DUA PULUH SEMBILAN

[ 06.00 -- 06.54 ]

Gadis kecilku tertidur di atas ranjang kecil, aku bersimpuh di sampingnya hanya bisa mengusap kepalanya yang terasa hangat. Suatu hal yang menghubungkan antara aku dengan dia tidak bisa tergambarkan dengan jelas. Aku merasa terikat dengannya dan mungkin dia juga merasakan hal yang sama. Umurnya baru empat tahun dan dia hanya bertemu denganku hanya di akhir pekan saja.

"Dia baru tidur setelah bertelepon dengan Anda tadi," kata Bu Toni. Beliau adalah pengelola rumah panti ini. "Saya senang Anda bisa datang, Pak Danu."

"Ya, saya pasti datang," jawabku. "Untuk Olivia, saya pasti akan datang."

Beliau mengangguk. "Mungkin kita bisa berbicara di ruang makan? Mari sarapan bersama."

Aku mengangguk. Kami berjalan bersisian menuju ruang makan dan hampir setengah meja sudah dikelilingi oleh anak-anak yang tinggal di panti. Ada beberapa ibu panti lain yang bergabung. Mereka menyapaku dan juga menyambutku dengan wajah bahagia.

"Olivia kemarin bermain air di halaman dengan Jessy dan Noah," kata Ibu panti lain yang aku belum kenal nama mereka. Sepertinya beliau orang baru di sini. "Olivia sakit sejak sore. Maaf kami baru menghubungi Anda pagi tadi."

"Tidak masalah, yang terpenting sekarang Olivia baik-baik saja." Kamu semua duduk bersila di samping meja makan. Beberapa anak di sekitar kami sudah memulai makan dan mereka sudah mengenakan seragam sekolah. Ada beberapa anak lain juga baru bergabung. "Mungkin saya nanti bisa membawa ke puskesmas, jika Olivia bangun?"

"Kami sangat berterima kasih atas itu," timpal Bu Toni. "Kami sama sekali tidak keberatan, Olivia suka sekali dengan Anda."

Aku tersenyum.

"Semalaman dia ingin bertemu dengan Anda. Tapi kami takut menganggu Anda karena memang waktu itu sudah tengah malam."

"Ibu bisa telepom saya kapan saja. Kapan saja jika Olivia ingin bertemu dengan saya." Pikiranku kembali ke rusum Riani. Karena tangah malam aku ada di rumah Riani. Dan yang kami lakukan di dekat lukisam jendela.

"Mari Pak Danu." Seseorang menyajikan makanan di depanku. Bukan makanan mewah. Hanya satu centong nasi, lauk tempe dan tahu goreng, juga kuah sop di mangkuk kecil. Aku melihat sekeliling mereka semua sudah memulai makan. Mulanya memang terasa sedikit canggung makan bersama mereka tapi aku bisa cepat menyesuaikan.

Setelah sarapan usai, dan beberapa anak berpamitan untuk berangkat ke sekolah. Juga beberapa ibu panti mengantarkan anak usia prasekolah dan Sekolah Dasar menaiki mobil. Bu Toni yang bertugas tetap berada di panti. Kami memilih untuk duduk kursi di beranda. Beberapa anak berseragam SMP dan SMA mulai keluar dari panti dan berpamitan denganku dan Bu Toni. Mereka sudah mengenalku, jadi kehadiranku di sini tidak membuat mereka canggung terhadapku.

"Olivia tidak butuh sesuatu? Mungkin dia ingin mainan atau apa?" kataku memulai pembicaraan setelah mungkin semua anak panti usia sekolah sudah meninggalkan rumah.

"Kami masih belum menggunakan uang yang dari Pak Danu awal bulan ini. Tapi, Olivia tidak ingin apa-apa. Jadi kami masih menggunakan uang dari Pak Danu minggu lalu untuk keseharian Olivia." Aku cukup senang mendengarnya. Tapi aku selalu tidak bisa tidak memberikan apa pun setiba dari sini.

Aku memberikan sejumlah uang yang aku masukkan kedalam amplop pagi sebelum berangkat ke sini tadi. "Buat, Ibu," kataku.

"Terima kasih, Pak Danu." Bu Toni langsung menyimpan amplop itu ke saku pinggangnya. "Pak Danu tidak ke kantor hari ini?"

