♜04♜

Remuk raga, remuk sukma.
Dibuang tawa, ditelan luka.

♚♚♚

"Arvia!"

Bisikan itu menyadarkanku kembali. Aku menoleh ke sumber suara. Disana Ghea menatapku dengan tatapan yang sulit di artikan.

"Ekhem!"

Sontak kepalaku bergerak lagi.

"E-eh, Ibu?"

Di sebelahku, Bu Farah berdiri sambil menatapku tajam. Aku panik seketika. Kapan coba Bu Farah masuk? Duh, auto dihukum, nih!

"Arvia, silakan kamu hormat di depan tiang bendera sampai jam pelajaran saya habis."

Tuh kan. Aku menahan napas sebentar, hendak mengeluarkan argumen.

"Cepat keluar!"

"Tapi bu-"

"Keluar, Arvia Navendira!" potong Bu Farah dengan nada tajam.

"I-iya, Bu."

Aku menjawab pelan lalu keluar kelas. Ketika aku sudah berdiri di luar, lalu berjalan lesu menyusuri koridor. Dari koridor saja sudah terlihat bahwa lapangan tampak dihujani panas terik.

Semoga tidak pingsan, ya.

Aku mempercepat untuk sampai di lapangan, enggan untuk menjadi bahan tontonan sementara selama melangkah.

"DIRAAAAAA!"

Teriakan keras itu membuatku tersentak. Buru-buru aku menoleh ke belakang. Disana ada Bagas yang berlari mengejarku.

Bagas?

Setelah Bagas sampai di hadapanku, dia mengatur napasnya sebentar lalu nyengir lebar.

"Yuk, bareng!" ajaknya.

"Hah? Ngapain?" tanyaku heran.

"Aku juga dihukum tau," ujarnya bangga. Cengiran lebar masih menghiasi wajahnya.

"Kamu ngapain?" semburku.

"Mencari gara-gara, biar bisa menemani Dira. Keren kan?"

"Hah? Dihukum kok bangga. Aneh," cibirku.

"Biarin. Yang penting aku bareng kamu, Ra."

"Gak jelas," gumamku.

Aku memilih untuk melanjutkan langkah. Bagas mengekor.

"Yee, masih mending mau aku temani. Coba kalau anemia mu kambuh, gak ada aku, yang tolong kamu siapa nanti?" kata Bagas.

Langkahku terhenti sejenak. Bagas masih ingat? Mataku bergerak menatapnya. Di sana ada Bagas yang ikutan berhenti, memandangku balik ditemani cengiran khasnya.

"Aku masih ingat, Ra. Mana mungkin aku lupa?"

Senyum tipis terbentuk di wajahku. Lega rasanya mendengar penuturan Bagas. Rasa hangat kembali memenuhi rongga hatiku. Sejak ada Bagas, ketenangan yang aku punya ketika masih duduk di Sekolah Dasar rasanya mulai muncul lagi.

"Nah! Daripada nanti kamu panas-panasan, mending kita ke kantin, yuk!" ajak Bagas. Sesat memang.

Aku menggeleng pelan.

"Nanti Bu Farah ngamuk," jawabku.

"Jadi kamu mau tetep dihukum, gitu?" tanya Bagas.

Aku mengangguk.

"Biar, cuma satu jam pelajaran ini."

"Yaudah. Kalau kamu pingsan jangan salahin aku, ya!"

Aku hanya bergumam pelan untuk menanggapi perkataan Bagas. Aku pun melanjutkan langkah ke lapangan, Bagas mengekor.

Saat sampai di pinggir lapangan, belum apa-apa Bagas sudah mengeluh.

"Tuh 'kan, ini panas lho. Kamu yakin mau berjemur disini, Ra?"

Aku diam, memilih mengabaikan Bagas. Aku melanjutkan langkah mendekati tiang bendera, lalu hormat. Yah, Bagas tidak salah. Disini memang panas. Dan kami harus terus bertahan sampai 40 menit.

Ya semoga saja aku tahan.

30 menit berlalu. Tidak kusangka aku masih kuat berdiri di sini. Tapi tak bisa kupungkiri, rasa pusing memang mulai menggerayangi.

Kepalaku rasanya seperti dihantam oleh sesuatu dengan keras. Aku hampir saja ambruk kalau Bagas tidak menahan tubuhku.

"Tuh 'kan, Ra! Aku bilang apa tadi," ujar Bagas agak keras. Nada suaranya terdengar cemas.

Aku tersenyum tipis sambil menahan pusing.

"Yang penting aku tahan sampai tiga puluh menit. Setidaknya tiga per empat waktu hukuman sudah aku jalani," jawabku pelan.

