DUA PULUH DELAPAN

[ 05.36 - 06.00 ]

Aku merasa pagi ini sunyi sekali, lebih tepatnya penuh kehampaan. Saat pertama kali aku membuka mata adalah mencari seorang pria yang tadinya tidur di sebelahku. Tapi ternyata hanya bekas kusut yang terpampang. Aku duduk dan berpikir. Berusaha menghadapi kesunyian ini. Aku sedikit merenggangkan badan. Tubuhku rasanya seperti setiap anggota gerak tidak menyambung dengan badan. Suara tulang-tulang bergeletak. Aku duduk bersila sambil mengusap betis. Berpindah ke lutut lalu tangan satu dengan yang lengan yang lain saling memijat hingga ke bahu.

Aku menghargai keputusan Danu untuk tidak membangunkan aku saat dia hendak pulang. Aku langsung menuju kamar mandi setelah menggeliat dan juga membayangkan bangun tidur melihat Danu. Entah dia menyiapkan sarapan atau hanya tidur, itu cukup menenangkan jika bangun tidur ini aku bertemu dengannya. Setidaknya aku merasa bahwa pertemuanku dengannya hanyalah sebuah mimpi.

Setelah dari kamar mandi aku memeriksa ponsel. Mas Agastya tidak memberikan kabar apa pun lagi. Layar kunci hanya menunjukkan notifikasi dari rekan kerja yang memintaku memeriksa status dan mengambil blanko ke kantor. Setelah terakhir aku baca isi pesan melalui panel notifikasi. Aku kembali meletakkan ke nakas dan menyambar laptop untuk aku bawa ke meja makan.

Sambil berjalan aku menekan tombol power untuk menyalakan laptop setelah itu aku letakkan di meja makan. Saat menunggu proses sampai layar menyala stabil, aku menuju dapur menyiapkan sarapan. Juga memikirkan apa yang akan aku lakukan setelah itu. Sepertinya memang ada banyak. Aku perlu beberes barang-barang Susan yang ada di kamar, belum lagi membersihkan lantai. Tapi, dengan banyaknya yang bisa dikerjakan untuk mengisi waktu pagi ini aku lebih tertarik menonton film sambil sarapan.

Aku membuka kotak sereal di atas kulkas dan membawanya ke meja dapur untuk mengambil mangkok di lemari atas. Aku merasa aneh karena seperti tidak ada perlu aku pikirkan lagi. Biarpun aku merasa janggal dengan Mas Agastya yang tidak mengirimi pesan apa pun padahal dia sudah menunggu berjam-jam di pelabuhan Gilimanuk. Saat aku menuangkan susu ke mangkok, aku semakin tidak merasakan apa pun. Tentang Danu yang semalam menghabiskan waktu bersamaku, kini terasa itu hanya sebuah mimpi. Siapa Danu?

Aku memasukkan sisa kotak susu ke kulkas lalu membawa menu sarapanku ke meja makan. Mulanya aku tersibukkan menghubungkan laptop ke jaringan internet. Saat sudah terhubung aku mendapati surel masuk yang sudah aku baca saat meminjam ponsel seorang lelaki dengan setelan serba hitam. Dan saat itu aku memakai gaun berenda. Aku beralih ke google play film. Melanjutkan film yang disewa oleh pria itu untuk aku dini hari tadi.

Terlalu rumit membedakan antara mimpi dan realitas yang berwujud sama. Aku merasakan semua yang terjadi hanya tersimpan di kepala. Aku tidak merasakan kebahagiaan tapi aku justru merasa kehilangan. Sama halnya aku mengingat banyak hal menyenangkan ketika bersama Susan. Biarpun tidak banyak itu mampu membuat aku meneteskan air mata.

Aku memutar filmnya dan juga menyantap sarapan. Baru beberapa menit berjalan mataku sudah terasa perih. Film ini menampilkan banyak sekali percakapan yang cepat. Cukup membuat pangkal hidung terasa berdenyut di dalamnya. Aku memijatnya juga menjeda film. Aku tidak bisa melanjutkan film ini, berlaku untuk semangkuk sarapan yang mulai tidak berselera lagi.

