DUA BELAS
[ 20.41 -- 21.17 ]
Tidak tahu sudah berapa menit aku berjalan dari rusunawa sampai ke entah aku tidak tahu ini berada di mana. Pergelangan kaki sudah terasa nyeri. Kalau aku melanjutkan ke Roxy aku tidak punya uang dan buat apa aku ke sana, tetapi kalau aku kembali aku sudah sejauh ini. Sehingga aku putuskan untuk memilih duduk di terotoar sambil memijat betis hingga pergelangan kaki, soal bagaimana aku kelanjutannya itu urusan nanti.
Di jalanan aku melihat banyak sekali ojek berjaket sama dengan Danu melintas ke sana ke mari. Aku jadi memikirkan sesuatu, mungkin Danu juga sedang mendapati pelanggan. Danu mungkin sudah mengambil beberapa pesanan bahkan dia sudah menghasilkan uang. Sedangkan aku selayaknya gelandangan yang tersesat. Aku menghela napas. Meratapi diri sendiri, apa yang sebenarnya aku lakukan sekarang.
Aku dikejutkan oleh pemotor berhenti di depanku. Aku mendongak. Dan tidak mengenali siapa dia. Dalam bayanganku itu Danu tapi jaketnya hijau army. Aku sampai mengerutkan dahi untuk berusaha mengingat siapa orang itu. Aku segera berdiri sekadar berjaga-jaga mungkin dia akan melakukan tindakkan kriminal. Aku belun pernah melihat dia. Atau aku melupakan wajahnya.
"Mbak Riani?" tanya pria itu. Dia membuka kaca helmnya. Sontak aku mengangguk dengan canggung. "Saya Joko, anaknya Bu Yanti." Dia mengulurkan tangan.
Aku menyalaminya. "Jadi kamu yang namanya Joko." Aku meringis. Tangan dia terasa kasar. Aku segera melepaskan diri.
"Iya, Mbak," kata Joko sambil tersenyum. "Ini Mbak Riani mau ke mana?"
Aku bingung. Jika aku mengaku bilang hendak pulang pasti aku merasa mati kutu. "Roxy Square," aku menjawab. Karena aku tidak dari mana-mana dan sudah sejauh ini berjalan. Aku juga tidak ingin muncul pertanyaan baru.
"Waduh, Mbak!" Mata Joko memandang lurus ke jalanan. "Roxy masih jauh, Mbak. Masih tiga kilometer lagi. Mbak kok nekat jalan kaki ke sana."
Aku menyadari itu. "Saya kira dekat. Ya sudah kalau begitu aku pulang saja." Maksud perkataanku adalah 'yang benar saja masih sejauh itu'.
Aku langsung bergerak kembali ke arah rusunawa. Tetapi pria itu berteriak memanggil namaku. Aku menoleh dan dia masih di atas sepeda motornya. Aku kembali berjalan ke arahnya.
"Kalau Mbak Riani mau bareng aku juga gak apa, Mbak. Kebetulan searah." Dia mengulurkan helm.
Aku berdengkus. "Gak usah, Joko. Saya mau pulang saja."
"Walah, Mbak gak apa. Santai saja." Joko menepuk goncengan sambil tersenyum padaku. Kalau boleh jujur aku sedikit tidak nyaman dengan senyumnya. Giginya tampak kuning, belum lagi tersorot lampu jalan. Aku bergidik.
Aku menggeleng. Tetapi Joko terus saja memaksa. Aku tidak bisa memberikan alasan apapun. Karena aku terjebak dengan keputusanku sendiri. Jadi aku meraih helm itu lalu naik keboncengan dengan gerakkan janggal. Aku berpikir tidak tenang selama perjalanan, kalau Roxy semakin jauh dari rusunawa maka semakin sulit aku bisa kembali. Aku berharap semoga nanti aku menemukan rekan kerja atau siapapun yang aku kenal hendak ke Jalan Yos Sudarso, atau melewati Rusunawa Kelurahan Klatak.
Joko menghentikan laju sepeda motornya jauh dari gerbang masuk area parkir. Aku turun dari boncengan menatap Roxy ngeri. Memikirkan apa yang akan aku lalukan di sini. Aku melambaikan tangan ke Joko saat dia berpamitan untuk melanjutkan perjalanan. Ketika Aku mengucapkan terima kasih kepadanya rasanya bubirku keluh.
