6

Ketika penyuka yoga bertemu pencinta golf.

***

"Mama mau ke Jogja sabtu depan. Pakdhe-mu, akan menikahkan anaknya. Kamu ada waktu?"

Pertanyaan itu dilontarkan mama begitu aku tiba di rumah. Kuletakkan topi diatas meja lalu duduk di sampingnya.

"Sama siapa saja?"

"Papa, mama dan kamu. Gita sudah janji ke Bali dengan anak-anaknya."

"Aku boleh ajak Bea?"

"Tidak masalah. Sekalian jalan-jalan."

"Kenapa tidak berdua saja?"

"Papamu malas sendirian. Kamu tahu, dia tidak suka berada dilingkungan orang ramai yang tidak dikenal dengan baik."

"Papa itu paling aneh, tapi kenapa mama masih setia?" tanyaku menggoda mama.

"Hush, kamu itu." balas mama sambil tertawa.

"Ok, aku ikut. Kak Nada ke mana?"

"Sedang bertemu dengan teman lamanya. Dia tidak ikut karena akan ke Bunaken. Sudah janji dengan anak-anaknya. Ya sudah, kamu mandi dulu. Sudah malam. Mau mama siapkan makan?"

"Tidak usah, aku sudah makan."

Mama mengangguk. Kutinggalkan ia sendirian di ruang tengah. Dia pasti kesepian, makanya memintaku untuk datang dan menginap. Meski sudah memiliki apartemen sendiri, aku memang kerap menginap di sini. Entah kenapa, rasanya senang berada di dekat keluarga. Meski sudah sangat lama aku tidak bergantung keuangan dari mereka.

***

"Kania, temani papa ke tukang pijat langganan, yuk." Ajak papanya saat sang putri tengah sibuk dengan ponsel ditangan.

"Mama mau ikut?" tanya Kania sambil menoleh pada sang ibu yang masih sibuk didepan macbook-nya.

"Kalian saja, deh. Mama tadi sudah janji spa di sini saja. Papamu itu kalau nggak mampir ke Mbok Timah nggak sah sudah sampai di Jogja."

Kania segera bangkit lalu meraih kunci mobil. Papanya sudah menunggu di halaman.

"Papa yang nyetir atau aku?"

"Kamu saja. Badan papa sakit semua."

Gadis itu mengangguk. Ia segera memasuki mobil menuju jalan raya. Mbok Timah adalah langganan pijat sejak lama. Dulu saat papanya bertugas di sini hampir setiap bulan akan mengunjungi perempuan yang sudah tua itu. Meski usianya sudah lanjut, namun menurut Richard pijatannya masih yang terbaik.

Kediamannya merupakan sebuah rumah lama. Berbentuk joglo dengan lantai semen yang selalu terlihat bersih. Di halaman ada sebuah pohon mangga yang memberi kesan teduh pada siapapun yang melintas. Saat kecil, Kania senang bermain-main di halaman. Ia akan segera bergabung dengan anak-anak sekitar yang tengah bermain.

Seperti biasa, setelah dewasa, gadis itu tidak menunggu di rumah perempuan tua itu. Tetapi akan duduk di warung penjual nasi gudeg di seberang jalan. Ia suka sekali makan di sana sambil menikmati teh khas jawa yang terasa cukup getir dilidah. Kalau sedang kenyang akan memaakan gorengan tahu atau tempe.

Saat memasuki warung, ada sosok yang tak asing baginya. Tubuh tinggi dengan rambut pirang kecoklatan itu pasti menarik perhatian siapapun. Pria itu tengah menatap sawah yang berada tak jauh dari sana.

"Hai, ketemu di sini? Lagi ngapain?" sapanya.

Danny yang tengah termenung segera mendongak. Terkejut saat melihat sosok yang ada di depannya. Kemudian bangkit untuk menarik sebuah kursi di dekatnya agar Kania duduk di situ.

"Aku sedang mengantar mama ke pernikahan salah seorang sepupu. Acaranya besok dan saat ini aku memang ingin kemari. Kamu?"

"Mengantar papa di belakang warung ini. Ada tukang pijat langgganan. Setiap kali kemari, papa pasti mampir. Kamu sama siapa ke Jogja?"

"Mama, papa dan Bea. Tapi siang ini memang sengaja sendirian."

"Aku mengganggu kalau begitu."

"Tidak sama sekali. Maksudku ingin menjauh dari pertanyaan yang sangat tradisional dan mengganggu kinerja otakku."

