14

Aku terbangun saat mendengar dering telfon berkali-kali. Kulihat nama Chintya di sana. Kepalaku masih sakit akibat kurang tidur karena mengobrol dengan Kania. Tapi tetap kuangkat. Khawatir tentang penjemputan Bea di sekolah. Karena sudah seminggu ini dia tinggal bersamaku.

"Ada apa?"

"Bea mana?" suaranya benar-benar terdengar tak ramah."

"Sudah berangkat sekolah. Diantar Pak Anton tadi."

"Kenapa bukan kamu yang mengantar?"

Sepertinya ia benar-benar memancing emosiku. Kuhembuskan nafas kasar sebelum menjawab.

"Apa kamu selalu mengantar Bea ke sekolah?"

"Kok kamu jadi nanya balik?"

"Pertanyaan kamu sama sekali tidak penting. Yang penting adalah Bea sudah sampai di sekolah."

"Kenapa tidak memberitahu aku kalau kalian ke pesta ulang tahun Andrea."

Kali ini aku duduk. Merasa bahwa sebentar lagi akan ada pertengkaran mengingat ia tak juga menurunkan intonasi suara.

"Aku sendiri baru tahu jam sembilan pagi."

"Dari siapa dia dapat gaun itu?"

"Kania membelikan. Karena tidak membawa persiapan sama sekali."

"Kamu tahu betapa malunya aku? Baru saja beberapa orang temanku yang hadir menunjukkan foto kalian diunggah oleh Dokter Lyona. Kenapa harus ada Kania?"

Wait.. Ini apa maksudnya? kali ini Chintya sudah melewati batasannya. Apa dia cemburu?

"Chin, yang mengunggah foto tersebut bukan aku atau Kania. Aku mengenal Bara dengan baik karena memang sudah kenal sejak dulu. Kamu tahu kan kalau aku pernah kuliah ditempat yang sama dengan Ben adiknya? Dan kami memiliki lingkup pergaulan yang sama. Kemudian mereka meminta kami untuk berfoto sebelum pulang. Lalu kenapa kamu marah?"

"Tapi foto itu membuat aku malu, tahu nggak?"

"Apa hubungannya dengan rasa malu kamu? Kecuali aku adalah suami kamu lalu berfoto dengan perempuan lain. Kita sudah bercerai, ingat itu. Jadi jangan sangkutpautkan aku dengan ego kamu."

"Apa kamu bilang?! Ego?! Kamu yang egois karena tidak memikirkan perasaan Bea!" teriaknya.

"Chyn, ini justru tentang Bea dan sahabatnya. Tentang kebahagiaannya menghadiri pesta. Dan sebagai ayah, aku berusaha untuk mewujudkan keinginannya. Tidak mungkin melibatkan kamu yang baru saja memiliki bayi. Lagi pula Bea sedang bersamaku. Terserah aku dong mau mengajak siapa? Jelas tujuanku hadir di sana untuk membahagiakan Bea. Dan satu lagi, jangan pernah menyentuh Kania. Sama seperti aku diam saat kamu memulai hubungan dengan Manoj."

"Rasa maluku tidak ada hubungannya dengan Kania! Aku marah karena seharusnya aku yang berada disana untuk mendampingi anakku!"

"Tapi kamu baru saja melahirkan! Kamu sadar nggak sih sedang bicara tentang apa!?"

Sambungan telfon terputus. Rasa kantukku hilang sudah. Mencoba memahami apa maksud mantan istriku. Kugelengkan kepala, karena tetap tidak bisa memahami.

***

Tidak biasanya pada hari senin seperti ini mama mengajak makan siang bersama. Apalagi di mal. Mama adalah orang yang paling professional. Jadi kalau sampai ia mengajakku saat weekday, berarti ada sesuatu yang penting harus kami bicarakan.

Kumasuki The Crown dengan langkah perlahan. Seorang resepsionis menyambut.

"Selamat siang, reservasi atas nama Ibu Kristianti." Sapaku.

Perempuan muda itu memeriksa layar di depannya. Kemudian tersenyum manis. Lalu seseorang yang sejak tadi berada disampingnya segera beranjak dan berkata.

"Mari saya antar."

Aku mengikuti langkahnya. Di sana mama sudah menunggu dengan anggun. Mama memang selalu cantik kapan pun itu. Aku saja kalah rapi darinya. Ibaratnya mama itu selalu tertata from head to toe. Dengan telaten ia akan mempersiapkan gaun, tas bahkan asesoris setiap malam untuk dipakai besok pagi. Sangat berbeda denganku yang mengikuti gaya papa. Pakai apa saja yang penting bersih dan rapi. Itu sering menjadi bahan omelan mama ketika membuka lemariku. Saat pakaian tidak diurut sesuai warna dan dan jenis. Ketika bra seharusnya sudah diganti. Atau kesalahan dalam memakai jenis panty.

