Dua cerita diatas sudah ada di play store ya. Yang pasti lebih lengkap daripada versi Wattpad. Ada extra part. Silahkan meluncur.
Pssssstt. Jangan beli bajakan please...🙏🙏🙏
Semoga malam minggu kalian menyenangkan.💗💗💗
***
Bea turun dari mobil papanya dengan wajah mendung. Segera kupeluk lantas mengajak mereka ke lantai tiga. Di sana aku berusaha menenangkannya dengan memeluk sambil mengelus rambutnya.
"Kenapa menangis?"
"Aku mau ke ulang tahunnya Andrea. Aku lupa waktu dijemput papa bear karena waktu itu buru-buru. Dan nggak bilang mommy untuk beli baju peri. Aku juga belum beli kadonya. Mommy mau ke rumah sakit melahirkan adik bayi."
Aku tersenyum dalam hati. Sepertinya penderitaan Bea hari ini sangat lengkap.
"Sudah, diam dulu, ya. Kita cari dulu baju dulu, yuk."
"Memangnya bisa?" Matanya menatap tak percaya.
"Semoga masih bisa." jawabku santai.
Segera kuhubungi teman yang memiliki sebuah toko khusus gaun untuk anak-anak. Beruntung mereka memiliki gaun yang kumaksud. Segera kuukur lingkar dada dan panjang gaun untuk Bea. Temanku mengirimkan foto beberapa gaun melalui whatsapp. Akhirnya kami bisa tersenyum lega setelah Bea memilih salah satu. Toko itu juga menjual berikut sayapnya. Aku hanya meminta agar mereka menyetrika ulang karena akan langsung digunakan. Toko biasanya memiliki setrika uap.
Kini kami tinggal mencari kado. Kuberikan beberapa foto yang cocok untuk kado anak-anak. Bea memilih sebuah tas sekolah berwarna pink. Aku segera menyetujui. Semua dikirim melalui ojek online untuk menyingkat waktu.
Danny menyaksikan kehebohan kami berdua. Pukul satu siang, segala pernak-pernik dan kado sudah sampai di toko. Aku memandikannya lalu mulai mengikat rambutnya yang kecoklatan lalu membantu mengenakan gaun. Sampai akhirnya semua selesai dan kami turun ke bawah. Danny mengantar sehingga aku bisa beristirahat di dalam mobil.
Suasana hall sudah sangat ramai. Dari bisik-bisik para ibu dan pengasuh yang hadir, aku tahu bahwa yang berulang tahun adalah putri dari pemilik jaringan resto ini. Pak Bara dan Dokter Lyona. Awalnya aku merasa sedikit insecure. Apalagi melihat kaum ibu dengan tampilan terbaik. Jelas berbeda denganku yang hanya mengenakan dress katun. Rasanya gaunku adalah yang paling sederhana. Beruntung, Danny tidak mempermasalahkan.
Ternyata Andrea, yang berulang tahun adalah sahabat Bea di sekolah. Sehingga mereka segera bergandengan berkeliling area untuk bertemu teman yang lain. Dan yang membuatku tak habis pikir adalah seluruh anak perempuan mengenakan dress berwarna putih bersayap. Sehingga cukup membingungkan untuk mencari seorang anak diantara yang lain. Suasana sangat ramai. Ada beberapa stan untuk memeriahkan acara. Face painting, dan juga area permainan terlihat penuh. Belum lagi stan makanan dan minuman yang segera diserbu oleh pengunjung. Suasana hall jadi mirip sebuah pesta pernikahan. Meski dekorasi ruangan jelas terlihat seperti istana.
Setelah pamit pada Bea dan memastikan ia tidak membutuhkan apapun lagi. Akhirnya aku memilih untuk turun ke lantai satu menyusul Danny. Pada Bea aku juga berpesan untuk menelfon jika ingin ke kamar mandi atau membutuhkan bantuan lain. Di sana sang papa bear tengah duduk dengan seseorang.
"Kania, kenalkan ini Bara, temanku." Saat aku menghampiri.
Kusambut uluran tangannya. "Kania."
"Saya Bara. Kebetulan kami berteman dan tidak tahu kalau putri kalian adalah gadis kecil yang sering diceritakan Rea selama ini."
Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Kemudian duduk dan membiarkan mereka berbincang. Tak lama Bara pamit karena acara akan dimulai.
