4
Part ini saya persembahkan, khususnya untuk kalian yang sedang sakit, Isoman dan sendirian. Semoga kalian lekas pulih. Dan keluarga juga sehat semua.
***
Aku baru saja duduk di sofa saat Gita bertanya.
"Menurut abang, Kania, bagimana?"
"Cantik." jawabku jujur setelah terdiam sejenak. Ini bukan pertama kali kami berbicara tentang perempuan lain.
"Kayaknya tipe abang deh. Dari dulu kan pacar abang mirip-mirip gitu semua?"
"Udah ah, aku nggak mau ngomongin begituan. Bosan!" elakku.
Kulihat adikku menghela nafas. Dia memang berbeda dengan kak Nada yang lebih tidak peduli dengan urusan pribadi orang lain.
"Abang sudah terlalu lama sendirian. Kenapa tidak mencoba dengan yang baru?"
"Malas memulai. Ribet tahu, nggak. Mending seperti sekarang. Bisa fokus kerja dan ikut membesarkan Bea."
Kembali Gita memalingkan tatapan. Kulihat wajah cantiknya kesal. Segera kuraih bahunya dari samping.
"Aku sudah nyaman dengan diriku yang sekarang. Membuat program kerja tanpa harus terganggu apapun dan siapapun. Kalau tentang keturunan, aku punya. Menikah hanya akan menghambat semua rencana yang sudah kususun." Lanjutku.
"Bukan menikah, tapi kembali membuka hati."
Kuketuk jemari ke bahu sofa. "Perempuan Indonesia itu tujuannya jelas. Begitu pacaran, cocok, langsung menikah. Tidak peduli apakah nanti akan ada ketidaksesuaian dalam pernikahan. Kalau ujungnya hanya perceraian, lalu untuk apa? Capek membangun hubungan baru."
Gita menghembuskan nafas sambil menatap langit-langit yang penuh ukiran. Ia juga belum lama bercerai dengan Rama. Salah seorang keturunan konglomerat Indonesia. Dari hasil perceraiannya adikku mendapat cukup banyak. Termasuk hak asuh anak yang sejak awal diperjuangkannya. Tapi aku tahu kalau hatinya hancur. Meski menerima tunjangan yang besar, sehingga ia tidak perlu bekerja. Apalagi saat melihat mantan adik iparku yang sudah menjalin hubungan lagi dengan seorang aktris ternama, mantan kekasihnya dulu.
"Kamu laki-laki. Berbeda dengan kami perempuan."
"Bedanya dimana?"
"Seks dan priotas hidup."
Aku me-rollling eyes kedua bola mata. Kami memang terbiasa membicarakan segala hal secara terbuka.
"Kenapa aku menangkap kesan yang berbau gender? Aku akui, aku butuh itu. Tapi tidak sembarangan dalam mencari pasangan. Prioritas hidupku juga jelas, cari uang, menabung, liburan dan membesarkan Beatrice."
"Jadi bagaimana tentang Kania?"
Aku segera tertawa, dia belum menyerah. "Ini pertanyaan titipan dari mama?"
Gita menggeleng. Kucium pipinya dengan gemas. Membuatnya sedikit menghindar.
"Aku tidak menerima titipan pertanyaan. Kalau kelak bertemu perempuan yang membuatku nyaman, mungkin kami akan lama berpacaran. Tidak ingin berakhir seperti yang pernah kualami. Dan mengenai gadis bernama Kania, dia memang cantik dan baik. Baru bertemu saja aku sudah bisa menilai seperti apa karakternya. Tapi ingat, dia orang Indonesia asli. Dan aku tidak ingin melibatkannya dengan kehidupan kita yang rumit."
Gita akhirnya mencoba tersenyum. Meski tidak terlihat tulus sama sekali.
***
Sarapan pagi bersama di hari senin adalah rutinitas yang harus kami lakukan. Kali ini hanya ada aku, papa, mama dan Bea. Gita sudah kembali ke rumahnya. Karena Pedro dan Cassandra juga harus sekolah.
"Bonjour. Comment allez-vouz" sapaku pada kedua orang tuaku.
"Assez bien. Et toi?"
"Comme-ci." jawabku jujur. Karena memang keadaanku tidak begitu baik.
"Good moring, papa Bear." balas Bea. Hari ini adalah tugasku mengantarnya ke sekolah.
"Mau roti?" tanya mama.