"Siang, Ma. Tumben ajak Kania." Sapaku setelah mencium pipinya.

"Kepingin berdua saja. Kamu nggak sibuk, kan?"

"Nggaklah, ini senin. Kalau weekend pasti."

Ternyata mama sudah memesan. Kesukaan kami memang sama. Selesai makan barulah mama menatapku.

"Ada apa, Ma?"

"Mama mau tanya tentang sesuatu yang sifatnya sangat pribadi. Kamu sedang dekat dengan seseorang?"

Aku menunduk sejenak. Berusaha melegakan dadaku dengan menghembus nafas pelan.

"Tumben mama tanya itu?"

"Teman mama di kantor menunjukkan foto kamu bersama seseorang disebuah pesta."

"Aku nggak merasa ke pesta."

"Pesta anak kecil?"

Kali ini aku merasa bahwa dunia benar-benar sempit. Tidak ada alasan untuk berbohong.

"Ya. Aku ingat. Kemarin menemani Bea."

"Sudah berapa lama?"

Kucoba memahami inti dari pertanyaan mama. Sampai akhirnya memilih untuk berterus terang.

"Dekat banget sekitar lima bulan. Kenal sih sudah lama. Setahun lebih."

"Kenapa belum mengenalkan pada kami?"

"Papa sih kenal. Tapi aku menunggu sampai benar-benar yakin. Mama tahu kan bagaimana hubunganku dengan yang dulu. Jadi tidak terburu-buru juga."

"Dia orang asing?"

"Ya, half blood of france."

"Sudah punya anak?"

"Sudah, satu orang, perempuan. Yang kemarin difoto itu."

"Divorce?"

Aku mengangguk, tidak ada gunanya menyembunyikan dari mama. Karena nanti akan ketahuan juga.

"Apa kamu sudah memikirkan dengan matang? Termasuk penyebab perceraian mereka."

Kutatap mama tanpa bisa berkata.

"Saran mama jangan mendengar dari satu pihak. Cobalah tanya pada orang disekitarnya. Apa kamu pernah dikenalkan pada mereka? Atau misal diajak untuk bertemu dengan orang diluar keluarganya? Maksud mama kamu bisa tanya orang yang menurut kamu bisa dipercaya dan bijaksana."

Aku benar-benar merasa berada pada titik nol. Tidak tahu mau apa dan juga mulai dari mana.

"Mama hanya mengingatkan, supaya kamu tidak salah dalam mengambil keputusan. Jatuh cinta bisa membuat orang kehilangan logika karena mementingkan rasa. Kenapa juga mama bicara nggak sama papa kamu? Karena papa mencintaimu dengan segenap rasa yang dia punya. Wajar kamu satu-satunya anak kami dan perempuan pula."

Kutatap mama. Jujur kami sebenarnya tidak terlalu dekat. Tapi dengan cara inilah mama menyayangiku. Ia akan ada bila merasa bahwa aku memang harus diingatkan. Aku tersenyum lalu pindah duduk di sebelahnya. Tanpa rasa malu memeluk dari samping.

"Thanks, ma."

"Sama-sama sayang."

Cukup lama saling diam saat mama kembali bertanya.

"Apa pendapat papamu?"

"Nggak terlalu setuju sih." jawabku dengan nada ragu.

"Ingat, setiap orang tua akan cemas terhadap anak gadisnya yang sedang menjalin hubungan dengan pria lain. Bawa dia pada kami jika kalian sudah siap dan merasa yakin."

"Pasti."

"Kenapa suka dia? Setahu mama kamu tidak pernah dekat dengan orang asing."

"Dia berbeda. Tidak memaksa untuk dekat. Mengalir begitu saja."

"Sudah tahu penyebab perceraian menurut versinya?"

"Ya. Perselingkuhan."

"Dia?"

"Pasangannya. Dan mereka berdua sudah menikah lagi."

Mama membelalakkan matanya.

"Mama tidak pernah paham bagaimana orang muda melakukannya. Karena buat mama satu orang papamu saja sudah lebih dari cukup. Kamu tahu siapa saja mantannya?"

"Tidak secara personal. Tapi salah satunya aktris ternama yang sekarang justru nggak main film lagi. Chintya."

Mama mengangguk. Kami sama tidak tahunya tentang aktris dalam negeri. Kecuali yang selalu mencapai prestasi dan film mereka masuk dalam jajaran box office. Kami sama-sama tidak pernah menonton sinetron.

