15
Hari baru, tanggal baru, bulan baru. Semangat Baru!
Sehat semua ya....
***
"Kamu kenapa?" tanya Kania malam harinya saat kami berbincang melalui sambungan telfon.
"Aku baik-baik saja." jawabku. Meski begitu banyak masalah yang terjadi. Terutama karena Rama kembali datang merusak acara makan malam kami. Lalu setengah memaksa membawa anak-anaknya menginap di hotel. Aku tidak bisa berkata apa-apa karena itu adalah urusannya dengan Gita. Tapi jelas adikku merasa sedih. Ia sampai menangis.
"Jangan bohong, nada suara kamu saja sudah menunjukkan kalau sedang ada masalah."
Aku tersenyum kecil sambil memperbaiki posisi berbaring. Kania selalu bisa menyadari perubahan kecil dalam diriku.
"Aku ketemu Rama tadi siang. Mantan suami Gita. Dia berada di sini juga bersama tunangannya. Dan saat makan malam membawa anak-anak untuk menginap bersama mereka."
"Lalu masalahnya dimana?"
"Dia memaksa, bahkan Casie sampai menangis. Entahlah, sepertinya ini tentang ego seorang ayah. Aku sendiri tidak yakin dia dan kekasihnya bisa menjaga dua orang anak berusia delapan dan enam tahun."
"Apakah dulu dia tidak seperti itu?"
"Sejak awal aku kurang suka. Tapi tahulah, orang yang sedang jatuh cinta tidak akan mudah untuk berpikir rasional. Gita terpukau dengan perlakuan Rama yang membuatnya merasa bagai princess. Meski tak lama. Beberapa bulan setelah pernikahan ia mulai menunjukkan siapa dirinya. Saat itu Gita masih muda, tapi karena ia yang memaksakan diri untuk tetap menjalani pernikahan. Kami tidak bisa melakukan apa-apa.
Semakin lama, sikap Rama semakin berubah. Kasar dan suka main perempuan. Gita bertahan hingga mereka memiliki dua anak. Hingga suatu malam pulang dengan tubuh babak belur dan mengatakan tidak sanggup lagi. Saat itu juga aku bertanya. Apa yang ia inginkan. Jawabannya adalah perceraian. Kami segera mengurus setelah yakin bahwa ia benar-benar menginginkan itu."
"Rama?"
"Sepertinya dia tidak ada masalah dengan itu."
"Perceraian selalu memiliki sisi buruk ya,"
"Tergantung orangnya. Tapi kalau semua disikapi dengan bijaksana seharusnya tidak seperti ini. Toh sebenarnya pernikahan dilakukan oleh dua orang dewasa. Seharusnya perceraian juga dipikirkan dengan matang sama seperti ketika memutuskan menikah."
"Bagaimana kamu dengan mommy-nya Bea?"
"Kamu boleh tanya orang terdekatku. Bagaimana aku dulu menjalani pernikahan. Tapi kembali, jika salah satu pihak tidak ingin bertahan. Maka semua akan selesai begitu saja. Aku berusaha mempertahankan, tapi Chintya menolak. Ia jatuh cinta pada pria lain. Akhirnya aku mengabulkan keinginannya. Karena tidak ada yang bisa dipertahankan jika memang ia tidak ingin menjalani lagi.
Lalu mentaati keputusan pengadilan tentang harta dan hak asuh anak. Meski akhir-akhir ini Bea lebih sering bersamaku. Tapi setidaknya bukan atas inisiatifku. Karena mommy-nya yang meminta. Aku paling malas berurusan dengan hukum. Terutama kami kaum laki-laki jelas berada pada posisi sulit jika ini terjadi. Beruntunglah kedua orang tuamu tidak mengalami ini."
"Apa kelak kamu ingin mengambil hak asuh Bea?"
"Sebenarnya ada keinginan kearah itu. Bagiku seorang anak lebih baik berada dalam satu pola didik. Dengan begitu ia tidak bingung harus bersikap seperti apa. Tapi nantilah, kita bicarakan kembali."
"Kok kita?"
"Apa aku bicara terlalu cepat tentang ini?" tanyaku sedikit merasa bersalah.
"Maksudku, apakah harus denganku?"
