12
Kuantar Kania sampai di depan rumahnya. Ia melambaikan tangan. Kutunggu hingga lampu menyala. Baru kembali memutar arah untuk pulang. Kencan kami tadi sama sekali tidak romantis. Bahkan sedikit memalukan karena aku sempat tertidur. Untuk itu aku sudah minta maaf.
Entahlah, Kania membuatku nyaman untuk menjadi diri sendiri. Ia tidak pernah menuntut macam-macam. Kami menjalani hari seperti teman dengan kesibukan masing-masing. Meski cantik dan memiliki tubuh bagus, Kania sama sekali tidak pernah terlihat memancing lawan jenisnya. Bahkan ketika tadi aku menggenggam jemarinya dan kami begitu dekat. Ia malah terlihat sedikit tegang. Itu hal utama yang membuatku ingin mendekat. Semua berjalan natural termasuk kedekatannya dengan Bea.
Kuakui, putriku tidak mudah dekat dengan perempuan lain. Semenjak perceraian dengan ibunya, Kania adalah perempuan pertama yang dekat denganku. Ia tidak protes atau marah. Bisa kulihat Kania penyuka anak-anak. Bea nyaman dengannya. Itu adalah salah satu alasan untuk mendekati.
Rasanya malam ini aku ingin kembali ke apartemen. Tapi tidak jadi karena Bea sedang menginap. Besok pagi ia pasti sudah mencari. Sesampai di halaman, rumah sudah sepi. Aku masuk setelah pintu dibukakan oleh seorang asisten rumah tangga. Sepeda anak-anak masih tak beraturan di garasi. Kubenahi satu-persatu baru kemudian memasukkan.
Lampu halaman belakang masih bernyala. Kulihat Gita duduk sendirian.
"Hei." Sapaku sambil menepuk pundaknya.
"Sudah pulang?"
Aku mengangguk. "Kenapa di sini?"
"Sepi."
"Tahu begitu, mending tadi kamu ikut aku."
"Aku akan mengganggu kencan abang. Ingat dulu waktu aku SMU selalu mengekor kemanapun abang pergi?"
Aku tertawa. "Lalu apa alasan kamu berada di sini?"
"Malam ini Rama bertunangan."
"Apa itu menyakitimu?"
Ia mengangguk lalu menangis. Aku tidak bertanya lagi, hanya memeluk dan membiarkannya melepaskan kesedihan selama yang ia mau. Itu adalah tugas seorang kakak laki-laki, bukan? Teringat dulu ketika masih kecil. Gita adalah anak yang manis. Kami sangat dekat karena ia selalu butuh perlindunganku. Dari anak laki-laki nakal di sekolah. Sampai pada anak perempuan pem-bully. Ia adalah adik perempuan yang baik.
Kami selalu satu sekolah. Ia lah yang membawakan bekalku jika tidak sempat sarapan. Juga botol air minum dua liter yang sangat besar saat aku harus berlatih basket. Bahkan aku yang mengantar saat kencan pertamanya. Dan menjadi orang pertama yang menolak kehadiran Rama.
Aku sempat memarahi saat ia memutuskan menikah pada usia dua puluh tahun. Bagiku itu terlalu muda. Tapi sepertinya ia lebih mendengarkan keinginan Rama. Akhirnya kubiarkan. Lalu ketika rumah tangga itu kandas, ia kembali padaku. Rasanya ingin memukul Rama karena sudah membuat adik perempuanku menangis. Tapi aku bisa apa? Hati tidak pernah bisa dipaksa.
***
Kutatap insta story Danny. Ia tengah mengawal dua keponakannya dan Bea bersepeda. Sepertinya divideokan oleh Mbak Gita. Terlihat sekali ia sangat suka pada anak-anak. Tak henti-hentinya berteriak memberi arahan dari atas sepedanya. Mengiringi tiga orang anak kecil di jalan lengang menuju area lapangan golf.