Aku mengangguk, lalu menerima dua lembar roti panggang. Seperti biasa, papa sibuk dengan The Jakarta post-nya sementara mama melayani kami semua.
"Bea mau bawa bekal apa?" tanya mama pada putriku.
"Susu dan buah saja, grande mére."
"Hari ini kamu akan ke mana saja?" tanya mama lagi.
"Hanya ke café. Kebetulan ada janji dengan seseorang."
"Hati-hati, dan ingat jaga kesehatan."
Aku segera mengangguk. Ini adalah kalimat rutin mama pada kami semua sejak dulu. Perempuan yang masih cantik diusianya yang sudah senja. Aku kagum pada mama yang sudah membesarkan kami bertiga dengan baik. Aku, Gita dan Kak Nada. Padahal kami tidak lahir dari rahimnya. Tapi begitu besarnya cintanya sehingga bersedia mengasuh kami. Dan kami pun sangat dekat dengannya. Karena ibu kandung kami sudah meninggal saat melahirkan Gita.
Selesai sarapan, aku dan Bea meninggalkan meja makan. Kedua orang tuaku segera mendapat pelukan dan ciuman hangat dari Bea. Ya, karena baru weekend berikutnyalah mereka kembali bisa bertemu.
"Bonne matinéé." ucapku sebelum beranjak. Mereka melepasku dengan senyum lebar.
Kukemudikan mobil dengan kecepatan sedang. Melewati pintu gerbang kompleks, kembali aku menoleh pada bakery yang ada di seberang jalan. Belum buka!
***
Kania tengah sibuk dengan kotak-kotak bambu yang telah dihias sedemikian rupa. Ada pesanan 200 pax kue dan roti untuk sebuah acara. Ia harus benar-benar memastikan bahwa setiap kotak berisi dengan jenis kue yang benar. Beberapa karyawan bergantian mengisi hingga akhirnya pekerjaan selesai. Segera kotak dimasukkan ke dalam mobil untuk diantar.
Kali ini, Kania mengantar sendiri. Karena belum memiliki kendaraan khusus. Perlahan gadis itu menuju alamat di dalam kompleks. Sudah ada tenda, sepertinya sebuah acara pengajian. Gadis itu segera turun dan menyerahkan ke tangan pemesan. Sekaligus menghitung jumlah kantong agar sesuai dengan pesanan. Selesai semua ia kembali ke toko.
Cukup lelah, karena karyawan harus bangun pukul lima pagi. Kue diantar sebelum pukul delapan. Tidak ada waktu untuk beristirahat. Karena toko sudah buka. Tiga hari terakhir seluruh karyawan harus bekerja full karena banyaknya pesanan. Bagi Kania ini adalah rejeki mereka Bersama. Meski terlihat lelah, karyawan juga senang. Karena berarti akan ada uang lembur yang masuk ke gaji mereka diakhir bulan.
Sudah hampir siang ketika Gadis itu menyelesaikan pekerjaan rutin, yakni memeriksa stok juga menghitung penjualan. Diraihnya ponsel kemudian memesan ayam geprek dari sebuh resto yang tak jauh dari sini. Untuk dimakan oleh seluruh karyawan sebagai penambah semangat. Ia biasa mentraktir mereka Ketika sedang banyak pekerjaan.
Saat makan siang, Kania turun kebawah, karena beberapa karyawan akan bergantian untuk beristirahat. Masih asyik menata kue, seseorang menyapa.
"Hai, Kania."
Seketika gadis itu menoleh.
"Hai, Danny. Apa kabar?"
"Baik, amm... saya mau pesan kue."
"Boleh, silahkan duduk."
"Terima kasih, saya sedang tidak buru-buru. Silahkan selesaikan pekerjaan kamu."
"Pekerjaan perempuan tentang beberes dan bersih-bersih tidak akan pernah selesai. Jadi sebaiknya kita langsung saja." balas Kania sambil tertawa lepas. Lalu meninggalkan pria itu untuk mengambil tablet dan juga nota pemesanan.
Keduanya duduk berhadapan. "Mau pesan apa?"
"Saya mau pesan kue, sekitar 150 pax. Bisa beri saya pilihan?"
"Untuk acara apa dulu nih."
"Ibu saya akan mengadakan acara kunjungan rutin ke sebuah panti asuhan. Jadi yang cocok untuk anak-anak."
Kania meletakkan tabletnya, lalu menatap bola mata hazel itu dengan lekat.