Aku masuk ke Roxy. Serupa Alice saat memasuki Wonderland. Ukuran tubuh menjadi dan semua yang ada di sekitarku berukuran besar, dan berjalan lambat. Aku menghela napas. Aku mencoba untuk berkeliling. Berpura-pura seperti hendak membeli sesuatu. Mengambil satu pakaian yang aku suka lalu menempelkan ke tubuhku. Aku menggeleng seperti orang gila. Rasanya hidup dengan kepura-puraan itu tidak enak.
Aku berkeliling kurang lebih hanya lima menit lalu memutuskan untuk keluar. Begitu berada di depan aku berhenti sejenak dan langsung menghirup aroma kebebasan. Aku melanjutkan perjalanan menuju terotoar berniat untuk menyerberang. Arus jalanan cukup ramai, butuh beberapa waktu hingga akhirnya aku sampai.
Mendadak aku melihat anak laki-laki, kira-kira berumur tujuh-delapan tahun sedang berdiri kebingungan dan menangis, mengusap-usap matanya tapi air matanya terus turun. Aku sampai menyipitkan mata untuk memfokuskan pandangan ke arahnya.
"Loh, kenapa Dik menangis?" Aku langsung menghampirinya. Membungku di depan anak itu.
"Orang tuaku hilang." Dia sesenggukan ketika mengatakannya.
"Kamu tadi dari mana?" tanyaku sambil mengusap punggung anak itu untuk menenangkannya.
Dia menunjuk ke depan, mengarah ke Roxy. Aku menghela napas mengikuti arah tunjukkannya.
"Ya, sudah kita kembali ke sana, yah?" Ajakanku justru membuatnya menggeleng. Aku jadi semakin bingung. Kenapa dia tidak mau kembali ke sana. "Kenapa? Mungkin orang tua kamu masih di sana."
"Tadi aku mengikuti mereka ke luar tapi mereka langsung pergi." Aku menduga dia mengikuti orang yang salah. Aku terus mengusap punggung anak itu tapi dia tidak tenang juga. Aku bingung begaimana aku bisa untuk tidak membuatnya tidak menangis. Dulu ketika Qiara menangis aku selalu membelikan sesuatu untuknya tapi aku tidak memegang uang sepeserpun.
Aku tersentak saat seseorang di belakang memanggil namaku. "Riani!" Aku menoleh. Seseorang berjaket ojek online berhenti dipinggir jalan. Itu Danu. Dia membuka kaca helmnya masih duduk di atas motornya. Sungguh aku merasa terselamatkan sekarang. "Kenapa?"
Aku menjelaskan padanya. Dan dia memberiku sejumlah uang. Aku menirimanya dengan ragu. Aku merasa belum terbiasa dengan kehadiran Danu yang secara mendadak. Hingga akhirnya dia mengantarku menyebrang jalan bersama anak kecil itu. Dia memberi pesan agar aku menunggunya. Selama apapun itu aku pasti menunggunya. Karena hanya dia harapan satu-satunya agar aku bisa kembali ke rusunawa.
Saat dia mengusap lenganku. Aku hampir lupa kalau aku sedang bersama anak kecil yang kehilangan orang tuanya. Aku serasa di awang-awang ketika menatap iris mata hitam berkilaunya. Aku mengangguk canggung. Saat dia sudah menyeberang aku langsung mengajak anak kecil itu masuk untuk membelikan sesuatu. Dia sudah sedikit lebih tenang.
Aku membelikannya es krim dan kudapan. Dia menerima itu dengan pandangan masih terlihat kosong, sedih, dan ketakutan. "Kita pasti bisa menemukan orang tua kamu."
Aku mengajaknya untuk bertemu petugas. Hingga akhirnya petugas memberikan pengumuman bahwa anak bernama Rubi telah kehilangan orang tuanya. Aku dan Rubi lantas memilih duduk kursi panjang di dekat meja penjagaan. Tidak lama tiga orang orang paruh baya berjalan dengan bersungut-sungut berjalan mendekat membawa barang belanjaan. Rubi langsung bergerak dan mendatangi mereka. Aku di kejahuan langsung berdiri memperhatikan mereka.
Rubi terlihat menjelaskan kenapa dia bisa berpisah dengan rombongan hingga dia menunjuk ke arah aku berdiri. Aku memantapkan diri ketika mereka berjalan mendekat. Aku mencoba membenarkan sweter yang terasa tidak nyaman. Lebihtepatnya aku gerogi. Aku tersenyum ketika seorang Ibu mengulurkan tangan. Aku menyambut tangan itu.
"Terima kasih," katanya. "Sudah menjaga anak saya." Saat itu petugas keamanan bergabung.
