DUA PULUH ENAM
[ 03.00 -- 04.23 ]
Aku merasa bahwa percakapan aku dan Danu sudah terlalu bertalu-talu. Jadi aku memutuskan masuk ke kamar berniat menonton film. Tapi saat ujung jari menyentuh laptop tiba-tiba niat itu berguguran. Aku beralih menengok ke arah ruang tamu, Danu sudah tidak ada setelah tadi aku melemparkan piama padanya.
Aku menyapu pandang ke seluruh ruangan berharap ada yang bisa aku kerjakan. Lukisan di dekat lemari pakaian. Waistbag Danu di kursi meja rias, dan ponsel aku ada di atas tempat tidur. Kemudian aku melihat kardus dan koper di dekat pintu balkon. Jadi aku putuskan, alih-alih menunggu Danu kembali, untuk membereskan barang-barang Susan. Hingga beberapa menit berlalu Danu tidak juga masuk ke kamar.
Aku meraih ponsel di atas tempat tidur dan mendapati pesan dari Mas Agastya
Dari : Suami
[Aku sudak di pelabuhan. Kamu bagaimana?]
Aku hanya membaca di panel notifikasi layar kunci. Lalu menghapus informasi itu dengan menggesernya. Aku tidak ingin membalas pesan itu karena aku memang tidak ingin ke sana, dengan alasan yang tidak pasti. Aku masih bersama Dany ingin menghabiskan sisa waktu sampai subuh, waktu yang aku berikan untuk dia. Aku menatap ke arah pintu kamar, Danu tidak kunjung masuk.
Aku mendesis juga melempar ponsel ke atas tempat tidur. "Danu!" teriakku. Menunggu beberapa saat namun tidak ada respon. Jadi aku putuskan untuk keluar kamar.
Dari ruang tamu, dapur, dan pintu kamar mandi yang terbuka tidak ada sosok Danu. Namun, setelah aku melihat ke kamar Susan, ada seorang pria berdiri membelakangi dengan balutan piama putih tengah menata boneka di atas tempat tidur. Aku hanya berdiri di ambang pintu. Melipat lengan di dada dan bersandar di kusen juga berdiri dengan satu kaki. Aku menunggu sampai Danu menyadari keberadaan aku.
Danu menoleh ke belakang ke arah pintu. "Jesus!" teriaknya. Dia terlonjak kaget sambil menyetuh dadanya. "Apa yang kamu lakukan di sana?"
"Apa yang kamu lakukan di sini?" Kalimatku terdengar mencemooh.
"Aku mau menata boneka untuk aku tidur. Boneka binatang ini sangat banyak sekali." Danu melanjutkan kegiatanya. "Sejak kapan kamu berdiri di sana?"
"Kenapa kamu tidak tidur di kamarku?" Aku berjalan mendekat ke arahnya agar dia menghentikan kegiatannya.
"Aku tidak enak saja harus satu ranjang dengan kamu." Kalimatnya sangat tidak masuk di akal.
"Danu," tuduhku. "Setelah apa yang kita lakukan di dekat lukisan jendela." Tangan aku menunjuk ke arah dapur dengan tangan terbuka. "Jadi, apa maksudnya kalimat kamu tadi? Apa karena Mas Agastya?"
"Astaga, boneka binatang ini begitu banyak." Danu mengabaikan kalimatku. Membuat aku kesal hingga memukul lengannya. "Menatanya di atas kasur saja tidak cukup." Danu mendesah dan mengusap lengan kirinya bekas pukulan.
"Memang Susan kan bercita-cita jadi dokter hewan," jawabku sinis.
"Wah, kenapa dia tidak pelihara hewan?"
"Ada banyak, Susan sering ke Taman Nasional Baluran. Di sana ada banteng, rusa, kerbau liar, babi hutan, kijang, kucing batu, kera ekor panjang, merak hijau, ayam hutan, dan berbagai macam-macam burung. Jadi, dia lebih suka menyelamatkan banyak hewan di luaran sana daripada hanya fokus pada hewan peliharaannya di rumah." Aku menggeleng. "Lupakan soal itu! Pertanyaannya kenapa kamu masih di sini?" Aku menarik lengan piamanya dan menyeretnya sampai masuk ke dalam kamar sebelah.
