8
Sorry, kemarin ada kesalahan. Saya kayaknya lagi error. Tq buat koreksinya. Gita itu adiknya Danny ya. Sempat tertulis di beberapa bab menjadi kakaknya. Sudah saya perbaiki.
***
Aku turun ke lantai satu. Meski sudah hampir tengah malam suasana masih ramai. Apalagi Kak Nada orangnya heboh. kedua orang tuaku juga masih bangun.
"Hai, Pak Duda." Segera teriakan Kak Nada terdengar nyaring. Aku sedikit kesal, dari seluruh nama panggilan yang ada kenapa harus memilih itu. Tetapi Kak Nada tetaplah Kak Nada. Yang tidak peduli pada merahnya telinga orang lain. Aku hanya tersenyum masam.
"Hai, kapan balik, Kak? Anak-anak mana?" tanyaku berbasa basi.
"Baru sore tadi. Anak-anak di hotel. Mereka sudah besar. Kakak cuma mau pamit saja. Karena besok terbang ke Medan. Dari sana langsung ke Singapore."
Aku hanya mengangguk. Ke Medan berarti mengunjungi makam ibu kandung kami. Sebuah kebiasaan sebelum ia kembali ke negaranya. Dulu, kami selalu sama-sama. Tapi setelah semua menikah, jadi sangat jarang. Sekelebat teringat akan mama, ibu kandungku. Perempuan cantik yang harus pergi disaat kami semua masih sangat membutuhkan perhatiannya.
Kami kemudian berbincang tentang banyak hal. Mengenai rencanaku yang akan membawa Bea berlibur ke sana. Kak Nada mengusulkan untuk bareng Gita dan kedua orang tuaku. Rasanya bukan sebuah ide yang buruk. Aku segera mengiyakan karena memang belum memiliki rencana. Australia juga tempat yang bagus untuk menghabiskan liburan.
Selesai berbincang dengan Kak Nada, aku kembali ke kamar. Tidak bisa tidur lagi karena memang sudah lewat tengah malam. Kembali kuraih ponsel yang tadi sempat kutinggalkan. Menatap wajah Kania yang tersenyum. Sepertinya foto itu diambil saat pagi hari. Aku men-zoom hingga terlihat lebih dekat. Tanpa polesan saja dia sudah terlihat sangat cantik.
Sebenarnya, selain cantik dia juga memiliki tubuh yang luar biasa indah. Meski dalam keseharian selalu mengenakan pakaian sopan. Namun di akun Instagramnya sedikit berbeda. Tak jarang ia menunjukkan lekuk tubuh yang menggoda. Meski memang tidak ada foto mengenakan bikini atau sejenisnya. Saat di tepi pantaipun ia mengenakan penutup.
Sebagai laki-laki normal aku tertarik melihat tubuh seksinya. Payudaranya besar dan bagus. Juga pinggang kecil dan bokong yang besar. Itu sebuah nilai lebih. Tapi apa yang kulihat di sana jelas berbeda dengan kepribadian sesungguhnya. Kania tetaplah gadis manja, putri tunggal Bapak Richard dan Ibu Kristianti. Yang jika baru pertama bertemu akan terkesan pemalu. Kugelengkan kepala. Karena memang tidak sedang berniat menjalin hubungan baru.
Kembali ku scroll sampai ke bagian bawah. Meski Follower aktifnya cukup banyak. Tidak kutemukan satupun fotonya bersama seorang pria atau teman-temannya. Sepertinya ia kurang suka berkumpul dengan banyak orang. Tidak bisa dipungkiri, mungkin kedua orang tuanya menjaga dengan ketat. Mau apa lagi? Dia cantik, kaya dan berasal dari keluarga terpandang.
Kembali kututup ponsel dan berusaha memejamkan mata. Mencoba untuk bisa beristirahat. Kesusahan hari ini cukuplah untuk hari ini. Sekarang saatnya meletakkan isi kepala dan mengistirahatkan tubuh. Aku benar-benar lelah.
***
Sejak tadi malam hujan turun dengan deras. Aku sampai bangun kesiangan. Di hari sabtu seperti ini, rasanya ikutan malas. Tapi apa daya, toko harus tetap buka. Setelah kupikir-pikir, nanti sajalah berangkat setelah agak siang. Masih mengenakan piyama, aku ke luar dari kamar. Mama yang sedang menyiapkan sarapan menatapku horror dari atas ke bawah.
"Selamat pagi, Kania. Kenapa berpakaian seperti itu ke luar kamar?"
Aku hanya tersenyum. "Pagi, Ma. Papa mana?" tanyaku mengabaikan pertanyaannya.