"Saya mengambil cuti." Aku mendesis. "Saya juga mau bilang kalau saya akan ke Surabaya nanti siang. Mungkin sampai sepekan ke depan. Kalau Olivia mencari saya, ibu bisa telepon saya. Atau perlu saya ke sini. Saya akan langsung mencari tiket ke Banyuwangi." Aku menatap wajah Bu Toni lamat-lamat agar beliau tidak bersikap sungkan kepadaku.

"Baik, Pak Danu." Sebenarnya aku tidak cukup nyaman harus dipanggil dengan sapaan Pak sebelum namaku. Tapi Bu Toni tidak bisa menanggalkan kata sapaan itu untukku, biarpun aku berkali-kali memintanya. Jadi, aku tidak pernah mempermasalahkan itu lagi. "Oh, iya saya ambilkan kartu berobat milik Olivia dulu."

Aku mengangguk dan Bu Toni segera masuk ke rumah panti. Cukup lama beliau di dalam jadi aku memutuskan untuk jalan-jalan santai berkeliling ke beranda. Suasana di sini cukup tenang dan cukup jauh dari jalan raya. Aku masih ingat betul ketika kali pertama membawa Olivia ke rumah ini saat masih bayi. Aku ditemani dengan tiga wanita paruh baya yang tinggal di lingkungan Ibu Olivia, termasuk si bidan yang membantu persalinan.

Yang pasti aku tidak bisa meninggalkan Olivia begitu saja. Aku masih terus datang ke sini jika aku ada waktu luang. Terus berulang. Hingga Olivia semakin besar aku memutuskan untuk setiap akhir pekan untuk meluangkan waktu untuk datang ke sini. Aku bermain dengan Olivia di halaman samping, bukan hanya itu tetapi juga beberapa anak sekitar rumah panti yang umurnya hampir sama denga Olivia.

"Pak Danu?" panggil Bu Toni dan aku langsung berbalik. "Ini, Pak, kartu berobatnya."

"Terima kasih," kataku. Aku menerima itu dan menyimpannya di saku kemejaku.

Kami kembali duduk. Bu Toni menyerahkan buku bergambar dan aku langsung menerimanya. "Beberapa hari lalu Olivia menggambar sesuatu. Katanya untuk Anda. Dia bilang jika saya bertemu dengan Anda saya diminta untuk memberikan ini."

Aku mendengarkan ucapan Bu Toni juga membuka setiap lembaran dari buku gambar itu. Ada gambar bunga yang bentuknya hampir mirip dengan kupu-kupu. Juga ada gambar manusia batang dan di sampingnya tertulis huruf yang sangat besar bertuliskan 'ayah'. Aku tersenyum membacanya. Karena Olivia tidak melewatkan tas kerjaku yang pernah aku tunjukkan padanya, terlukis berbentuk kotak berwarna hitam di ujung tangan kanan dari manusia batang itu.

"Anda bisa menyimpannya." Bu Toni berdiri. "Saya pamit ke pasar dulu, Pak Danu. Kalau Anda butuh sesuatu ada Bu Iwung di belakang."

Aku ikut berdiri. "Saya akan di kamar Olivia kalau begitu."

"Iya, Pak silakan." Bu Toni mengambil tas belanja di kolong meja di antara kursi kami. "Mari, Pak Danu."

Aku mengangguk. "Iya, Bu, Mari."

Bu Toni mengangguk dan dia langsung berjalan menuju halaman depan. Sedangkan aku kembali masuk menuju kamar Olivia. Gadis kecil itu masih tertidur. Yang aku lakukan hanyalah menata mainan yang berserakan di dekat ranjang. Juga sedikit merapikan benda yang ada di meja.

Tidak lama setelah itu ada seorang wanita masuk. "Pak Danu saya cari di depan ternyata ada di sini."

Aku meringis dan mengusap tengkuk. Aku baru saja menyelesaikan urusanku di meja. "Saya mau menunggu Olivia bangun di sini."

"Ini saya buatkan teh hangat untuk Bapak," kata Bu Iwung.

"Tidak usah-repot, Bu," kataku bersikap ramah ketika menerima teh hangat itu.

"Tidak apa, Pak Danu, cuma teh saja." Bu Iwung tersenyum dan mengusap tangannya pada celemek yang dia pakai. "Eh, saya kembali ke dapur dulu, Pak."

"Oh... Iya, Bu Iwung. Silakan." Aku sedikit membungkuk. Terasa kaku. Tapi bukan masalah besar karena Bu Iwung segera pergi.