"Iya, Bu, sama-sama," jawabku.
"Jadi Ibu keluarganya anak ini?" tanya petugas keamanan pada Ibu itu.
"Baiklah kalau seperti itu." Petugas Keamanan langsung melenggang pergi.
Dua orang lain menyalami aku secara bergantian. Pria pertama wajahnya lebih tua dari ibu tadi. Dan yang satunya terlihat lebih muda. Mungkin seumur dengan Danu. Sebelum akhirnya mereka berpamitan pergi, ibu tadi mendekap tubuhku dalam pelukan.
Mereka lalu berjalan keluar. Dan aku melihat Danu berpapasan dengan mereka. Dia melihatku dan langsung menunjuk belakang dengan ibu jarinya. Alisnya terangkat. Ekspresinya seakan bertanya apakah itu keluarganya atau bukan.
Aku mengangguk. Segera aku mengeluarkan uang kembalian yang tadi aku gunakan untuk membelikan es krim dan kudapan. Dia memandang ke arah tanganku saat berdiri di depanku. Aku tahu apa yang menyebabkan aku tidak bisa menjelaskan banyak kepadanya. Mungkin karena kurang dari satu jam yang lalu aku memarahinya hingga mengusir dari rumah. Itu membuatku merasa kikuk.
"Ambil saja," jawabnya. Tanganku masih menggantung. "Kamu kenapa ke sini? Mau belanja kan? Kamu bisa akai itu."
"Aku gak enak. Sudah berutang banyak sama kamu."
"Simpan saja," kata Danu sambil mendorong lemah tangan aku. Aku hanya bisa menurut lalu menyimpan uang itu ke dompet.
Aku memandang ke bawah bermain-main kaki membenturkan sepatu santai satu sama lain. Sedangkan Danu tampak bergerak kaku mengusap tengkuknya dan memandang ke segala arah. Aku tahu ini canggung, tapi aku tidak keluar dari sana. Karena aku sadar diri kalau aku yang bersalah di sini.
"Jam tangan kamu tertinggal...," kataku.
Begitu juga Danu mengatakan sesuatu yang tidak bisa aku tangkap. Suara kami bertemu. Mungkin dia juga tidak mendengar kalimat yang aku ucapkan.
"Kamu dulu," katanya.
"Jam tangan kamu tertinggal."
"Sekarang kamu bawa?" tanyanya.
Aku menggeleng. "Kamu bisa ambil di rumah."
Dia meringis. Lalu mengangguk. Aku tidak tahu kenapa dia menghembuskan napas. Tapi kemudian dia bertanya pada pertanyaan yang tidak bisa aku bayangkan sebelumnya. "Jadi kita kembali bergaul?"
Aku langsung tertawa geli. "Di tahun 2020 masih ada orang yang pakai kata bergaul?" Aku menghela napas akhirnya terbebas dari kecanggungan.
"Terus harus pakai kata apa?" Dia menggaruk pelipisnya.
"Orang lebih suka kata hangout."
Dia mengangguk lambat. "Coba aku tebak kata apa yang akan digunakan suami kamu."
Aku tersenyum lebar. Dari sorot matanya aku mencurigai kalau kami memikirkan kata yang sama. Jadi aku mengatakan, "Aku juga tahu!"
Kami berpandangan dengan menahan tawa. Dalam hatiku menghitung angka.
Satu. Dua. Tiga.
"Beranjangsana," kata kamu berbarengan. Kemudian kami tertawa lepas.
Setelah tawa itu mereda aku langsung bertanya. "Kamu tadi bilang apa?"
"Yang mana?" Dahi Danu berkerut. "Oalah! Kamu jadi belanja tidak?"
Aku mengangguk. Tapi sisa kembalian tadi tidak akan cukup. Jadi aku tidak mengatakan apa-apa juga tidak bergerak.
"Aku tidak masalah, yang terpenting aku bisa kembali beranjangsana." Dia mengangkat bahu. Aku tahu maksudnya dia bersedia membelanjakan aku.
Aku menghela napas. Dia memulai bergerak menuju ke area sembako. Aku mengikutinya dari belakang. Dia melepaskan tas weistbag baru kemudian dia melepas jaketnya. Dia kembali memakai weistbag lalu menyampirkan jaket ke lengan. Sedangkan aku, tersenyum bahagia. Tidak menyangka kalau bisa kembali bertemu dengannya. Terima kasih Rubi.
BERSAMBUNG
If you're enjoying the story, please consider voting/commenting. Thanks!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top