"Keras kepala! Sekarang kamu pusing, memang Bu Farah tanggung jawab?" cibir Bagas.

"Berisik," tegurku dengan nada pelan. Dengan pelan aku memijit pangkal hidungku, mencoba meminimalisir rasa pusing yang mendera.

Bagas berdecak lalu memapahku ke UKS. Aku menurut saja. Sesampainya disana, Bagas memaksaku duduk lalu menghilang entah kemana. Tak lama kemudian, Bagas kembali sambil menggenggam sesuatu. Bagas menghela napas pelan lalu menyodorkan segelas teh manis.

"Minum," katanya.

Aku mengangguk pelan lalu meneguk air tehnya sampai tandas.

"Trims," ucapku pelan.

Bagas hanya berdeham pelan, mengiyakan.

"Nanti kalau bel, kita ke kelas ya."

Bagas langsung menatapku seakan-akan aku adalah pasien Rumah Sakit Jiwa yang sedang melarikan diri. Berlebihan. Aku tidak gila, ok?

"Langsung ke kelas? Astaga, Ra. Kamu Gila? Kamu hampir pingsan di lapangan tadi dan tidak berniat istirahat?"

Bagas mengoceh seperti kereta. Kepalaku makin sakit saja setelah mendengar omelannya. Lama tak bertemu, sifatnya belum berubah. Masih saja bawel.

"5 menit cukup."

Bagas menggeleng tidak percaya.

"Kamu malah makin gila, Ra."

Aku tertawa pelan. Ingin rasanya aku mengatakan, 'Kalau aku gila, kamu apa?' Bagas menarik napas pelan. Menyerah mungkin?

Entahlah, aku tak ambil pusing. Aku memilih menutup mata dan menyandarkan tubuhku sebentar, memulihkan tenaga. Lima menit berlalu, kami dikuasai keheningan dalam. Bagas yang biasanya cerewet pun tutup mulut. Sepertinya kasihan padaku yang hampir pingsan.

Ah, hidupmu memang selalu menyedihkan, Arvia Navendira.

Senyum getir terukir di bibirku. Hanya perlu menunggu waktu, nyawaku akan melayang seperti ayah. Seharusnya ibu tidak perlu repot-repot mencari uang untuk biaya tranfusi darah rutinku. Toh cepat atau lambat aku akan tetap mati.

Aku menghela napas pelan. Pikiran tentang hal ini memang selalu menyakitkan.

"Bagas," panggilku pelan.

"Hm?"

"Bagaimana kabar Elma?" tanyaku.

Bagas diam, tidak menjawab. Merasa penasaran, aku memilih untuk membuka mata. Disana Bagas menampilkan wajah penuh kerutan, tampak sedang berpikir keras.

"Hei," bisikku.

Bagas menatapku. Dia membuka mulutnya, lalu menutupnya lagi. Seperti ragu akan perkataan yang hendak dia ucapkan.

"Katakan saja," titahku pelan.

Bagas sejenak merasa ragu, tapi akhirnya dia memutuskan untuk membuka mulut.

"Sebenarnya, Elma—"

‘Saatnya jam pelajaran kedua.’

Suara bel menghentikan suara Bagas. Bagas menatapku, sepertinya enggan melanjutkan perkataannya. Baiklah, aku harus memendam rasa penasaranku kali ini.

"Baiklah, sepertinya ini bukan saat yang tepat untuk membahas ini. Ayo kita ke kelas," ucapku.

Bagas mengangguk pelan. Kami berdiri lalu meninggalkan UKS.

Sebenarnya, Elma kenapa? batinku penasaran.

Entah kenapa, aku merasa bahwa sepertinya ada yang disembunyikan disini.

♚♚♚

B E R S A M B U N G

♚♚♚


A/N

Akh, akhirnya aku update. Akan kuusahakan untuk mempublish lebih dari satu bab hari ini.

Aku merasa bersalah karena tertinggal, dan sepertinya double up atau triple up bisa menebusnya. Doakan saja aku berhasil mengejar.

Oh ya, #STAYSAFE semuanya. Jaga diri, jaga kebersihan, jaga kesehatan di tengah pandemi ini.

Jangan lupa, #StayAtHome untuk mencegah memanjangnya siklus penyebaran virus.

Kalaupun kamu tidak tertular karena imun tubuhmu yang kuat, kamu bisa menjadi seorang carrier yang membahayakan orang lain.

Baiklah, sampai jumpa.

Jumat, 27 Maret 2020
Di tengah kekhawatiran masyarakat,

Catherine M.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top