♜05♜

Kalau tidak mampu, sini aku bantu!

♚♚♚

Saat aku sampai di kelas, Ghea memberikan secuil informasi yang sukses membuatku melotot kaget.

Bu Farah memintaku dan Bagas untuk membuat puisi bertema kenangan, 10 bait. Katanya sih sebagai hukuman tambahan. Tapi, 10 bait, woi!

Guru sinting. Di kelas 9 tidak ada materi puisi, kok hukumannya begitu?

"Katanya Bu Farah sih, puisinya dikumpulin nanti jam istirahat pertama." Ghea berkata lagi.

Aku melongo sesaat mendengar kalimat Ghea barusan.

"Hah? Dia pikir buat puisi 10 bait itu mudah?" Aku memberengut kesal.

Ghea tersenyum takut-takut.

"Yah, kalau tahu bakal begini, tadi aku tidak perlu gaya-gaya ikutan dihukum, Ra." Bagas mengeluh dengan wajah masam.

Aku mengalihkan atensiku padanya lalu melotot.

"Memang siapa yang menyuruhmu cari masalah, hah?!" sentakku garang.

Bagas meringis.

"Maaf, Ra."

Aku mempertahankan wajah garangku selama beberapa detik lalu balik menoleh pada Ghea.

"Puisinya harus aku buat dimana?" tanyaku.

"Di buku tulis," jawab Ghea.

Aku mengangguk lalu berterimakasih. Tanganku bergerak mengambil buku tulis Bahasa Indonesiaku. Sambil menunggu Pak Fachri datang, lebih baik aku menyelesaikan puisiku.

"Panggilan ditujukan kepada ketua kelas 9A. Ketua kelas 9A, ditunggu kehadirannya di Ruang Guru."

Setelah pengumuman itu, Arsen—sang ketua kelas— bergegas bangkit dari bangkunya dan melangkah keluar.

"Via…" panggil Ghea.

Aku menoleh.

"Ehm, aku mau ngomongin sesuatu."

"Apa?" tanyaku.

"Senin depan, aku pindah sekolah. Ayah pindah tugas ke kantor cabang di Jambi," ucap Ghea pelan.

Aku membeku, terkejut.

"Tapi kenapa sekarang? Maksudku, kita 'kan sudah mau ujian," tutur Bagas yang tiba-tiba bergabung dalam obrolan kami.

Ghea menarik napas pelan. Dia juga tampaknya tak suka dengan rencana kepindahannya ini.

"Mana aku tahu, bos-nya Ayah tiba-tiba aja nyuruh pindah," jawab Ghea sendu.

Aku tersenyum tipis sambil menatapnya.

"Yah, mau gimana lagi 'kan? Ayahmu tidak mungkin melawan bosnya," komentarku.

Ghea menunduk, agak murung.

"Hm. Aku bakalan kangen kamu, Vi."

Aku menghela napas berat.

"Aku juga," kataku.

"Ya sudah. Gimana kalau sebelum Ghea pindah, kita jalan-jalan buat terakhir kalinya?" usul Bagas.

Ghea tampak menimbang-nimbang usulan Bagas.

"Oke, yuk."

Senyum Bagas mengembang. Kali ini, senyum sungguhan, bukan cengiran khasnya.

"Oke. Kapan?" tanyaku.

"Sabtu, sebelum kita ketemu Elma," jawab Bagas sambil menatapku.

Napasku tertahan sejenak.

"E-eungh, oke."

Sabtu, sebelum kita ketemu Elma. Berarti kami sungguhan tidak ke Pontianak? Apa maksudnya … Elma ada disini?

Batinku bergejolak.

Bagas lalu beralih menatap Ghea.

"Menurutmu gimana, Ghe?"

"Boleh aja," jawabnya.

Bagas tersenyum lebar.

"Sip. Langsung aja habis pulang sekolah, ya. Jangan lupa bawa baju ganti," terang Bagas.

"Boleh. Toh hari Sabtu mapelnya cuma satu," jawab Ghea.

Aku hanya mengangguk, mengiyakan rencana mereka.

Tiba-tiba Arsen berdiri di depan kelas dan meminta perhatian kami. Ah, aku bahkan tidak sadar kalau Arsen sudah kembali. 

"Pak Fachri sedang ada urusan, ga bisa ngajar. Jadi dua jam pelajaran di kelas kita kosong. Kita gak di kasih tugas soalnya."

Satu kelas bersorak atas penjelasan Arsen. Aku hanya mengangkat bahuku tidak acuh lalu memilih untuk menulis puisi.