Sampai kemudian anak Mbak Gita yang perempuan jatuh. Dengan sigap Danny turun dari sepedanya. Sepertinya bertanya beberapa hal sampai kemudian gadis kecil itu bangkit dan digendong. Kini Mbak Gitalah yang memegang sepedanya. Sementara Danny memangku dan duduk ditepi jalan.
Apa yang dilakukannya sama seperti papa dulu. Selalu perhatian padaku dan Pingkan. Tak jarang mengajak kami berdua untuk sekadar makan burger di Wendy's. di layar kembali terlihat Danny menuntun keponakannya menaiki sepeda. Gadis kecil itu sudah tertawa riang. Mereka kembali menyusuri jalanan.
Aku suka Danny. Meski masih berpikir apakah rasa itu muncul karena melihat kemiripannya dengan papa. Kalau benar begitu, aku sudah salah dalam memberi harapan. Entahlah, rasanya harus memastikan perasaanku sebelum semua terlalu jauh.
Tadi pagi ia sudah menjemputku. Meski hanya sebentar, karena sepertinya sudah punya janji dengan keponakan dan Bea. Rasanya ada yang berbeda karena sudah cukup lama tidak ada yang menjemput dan mengantar. Kuhembuskan nafas pelan.
Ada sesuatu yang kurasakan setiap kali selesai berbincang dengannya. Yakni rasa nyaman. Pengetahuannya yang luas. Bahkan sampai hal detail yang tidak pernah ada dalam pikiranku dikuasainya dengan baik.
Kuletakkan ponsel lalu kembali berkutat dengan beberapa birthday cake yang sebentar lagi akan diambil oleh pemiliknya. Setelah itu aku akan membuat es manga jelly dan juga es teller cake. Setelah diluncurkan minggu lalu, penggemarnya cukup banyak.
***
Chintya bersama ibunya Nyonya Rustam menatap Bea yang tengah asyik bermain dengan boneka barbienya. Setelah menimbang akhirnya perempuan cantik itu memberi kode pada sang ibu untuk menanyai cucunya.
"Bea, kalau sedang sama mommy, kangen papa nggak?"
"Kangen."
"Kemarin ngapain aja sama papa?"
"Main sepeda, berenang bareng Pedro dan Cassandra."
"Papa?"
"Ada nemenin juga."
"Apa papa pernah pergi dengan Tante Kania?"
Bea menatap sang nenek tak suka.
"Nggak tahu."
"Apa Tante Kania baik?"
"Iya."
"Lebih baik mana sama mommy?"
Bea menatapnya cukup lama. "Baikan mommy."
Seketika Chintya tersenyum lega.
"Kenapa?"
"Karena mommy adalah mamaku."
"Kalau Papa nanti menikah dengan Tante Kania. Bagaimana?"
"Ya nggak apa-apa."
"Bea mau punya mama tiri? Yang suka jahat sama anak tiri."
"Tante Kania baik, kok."
"Baiknya bagaimana?"
"Sering ajarin aku kalau ada peer. Dan aku boleh buat hiasan kue sendiri."
"Memangnya Tante Kania ajak kamu ke rumahnya?"
"Bukan, ke tokonya."
"Di mana?"
"Amarillys. Di dekat gerbang."
Chintya kini mengepalkan tangannya sambil menghembuskan nafas kesal.
***
Kania tengah menata beberapa kue di dalam etalase, karena beberapa jenis sudah mulai habis. Menjelang sore seperti ini, biasanya memang sudah tidak terlalu banyak yang tersisa. Kini ia juga memiliki pelanggan tetap beberapa penghuni kompleks yang selalu mampir sepulang bekerja. Hingga kemudian kegiatannya terhenti saat seorang ibu paruh baya dan perempuan hamil memasuki toko. Ia merasa sang perempuan memiliki wajah yang cukup familiar. Tapi siapa?
"Selamat sore. Selamat datang di Amarillys." Sapanya.
"Sore, saya ingin mencari roti."