"Aku tahu pertanyaan seperti apa." jawab Kania. Keduanya segera tertawa terbahak-bahak. Sehingga menarik perhatian beberapa orang pengunjung.

Danny tersenyum lebar sambil terus menatap perempuan di depannya. Cara bicara yang terkesan manja membuat pikirannya sedikit tergelitik. Saat pelayan menghampiri Kania segera memesan tempe goreng beserta segelas teh hangat.

"Kamu makan gorengan?" tanya Danny.

"Makan, kalau hari biasa kubatasi. Tapi saat liburan, lupakan berat badan."

"Tidak takut badan kamu melar?"

"Apa itu akan menjadi masalah buat kamu?"

Danny kembali tertawa, lucu mendengar godaan Kania dengan wajah tak bersalahnya.

"Nggak, apalagi setelah ini aku janji akan kembali ke rumah papa supaya bisa menemani olahraga."

"Papa kamu suka olahraga?"

"Suka banget, cuma nggak ada yang menemani. Mamaku malas olah raga."

"Papa kamu suka golf?"

"Suka banget sih enggak. Tapi punya peralatannya. Kadang main dengan beberapa teman. Itu pun kalau masih ada di Gudang."

"Kalau mau boleh bareng aku. Papaku juga kebetulan suka. Siapa tahu mereka cocok. Kamu suka olahraga apa?"

"Nggak ada yang khusus sih. Tapi aku sering yoga untuk menyeimbangkan pikiran dan tubuh. Kamu?"

"Golf, berenang, menyelam dan juga ski."

"Wow banyak banget. Dijalanin semua?"

"Tergantung berada dimana sih sebenarnya. Kalau buru-buru ya kembali lagi ke running. Tapi kalau ada kesempatan baru deh pilih yang suka. Karena menjaga kebugaran itu harus."

"Kayaknya aku harus mengenalkan kamu ke papaku deh. Supaya dia semangat lagi."

"Boleh banget. Untuk golf aku rutin kok. Kalau berenang memang lebih sering ke kolam renang atlet, karena standar panjang dan kedalaman kolam lebih baik."

"Ok nanti aku bilangin. Sebentar lagi juga selesai pijatnya. Habis ini kamu kemana?"

"Palingan ke hotel. Mama dan papa masih mengikuti beberapa acara adat. Kamu?"

"Belum tahu. Tergantung papa. Besok kamu pakai baju tradisional juga?"

"Pasti. Kenapa? Kamu mau lihat?"

Kania segera tertawa. "Aku bayangin kamu yang tinggi banget ini pakai blangkon sama surjan."

"Nanti aku kirimkan fotonya. Aku lumayan ganteng kok kalau pakai itu."

Kembali terdengar tawa Kania berderai. "Papa kamu juga?"

"Ya, harus. Kami terbiasa menghormati tradisi dari keluarga mama. Bahkan Bea selalu mengenakan kebaya ketika ada perayaan di sekolahnya."

"Wow, aku kalah berarti."

Bagi Kania bercerita dengan Danny seolah tidak pernah kehabisan topik. Hingga akhirnya papanya menyusul. Gadis itu segera melambaikan tangan.

"Papa, duduk sini. Mau minum teh juga?"

"Boleh, ini siapa?" tanya Richard saat melihat seorang pria duduk di hadapan putrinya.

"Oh iya kenalkan. Dan, ini papaku."

Danny segera bangkit berdiri lalu mengulurkan tangan pada Richard Kusumanegara.

"Hai, Om, Saya Danny."

Pria paruh baya itu segera menyambut uluran tangan pria di hadapannya. "Saya papanya Kania. Kalian kenal di mana?"

"Kebetulan keluarga kami salah seorang pelanggan toko kue milik Kania."

"Bagaimana rasa kuenya?"

"Enak, bahkan ada beberapa yang sangat enak dan sering saya rekomendasikan pada beberapa teman."

"Terima kasih kalau begitu. Ayo ngeteh."

Mereka semua akhirnya duduk. Dan menikmati teh tradisional. Papa Kania kemudian menggigit gula batu miliknya.

"Pa, Danny ini suka golf. Papa mau nggak barengan. Aku lihat stick papa sudah berdebu di gudang."

"Papa kadang malas ke luar rumah kalau libur."

"Ayolah, aku nggak mau papa sakit."

"Kamu antar papa, ya."