Apa yang sebenarnya terjadi padaku kali ini? Ini bukan karena aku menonton film tapi ada hal lain yang mengganggu pikiranku. Sesuatu yang aku sendiri tidak tahu apa itu. Insting mengatakan bahwa itu adalah sesuatu yang besar.

Aku mendesis dan beralih ke kursi ruang tamu. Aku mendongak juga menyandarkan pada sandaran kursi. Terlalu tidak berdaya untuk melakukan sesuatu. Tidak ada yang bisa aku lakukan pagi ini. Sesuatu di dalam kepalaku terasa seperti ingin keluar atau meledak di dalamnya. Dada terasa seperti di tekan. Dan mata seolah menahan sesuatu untuk jatuh. Aku berdiri dan berjalan menuju kulkas untuk mengambil vitamin. Lalu mengambil gelas yang ada di meja dapur dan mengisinya di dispenser. Segera aku meminum vitamin itu.

Kemudian aku berjalan menuju bufet untuk mengambil vacum cleaner. Aku memulai membersihkan dari kamar Susan. Berlanjut membersihkan area dapur. Lalu sekitar meja makan, ruang tamu. Lalu aku masuk ke kamar memulainya dari balkon hingga ke meja rias. Setelah semua beres aku mencuci saringan. Dan mengeringkannya dengan mengelapkannya dengan tisu. Sampai akhirnya aku kembali menyimpan vacum cleaner ke dalam bufet. Jujur, yang aku lakukan tadi sama sekali tidak meringankan pikiranku. Tidak ada yang berubah. Sama sekali.

"Mungkin aku harus menelepon Mas Agastya." Aku bermonolog setelah memijat tengkuk dan bahu karena kepenatan.

Aku berjalan menuju kamar. Bahkan rasanya aku tidak menginjak lantai untuk menuju ke sana. Aku melemparkan tubuh ke tempat tidur juga meraih ponsel di nakas. Aku tidak tahu alasan terbesarku hingga memilih menelepon sebuah deret angka yang terdapat di baris kedua setelah pesan Mas Agastya. Pesan baris kedua hanya seputar lokasi tempat tinggalku. Ini adalah dari ojek online sore kemarin.

Aku berusaha menghubungi nomor itu tapi tidak juga diangkat, bahkan aku mengharapkan balasan itu sama dengan sia-sia. Sampai percobaan kedua hasilnya tetap sama. Aku menghela napas. Dia mungkin memang sangat sibuk, tadi pagi ada pria yang bilang padaku bahwa harus menyiapkan materi untuk rapat.

Aku memejamkan mata juga mengusap dahi. Menyibak bulu-bulu halus. Pikiran ini seperti memutar kembali kejadian kemarin. Aku persis seperti melihat keadaan Susan..
menangis di pinggir jalan... mengajak pria asing ke rumah... berjalan menuju Roxy... datang ke pesta... seks... tidur... dan semua yang telah aku kerjakan sisa pagi ini. Seakan aku menunggu hal buruk menyerang ku lagi. Mungkin beberapa saat lagi.

Tiba-tiba suara bel berbunyi. Aku segera beranjak. Pasti itu pria tadi malam. Dia tidak dalam bayanganku saja. Dia nyata. Aku yakin dia tidak akan membiarkan aku sendirian. Dia pasti kembali.

Aku membuka pintu dan mendapati pria yang aku kenal. Bukan pria yang memakai jaket ojek online. Pria yang ini adalah pria yang menikahi aku enam bulan yang lalu. Pria yang seharusnya tidak menekan bel rumah. Maksud aku ini juga rumahnya. Dia punya access card lain.

"Mas Agastya?" Aku tercengang. Sangat tidak menyangka dia ada di depan pintu rusun. Dia hanya memakai celana pantalon hitam dan kaos putih di lengkapi jaket parasit. "Mas ke Banyuwangi? Acara keluarganya bagaimana?"

"Saya minta maaf," ucapnya. Aku membuka pintu lebar-lebar dan mebiarkannya masuk. "Saya terlalu memaksa kamu untuk datang padahal kamu sedang berduka. Harusnya aku menemani kamu di sini."

Aku mencium tangan Mas Agastya, dan dia mengusap rambutku. "Apa kabar, Mas?"