"Di kamar. Sedikit demam. Ini mama sedang buat lemon tea hangat."
Aku bergegas menuju kamar mereka. Dan menemukan papa masih berada di bawah selimut. Kusentuh keningnya. Papa membuka sedikit mata.
"Kita ke dokter? Kania antar."
"Nggak usah. Cuma naik sedikit saja. Papa akan beristirahat sepanjang hari."
Aku segera naik ke tempat tidur dan berbaring di samping papa yang kembali memejamkan mata. Ia memeluk tubuhku. Kemudian tersenyum kecil.
"Kamu sudah besar sekali."
"Bukan cuma besar, Pa. Tapi sudah tua."
"Siapa bilang? Dua puluh tujuh masih muda. Kenapa tidak ambil S2?"
"Untuk apa?"
"Ilmu akan selalu berguna sepanjang masa. Ayo, mumpung belum menikah dan masih ada waktu."
Aku terdiam. Ini adalah permintaan sejak aku lulus S1. Sebenarnya keinginan itu ada terutama untuk mendalami ilmu bisnis. Tapi memang sepertinya aku harus lebih memaksakan diri. Karena mengurus toko kue saja sudah menghabiskan banyak waktu.
"Akan aku pikirkan."
"Pendidikan itu sangat penting untuk membuka wawasan kamu sebagai perempuan. Selain dari pengalaman sehari-hari. Apalagi kalau kelak menjadi ibu, kamu harus membimbing anak-anakmu."
"Papa ngomongnya kejauhan." Protesku.
Papa mempererat pelukannya. "Papa mau kamu kelak bisa menjadi perempuan yang kuat dan bijaksana. Kamu anak tunggal. Tidak punya kakak atau adik."
Kutatap mata papa yang menerawang.
"Papa kenapa, sih?"
"Papa sedikit menyesal kenapa kamu tidak punya adik. Setidaknya kamu punya teman bicara selain kami."
"Ada Pingkan, Pa."
"Ya, untung ada dia."
Pembicaraan kami terhenti saat mama masuk dengan membawa nampan berisi tiga gelas teh hangat dan beberapa tangkup roti. Di luar hujan turun semakin deras. Papa segera duduk. Aku membantu meletakkan bantal dipunggungnya agar merasa lebih nyaman.
"Kalian ngobrol, apa?" tanya mama.
"Papa minta aku lanjut ambil S2." jawabku.
"Bagus itu." balas mama sambil menyerahkan teh papa. Aku tersenyum melihat cara mereka menjaga kemesraan. Sesuatu yang simpel tapi terlihat jujur. Menyaksikan bagaimana mata papa bercahaya saat menatap mama. Kurebahkan kepala ke atas bantal.
"Kamu ini anak gadis kok malas. Ayo bangun dan mandi."
"Aku sudah cuci muka dan sikat gigi, Ma." Protesku sambil menarik selimut papa.
"Kamu, itu." Protes mama kemudian segera menyiapkan roti panggang milik papa. Selesai meminum obat, papa kembali berbaring. Kali ini ia memelukku erat. Kubiarkan sampai kemudian aku juga ikut ketiduran.
Entah berapa lama hingga akhirnya terbangun. Ternyata aku sudah berada ditengah papa dan mama. Kubiarkan saja mereka memelukku. Hal ini jarang terjadi sekarang. Kunikmati dekapan hangat mereka. Senangnya masih memiliki orang tua lengkap. Pelan kuraih ponsel yang ada diatas nakas. Lalu mengambil potret kami bertiga secara sembarangan beberapa kali. Kulihat hasilnya cukup bagus. Meski wajah papa dan mama tidak jelas. Sudah lama tidak meng-upload apapun. Kuberi caption
Saturday lazy morning.
***
Hujan turun dengan deras. Aku memilih bekerja dari rumah. Menyeruput kopi sambil ditemani Doris, anjing kesayanganku. Setelah mengantar Bea ke rumah Chintya, aku kembali ke rumah. Kebetulan tidak ada pekerjaan yang mengharuskan aku untuk ke luar. Lelah berada di depan macbook, kuraih ponsel. Hingga akhirnya teringat akun milik Kania. Ia cukup aktif di sana.
Ada sebuah postingan yang baru di-upload. Fotonya berada di tempat tidur. Dibalik selimut tepatnya. Aku tersenyum, menatap ia yang berada ditengah kedua orangtuanya. Masih dengan piyama. Terbayang akan Bea. Akankah kami juga nanti akan sampai pada tahap itu? Kania beruntung karena memiliki orang tua lengkap.