♚♚♚

Kisah Tua
Oleh Arvia Navendira

Pagi ini aku membuka mata
Menatap sekilas kepada dunia
Berpikir sejenak mencari makna
Tentang batin yang di timpa sesak tiba-tiba
Ragaku serasa di tarik penuh gelora
Seakan menjadi pelampiasan dari gejolak luka

Pagi ini kujatuhkan air mata
Menyembunyikan riang yang mulai sirna
Segalanya tumpah ruah, kotaknya terbuka
Ayah seperti melambai penuh cinta
Menatap aku yang menangis penuh luka

Mendadak aku ingin meratap
Melepas semua lara yang mengikat
Aku ingin berharap
Direngkuh dalam dekap walau sejenak

Kisah-kisah tua menggebrak
Menyelimuti aku dalam durjana gelap
Menyembunyikan aku dari barisan jejak, menyekap

Sungguh, aku rindu
Aku ingin memeluk beliau penuh haru
Bercerita tentang keluh kesahku,
Ratap dan deritaku

Aku membutuhkan penghiburan baru
Aku butuh rumah jiwa yang baru
Yang bersedia menentramkan batinku

Aku ingin tersenyum, Ayah.
Aku ingin antar ke sekolah
Aku ingin diajarkan menanggung lelah
Aku ingin ditemani menjalani kisah
Intinya, aku butuh perhatian dan penyembuh luka penuh darah

Aku butuh kecupan penuh cinta,
Dekapan pembuang luka.
Aku ingin semuanya,
Yang sempat terhapus begitu saja
Hirap sekian lama,
Berakhir dalam sekejap mata

Aku tak ingin membencimu, Ayah
Aku tetap berusaha mencinta
Aku hanya ingin mengulang kembali kisah-kisah tua
Yang hampir sirna termakan usia

Kumohon, Ayah
Temui aku
Sedetik saja
Aku rindu akan segalanya

♚♚♚

Air mataku menetes setelah menulis puisi itu. Menyakitkan. Itu benar-benar luapan emosiku akan kenanganku tentang Ayah. Yeah, kurasa puisi ini tidak akan terlalu buruk di mata Bu Farah.

Semoga.

"Eh, Via kenapa?" tanya Ghea.

Aku tersenyum getir. Tanpa menoleh, aku menjawab, "Gapapa, cuma sedih aja habis buat puisinya."

Aku menutup mata dan menarik napas sejenak, berusaha mengusir emosiku yang mulai bergelora.

"Vi…"

Kali ini aku menoleh, menatap Ghea.

Ghea menatapku, lalu merentangkan tangannya.

"Sini. Kalau kamu mau nangis, nangis aja."

Pertahananku runtuh sudah. Air mataku kembali mengalir, lalu aku beralih memeluk Ghea erat-erat. Aku menyerah menahan sakitnya.

"Aku kangen Ayah, Ghe." Aku berujar sambil terisak pelan.

Ghea balas mendekapku.

"Vi, lain kali jangan pendam semuanya sendiri. Kalau tidak mampu, aku akan bantu kamu selama aku bisa," bisik Ghea.

Pundakku bergetar. Aku memeluk Ghea makin erat. Ghea sebentar lagi juga akan pergi, aku tidak rela.

♚♚♚

Tok! Tok! Tok!

"Permisi…"

Aku mengetuk pintu ruang guru. Sendirian, tanpa Bagas. Gila memang anak itu, tidak mau mengumpulkan tugas.

Untung saja ruang guru sepi, jadi rasa gugupku tidak semakin merajalela.

Bu Farah mengangkat wajahnya dari tumpukan kertas, lalu menatapku. Dia mengangkat tangannya, memberi isyarat kepadaku untuk menghampirinya.

Aku manut, lalu melangkah masuk dan mendekati meja Bu Farah.

"Mana puisimu, Arvia?"

Aku mengulurkan bukuku.

"Ini, Bu."

Bu Farah mengambil buku bahasa Indonesia milikku, lalu mencari lembaran dimana aku menulis puisiku.

Aku bersiap untuk pergi, tapi Bu Farah menahanku. Lagi-lagi aku manut.

"Tunggu sampai saya selesai membaca, biar bukunya langsung kamu bawa pergi."

Aku mengangguk patuh, tidak menjawab.

Bu Farah lalu sibuk membaca puisiku. Beliau tidak menanyakan Bagas, seakan hanya fokus pada hukumanku. Ah, entahlah.

Lima menit kemudian, Bu Farah menyerahkan kembali bukuku.

"Puisimu bagus, Arvia. Terima kasih sudah sungguh-sungguh menuliskannya dalam sepuluh bait," puji Bu Farah.

Aku tersenyum tipis dan berkata, "Terima kasih, Bu."

Setelah itu Bu Farah mempersilakanku untuk pergi. Aku melangkah keluar, kembali ke kelas.

Di kelas, aku memilih untuk memakan bekal yang ku bawa. Mengacuhkan Bagas yang sesekali berseru panik ketika menulis puisinya.

Padahal 'kan hanya membuat puisi, kenapa harus panik?

Ghea pun hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Bagas.

"Raa! Bantuin aku, dong. Susah nih…" pinta Bagas.

"Males, cape aku buat puisi. Mending makan," jawabku tanpa menoleh.

"Ihhh, Raaa!"

Ghea tertawa.

"Alay," cibirku.

"Ih, sadis."

"Lho, omonganku benar kan, Ghe?" tanyaku.

"Bener banget!" jawab Ghea sambil tertawa kencang.

Aku menoleh, menatap Bagas. Wajahnya merengut, jelek sekali. Aku menyerah, lalu ikut tertawa kencang bersama Ghea.

♚♚♚

B E R S A M B U N G

♚♚♚

A/N

Ga mau ngomong banyak.

Cuma mau bilang makasih buat yang udah baca sama meningalkan jejak.

Sekian, sampai jumpa!

Jumat, 10 April 2020
Catherine M

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top