DELAPAN
[ 19.24 -- 19.46 ]
"Apa yang kamu pikirkan saat ini." Aku ingin memecah kesunyian. Ketika itu Danu duduk melihatku berjalan dari kamar Susan menuju kursi sambil mengenakan celemek. Tatapannya mengikuti setiap gerakanku.
"Tidak banyak," jawabnya. Ketika itu aku sedang menata kanvasku pada standar lukis. Sengaja aku mengarahkan standar lukis dekat dengannya agar aku tidak gerogi ketika dia meluhatku sedang melukis nantinya.
"Secara harfiah, kamu memikirkan lebih dari satu hal." Aku meniru frasa andalannya. Dia tertawa. Aku selalu tertular. "Sebut satu saja supaya aku bisa memulai." Aku kembali duduk mengambil kanvas dan kuas.
"Kamu sekarang berusaha mengejekku dengan meniru kalimatku?"
"Mulailah dari hal yang realistis, Danu." Aku menantangnya. Aku menggigit bibir bawah dan menaikkan alis agar dia kesal. Meniru kalimat seseorang dalam satu percakapan adalah suatu penghinaan buatku. Dan dia benar aku berusaha mengejeknya kali ini.
"Aku ingin memikirkan kamu tapi tidak bisa."
"Tidak realistis."
"Hei!" serunya. "Bagaimana bisa kamu menyebut itu tidak realistis. Kamu ada di depanku. Bagaimana aku bisa memikirkanmu?"
"Kenapa kamu ingin memikirkan aku?" bantahku.
"Karena aku ingin tahu perasaanmu saat ini." Jawaban Danu sampai membuatku berhenti bergerak. Ketika itu aku sudah mulai dengan warna dasar. Aku sudah mendapatkan ide sejak duduk di balkon tadi sore. "Kamu mengajakku membahas tetang penyesalan terbesar. Jadi apa itu?"
"Kamu dulu?" Aku sudah melanjutkan ketika mengatakan itu. "Aku menanyakan itu lebih dulu ke kamu."
"Aku tadi sudah bilang kalau aku belum menikah dan belum ada arah pikiran menuju ke sana. Sekarang giliran kamu."
Aku tidak menjawab dan terus melukis. Aku menuangkan warna lain ke atas palet. Juga mengganti kuas karena wilaya yang akan kubentu berukuran kecil. Aku memgambil kuas ukuran yang lebih kecil dariyangaku gunakan untuk mewarnai warna dasar.
Danu berdiri. "Aku bosan. Aku mau nonton TV." Dia berjalan menuju kamarku. Dia duduk di atas tempat tidur menyalakan televisi.
Apa dia tidak tertarik dengan ceritaku? Anehnya dia malah mengabaikan aku dan dia sudah mengaggap ini rumah sepupunya atau inilah salah satu bentuk nyata orang tidak tahu malu.
"Kamu jadi dengar ceritaku gak?" teriakku. "Kita kan lagi mengobrol kenapa kamu malah masuk kamar."
"Aku bisa mendengar suaramu." Dia mengecilkan volume suara tevisi. "Mulailah."
"Kamu ke sini dulu," bentakku. Bagaimana bisa memulai percakapan apabila aku tidak tahu lawan bicaraku mendengarkan atau tidak. "Gak sopan bicara sama orang yang lebih tua dengan tidak menatap matanya."
"Kamu masih belum bisa terbuka denganku. Aku malas jadinya." Danu tidak bergerak. "Lagi-lagu mengandalkan senioritas untuk menindas seseorang."
"Nah, budaya orang jawa memang seperti itu."
"Terserah."
Jujur. Aku bisa saja sependapat dengan Danu, lain pula karena aku belum mengatakan tentang perasaanku kepada siapapun itu. Orang hanya tahu ceritaku dari permukaannya saja. Aku bisa menduga bahwa Danu sekarang berusaha memikirkan dengan duduk jauh dariku. Seperti sebelumnya semakin dia mendesakku akan sesuatu aku justru semakin ingin melakukannya. Atau dia memikirkan jika dengan dia tidak depan mataku, sehingga aku jadi leluasa mengatakan apapun tanpa merasa malu
"Oke, aku akan ceritakan semuanya. Tapi, kamu harus kembali."