"Aku belum selesai," protesnya. Aku tidak peduli dengan kalimatnya. "Susan keren juga, yah?" tambahnya. Aku hanya mendesis.
Sesampainya di kamar. Aku mendorong tubuh Danu ke tempat tidur. "Sudah tidur di sini saja." Aku mematikan lampu ruangan dan Danu menyalakan lampu tidur.
"Kamu langsung tidur?" tanyanya. Aku mengitari tempat tidur dan mengambil posisi duduk di tepian kasur. Danu sudah bergerak masuk ke dalam selimut.
Aku memindahkan ponsel ke atas nakas. Sebelum akhirnya bilang. "Belum, kamu?" Aku menyalakan lampu tidur.
"Katanya mau melanjutkan filmnya?" Aku menoleh kebelakang. Posisi tidur Danu miring menghadap ke arahku.
"Aku menggeleng." Membayangkan melihat layar laptop justru akan membuat mataku semakin perih. Ini saja aku sudah menahannya sejak duduk duduk di ruang tamu tadi. "Lebih baik mendengarkan kamu bercerita seperti tadi."
Aku langsung melesak masuk ke dalam selimut, merapatkan tubuh ke Danu. Dia merentangkan lengan kanannya agar aku menjadikan bantalan. Aku merapatkan dan mengambil posisi ternyaman dalam rangkulan Danu. Aku suka aroma tubuhnya.
"Kamu mau cerita apa?" kata Danu. Telingaku merasakan dadanya bergetar ketika mengatakan itu. Aku semakin mempernyaman posisi dongan meletakkan tangan tangan masuk ke dalam piama. Danu mengusap tanganku dari luar selimut .
Dia menghembuskan napas ke langit-langit. "Sedikit riskan cerita yang ini."
"Maksudnya?" Aku tidak tahu apa yang ada pikirannya tapi dia mengatakan seolah aku ini cenayang. "Cerita yang mana? Lanjutan film Before Sunrise?"
"Bukan," jawab Danu. "Ini cerita empat tahun lalu." Aku merasakan napas Danu melambat dan jantung terasa lebih tenang.
"Cerita kamu atau orang lain?" tanyaku lagi karena aku sudah tidak sabar. Danu beberapa detik yang lalu hanya diam dan seperti sedang melihat video siput berjalan di atas balok kayu.
"Astaga!" Danu mendesah dan memegang lenganku. "Bisa tidak kamu berhenti bertanya?! Kamu merusak imajinasiku."
Aku mengangguk. Menghela napas dan kembali memeluk badan Danu yang keras, berotot dan hangat.
"Ini adalah kisah seorang wanita berkebaya ungu."
"Ngomong-ngomong soal kebaya. Aku kapan hari beli kebaya di festival yang ada di jalan Ahmad Yani." Aku mendongak dengan senyum lebar karena bahagia tapi Danu menatapku dengan ekspresi kesal. "Maaf." Aku meringis.
"Kamu lanjutkan saja cerita kamu. Aku diam saja."
"Tidak, serius aku akan diam. Kamu lanjutkan cerita kamu." Aku tidak menatap wajah Danu lagi.
Dia menghela napas dan bersiap untuk bercerita. Tangan kanannya mengusap kepalanya. "Dia wanita yang malang."
"Pukul sebelas malam dia berjalan dengan langkah gonta dengan kondisi air ketuban pecah, dia memilih duduk di terotoar dengan susah payah berharap ada yang bisa membantunya. Dia berusaha sekuat tenaga menahan rasa sakit dan berusaha agar si jabang bayi tidak keluar sebelum dia tiba di rumah sakit atau bidan setempat.
Jalan waktu itu sepi, tidak ada orang, bahkan kendaraan pun tidak melintas. Memang wilayah itu lingkungannya sepi. Wanit itu berteriak meminta tolong sampai ada yang bisa membantunya. Dia mengejan di tengah suara minta tolongnya."
Aku mengerutkan dahi. Mengingat ketika hendak melahirkan Qiara. Itu waktu yang sangat menegangkan bagi aku dan Danu. Bagaimana tidak, kami kurang persiapan karena tidak tahu jika Qiara akan lebih cepat dua minggu dari jadwal.
"Hingga seorang pria memakai jaket hinau datang menyelamatkan. Dia membantu wanita itu naik sepeda motor dan berupaya keras mencari rumah bidan atau kelinik atau tempat yang bisa membantu wanita itu melahirkan." Danu mendesis.
