10

"Kamu menginap di mana malam ini?" tanya Danny seolah tidak peduli pada pertanyaanku.

"Di rumah papa."

"Dijemput?"

"Sepertinya tidak. Papa akan sampai malam di kantor. Mama juga. Mereka workaholic"

"Kamu kesepian?"

"Ya, sebagai anak tunggal yang tidak punya teman. Tapi mau bagaimana lagi?"

Danny tersenyum tipis. Kali ini menatapku lebih dalam. Aku benci kalau sudah begini. Dia dengan mudah membuat jantungku berdebar. Seakan aku begitu special. Tapi para pria Prancis memang jagonya melakukan itu, bukan? Stop Kania! Berhentilah! Teriakku dalam hati.

"Hari ini cukup buruk untukku. Sejak pagi sampai barusan sebelum pulang."

Danny masih berusaha terlihat tersenyum meski matanya menerawang. Aku menunggu kalimat selanjutnya. Rasanya senang saat ia mulai bercerita.

"Pekerjaan, dan juga mengurus Bea. Meski jarang terjadi ketika keduanya harus menjadi prioritas dalam waktu bersamaan. Kami kaum pria tidak memiliki multi talenta seperti kalian."

Aku tertawa kecil, jadi teringat mama.

"Kamu hanya harus mencari pengasuh baru."

"Ya, tapi sulit mencari yang cocok dengan Chintya. Ibunya maksudku. Kalau kamu, pertimbangan apa yang harus kamu pikirkan dalam mencari seorang kakak asuh?"

Aku berpikir sebentar mencoba mengingat masa lalu Ketika aku juga seusia Bea. Meski lebih beruntung karena orang tuaku tidak bercerai. "Mungkin syarat yang utama adalah aku harus bisa bekerja sama dengan dia. Jadi komunikasi kami bagus. Paham akan mauku dan juga tidak terlalu memanjakan anak-anak. Kita punya visi yang sama. Karena dia akan mewakili mata, telinga dan pikiranku. Tapi kadang anak-anak sulit ya karena mereka moody banget. Jadi harus sedikit longgar juga."

Kembali dia tersenyum dan mengangguk. "Bea tidurnya lumayan lama. Kamu apain tadi?"

"Dia tidurnya gampang banget. Aku cuma pegang tangannya, nggak sampai lima menit sudah tidur."

"Itu adalah kegiatan menjelang tidur favoritnya. Memegang tangan. Mungkin merasa nyaman karena merasa ada yang menemani."

"Sepertinya dia kesepian. Mungkin butuh teman."

"Hanya anak-anak Gita. Mommy-nya sangat protektif dan tidak membiarkannya berteman dengan sembarang orang. Kamu dulu bagaimana? Tunggal juga, kan?"

"Biasa aja sih. Hari minggu kami sering main ke rumah sepupu. Dari pihak papa atau mama. Kadang berenang bareng atau sekadar ke pantai. Liburan sekolah baru deh pergi jauh. Dulu kan orang liburan nggak terlalu seperti sekarang. Kamu belum makan, lho." Aku kembali mengingatkan.

"Martabak termasuk jenis makanan, kan?"

Baru selesai bicara, sebuah suara mengagetkan kami.

"Papa."

Bea segera berlari ke dalam pelukan papanya. Mereka kini bagai sepasang kekasih yang sudah lama tidak bertemu. Aku suka pada cara Danny memeluk dan memangku Bea. Seakan menjadi tempat berlindung. Sama seperti papa dulu.

***

Chintya memasuki area halaman mantan mertuanya yang terlihat sepi. Rumah yang dulu kerap didatangi terutama saat weekend. Meski pada akhirnya semakin jarang dan tak pernah lagi. Biasanya sekarang mereka bertemu di luar. Kalaupun harus menjemput, ia akan mengandalkan supir. Perempuan yang tengah hamil itu turun dari kendaraannya. Sebuah sedan mewah berwarna putih. Seorang asisten rumah tangga yang tak dikenalnya datang menghampiri.

"Selamat sore, ibu cari siapa?"

"Saya ibunya Bea, apa Danny ada di rumah?"

"Sejak tadi siang ke luar."

"Bea?"

"Sama Non Bea juga. Coba dihubungi saja, Bu."

Chintya menyibak rambut panjangnya dengan elegan. Merasa kesal sebenarnya, karena sejak tadi ponsel Danny tidak aktif. Demikian juga Bea. Entah ke mana mereka berdua.

"Atau ibu mau duduk di teras?"

"Tidak, saya di mobil saja."