Aku merasakan urat malu mulai menjalankan fungsinya. Aku berusaha menyibukkan diri dengan melanjutkan bagian terpenting. Bagian yang aku ingin tunjukan kepada Danu. Semua tentang pertemuanku bersamanya selama beberapa jam terakhir. Bagaimana aku dan dia bisa sejauh ini.
Suara televisi tidak lagi terdengar, tergantikan suara derap langkah mendekat. Danu berdiri di ambang pintu. Aku tidak menoleh ke arahnya. Dia berjalan kembali menuju kursi. Danu tertutup kanvas ketika duduk di kursi panjang di depanku. Dia tidak bersuara juga tidak memintaku untuk mengatakan sesuatu. Aku ragu. Mulut ini terasa kesemutan. Aku membasahi bibir agar merasa rileks.
Aku mengintip Danu dari tepian kanvas. "Kamu menungguku?" Ternyata selama ini dia memerhatikanku. Kaki kanannya bertumpu pada lutut sedangkannya tangan kirinya merentang ke sandaran kursi. Aku terkejut melihat sorot tenang dari matanya, mendadak aku menyembunyikan wajahku kembali.
"Ingat, umur kamu sudah 27 jangan bertingkah seperti...,"
"Gadis remaja puber," selaku. "Jangan mengejekku."
"Aku masih dua enam jangan di tambah lagi," aku melanjutkan.
"Apa kamu menunggu pagi?" katanya setengah menuduh. Aku meletakkan kuas dan palet di meja. Rasanya seperti tidak bisa melakukannya lagi. Aku harus melakukannya. "Aku tidak peduli dengan berapa umur kamu."
Aku berdiri dan bejalan ke arahnya. Aku mengambil posisi duduk bersila di sampingnya. Dia tidak berpaling sedikit pun. Saking dekanya posisi kami duduk sampai lututku menyentuh perut Danu yang keras. Dia sedikit bergerak untuk mengatur duduknya agar lebih nyaman. Mungkin ini sedikit mengganggunya lantaran terhitung hanya beberapa menit yang lalu dia ingin menyium aku, tapi dia hanya bisa menyium kening. Aku meyakini semua pria mempunyai naluri yang sama besarnya untuk menyentuh dan memiliki seorang perempuan. Aku menghargai gejolak itu karena aku yang memberinya ruang di rumah ini.
Aku juga tidak bisa membohongi diriku untuk tidak mengatakan bahwa aku tertarik dengannya. Sejak dia membuka kaosnya waktu itu rasanya tubuhku terguncang hebat. Dia mungkin menyadari jika wajahku memerah dan itu nyata. Wajah terasa terbakar.
"Kenapa diam?" Danu menyadarkan aku yang sedang mengingat momen bahagia bersamanya.
"Aku berpikir memulai dari mana."
Danu mengangguk. Aku suka tatapannya. Dia tidak berbohong. Aku akui kalau dia pendengar yang baik. Matanya terus mengisyaratkan bahwa dia ingin mendengar semuanya, walaupun dia tidak mengatakan banyak hal.
"Aku pernah menikah sebelum Mas Agastya. Namanya Danu." Dia tahu cerita yang ini maka dari itu ekspresinya masih tampak seolah menunggu. "Kami menikah setelah tiga tahun berpacaran dengannya. Aku pikir tiga tahun adalah waktu yang cukup untuk mengenal seseorang. Namun, aku salah total. Setahun berjalan kami mempunyai anak. Namanya Qiara."
Aku menelan ludah. Tangan Danu mengusap kepalaku. Dia tahu jika aku membutuhkan sesuatu hal yang tidak bisa aku katakan agar bisa menceritakan segalanya.
"Kami merasakan seolah penikahan kami adalah pasangan paling bahagia ketika Qiara lahir. Danu masih membolehkan aku kerja. Saat itu pekerjaanku sebagai staff kementeian kebudayaan. Paginya aku membuat sarapan untuk mereka, pukul tujuh aku sudah berangkat ke tempat kerja. Danu bekerja pukul delapan juga mengantar Qiara ke tempat penitipan anak. Kadang-kadang aku harus pergi keluar kota dan Danu yang sepenuhnya menjaga Qiara.
Semua itu bejalan hingga lima tahun lamanya. Semua terasa baik-baik saja. Kamu hampir tidak mendebatkan sesuatu hal yang membutuhkan kesepakatan bersama. Dia selalu mengalah dan menyetukhi segala yang aku inginkan. Kadang-kadang jika argumennya masuk akal. Aku juga tidak kolot."