Dua bulan rasanya aku tidak melihat wajah suamiku. Dia seperti pria yang tidak terawat. Bulu-bulu halus di pipi dan dagunya mulai tumbuh tidak beraturan. Aku menghela napas. Sedikit lega akhirnya kami bertemu dengan kondisi damai.

"Saya baik," jawabnya. "Lagi sarapan kamu? Berangkat ke kantor jam berapa?"

Aku mengangguk. "Seperti biasa setengah delapan." Kami sama-sama memperhatikan jam di atas bufet. Dan aku melihat perban. Danu meninggalkannya. "Mas mau aku buatkan sarapan? Cuma ada sereal, susu, dan telur."

"Tidak usah, tadi sudah makan mi instan di kapal," kata Mas Agastya mengusap rambutku. "Kamu lanjutkan sarapannya. Saya mau tidur dulu. Nanti sebelum berangkat bangunkan. Nanti saya antar kamu ke kantor."

Aku mengangguk. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Otak tidak memproses satu kalimatpun untuk aku ucapkan. Mungkin aku terlalu memikirkan bagaimana bisa Mas Agastya memutuskan untuk datang ke Banyuwangi. Atau kenapa dia memilih menekan bel. "Mas tidakmembawa access card?"

"Bawa," Dia mengusap pantatnya, saku belakang. Di sanalah dia menyimpan access card, di dalam dompetnya. "Saya takut kamu tidak suka kedatangan saya yang mendadak."

"Aku sangat suka, Mas." Aku menyentuh kedua lengan bawah Mas Agastya. Aku mendongak untuk melihat wajahnya. "Mas, kelihatan lelah."

"Saya kurang tidur tadi malam harus perjalanan jauh. Ketika di kapal saya tidak bisa tenang untuk tidur." Aku menyadari jika tatapan Mas Agastya terlihat sayup.

Dia menempelkan bibirnya di pelipisku. Kemudain kami langsung berpisah. Mas Agastya masuk ke kamar dan aku menuju meja makan. Aku melanjutkan sarapanku. Juga memutar filmnya. Salah satu solusi menghidari kecanggungan ini. Tapi fokus pikiranku teralih dengan sikap Mas Agastya yang tenang. Dia bahkan seperti menyesuaikan dengan kerumitan pikiranku. Dia seperti memahami jika aku tidak ingin merasa tertekan lagi dengan paksaanya untuk pindah ke Bali. Dan poin utamanya Mas Agastya tidak menyebut kata Bali.

Tidak lama saat mulai aku memutar film dan makan, Mas Agastya berdiri di ambang pintu kamar, dia sudah menanggalkan jaket. Pandangan aku langsung teralih. Wajah Mas Agastya basah, sepertinya dia baru saja membasuh di kamar mandi.

"Kamu mau mengurus ATM kamu kapan?" tanyanya.

Aku gelagapan untuk menjawab. Tidak ada pikiran sama sekali untuk menyelesaikan masalah. yang itu. Sedetikpun saja tidak. "Mungkin besok, Mas. Hari ini saya dinas luar kantor. Seperti tidak ada waktu buat ke Bank."

Kemudian Mas Agastya mengeluarkan dompet dari saku belakang. "Pakai kartu saya dulu kalau begitu." Dia meletakkan kartu ATM Mandiri di meja makan. "Ini buat pegangan." Ditambah dia juga memberikan sejumlah uang 200 ribu. Menimpa uang itu dengan kartu ATM.

"Terima kasih, Mas." Aku mengambilnya dan meletakkan di samping laptop.

Mas Agastya mendekat dan mencium pipiku. "Maafkan saya." Dia memelukku. Aku mengusap lengan Mas Agastya. Kemudian dia melepas pelukannya.

Mas Agastya lalu masuk ke kamar. Aku langsung mengambil napas banyak-banyak. Apa yang terjadi beberapa menit yang lalu? Mas Agastya yang aku kenal setahun yang lalu telah kembali. Dan ini nyata. Tidak sadar bahwa aku tersenyum. Ya, aku tersenyum, aku bahagia. Sesederhana itu.

BERSAMBUNG

If you're enjoying the story, please consider voting/commenting. Thanks!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top