Segera Chintya masuk kembali. Mencoba membunuh waktu dengan memainkan ponselnya. Seorang asisten pribadi yang sejak tadi menemani tidak berani bicara. Majikannya itu sedang marah, entah pada siapa. Harus menunggu sampai 20 menit hingga akhirnya yang ditunggu muncul.

Bergegas perempuan itu ke luar dari mobil. Lebih kesal lagi saat melihat rambut Bea masih basah.

"Kalian dari mana?" teriaknya.

"Dari tempat Kania. Bea tidur dan baru bangun."

"Siapa yang memandikan? Itu rambut kenapa tidak dikeringkan? Bisa demam dia nanti."

"Kania."

"Bea, masuk!" perintah Chintya. Putrinya segera memasuki mobil dan menutup pintu. Paham akan ada keributan setelah ini.

"Sudah berapa lama kamu kenal dengan perempuan bernama Kania?"

"Bukan urusan kamu."

"Sudah kukatakan tadi, kalau itu menyangkut Bea akan menjadi urusanku. Kalau kamu terserah! Lagian kamu mikir dong. Sampai mengijinkan orang lain memandikan anak perempuan kamu? Bagaimana kalau dia memiliki gangguan orientasi seksual. Lalu menjadikan Bea sebagai bagian dari—"

"Bisa nggak sih kamu berpikiran baik tentang orang lain? Sekali saja."

"Dijaman seperti ini lalu kamu dengan mudahnya menitipkan anak? Nggak mikir, kalau terjadi apa-apa yang ada tinggal cuma penyesalan?!"

"Aku kenal Kania!"

"Berapa lama?"

"Delapan bulan."

"Delapan bulan tidak cukup untuk mengetahui jati diri seseorang sesungguhnya. Mulai Sekarang aku akan berpikir kembali tentang menitipkan Bea di luar hari kesepakatan kita."

"Terserah! aku capek kalau harus berdebat terus tentang kecurigaan kamu."

"Aku mau yang terbaik untuk Bea. Dia anak kita."

Selesai mengucapkan itu Chintya memasuki mobil. Meninggalkan Danny yang berusaha meredam kemarahannya. Bea sendiri hanya diam tertunduk di dalam mobil.

"Sudah lama kenal Tante Kania?"

"Sudah."

"Kamu ngapain saja dengan Tante Kania?"

"Makan, habis itu tidur siang."

"Tidur? Sebelum tidur kamu diapain?"

"Cuma dipegang tangannya aja."

"Waktu bangun?"

"Tante Kania ngobrol dengan papa."

"Di kamar?"

"Bukan, di luar."

"Mandinya sama siapa?"

"Tante Kania."

"Bagaimana caranya memandikan kamu?"

"Dikasih sabun, dikeramasin. Dikasih sikat gigi baru."

"Ada dipegang-pegang tempat pipis dan poop-nya?"

"Enggak, aku yang basuh waktu mau selesai."

"Apa dia sering sama papa kamu?"

"Nggak tahu."

"Apa papa sering ke luar malam?"

"Nggak tahu."

"Atau Tante Kania datang ke rumah."

"Nggak tahu."

"Kamu kok semua dijawab nggak tahu?"

"Aku memang nggak tahu." balas Bea dengan wajah cemberut.

Chintya menghembuskan nafas kesal. Entah kenapa ada rasa marah hingga ke ubun-ubun. Danny tidak pernah seperti ini. Apalagi sampai mematikan ponsel saat berkencan dengan perempuan.

***

Enggan masuk ke rumah, Danny segera mengeluarkan ponselnya.

Kan, kamu di mana? tulisnya pada kolom pesan.

Masih di toko. Kenapa?

Ada waktu?

Ada, kenapa?

Bisa ke luar?

Sekarang maksudku.

Bisa, jemput aku aja.

Danny segera memasukkan ponselnya kedalam saku lalu kembali memutar kendaraan. Merasa tidak bisa berpikir lagi. Ia memutuskan untuk berbagi dengan Kania. Di depan toko gadis itu sudah menunggu. Kali ini mengenakan sebuah sweater berwarna pink dan celana jeans.

"Kita ke mana?" tanya gadis itu di tengah jalan.

"Ancol."

Kania diam, apalagi melihat wajah Danny yang tidak sedap dipandang. Hingga akhirnya mobil yang ditumpanginya berhenti di tepi laut. Angin kencang dan malam gelap menyambut mereka.

"Kamu suka laut, Dan?"

"Lebih suka gunung sebenarnya."

"Terus, beri aku alasan kenapa kita harus di sini malam-malam."