"Itu papanya Rea?"
"Ya, dia pemilik jaringan resto ini."
"Wow, keren sekali. Apakah ini bisnis utamanya?"
"Bukan, dia pemilik beberapa club ternama di banyak kota besar di Indonesia. Tapi kumohon jangan menyukainya."
Aku tertawa. "Satu kamu saja sudah lebih dari cukup."
"Mau makan sesuatu, Ma chérié ?"
"Tidak, aku hanya ingin berbaring sebenarnya. Setelah kehebohan kita tadi."
"Kuhabiskan dulu kopiku. Kita ke mobil setelah ini."
"Nggak usah, sebentar lagi aku akan kembali naik ke atas. Kasihan Bea kalau sendirian. Takut dia mencari." Tolakku.
Tak lama aku segera kembali ke lantai tiga menggunakan lift. Beberapa acara permainan sedang berlangsung. Di luar banyak orang tua yang menikmati kopi. Aku hanya mengambil segelas teh hijau dingin. Tidak tahu harus bergabung dengan siapa. Dari beberapa kelompok kudengar hanya tentang pemilihan sekolah dan juga tempat les. Jelas aku tidak akan masuk di dalamnya. Dari jauh terlihat Bea masih bersama Andrea. Aku sedikit lebih tenang karena tidak harus mencari kemana-mana. Entah berapa ratus anak yang diundang.
Pesta usai hampir pukul enam sore. Anak-anak pulang dengan senang karena membawa banyak sekali goodie bag. Saat pamit, Pak Bara dan Dokter Lyona meminta kami untuk berfoto bersama anak-anak. Aku segera berdiri di samping Danny yang memeluk pinggangku. Dalam perjalanan Bea sudah tidur di kursi belakang.
"Terima kasih sudah membantuku melewati hari ini. Kalau nggak ada kamu, aku nggak akan tahu jadinya seperti apa."
"Sama-sama. Ini memang pekerjaan perempuan yang... percayalah, cukup menyulitkan dan membutuhkan sedikit skill. Agar seluruh masalah teratasi dengan baik." jawabku sambil tertawa.
"Ya, dan kami para ayah cukup parah untuk mengatasi hal ini. Lebih mudah bagiku menggambar dengan teknik tersulit."
"Oh ya, kamu kenal baik dengan Pak Bara?"
"Baik sekali, tidak. Tapi kami memang sering bertemu. Dia termasuk orang yang pandai mengatur waktu dan cemerlang dalam berbisnis. Kamu? Kapan mengenalkan aku dengan Pingkan?"
"Dia sedang punya batita. Jadi tidak mungkin aku mengambil banyak waktunya. One day akan aku kenalkan." Balasku sambil mengelus lengannya yang keras. Kutatap rambutnya yang sedikit berantakan. Juga bibir yang sedang tergigit dibagian bawah. Sementara matanya menatap tajam ke depan. Kenapa kesannya jadi tambah seksi sih?
"Kamu ngapain mulutnya digembungin gitu?" ucapannya mengagetkanku.
Aku segera memberikan senyum lebar seolah tak terjadi apa-apa. Mampus lo Kania! Untung nggak ketahuan lo mikir apa!
***
Karena tadi sempat berbincang tentang Pingkan. Akhirnya kuputuskan mengunjunginya malam ini juga. Ia sendiri yang membuka pagar dan langsung memeluk erat. Hampir dua minggu kami tidak bertemu.
"Gue kangen sama elo, tapi punya bayi bikin nggak bisa kemana-mana."
"It's okey. Gue udah datang dan bawa roti kesukaan lo." Balasku sambil menunjukan sekotak roti berisi abon tuna.
Mata Pingkan langsung melebar dan kembali memelukku. Sampai-sampai Damien yang sudah muncul di teras menggelengkan kepala. Aku segera melepas pelukan dan menyapanya.
"Hai Damien, apa kabar?"
"Baik, ayo masuk."
"Anak lo di mana?" tanyaku pada Pingkan yang sudah asyik mengunyah roti.
"Sudah tidur jam segini. Lo dari mana?" tanyanya saat kami duduk di ruang tamu. Sementara Damien kembali ke dalam.
"Sorry gue bertamu kemalaman."