"Sorry, mungkin kamu belum berpikir terlalu jauh. Tapi aku serius menjalani hubungan kita. Bicara tentang Bea jelas tidak mudah. Karena kita harus melibatkan pihak lain. Tapi masalah ini harus tetap diselesaikan. Dan aku tidak ingin menjadikan posisimu lebih sulit lagi."
"Kelak kamu mau yang seperti apa?"
"Mungkin sebaliknya. Bea bersamaku saat weekday. Dan bersama ibunya saat weekend. Menurut kamu?"
"Kulihat Bea nyaman bersama kamu."
"Dia juga nyaman bersama kamu. Terlihat dari caranya menuruti aturan kamu. Tapi aku tidak ingin menjadikan ini sebagai beban dalam hubungan kita."
Kudengar tawanya diseberang sana.
"Kapan pulang?"
"Sepertinya minggu depan. Mau kubawakan sesuatu?"
"Apa saja, yang penting kalian pulang dalam keadaan sehat."
"Terima kasih, I love you."
"Love you, too."
Berbicara dengan Kania tidak pernah menjadi beban bagiku. Kami berdiri diatas porsi masing-masing. Aku berharap hubungan ini bisa berlanjut. Entahlah, berada jauh darinya pun aku tetap merasa dekat. Selain berbagi kabar lewat pesan, kami juga kerap menghabiskan waktu berbincang saat malam. Aku sudah merindukannya.
Merasa sepi di kamar, aku ke luar. Namun belum sampai langkahku di ruang tengah, Gita melangkah terburu-buru dari lantai atas.
"Kamu kenapa?"
"Casie minta di jemput. Dia menangis terus sepanjang malam." Teriaknya panik.
"Aku temani." balasku tanpa di minta. Setidaknya Gita akan merasa ada seseorang yang melindunginya. Tidak ada yang tahu apa yang akan dilakukan Rama di sana nanti. Sepanjang jalan, wajah Gita terlihat cemas. Sampai di lobby hotel, Pedro dan Casie sudah menunggu dengan tas masing-masing. Adikku memeluk keduanya. Aku sendiri memilih berdiri cukup jauh dari mereka. Begitu ketiganya beranjak, aku membalikkan tubuh. Tidak pamit meski Rama menatap ke arahku. Rasanya laki-laki seperti itu tidak perlu untuk menerima sikap ramah dari siapapun.
***
Siang itu, dua hari setelah kembali dari Australia. Aku menemani Danny ke sebuah acara. Ternyata sekadar pertemuan biasa antara dia dengan teman-temannya yang berkebangsaan asing. sepertinya memiliki half blood seperti dia. Meski tidak semua berkewarganegaraan Indonesia. Ada yang spanyol, Italia, Jerman bahkan Polandia. Tapi hampir semua bisa berbahasa Indonesia dengan baik. Aku diperkenalkan dengan mereka satu persatu.
Saat Danny bersama dengan teman prianya, aku segera bergabung dengan para perempuan. Yang kebanyakan memiliki ras Asia. Diantara semua hanya kami yang belum menikah. Suasana sangat meriah. Sebagai tamu aku membawakan puding mangga. Sang nyonya rumah Evelynn segera menyambut dengan senang. Sepertinya ia sudah biasa menjamu tamu. Terlihat dari segala persiapan dan piranti makan yang disiapkan. Sempurna!
Area pertemuan juga berada di seluruh lokasi rumah. Para pria sibuk di teras belakang. Sekilas kudengar mereka berbincang tentang olahraga. Sementara kami di ruang tengah berbicara tentang masakan. Ada enam pasangan. Aku membantu Evelynn menyiapkan makanan saat ia berkata.
"Saya senang akhirnya Danny membawa seseorang kemari." ucapnya sambil tersenyum.
"Ini pertama kali bagi saya untuk bergabung bersama kalian. Jadi saya tidak tahu harus melakukan apa." jawabku jujur.
"Ini semacam pertemuan rutin para suami sebenarnya. Kita hanya perlu membuat perut mereka terisi penuh. Agar mereka bisa berbincang dalam waktu yang lama dan kitapun tidak terganggu."
Kami sama-sama tertawa. Aku memang pernah mendengar kalau beberapa ekspatriat membentuk kelompok sendiri. Ibaratnya sebagai pengganti keluarga saat berada di negara orang. Tapi orang Indonesia yang tinggal di luar negeri juga melakukannya, bukan? Jadi kupikir sama saja. Dari jauh kulihat mereka sangat dekat. Obrolan juga terdengar seru. Disertai bahasa British yang terdengar sangat kental.