"Silahkan, di etalase sebelah sana." Balas Kania ramah sambil menunjukkan sebuah etalase. Seorang karyawan segera beranjak untuk mendampingi. Cukup lama memilih sampai kemudian mereka kembali ke meja kasir. Setelah menghitung, Kania berkata.
"Semua 98 ribu."
"Boleh debit?"
"Boleh."
Kania segera menerima kartu dari perempuan cantik itu. Tak lama keduanya ke luar. Namun kembali menatap ke arah toko. Di mana Kania kembali berkutat dengan kue-kuenya. Sekilas ia memberi senyum pada mereka. Lalu kembali sibuk dengan kue-kuenya.
***
Aku menepuk kepala dengan keras saat Bea mengatakan bahwa ia harus menghadiri pesta ulang tahun sahabatnya. Ia memang terburu-buru datang kemarin karena Chintya harus melahirkan lebih cepat. Sementara aku merasa bahwa menghadiri pesta ulang tahun dan menjadi ayah satu-satunya di sana bukanlah ide yang baik.
"Kenapa Bea tidak bilang sama mommy?"
"Mommy kemarin sibuk dengan adik bayi yang akan lahir, Papa bear. Tidak boleh diganggu."
Kuhembuskan nafas kesal. Hingga akhirnya terpikir akan sesuatu.
"Seharusnya kamu ngomong kemarin. Atau begini saja, kita akan beli hadiah besok, kalau kamu bertemu temanmu itu, kamu berikan."
"Papa nggak bisa mengantar?" kali ini ia kembali mulai menangis.
"Di sana hanya ada ibu dari teman-temanmu. Dan papa akan sendirian."
Kini Bea sudah benar-benar menangis. Aku merasa kasihan. Apalagi tahu sejak kelahiran adiknya, ia merasa sedih. Tidak salah kalau ia berbahagia sebentar. Hingga akhirnya terpikir meminta tolong pada Kania. Setidaknya aku akan mengantar mereka berdua lalu menunggu di luar gedung.
"Kalau Tante Kania bisa menemani kamu mau?"
Dengan cepat Bea mengangguk. Aku segera menghubungi gadis itu.
"Kania, kamu ada waktu sore ini?"
"Untuk apa?"
"Begini, Bea mendapat undangan untuk menghadiri ulang tahun salah seorang teman sekelasnya, Andrea. Jam tiga sore, hari ini, di Istana Koki. Awalnya aku berniat mengantar, tapi rasanya aneh karena biasanya ibu-ibulah yang mengantar anak mereka ke acara seperti itu. Ibuku sedang berada di Bali Bersama Gita. Melepaskannya sendiri di sana juga aku tidak berani. Khawatir jika ia ingin ke kamar mandi atau membutuhkan sesuatu. Apakah kamu bisa membantu? Aku akan mengantar kalian dan menunggu di area parkir."
"Boleh sih, jam segitu toko juga sudah tidak terlalu ramai lagi. Ada dress codenya nggak?"
Kuhembuskan nafas kesal. Apakah ulang tahun akan selalu seperti ini? Bea menyerahkan sebuah undangan. Segera kubaca.
"Baju peri."
"Warna?"
"Putih."
"Apa Bea punya baju seperti itu?"
"Bea punya gaun peri?" tanyaku pada putriku.
Bea menggeleng.
"Kenapa tidak bilang sama mommy?"
"Aku lupa papa bear."
Aku kembali menepuk kepala. Ini sudah jam sembilan pagi.
"Halo?" suara diseberang sana mengembalikan kesadaranku.
"Belum beli." jawabku lemah.
"Ya sudah, antar Bea ke toko. Nanti kami akan mampir ke toko pakaian anak. Aku juga akan searching. Siapa tahu ada yang jual.
"Terima kasih."
Kutatap mata Bea yang penuh harap. "Tante Kania akan menemani kamu. Kita ke sana sekarang."
***
Happy reading
Maaf untuk typo
25821
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top