"Kalau saya kasih saran, tapi saya cerita dulu. Kira-kira kamu ada waktu buat dengerin, nggak?"
"Silahkan."
"Beberapa waktu lalu, saya dan teman-teman mengunjungi sebuah panti. Biasanya kita masak bareng-bareng. Kemudian bawa makanan matang. Tapi hari itu, tiba-tiba semua out of schedule. Kita benar-benar punya kesibukan mendadak. Sampai akhirnya memutuskan untuk membeli burger di sebuah gerai ternama. Kita pikir, sesekali lah mentraktir mereka.
Dan kamu tahu, tanggapan mereka? Senang sekali. Karena anak-anak itu selama ini hanya bisa menatap dari layar televisi. Biasanya orang-orang melakukan hal yang biasa seperti kami atau membeli catering. Mereka bilang.
"Terima kasih banyak mbak. Karena anak-anak sudah lama sekali kepingin makan burger. Kami tidak pernah makan yang seperti ini. Meski kadang membeli yang mangkal dipinggir jalan. Jadi sejak itu, kami sering membelikan yang kira-kira sedang in dimata anak-anak. Sesuai budget tentunya."
Danny tersenyum simpul sambil menatap wajah di depannya. Ia suka melihat cara Kania bercerita. Juga nada suaranya yang terkesan manja. Mata gadis itu juga terlihat ekspresif.
"Dan..."
Suara Kania menghentikan lamunannya. "Ya."
"Kamu dengerin aku?"
"Mendengar sekaligus melihat."
Kania tertawa, sebuah pemandangan menarik bagi Danny.
"Aku kemari ingin membeli jualan kamu. Kenapa malah menawarkan untuk membeli di gerai lain?"
"Kamu berniat membahagiakan orang, jadi kenapa tidak sekalian saja melakukan dengan lebih baik. Memberi apa yang mereka suka. Meski sebenarnya akan tetap menerima apapun pemberian kamu."
"Apa aku bisa pesan burger di sini?"
"Bisa sih, tapi aku rasa café milik kamu juga menyediakan menu itu."
"Aku tidak ingin mengganggu kerja karyawan."
Kania mengangguk.
"Ada tambahan?"
"Kentang goreng."
"Cocok banget sih."
"Berikan aku bahan berkualitas terbaik."
Kania segera mengangguk. "Untuk, kapan?"
"Sabtu, pagi."
"Nanti aku langsung masukkan ke kantong kertas gitu, ya. Supaya mirip dengan yang dibeli di resto."
"Boleh, tapi apa kamu tidak rugi nanti?"
"Tidak, karena jumlah pesanannya cukup banyak. Dan kami selalu sedia daging giling, tinggal buat ham-nya saja. Karena kami juga jual spaghetti dan pasta dalam bentuk jar. Jadi sudah terbiasa buat saus sendiri."
"Kalau begitu, aku pesan spaghetti atau kue lain dalam bentuk jar saja. Kurasa bukan ide yang buruk daripada kamu harus mengganti menu. Kamu buat saus dengan rasa yang lebih ringan, maksudku bisa diterima oleh lidah anak-anak. Karena selama ini setahuku saus bolognese kamu rasanya sangat pekat. Untuk kami yang dewasa memang enak. Tapi aku kurang yakin dengna lidah anak-anak Indonesia."
"Kamu pernah makan spaghetti buatanku?"
"Ya, mamaku adalah pelanggan setia kamu."
"Baiklah, akan aku siapkan. Masih dalam jumlah yang tadi?"
"Ya, kalau nanti ada kekurangan akan kutambah.
"Kamu pasti belum makan siang?"
Kania menatap tak percaya. Laki-laki di depannya ini sepertinya memiliki stok kejutan yang cukup banyak. Lama baru akhirnya ia menjawab.
"Belum, memangnya kenapa?"
"Aku ingin mengajak kamu makan siang di resto sebelah. Aku kelaparan."
Kania kembali tertawa. Danny terlalu spontan untuknya.
"Sebagai teman maksudku, tidak lebih. Dari pada makan sendiri?" lanjut pria berambut ombak itu lagi. Seakan mengerti apa yang ada dalam pikiran gadis yang duduk di depannya.
Kania akhirnya mengangguk. Sesuatu yang beberapa detik kemudian sangat disesalinya. Namun tidak ada jalan untuk mundur. Karena anggukan sudah diberikan.
***
Happy reading
Maa untyk typo
4821
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top