"Nggak apa-apa. Lagian gue susah ke luar sekarang. Apalagi kalau hari biasa kerja. Waktu buat anak cuma sabtu dan minggu."
Kutatap wajahnya yang terlihat merasa bersalah. Kutepuk halus punggungnya.
"it is a journey of mother hood, isn't it?"
"Yes. Being a mother is one of the best experience." ucapnya dengan mata berkaca.
"Sorry, lo kenapa sebenarnya?"
"Gue merasa kehilangan waktu untuk diri sendiri. Jangankan nemuin elo, ke salon aja nggak sempat." Ia berbicara sambil mengunyah roti yang kedua. Kutatap tubuhnya yang semakin berisi.
Kemudian Pingkan menyenderkan kepala ke bahuku. Ada rasa bersalah dalam diriku. Kenapa selama ini tidak peka. Atau aku terlalu sibuk dengan Bea dan Danny? Kucoba mengalihkan pembicaraan kami.
"Oh iya, tadi gue sama Danny habis antar Bea ke pesta ulang tahun sahabatnya."
Pingkan segera bangkit menatap tak percaya.
"Gila lo, udah sejauh itu?"
Aku mengangguk.
"Lo nyaman sama dia?"
"Ya, setidaknya sekarang gue pacaran bukan sama orang yang takut sama ibunya dan kami punya keyakinan yang sama. Jadi nggak bikin ribet orang lain."
Sekarang Pingkan melahap roti yang ketiga. Membuatku sedikit mengerenyit dahi.
"Lo kelaparan?"
"Sedikit. Tadi malas makan."
Kulirik jam tangan. Masih jam Sembilan kurang.
"Lo mau makan apa?"
"Udah kenyang makan roti."
"Sisain aja, bisa buat sarapan."
"Nasi goreng enak kali ya."
Segera aku mengirim pesan pada Danny. Sedikit azas manfaat sebenarnya. Sebuah keuntungan memiliki kekasih yang mempunyai jaringan resto. Memintanya mengirimkan nasi goreng tiga porsi kemari. Done, dia mengatakan akan segera mengirim.
"Gimana lo sama Danny?"
"Baik-baik saja?"
"French kiss-nya, gimana? Jago pasti."
Aku langsung menatapnya horror.
"Ayo dong, please cerita."
"Menurut lo?"
"Pastilah secara bule. Prancis pula, gudang pria romantis."
"More than my expectation." jawabku serius.
"Wow, udah sampai mana?" Pingkan semakin terlihat penasaran.
Kini aku menggeleng.
"Ayolah, lo cerita. Gue penasaran. Tapi by the way, lo masih virgin, kan?"
"Ya iyalah, gue takut hamil. Ntar Pak Richard bakalan gantung gue kalau itu terjadi. Terus mau dikemanakan wajah Ibu Kristianti!"
"Gede nggak?"
"Badannya?"
"Itunya. Setengah bule, kan?"
"Nah laki lo juga setengah bule. Ngapain nanya ke gue?" Protesku.
Aku memberikan tanda menutup mulut dengan seolah mengunci mulutku dari luar. Karena tidak ingin berbagi hal itu pada siapapun. Jelas sekarang aku tahu ukurannya. Karena pernah melihat itu-nya membesar saat menciumku. Meski tidak secara langsung. Tapi memabyangkan nggak apa-apa, kan?
Bisik-bisik kami sedikit terhenti. Pingkan mengajakku ke ruang makan untuk melanjutkan obrolan di sana. Kami berbincang tentang banyak hal. Sampai kemudian sebuah motor berhenti di depan rumahnya. Pesananku ternyata diantar oleh salah seorang security di resto milik Danny. Kukirim pesan bahwa makanan sudah sampai dan mengucapkan terima kasih.
"Lo jadi pesan makanan?"
"Dari restonya Danny."
Kami kemudian membuka bersama-sama.
"Damien, ada martabak." Teriak Pingkan.
"Hush, entar anak lo bangun."
"Nggaklah, dia sudah nyenyak."
Dan akhirnya kami berbincang bertiga. Rasanya seperti berada ditengah keluarga sendiri. Berharap kelak, ada Danny bersama kami. Pasti seru kalau double date. Aku tersenyum lega, bisa mengakhiri minggu ini bersama mereka.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
28821
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top