11
Tolong ingatkan Kania ya.. Supaya mikirnya jangan kejauhan.🤣🤣
***
Sabtu pagi, aku mengantar papa ke lapangan golf di daerah Sentul. Sepanjang perjalanan kami memutuskan membuka jendela mobil. Karena suka sekali dengan udaranya. Apalagi papa terlihat sangat bersemangat. Sejak tadi malam ia sudah disibukkan dengan peralatan golf. Termasuk sepatu dan topi. Aku hanya tertawa melihatnya. Apalagi saat mendengar omelan mama tentang kaos papa yang tiba-tiba entah kemana.
Sesampai di sana Danny dan papanya sudah menunggu. Mereka segera berkenalan. Termasuk aku yang baru pertama kali bertemu dengan Om Pierre. Wajahnya terkesan sangat Prancis. Mirip dengan Danny. Tak lama mereka sudah berdiri dan berangkat menggunakan golf car. Aku memilih tetap di sini. Malas berpanas-panasan. Sekaligus menonton film baru yang sedang banyak diperbincangkan.
Cukup lama sampai kemudian Danny kembali.
"Papa mana?" tanyaku heran.
"Tadi ketemu dengan beberapa pengusaha. Mereka masih lanjut sambil ngobrol. Bareng papaku juga."
"Bea nggak ikut?" Sebuah pertanyaan yang sejak tadi membuatku penasaran.
"Tadi malam Gita dan anak-anaknya menginap. Jadi ada teman main. Mama juga di rumah."
Aku mengangguk lalu kembali fokus pada film yang sedang kutonton. Danny sepertinya membiarkanku. Ia kembali sibuk dengan ponselnya.
"Nanti malam kamu ke mana?"
"Nggak ada, kenapa?"
"Bisa ke luar?"
"Ngapain?"
"Sekadar makan atau jalan-jalan."
"Aku orang rumahan." jawabku jujur. Karena memang malas jika harus ke luar di malam minggu. Terlalu crowded.
"Kamu kepingin ke mana? Aku antar."
"Nggak ada. Aku malah sudah memilih beberapa film untuk ditonton nanti malam." Ya , aku benar. Karena memang sudah beberapa tahun malam minggu selalu kuhabiskan sendirian.
"Mau kutemani?"
Ia mengucapkan kalimat itu dengan mata yang masih fokus pada ponselnya. Jadi jujur kalau aku merasa bahwa ia tidak sedang serius.
"Kamu nggak capek?"
"Tidak sama sekali. Aku punya waktu sampai besok pagi."
"Ngapain kamu nemani anak gadis orang sampai pagi?"
"Nggak boleh ya."
"Boleh, tapi aku yang takut."
Kini ia tertawa dan untuk pertama kali menoleh ke arahku.
"Kamu menggemaskan." ucapnya lirih.
"Kamu jatuh cinta sama aku?" tanyaku sambil mengangkat dagu.
"Kenapa bertanya sesuatu yang kamu sudah tahu jawabannya?"
"Hanya memastikan. Karena aku jauh lebih penasaran dengan rasa patah hati kamu yang belum sembuh."
"Bukan patah hati. Tapi takut untuk merasakannya lagi."
"Aku jadi bingung sama kamu."
"Nggak perlu bingung. Tinggal jaga hati kamu supaya nggak berpaling dari aku."
Kutatap wajahnya. Sayang matanya terlindung oleh kacamata hitam. Kalau kami hanya berdua, sudah kubuka kacamata tersebut. Kulirik tangan dan jemarinya. Entah kenapa pikiranku melayang. Apalagi melihat jemarinya yang panjang. Teringat akan percakapan ketika aku menjadi bridesmaid Pingkan. Bahwa laki-laki yang jarinya panjang berarti 'itunya' juga panjang.
"Kamu ngapain ngelihatin tanganku?"
Suaranya segera membuatku malu. Untung dia tidak tahu apa yang ada dalam pikiranku.
"Lihat jam tangan kamu. Papa punya brand yang sama."
Kembali terdengar tawanya. "Aku yakin papa kamu bisa memiliki semua."
"Nggak juga. Jangan lupa tahun kemarin kamu masuk daftar 100 pengusaha muda yang paling bersinar. Jadi aku yakin, itu bukan sesuatu yang mahal buat kamu."
"Apa kamu sudah menghitung?"
"Nggak dan nggak akan pernah. Aku bukan perempuan kurang kerjaan yang hobby menghitung penghasilan orang."
"Maksudku menghitug berapa orang yang benar-benar muda ada dalam daftar itu."
Aku segera tertawa malu karena tidak tahu tujuan pembicaraannya tadi.
"Aku jemput kamu, ya. Jam delapan malam."
"Ok, tapi kita harus pulang sebelum jam sebelas malam."
"Siap. Berdandanlah yang cantik."