Saat itulah Olivia mulai menggeliat. Aku langsung meletakkan ke teh hangat di meja dan juga memindahkan buku gambar milik Olivia dengan sangat cepat di atas tas tangan yang aku bawa ketika datang ke sini. Tas tanganku ada di depan ranjang Olivia.

"Halo, sayang," sapaku mendekat ke arah Olivia. Dia mengusap matanya sedangkan aku menyugar rambutnya yang sedikit berantakan.

"Ayah!" teriaknya. Dia langsung duduk dan memeluk leherku. Aku mengusap punggungnya. Badan Olivia masih terasa hangat. Aku menggendongnya dan dia melepas pelukannya

"Ayah, mau ajak Olivia ke dokter. Mau?" Aku merapikan rambutnya di dekat telinga.

Olivia menggeleng. Ingusnya turun dan aku langsung membersihkan dengan tanganku. Dia tampak risih sampai akhirnya aku berhasil menemukan tisu di samping tempat tidur. Aku mengelap tanganku ke selembar tisu dengan susah payah karena tetap menggendongnya.

"Kenapa gak mau? Kan biar sembuh terus bisa main lagi sama Ayah?" kataku lembut memberaihkan sisa-sisa ingus di sekitar bibir Olivia.

Dia tetap menggeleng. "Gak mau."

"Kedokter kan biar dibantu supaya Olivia celat sembuh." Aku membawa Olivia ke ruang tengah. "Nanti sepulang dari dokter Ayah belikan mainan."

"Barbie?" kata Olivia antusias.

"Olivia minta dibelikan berapa?" Aku duduk di kursi panjang dan Olivia beridiri di atas pahaku.

Jari-jari Olivia terbuka. "Sepuyuh," katanya.

Aku tertawa. "Banyak sekali. Buat apa beli banyak-banya. Kan boneka barbie yang lama masih bagus."

"Jessi dan Noa."

"Oh, dikasihkan ke Jessy dan Noah," ulangku. Dan Olivia langsung melompat dan memeluk leherku.

"Baiklah, ayah akan belikan sepuluh." Aku tertawa dengan reaksi Olivia yang kegirangan.

"Loh, sudah bangun," seru Bu Iwung.

Olivia langsung berhenti memelukku dan dia duduk di pangkuanku. Bermain-main dengan dagu, telinga, kaos dan jari tanganku. Dia juga menempelkan kepalanya di badanku dengan lemas.

"Ganti baju dulu, Yuk," ajak Bu Iwung. "Nanti baru pergi sama ayah ke dokter."

"Beli boneka barbie," koreksiku.

Bu Iwung mengangguk. "Wah, ayah mau belikan boneka baru. Beli barapa?"

Olivia membuka semua jari-jarinya tapi dia tidak menatap ke Bu Iwung. Dia tampak tidak bersemangat lagi. Bahkan ketika Bu Iwung mengajaknya untuk siap-siap Olivia semakin mendekatkan tubuhnya ke badanku. Aku ingin tertawa dengan tingkah lucunya tapi aku juga harus membantu membujuk Olivia agar pergi dengan Bu Iwung. Tapi Olivia tidak ingin lepas dariku.

Butuh beberapa menit sampai akhirnya Olivia bersedia pergi bersama Bu Iwung. Tetapi aku juga harus mengikutinya sampai masuk ke kamar. Membantu memilihkan pakaian. Bu Iwung mengatasi semuanya setelah itu. Aku hanya duduk tidak di dekat meja sambil meminum sedikit demi sedikit teh hangat.

Aku memberikan senyuman ke Olivia sedangkan dia bergumam tidak jelas berbicara sendiri seperti sedang berbicara dengan orang lain tapi dia tidak menatap ke siapa pun. Dia hanya bermain dengan dengan tangannya saat Bu Iwung bersusah payah merawati.

Sampai akhirnya Olivia berjalan ke arahku dan naik ke pangkuanku. Aku mencium puncak kepalanya dan dia dengan lemas menempelkan kepalanya di badanku.

"Saya akan buatkan susu untuk Olivia," kata Bu Iwung sambil berjalan keluar.

"Terima kasih, Bu Iwung," kataku. Bu Iwung hanya tersenyum.

Aku mengeluarkan ponsel dari saku celana lalu memutarkan video kartun Disney Princess Shofia. Olivia suka sekali dengan kartun yang satu itu. Tidak ada keinginan memegang ponselku tapi dia tetap ingin menontonnya. Jadi, aku memegangi untuknya.

BERSAMBUNG

If you're enjoying the story, please consider voting/commenting. Thanks!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top