"Perjalanan hanya tiga menit menuju ke rumah bidan. Pria itu ikut menemani wanita itu selama proses melahirkan. Hingga akhirnya lahirlah seorang gadis. Pria itu akhirnya bisa bernapas lega." Danu menghembuskan napas. Tapi tidak ada tanda-tanda dia akan melanjutkan ceritanya.
"Apa sudah selasi?" Aku mendongak.
Danu menggeleng. "Tidak tahu kapan itu terjadi saat bidan hendak menunjukkan si bayi ke Ibunya. Tatapan wanita itu kosong, wajahnya pucat, bibirnya sedikit biru, dan keringat bercucuran dan belum sempat dilap. Pria itu menerima si bayi dan menunjukan ke wanita itu dengan perasaan lega. Wanita itu tersenyum. Dan menyentuh tangan si bayi.
"Olivia," kata wanita itu lemah.
Sang pria hendak memberikan kepada wanita itu tapi tangannya melemah, tatapannya semakin lemah dan hingga akhirnya terpejam. Senyumnya perlahan turun. Pria berjaket hijau mulai panik dan memberikan si bayi pada bidan. Dia berusaha memanggil wanita itu tapi tidak ada jawaban. Di situlah akhir dari wanita itu."
Air mataku menetes. Aku langsung mengusapnya. Dan mengambil posisi duduk bersila menghadap Danu. Tangannya langsung terlipat memegang tengkuk.
"Bagaimana nasib anak itu?" tanyaku. Tanganku meremas piama saking tidak sabaran.
"Pria itu kembali ke lingkungan di mana dia menemukan si wanita. Bertanya pada siapa pun sampai akhirnya ada ketua RT setempat berkenan untuk mendatangi rumah bidan tadi. Si pria memboncengnya dan ketua RT menyatakan bahwa wanita itu adalah warganya." Danu meraih tanganku dan mengusapnya dengan ibu jari.
"Berita itu cepat menyebar. Sampai rumah bidan itu ramai didatangi orang-orang."
"Apa dia tidak mempunyai suami?" Aku mendesaknya tapi Danu tidak menjawab. Dia malah tersenyum.
"Semua orang di sana bilang bahwa wanita itu ditinggal oleh suaminya ke Kediri. Ada beberapa ibu-ibu menambahkan sebelumnya sempat terjadi cekcok. Cerita itu sekitar enam bulan berlalu."
Aku menelan ludah. Membayangkan seorang wanita tinggal sendirian dalam kondisi hamil.
"Tidak ada yang tahu silsilah keluarganya. Beberapa warga berusaha menghubungi sang suami si wanita berkebaya bernama Ally itu tapi hasilnya nihil.
Ally, dimakamkan dengan layak. Semua orang mengasihani saat jasadnya diberkati di gereja. Upacara pelepasan terasa sangat sedu sedan. Si bayi juga dibawa ke gereja untuk melepas kepergian ibunya. Hari demi hari berlalu, Kemudian bayi itu dirawat oleh warga. Si pria yang menemukam tidak bisa meninggalkan begitu saja. Dia terus datang ke lingkungan itu. Hingga akhirnya disepakati bahwa sang bayi akan dibawa ke panti."
"Kasihan." Aku menggeleng tidak menyetujui keputusan ini. Kenapa tidak merawatnya sampai ayah kandungnya datang.
"Pria ojek online itu memberikan santunan setiap bulan untuk biaya hidup si kecil dan anak-anak panti yang tinggal di sana. Cerita itu lama kelamaan sudah menjadi folklor di daerah tersebut. Tiga tahun berlalu, datang seorang pria yang mencari istrinya.
Semua orang terheran-heran. Bahkan pria itu menjadi bahan pergunjingan antar warga. Tapi tidak untuk pria ojek online. Yang masih bersedia menjaga si kecil yang diberi ibunya nama Olivia. Dengan. Lapang dada, pria ojek online itu memperkenalkan sebagai ayah kandung Olivia. Saat itu si kecil Olivia baru lancar berjalan."
"Olivia masih tinggal di panti?"
Danu tidak menjawabnya. Dia langsung berpamitan untuk tidur.
BERSAMBUNG
If you're enjoying the story, please consider voting/commenting. Thanks!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top