula aren. Setelah aku mendapatkan struk pembayaran dan sudah aku bayarkan aku segera kembali. Kutarik kursi di depan wanita sales tersebut. Segera aku duduk lalu menyiapkan beberapa berkas.
"Lama, menunggu mbak?" Aku berusaha meringankan ketegangan di antara kami.
"Lumayan, tapi tidak apa. Saya juga lagi santai." Dia tersenyum memperhatikanku membolak-balik berkas-berkas di meja.
"Proposalnya sudah saya kirim melalui surel kemarin. Sudah Mbak periksa?" Lanjutku mulai mengarahkan pada topik utama. Kuserahkan hasil cetak proposal kepadanya.
"Yah, saya sudah membaca." Dia juga memangku tas kerjanya lalu mengeluarkan satu bandel kertas bertuliskan kolom dan baris daftar belanjaan yang hendak dibeli perusahaanku. "Ini daftar harga yang kami tawarkan."
Setelah kami bertukar berkas. Kami tersibukkan untuk membacanya. Hingga pesananku diantarkan kami juga masih tersibukkan untuk membaca. Aku melihat satu-persatu daftar yang tersaji juga membandingkan harga sesuai dengan anggaran perusahaan.
"Dari proposal ini, perusahaan kami hanya bisa memenuhi 65 persen dari jumlah yang diminta."
"65 persen?" Aku memastikan apakah aku tidak salah dengar. "Apakah tidak bisa ditambah? perusahaan kami telah berkerja sama dengan perusahaan Anda kurang lebih lima tahun."
"Itu sudah keputusan dari perusahaan. Karena kami tidak bisa menaikkan anggaran produksinya. Juga karena permintaan perusahaan Anda melebihi daripada produksi normal kami."
"Bagaimana jika 75 persen? Kami akan menambah dua persen dari jumlah yang harus dibayarkan." Aku sudah yakin dengan keputusan ini karena sebelumnya aku sudah di-briefing mengenai kesepakatan pembelian.
"Saya coba tanyakan ke kantor dulu." Dia mengeluarkan ponselnya. Lalu, meminta izin untuk keluar kafe hendak menelpon seseorang. Aku hanya mengangguk dan dia segera pergi.
Akhirnya aku mengeluarkan ponselku, yang sejak tadi bergetar di pahaku di dalam kantong celana. Kalista berkali-kali mencoba untuk menghubungiku, tidak lupa dia juga mengirimkan beberapa pesan whatsapp. Aku hanya membaca pesan tersebut dari panel notifikasi.
Kalista
Kamu di mana?
Aku datang ke ruangan kamu gak ada.
Ares tadi ke indekos kamu?
Danuuu...
Lalu aku mencari kontak Kalista. Kucoba untuk memanggilnya. Dilayar hanya bertuliskan 'berdering' aku segera mematikan karena Mbak Indah sudah kembali duduk di depanku.
"Tiga persen?" katanya sambil membenarkan belahan rambut bagian depan dengan jari telunjuk. "Bagaimana?"
"Dua koma lima persen?"
"Deal." Mbak Indah terbatuk. "Tapi, uang muka yang harus dibayarkan 50 persen ditambah 2,5 persen, bagaimana?"
"Deal."
Kami berjabat tangan. Kemudian melakukan serangkaian kegiatan sesuai SOP perusahaan untuk kesepakatan kedua belah pihak. Sambil menunggu Mbak Indah menyiapkan berkas aku meminum kopiku. Dia menandantangani beberapa lembar lalu kemudian menyerahkan kepadaku.
"Jika uang muka sudah terbayarkan kami akan segera memproduksinya. Untuk pelunasan perusahaan Anda bisa melakukannya setelah barang berhasil dikirim."
"Baik terima kasih, Mbak." Aku merapikan berkasku dan memasukkan ke tas kerja. Kemudian aku berdiri dan menjabat tangannya. "Senang bisa bekerja sama kembali."
Saat aku perjalanan menuju sepeda motor Kalista mencoba menghubungiku kembali. Aku segera mengangkatnya. Menggulir tombol hijau di layar.
"Kenapa?"
[Hei! Susah sekali hubungin kamu ini. Lagi di mana?]
"Aku habis meeting dengan sales di luar kantor." Aku teringat dengan pesan darinya tadi. "Iya, tadi Arestia datang ke indekos kasih undangan"
[Gimana ceritanya? Kok dia bisa tahu indekos baru kamu?]
"Nanti aku cerita di jam makan siang." Aku menaiki sepeda motor. "Aku mau otw dulu ke kantor."
[Ya sudah, hati-hati.]
"Iya."
Kumatikan sambungan telepon lalu menyimpan ponselku ke saku kemeja. Aku memeriksa waktu di jam tangan. Kira-kira aku akan sampai di kantor pukul 10, pastinya Kalista sudah berdiri di lobi menyambutku datang dan menyerbuku dengan segudang pertanyaan. Tanpa berpikir lebih panjang lagi aku segera pergi dari area parkir kafe.
BERSAMBUNG
If you're enjoying the story, please consider voting/commenting. Thanks!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top