"Kalau papa main golf, aku ngapain disitu?"

"Ya, nungguin. Atau ikut belajar."

"Malas ah, takut hitam."

Kembali kedua pria didepannya tertawa. "Tuh, kamu lihat Dan. Putri saya takut sekali hitam. Padahal berjemur dibawah matahari pada jam tertentu justru sehat kan."

Kania segera mengerucutkan bibir.

"Ya sudah, nanti kalau jadwal papa main golf aku jemput dan antar pulang. Tapi papa harus traktir aku makan siang."

"Kamu itu. Baiklah, papa tunggu kabar kamu." balas Richard sambil memeluk bahu putrinya.

Danny yang melihat itu hanya tersenyum, suka melihat interaksi keduanya. Kini pria itu paham darimana sikap manja yang tersembunyi milik Kania berasal. Ia bukan tidak mengenal Richard. Pria di depannya ini memiliki jabatan tinggi di sebuah bank BUMN. Tapi jelas, hanya nasabah kelas kakap yang akan berhubungan langsung dengannya. Danny bukan siapa-siapa.

***

Aku dan papa kembali ke villa. Dan melihat mama masih berkutat dengan macbooknya.

"Mama nggak jadi ke Spa?"

"Setelah ini, tinggal mengirim email. Kamu dan papa sudah selesai?" tanya sang mama tanpa menoleh.

"Sudah, mama mau aku temani?"

"Boleh." jawab mama singkat. Mama memang seperti itu. Selalu bersikap profesional saat bekerja. Meski sedang di rumah. Satu yang menjadi kebiasaannya adalah tidak suka begadang. Sesibuk apapun mama, ia akan selalu tidur pukul sembilan malam. Lalu bangun pukul tiga pagi. Bekerja sampai jam enam, lanjut tidur sebentar. Jam sembilan pagi mama pasti sudah bersiap berangkat ke kantor.

Ritme kerja mama dan papa jauh berbeda. Papa lebih sering sibuk hingga tengah malam. Bahkan bisa pulang kantor saat larut. Tidak ada yang boleh mengganggu saat bekerja. Meskipun itu aku. Bahkan mama bercerita, saat melahirkan aku. Papa baru datang setelah lahir karena ada rapat yang tidak bisa ditunda di kantor.

Mama marah, bahkan sempat berhari-hari tidak mau berbicara dengan papa. Meski kemudian luluh, dan hasilnya dua bulan kemudian jabatan papa naik. Karena itulah mama tidak ingin menambah keturunan. Alasannya sejak dulu adalah,

"satu saja tidak terurus, konon lagi dua."

Meski sangat sibuk, Mama selalu punya cara untuk mengawasiku. Mulai dari menelfon guru sampai kakak asuh yang selalu mendampingi dulu. Selesai les balet, berenang atau piano, mama akan menyempatkan diri untuk menghubungi para guru pelatih. Bertanya tentang perkembangan kemampuanku. Mungkin itu yang menyebabkanku sangat manja saat menghabiskan waktu bersama mereka berdua. Karena kami memang jarang bertemu.

"Schat, ayo kamu ke spa. Supaya setelah ini kita jalan-jalan." Ujar papa.

"Akan butuh waktu lama. Setidaknya nanti empat jam. Kalau mau bertemu teman, pergilah. Aku mau me time bersama Kania. Gantian, kamu kan tadi sudah pacaran dengan anak perempuanmu."

"Seharusnya papa dan mama dulu punya anak lebih dari satu."

"Satu kamu saja papamu tidak bisa menunggu saat melahirkan. Apalagi harus punya lebih dari kamu? Habis waktu mama untuk mengurus anak-anak."

Papa hanya tertawa. Sejak dulu memang mama sendiri yang selalu mengurus kebutuhanku. Mulai dari memilih sekolah, bahkan sampai mencarikan kado untuk teman yang berulang tahun. Entahlah, sepertinya mama punya sepuluh pasang tangan sehingga semua pekerjaannya bisa selesai dengan baik. Meski memang ada beberapa asisten dan pembantu rumah tangga yang selalu siap untuk menjalankan perintah. Kuakui mama adalah perempuan yang hebat.

Setelah mencium pipi papa,aku dan mama segera menuju bagian lain villa, untuk mendapatkan perawatan. Kaliini kami akan berbincang tentang banyak hal. Tentu saja yang berbau perempuan.

***

Happy reading

Maaf untuk typo

9821

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top