Aku hanya tertawa. Tak lama papa sudah kembali. Lalu memperkenalkanku dengan beberapa kenalannya.
***
"Kamu dekat dengan Danny?" tanya papa saat kami dalam perjalanan pulang.
"Banget sih enggak. Kenapa, Pa?"
"Cuma tanya saja. Feeling papa bilang dia suka sama kamu."
"Papa tahu dari mana?"
"Cara dia menatap kamu dan melakukan pendekatan ke papa."
"Memangnya dia menatap aku, bagaimana?" tanyaku sambil tetap fokus menyetir.
"Papa laki-laki jadi lebih paham dari pada kamu."
"Setahuku dia masih patah hati."
"Berhati-hatilah. Jangan sampai nanti kamu kecewa. Apalagi dia orang asing."
"Tumben papa jadi rasis?"
Terdengar hembusan nafas kasar papa. "Bukan begitu, lebih baik kamu mencari orang yang tidak memiliki banyak masalah di masa lalu."
"Papa tahu dari mana?"
"Sejak kita ketemu di Jogja, Papa menyelidikinya. Dan itu bukan hal yang sulit. Jangan jatuh cinta pada orang yang salah untuk ketiga kali, Kania."
Kini aku hanya diam. Tidak berani menjawab lagi.
"Papa tidak melarang kamu bergaul dengan siapapun. Termasuk dengan Danny. Hanya saja pikirkan dengan matang. Supaya nanti kamu tidak kecewa."
"Menurut papa, dia seburuk itu?"
"Tidak juga. Dia sebenarnya baik. Hanya saja masa lalu bisa membuatnya menjadi tidak baik kalau salah dalam mengambil keputusan."
"Semua orang bisa melakukan itu."
"Ya, termasuk kamu."
Kini aku tak punya kalimat apapun lagi.
***
Malamnya Danny benar-benar menjemputku. Mengenakan kemeja putih dan celana jeans. Juga masih setia dengan topi dan sepatu vans. Tampilan sederhananya justru memberikan nilai lebih. Terlihat lebih muda dari biasanya.
"Bea sudah tidur?" tanyaku begitu memasuki mobilnya.
"Sudah, tidak mungkin mengajaknya ikut serta saat aku ajak kamu berkencan. Kenapa menanyakannya setiap kali kita bertemu?"
"Dia satu paket dengan kamu biasanya."
"Dulu aku sering sendirian ke mari. Lagian bakalan aneh kalau kencan sambil membawa anak kecil."
Aku tertawa, "Bea itu lucu. Aku suka."
"Tadi dia berenang dan bermain sepeda seharian. Jam tujuh malam sudah mengantuk. Jadi kutidurkan."
"Dia tidur bareng kamu?"
"Tidak, di kamarnya sendiri."
"Sudah ketemu pengasuh baru?"
"Kurang tahu, beberapa hari ini aku tidak berkomunikasi dengan ibunya. Tapi saat aku menjemput, dia sendirian. Mungkin belum. Kita ke mana? Jadi nonton?"
"Nggak tahu, aku malas kalau tempatnya ramai."
"Zanzibar, mau?"
Aku tahu tempat itu. Selain sangat eksklusif juga suasananya terasa santai. Tapi setahuku, tidak mudah untuk mendapatkan meja, apalagi di malam minggu seperti ini. Dan aku tidak suka duduk di meja bar.
"Bukannya kalau ke sana harus reservasi dulu?"
"Aku cuma tanya, kamu mau atau tidak."
"Boleh deh."
Mobil segera meluncur ke sana. Baru kusadari kalau Danny penyuka musik country. Sejak pertama kali duduk di dalamnya, aku hanya mendengar jenis musik tersebut.
Parkiran terlihat penuh. Tapi saat masuk terasa tetap lengang. Danny menarik tanganku menaiki tangga di lantai dua. Kami kemudian duduk di sebuah sofa yang menghadap ke jalan raya. Cahaya ruang terlihat temaram. Kupikir dia pasti sudah memesan tempat terlebih dahulu tadi.
"Kamu minum apa?" tanyanya.
"Tequila rose strawberry."
Danny kemudian memesan bir untuk dirinya sendiri.
"Kamu nggak minum?" tanyaku.
"Nanti aku harus mengantar kamu pulang."
Aku hanya mengangguk. Kali ini kami duduk cukup dekat. Bisa kuhirup aroma parfumnya.
"Kamu umur berapa pertama ke bar?" tanyaku.
"Lima belas atau enam belas. Masih SMU. Diajakin kakak kelas."
"Langsung dapat ijin?
"Ya, dengan syarat tidak boleh mabuk. Aku biasa minum di rumah dengan papa. Kami selalu merayakan sesuatu dengan wine. Kamu?"