Tak lama makan siang di mulai. Kami berkumpul di meja makan. Dibuka dengan salad yang rasanya sangat enak. Perpaduan alpukat dan juga beberapa jenis selada. Danny tetap fokus pada obrolan mereka namun selalu memperhatikanku tanpa diminta. Membukakan botol air mineral lalu menuangkan ke dalam gelas. Dengan sigap mengambil makanan yang ingin kuraih karena sedikit jauh dari jangkauan. Aku suka dengan caranya yang membuatku merasa berarti. Meski tidak terkesan berlebihan.
Sebagai sesama perempuan aku merasa bahwa pertemuan ini menyenangkan. Mereka rata-rata perempuan yang bekerja. Bagiku tidak masalah karena juga memiliki bisnis sendiri. Setidaknya aku tidak merasa insecure. Dan buatku ini cukup penting. Sepertinya Evelynn adalah orang terlama yang mengenal Danny.
Ketika kami membereskan meja makan. Ia kembali bertanya.
"Apakah kamu sudah mengenal Bea?"
"Sudah, kami sering bertemu."
"Bea adalah anak yang menggemaskan. Ia berlatih balet dengan anak saya. Meski grade mereka berbeda. Tapi kami selalu bertemu setiap kali ada pagelaran."
"Saya setuju bahwa dia anak yang menggemaskan." Jawabku.
Beberapa orang kemudian bertanya tentang lokasi toko kueku dan berjanji akan mampir jika ada waktu. Bisa kulihat bahwa mereka bukan orang yang suka basa basi. Dan semua terlihat tulus dalam berteman. Sampai akhirnya kami pamit pulang karena acara sudah selesai.
"Capek?" tanya Danny dalam perjalanan pulang.
"Tidak juga."
"Ronald, tuan rumah adalah temanku saat kuliah di Cambridge."
"Istrinya?"
"Berasal dari Hongkong. Mereka dulu bekerja di sebuah bank yang sama. Ronald beberapa kali berpindah pekerjaan hingga akhirnya menetap di sini. Dan memegang sebuah perusahaan telekomunikasi."
"Wow. Mereka hebat. Dan aku senang karena berada diantara teman-teman kamu yang sangat positif. Aku adalah orang baru, tapi mereka bisa menerima dengan baik."
"Semua orang hebat dengan porsinya masing-masing. Kamu juga jago banget di dapur. Aku tidak pernah memakan puding mangga seenak tadi. Beneran."
Aku tertawa keras. Ini adalah salah satu caranya membuatku merasa dihargai.
"Kalau begini, kamu baru terlihat sebagai laki-laki Prancis."
"Kenapa bisa begitu?"
"Ya, selama ini kamu tidak berbeda dengan teman-temanku. Kata orang pria bule itu romantis. Tapi kamu nggak begitu-begitu amat."
"Menurut kamu romantis itu seperti apa sih?"
"Ya seperti yang ada di film-film. Suka memberi bunga, mengajak makan malam."
Danny tersenyum sambil tetap fokus menyetir. Keningnya berkerut seolah tengah memikirkan sesuatu.
"Kebetulan aku bukan pria seperti itu, apa kamu kecewa?" tanyanya pelan.
"Bukan maksudku begitu. Kamu romantis kok. Tapi dengan cara yang berbeda. Tadi aku sendiri lho yang dibukain botol air minum sama pasangannya." jawabku sambil mengelus lengannya yang besar penuh rasa bangga.
Kulihat ia menghembuskan nafas lega. Lalu mengacak rambutku. Oh my goodness, begini saja sudah bisa membuat tubuhku terasa ringan? Ada apa denganku? Kania stop!
"Kamu kenapa?"
"Nggak apa-apa."
"Terus kenapa ngeliatin aku seperti itu?"
"Kamu tambah ganteng hari ini." godaku
Ia kembali tertawa sambil menggelengkan kepala. Membawa tanganku keatas pahanya lalu meremas lembut. Dan, jangan terlalu dekat kesitu, Dan! Nanti aku beneran nggak bisa bernafas.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
1921
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top