Kutatap langit di luar jendela. Aku suka hujan. Tidak tahu harus melakukan apa, kuputuskan untuk berenang. Sebuah kebiasaan sejak masih kecil.
***
Kania tengah mencari area parkir di bandara. Sore ini ia harus menjemput kedua orang tuanya yang baru kembali dari Bali. Menghadiri pernikahan putri dari salah seorang sahabat mereka. Kania tidak ikut meski mengenal pengantin wanita cukup dekat. Pekerjaan disaat weekend benar-benar menguras waktu.
Sambil menunggu gadis itu memilih duduk di salah satu gerai kopi. Masih memesan saat seseorang menghampiri dari belakang.
"Kania?"
Gadis itu menoleh kebelakang. Dan melihat ada sosok tinggi milik Danny di sana.
"Hai, kamu mau ke mana?" membalas sapaan pria itu.
"Dari Banjarmasin mau terbang lagi ke Medan. Kamu?"
"Jemput papa dan mama. Mereka dari Bali. Mau sekalian aku pesankan kopi?" tanya Kania.
"Boleh."
Danny segera menyebutkan jenis kopi yang diinginkannya. Dan saat akan membayar ia sudah lebih dulu menyodorkan dua lembar uang.
"Kok kamu yang bayarin?" protes Kania saat mereka duduk.
"Nggak enak aja, harus ditraktir kamu. Aku laki-laki."
Kania mencebikkan bibirnya. "Setiap ketemu kamu aku dibayarin terus."
"Nggak usah dibahas, ayo diminum kopinya." Balas Danny lembut. Ia tahu Kania sedang kesal. Tapi entah kenapa sangat menikmati ekspresi wajah yang sedang berada di depannya itu.
"Kita sudah cukup lama nggak ketemu, ya."
"Aku ke toko kue, kamunya nggak pernah ada."
"Kapan?"
"Beberapa kali sih."
"Kenapa nggak tanya karyawan?"
"Kamu mungkin sedang sibuk dan aku nggak mau ganggu. Tapi tenang aku selalu tahu kabar kamu, kok."
"Tahu dari mana?" mata Kania segera membesar.
"Jangan melotot begitu dong. Seakan kamu mau makan aku."
"Kamu becandanya nggak enak tahu. Ayo, kamu tahu dari mana?"
"Status WA dan Instagram kamu." jawab Danny tertawa lebar.
Kania kembali melotot, namun kali ini ada senyum dibibirnya. Perempuan itu menatap pria yang tengah menyecap kopinya. Danny bukan pria tampan dengan wajah seperti aktor favoritnya. Bahkan begitu banyak sideburns diwajahnya sehingga terlihat tidak rapi.
"Kamu kok ngelihatin aku seperti itu?" Danny menyentak lamunannya.
"Kamu nggak rapi banget sih. Rambut kamu juga panjangnya nanggung."
Pria itu menghembuskan nafas kasar. Menatap wajah di depannya dengan intens. Ia tidak tahu apa maksud Kania mengatakan itu. Bukankan mereka hanya sekadar teman? Ataukah perempuan di depannya ini terbiasa perhatian terhadap semua orang.
"Jadi menurut kamu aku nggak cukup ganteng dengan tampilan seperti ini, begitu?"
"Bukan ke arah itu. Tapi risih aja lihatnya. Kalau kamu rapikan pasti terlihat lebih baik."
"Untuk kamu?"
Wajah Kania seketika berubah.
"Sorry, kalau saranku membuat kamu tidak nyaman. Lupa sudah menyinggung sesuatu yang sifatnya sangat pribadi."
"Tidak sama sekali. Lima tahun ini aku selalu sendirian dan tidak ada yang pernah mengingatkan. Hingga akhirnya tidak lagi menjadi sesuatu yang penting. Kamu orang pertama yang mengatakan itu. Jadi, jangan meminta maaf, karena tidak ada kesalahan apapun di sini. Oh ya, kenapa beberapa hari ini tidak meng-upload sesuatu pada akun kamu?"
"Kamu stalker aku?"
"Bukan, kadang story kamu lewat. Jadi aku buka."
"Kamu malah sudah lebih lama tidak mengirim foto. Terakhir yang lagi kerja terus foto dengan anjing kamu."
Kembali Danny tertawa. "Jadi siapa yang stalker siapa, nih?"
"Tuh kan, kamu langsung begitu."
"Aku hanya meng-upload sesuatu yang penting menurutku. Atau membuatku selalu ingin mengingat moment itu. Sisanya, abaikan."
"Kadang kamu aneh buatku."
Danny hanya tersenyum. Ia lebih memilih berlama-lama menatap Kania.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
15821
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top