"Sama sih. Waktu itu bareng teman sekolah perempuan. Kita ketemu di Bali kebetulan weekend. Namanya juga anak muda. Penasaran dengan Old Man's. Ya udah ke sana menikmati party dari jam sembilanan."
"Dapat ijin ketika itu?"
"Dapat, dengan syarat pulangnya papa jemput."
"Minum berapa banyak?"
"Nggak berani, cuma makan fish and chip sama minuman bersoda. Habis itu bergoyang mengikuti DJ. Mulai berani minum sejak tujuh belas. Masih golongan B lah. Tapi segelas berdua bareng pingkan. Supaya kelihatan keren aja. Dan sampai sekarang juga begitu. Kamu? Gimana rasanya jadi cowok di bar atau club sampai hampir pagi?"
"Kalau kelamaan sih, palingan mabuk bareng teman-teman."
"Kapan mabuk paling parah?" selidikku.
"Waktu selesai sidang perceraian dengan Chintya. Aku benar-benar berharap bisa melupakan semua masalah sejenak."
"Apa perbedaan dua perceraian itu?"
Danny menggigit bibir sejenak.
"Sama-sama menyakitkan. Sudah kuceritakan kemarin alasannya, kan? Kamu pernah patah hati?"
"Pastilah."
"Perempuan semenarik kamu?"
Aku mengangguk sambil menyecap minumanku. "Tidak semua laki-laki akan memilih kekasihnya sampai pada tahap pernikahan. Ada banyak alasan untuk memutuskan hubungan selain perselingkuhan, bukan?" jawabku lemah.
"Butuh berapa lama baru sembuh?"
"Enam bulanan kayaknya. Dan sakit banget, apalagi saat membaca undangan pernikahan mereka. Rasanya kepingin lari."
"Kamu datang?"
"Enggak, aku nggak seberani itu. Kenapa mengajakku kemari malam ini?" Jawabku jujur.
Danny menatapku lembut. Lalu membenahi rambutku. Aku merasakan sesuatu dalam tatapannya.
"Aku tertarik sama kamu."
"Alasannya?"
"Rasa tidak butuh alasan, bukan? Cukup untuk dinikmati saja. Aku tahu kamu masih sendiri. Apa aku memiliki kesempatan?"
Suaranya terdengar semakin pelan.
"Hilangkan nama Chintya dari hati kamu. Aku tidak ingin ada dua orang di sana. Bersaing dengan masa lalu itu tidak mudah."
Danny meraih jemariku. Meremasnya pelan.
"Kamu salah seorang perempuan terjujur yang pernah aku temui."
"Aku tidak percaya dengan kebohongan. Meski dengan alasan untuk kebaikan."
Ia tertawa kecil. Kini memilih lebih menyandarkan tubuh di sofa seperti orang kelelahan. Lalu kembali dengan birnya.
"Kamu capek?" tanyaku lagi.
"Sedikit."
"Kenapa memaksakan diri?"
"Ketemu kamu memperbaiki mood-ku. Bukankah itu salah satu pentingnya seorang pasangan?"
"Kamu seperti pria Indonesia sepenuhnya."
"Jangan lupa, aku setengah Batak."
"Ha? Yang benar. Tapi kemarin waktu ke Jogja?"
"Bisa saja seseorang memiliki dua orang ibu, bukan?"
"Iya sih. Kamu sering ke Paris?"
"Paris bukan rumahku. Aku berasal dari daerah lain tepatnya Pamiers. Dengan cuaca musim panas yang tidak jauh berbeda dengan di sini."
"Setiap tahun kamu ke sana?"
"Tidak juga. Kadang ke negara lain. Kecuali jika ada acara keluarga. Rasanya aneh kalau ke tempat yang sama setiap kali liburan."
"Bagaimana dengan Medan?"
"Di sana ada makam mamaku. Jadi semacam reuni sebuah keluarga."
"Nggak jalan-jalan di sana?"
"Kadang, tapi lebih sering datang hari ini dan pulang keesokan hari. Tidak tahu juga mau berbuat apa jika harus tinggal lebih lama." jawabnya sambil merebahkan kepala lalu memejamkan mata.
"Kalau capek, berbaringlah. Aku akan tungguin asal kamu nggak ketiduran." Akhirnya aku memberi saran. Mengingat ia yang tampak kelelahan.
Ia memejamkan mata lalu kembali meraih jemariku ke atas perutnya. Tidak tahu kalau aku harus menahan debaran dan pikiran liar kembali. Jemarinya hangat dan aku bisa merasakan gerakan perutnya saat bernafas. Kenapa aku merasa tubuhku sangat ringan? Tak sengaja menatap bagian bawah perutnya. Beruntung tangannya tidak membawaku semakin dekat dengan 'itu'. Tidak tahu apa yang akan terjadi padaku kalau hal tersebut terjadi. Begini saja aku sudah panas dingin.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
23821
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top