***

Masalah dengan Chintya berhenti begitu saja. Seiring kesibukannya mengurus bayi. Aku benar-benar tidak mengucapkan selamat ataupun berkunjung. Hubungan kami memang tidak baik semenjak perceraian. Entahlah ada sesuatu yang membuatku enggan untuk kembali bertemu. Meski hanya sebagai teman. Bea semakin sering tinggal bersamaku. Beruntung ada mama di rumah. Sehingga aku tetap bisa bekerja.

Sesuatu yang dulu kurasa sulit, ternyata tidak lagi. Yakni tentang bagaimana cara melupakan Chintya. Kebersamaan dengan Kania membuat rasa itu terkikis perlahan. Meski belum membicarakan masa depan. Sebenarnya adalah karena aku tidak ingin terburu-buru. Berharap ini yang terakhir jadi semua kujalani dengan hati-hati.

Termasuk hubungan dengan papanya. Meski Om Richard tidak bertanya apapun. Tapi aku yakin ia tahu tentang hubunganku dengan Kania. Karena itu aku tetap berusaha untuk bersikap sopan didepannya. Termasuk menunjukkan bahwa aku tidak dekat dengan perempuan mana pun. Hanya itu caraku untuk meyakinkannya. aku paham sebagai seorang ayah, ia pasti mencemaskan pria sepertiku dekat dengan putrinya.

Akhirnya musim liburan tiba. Seperti rencana semula, kami sekeluarga berangkat ke Canberra. Kania sendiri tinggal di Jakarta. Aku segera disibukkan menjaga enam orang anak kecil sekaligus. Meski ada Tony kakak iparku yang membantu. Seperti biasa kami membawa anak-anak wisata alam juga bermain ke taman. Australia memang salah satu tempat yang ramah anak.

Hingga kemudian salah satu sumber masalah dalam hidupku hadir. Rama! Siang itu kami membawa anak-anak makan pizza, sementara para perempuan sedang berbelanja bahan makanan. Kulihat mantan adik iparku baru saja ke luar dari mobilnya bersama seorang perempuan.

Sebenarnya Pedro dan Cassandra sudah menyadari kehadirannya. Namun mereka memilih memalingkan wajah. Tony dan papa segera bergerak melindungi mereka. Sayang, Rama akhirnya sadar kalau anak-anaknya juga berada ditempat yang sama.

Kekasihnya hanya diam saat Rama menghampiri. Aku sendiri bersama ipar dan papa hanya melipat tangan di dada menyaksikan interaksi mereka.

"Hai, Pedro, Cassie."

"Hai, Pi."

"Kalian di sini juga?"

"Ya, bersama mami."

"Mami kalian di mana?"

"Sedang berbelanja."

"Kenapa tidak hubungi papi kalau sedang di sini?"

"Kami tidak tahu kalau papi juga di sini."

"Kalau begitu apa kalian mau ikut papi?"

Aku menatap marah pada Rama. Namun masih berusaha menahan diri.

"Kami belum ijin pada mami."

"Papi yang akan telfon."

"Setelah ini kami berjanji akan ke pantai."

Rama menghembuskan nafas kesal sambil menatap marah pada Pedro. Sementara Cassandra hanya diam.

"Casie, ayo ikut papi. Nanti papi antar kamu ke rumah Tante Nada."

Casie menggeleng sambil memeluk kakiku. Kami yang dewasa masih memilih membiarkan mereka. Membuat Rama sedikit marah.

"Apa kalian juga menyetujui sikap mereka?"

"Seharusnya kamu paham keinginan mereka. Lagi pula kamu bisa minta ijin langsung ke Gita. Bukan main bawa saja?" jawabku.

"Mereka anakku, Dan."

"Mereka juga keponakanku. Di Jakarta saja kamu jarang bertemu mereka dengan alasan sibuk. Lalu sekarang merasa punya waktu?" tanyaku sambil menatap Rama yang masih mengenakan jas dan dasinya.

"Aku juga bekerja keras untuk membiayai mereka."

"Aku tidak ingin kita ribut. Ini negara orang. Kami akan pulang bersama anak-anak. Kalau kamu mau menghabiskan waktu dengan mereka silahkan hubungi nomor ibunya. Dan semoga kamu masih memilikinya."

Aku segera meraih tangan Cassandra dan Bea dalam genggaman. Lalu membiarkan yang lain bersama papa dan iparku. Melewati tubuh Rama yang mematung. Benar-benar tidak ingin menambah waktu pertemuan kami.

***

Happy reading

Maaf untuk typo

30821 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top