Aku menunggu Danu bertanya akan sesuatu. Tapi dia tetap diam dan tetap memandangku. "Kami merencakan liburan keluar kota. Istri mana yang tidak bahagia mendengar ajakan suaminya secara mendadak. Kami belum pernah merencakan liburan. Qiara senang sekali. Bahkan dia sampai menceritakan kepada siapapun yang dia temui. Waktu itu dia masih umur empat tahun."
Aku menghela napas. "Aku selalu membayangkan masa depanku keluarga ini. Membayangkan Qiara kuliah dan dipersunting seorang pria."
Danu sedikit tertawa. "Qiara masih umur empat tahun dan kamu membayangkan hingga sejauh itu?"
Aku juga ikut tertawa. Tapi itu tidak artinya. "Hari liburan itu tiba. Kami memilih ke Bali karena tidak jauh. Aku menyiapkan segalanya. Hotel, tiket transportasi, destinasi wisata, apapun itu yang aman untuk jalan-jalan bersama anak. Danu tidak meyangka aku merencakan ini dengan matang.
"Aku mencintaimu," katanya saat kami berada di atas kapal penyebrangan. Semua terasa seperti hidup di atas awan ketika seorang suami yang tidak romantis seperti dia mengatakan itu padaku. Aku merasa bahwa aku hidup di dalam film titanic ketika Jack bercumbu dengan rose.
Kami tiba di Bali. Ada travel yang menjemput. Hari pertama kami langsung menuju hotel. Aku meminta Danu menjaga Qiara saat aku pergi mandi. Qiara ketika itu masih tertidur. Hingga aku keluar dari kamar mandi dan berganti baju. Danu dan Qiara bermain di dekat kolam renang. Datang mengikuti mereka dengan membawakan Pop Mie.
Qiara tidak tertarik dengan Pop Mie dia ingin makan spageti. Jadi aku berniat memesankan makanan untuk Qiara. Saat aku kembali daro resto hotel, aku hanya melihat Danu...."
Aku tidak bisa melanjutkan. Inilah kesalahan terbesarku. Danu mendekapku di dadanya. Air mataku jatuh tapi aku masih merasa tenang.
"Apa yang terjadi?" kata Danu. Dia masih mendekapku. "Kalau kamu tidak bisa melanjutkan tidak apa jangan ceritakan padaku." Suara Danu terdengar serak. Dia pun melepas pelukannya.
"Itulah penyesalan terbesarku," hanya kalimat itu yang bisa aku ucapkan untuk mengakui kesalahanku. "Aku kehilangan seorang anak dan tidak lama aku juga kehilangan suami."
"Danu kenapa?" tanyanya. Terdengar tidak sabaran.
"Kami bercerai. Danu menyalahkanku. Dia mengira aku pergi besama Qiara ketika memesan malanan di tengah dia sedang asik makan. Kami sama-sama tidak menyadari kalau kami kehilangan Qiara saat itu." Aku menghela napas dan mengusap sisa air mataku. Danu juga ikut membantu.
"Dia mengatakan jika kesalahan ini adalah karena aku yang tidak becus menjadi seorang istri. Dia juga mengatakan kalau aku seharusnya di rumah menjaga Qiara sepenuhnya."
"Dia menyalahkan kalau kamu bekerja?"
Aku mengangguk. "Dia mengatakan banyak hal yang berbanding terbalik dengan apa yang aku lihat selama ini.
Liburan itu berkahir. Kami membawa Qiara pulang. Menguburkan Qiara di sini. Sekarang dia ditemani adik dan Ibuku."
"Cukup, aku rasa cukup, aku tidak perlu mendengar semuanya," Danu akhirnya berkata sebelum aku memulainya lagi. Dia mendekapku lagi dalam pelukannya. Kali ini dengan kedua tanggannya
"Penyesalan terbesarku aku gagal menjadi seorang Ibu untuk Qiara dan aku juga gagal menjadi seorang Kakak untum Susan," bisiikku di dalam dekap pelukan Danu. Air mataku tidak menetes. Aku merasa lega mengatakan itu. Kalimat yang memang selama ini hanya berada di di kepalaku.
"Kalau kamu?" Aku mengdongak. Yang kulihat hanya dagu Danu. "Apa penyesalan terbesarmu."
"Aku?" Dia bergumam.
BERSAMBUNG
If you're enjoying the story, please consider voting/commenting. Thanks!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top