"Kamu to the point banget."

"Bingung aja, ada cowok yang sehari ketemu tiga kali terus jam segini ngajakin ke tepi pantai."

"Menurut kamu?"

"Mau cerita sesuatu?"

"Ya, tentang masa lalu."

"Aku akan mendengarkan."

"Aku duda. Dua kali cerai."

Kania menatap tak percaya. Danny menghembuskan nafas panjang. Lalu menggigit bibirnya.

"Yang pertama saat baru selesai kuliah. Aku mencintainya. Memperkenalkannya dengan bangga pada semua orang terdekatku. Tapi akhirnya hatinya terpaut dengan sahabat terbaikku. Dan mereka memilih bersatu."

"Yang terakhir, Chintya. Mommy-nya Bea. Aku merasa bahwa ia yang trbaik. Menyayangiku sepenuh hati. Kami memutuskan menikah. Bea hadir. Semua baik-baik saja. Aku bekerja keras untuk bisa membiayai keluarga kecil kami. Aku tidak melarangnya bekerja karena memang percaya pada kemampuannya.

Tapi kemudian aku salah. Ia tertarik pada produsernya. Sampai kemudian mengatakan bahwa cinta untukku telah habis. Kami bercerai, tiga bulan kemudian dia menikah kembali. Aku tidak pernah berpikir bahwa perceraian adalah jalan keluar dari setiap permasalahan rumah tangga."

"Mungkin dengan kasus yang berbeda. Kamu tidak akan bisa bertahan jika pasanganmu tidak ingin lagi berjalan bersama dan menemukan orang lain yang lebih layak menurutnya."

"Mereka menemukan pria lain yang mungkin saat itu lebih baik dari aku."

Keduanya kini membiarkan deburan ombak yang berbicara.

"Saat itu aku bingung mendeskripsikan perasaanku."

"Kamu trauma?"

"Aku tidak mengatakan trauma. Tapi dua kali mengikuti sidang perceraian bukan hal yang menyenangkan. Ada rasa marah, sedih dan kecewa. Tapi aku tidak bisa menceritakan berapa banyak."

"Bea?"

"Jelas sangat menyakiti Bea. Saat itu ia berusia dua tahun lebih. Biasanya ia bisa sesuka hati menahan ibunya untuk tidur di kamarnya. Atau memasuki kamar kami saat sedang takut atau ingin bermanja. Tapi setelah ibunya menikah lagi. Jelas itu tidak bisa, karena kamar ibunya ada di lantai satu sementara kamar Bea dilantai dua."

"Bagaimana dia saat itu?"

"Kadang menangis saat malam. Ketika bersamaku, ia merindukan ibunya. Atau bahkan sebaliknya. Dia mulai sering cranky tanpa sebab yang jelas. Aku kemudian membawanya ke psikolog anak. Sampai sekarang pun sebenarnya ia tidak mudah dekat dengan orang baru. Kamu adalah pengecualian."

"Apa yang kamu rasakan saat ini?"

"Sakit karena mengingat pengkhianatan. Benci karena pernah mencintai sebesar dulu. Sekaligus lelah dan ingin memulai sesuatu yang baru."

Kali ini Danny menoleh ke kiri.

"Sorry, seharusnya aku tidak menambah beban kamu."

"It's ok."

"Aku takut jatuh cinta. Tapi jujur sejak bertemu kamu jadi berbeda. Dan yakin jalannya akan sulit sekali."

"Kenapa?"

"Papamu bisa membunuhku. Duda satu anak, dua kali bercerai. Jelas tidak mudah untuk masuk daftar calon menantunya."

Kania tertawa. "Seharusnya kamu tanya anaknya dulu sebelum mendekati papanya."

"Aku sudah memberitahukan beberapa kali. Sayang anaknya beneran nggak tahu sinyal yang kukirim atau pura-pura nggak tahu."

"Kata anaknya Pak Richard. Pastikan dulu perasaan kamu. Karena cinta bukan untuk coba-coba. Dan kalau hatinya patah, susah ngobatinnya."

Danny tertawa kecil. Dalam situasi seperti ini, Kania masih bisa bercanda.

"Sudah malam, aku harus mengantar anak Pak Richard pulang. Mau diantar ke mana?"

"Ke rumahku saja deh. Takut diomelin kalau ke PIK. Sudah hampir jam dua belas malam."

"Maaf sudah mengganggu waktu istirahat kamu."

"Nggak apa-apa."

"Besok aku jemput. Mobil kamu di ruko, kan?"

Kania mengangguk.

***

Happy reading

Maaf untuk typo

20821

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top