♜03♜

Tersenyumlah sebentar. Kalau sukar, hatimu harus dipugar.

♚♚♚

"Bagassss! Yang bener bawa sepedanya!"

Aku kembali menjerit tertahan. Bagas memang berniat mencelakakanku sepertinya. Sejak tadi dia tidak membawa sepeda dengan benar, oleng beberapa kali.

"Berat, Ra!" keluh Bagas.

"Berhenti! Aku turun saja kalau begini," kataku.

Besok-besok aku tidak mau dibonceng Bagas lagi.

"Duh, Ra. Jangan turun dong!" kata Bagas.

Aku menatapnya malas.

"Katanya berat," balasku.

"Tapi 'kan jangan turun juga."

Aku menghiraukan Bagas dan memilih berjalan saja. Bagas akhirnya mengalah dan mengekoriku di belakang bersama sepedanya.

"Nanti kamu pegel lho, Ra!" tegur Bagas.

"Bodo amat! Sudah dekat ini," jawabku.

"Duh, kamu aja deh yang naik sepeda. Aku yang jalan," bujuk Bagas.

"Berisik, Gas!"

Akhirnya mulut Bagas berhenti bercicit. Baguslah, aku juga sudah enggan berdebat. Dua menit kemudian, kami sampai.

"Parkir saja sepedamu di bawah pohon itu, Gas."

"Oke, Ra!" jawabnya.

Aku tersenyum. Bagas masih sama seperti dulu, sebelum aku pindah. Dia memang kekanakan. Tapi sikapnya kembali membuatku merasa hangat.

Sekali-kali bahagia tidak salah, 'kan?

"Oi, Ra! Ayo masuk. Haus nih," seru Bagas.

Aku tersentak. Uh, barusan aku melamun?

"E-eh iya, yuk masuk!" jawabku.

Aku mencoba membuka pintu. Terkunci. Ah, ibu belum pulang rupanya. Aku mengambil kunci dalam tas lalu membuka pintu. Bagas kusuruh masuk dan duduk, lalu aku pergi mengambil minum ke dapur.

"Ibu mu belum pulang, Ra?" tanya Bagas.

Aku menggeleng lalu menjawab, "Kalau sekarang belum pulang, berarti ibu pulang kisaran jam 7. Masih lama."

"Lho, kamu di rumah sendirian dong?"

Aku mengangguk.

"Padahal aku mau ngobrol sama ibu-mu, sudah lama tak ketemu."

"Maaf ya, karena aku."

"Kok karena kamu?" ujar Bagas heran.

"Biaya tranfusi darah mahal, makanya ibu kerja keras buat cari uang. Kan sama saja salahku," jawabku pelan.

Wajah Bagas melunak.

"Ra, jangan begitu. Kamu ga salah kok, jangan menyalahkan diri kamu. Ibu sayang kamu, makanya mau kerja keras."

Aku tersenyum tipis menanggapinya.

"Kalau ayahmu kemana, Ra?"

Tubuhku menegang seketika. Aku diam, tidak mau menjawab.

"Ra, aku salah ngomong ya?"

Aku mengatur napas, mencoba menahan air mata yang hampir luruh.

"Ayah ... ayah udah ngga ada. Dua bulan yang lalu ayah pergi," jawabku pelan.

Bagas terkesiap.

"Ma-maaf, Ra."

Aku mengangguk pelan.

"Ehm, jangan sedih, Ra. Kita kerjain PR bareng aja, ya."

Aku mengangguk mengiyakan.

"Sebentar, ganti baju dulu." Aku berujar pelan.

Bagas mengacungkan jempolnya.

♚♚♚

"Via, bangun..."

Goncangan pelan di tubuhku membuatku mengerang. Perlahan aku mengerjapkan mata. Lengket rasanya, aku masih mengantuk. Aku menguap sekali lalu membuka mata perlahan. Di depanku ada ibu yang sedang menatapku. Oh, ibu sudah pulang.

"Ibu?" ujarku dengan suara serak.

"Kamu kok tidur di sofa? Sudah begitu pakai baju pendek dan tipis. Dingin, sayang. Nanti kamu bisa sakit," kata ibu.

Dari nadanya terdengar bahwa ibu sedang membendung rasa khawatirnya. Aku tersenyum tipis.

"Maaf bu, ketiduran."

"Ya sudah, cuci muka dulu sana. Setelah itu makan ya."

Aku mengangguk pelan lalu pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka. Meskipun sudah mencuci muka, kantuk masih saja menghantuiku. Dengan sedikit tidak rela, aku memaksa untuk sepenuhnya sadar.

Setelah itu aku pergi ke dapur dan mengambil jatah makanku. Lalu aku duduk dan makan bersama Ibu.

"Bu, tadi Bagas kemari."

Ibu langsung menghentikan acara makannya ketika mendengar perkataanku. Ibu buru-buru menelan makanan di mulutnya lalu bertanya, "Bagas? Bagasnya Mak Buni?"

Aku mengangguk.

"Pindah," jawabku.

Setelah itu ibu langsung heboh dan bertanya banyak hal. Aku hanya menjawab setahuku, sepatah dua patah kata sambil makan. Selesai makan aku pamit dan pergi ke kamar.

Di kamar aku memikirkan tentang Bagas, Elma, dan kampungku dulu. Duh, mendadak aku merindukan Elma.

"Bagaimana ya kabar Elma sekarang?" gumamku.

Aku menghela nafas lalu menarik selimutku. Aku bergelung di kasur, seperti anak kucing yang meringkuk kedinginan.

Aku merindukan semuanya. Merindukan tawa lama, merindukan teman lama, merindukan kampungku, merindukan Elma, dan juga ... ayah.

Mataku memanas. Astaga, aku cengeng sekali.

"Duh, jangan nangis dong!" gumamku.

Aku menepuk-nepuk pipi lalu mengusap air mata yang hampir mengalir. Oke, aku menyerah hari ini. Lebih baik aku tidur.

♚♚♚

Hari ini aku sengaja berangkat agak lebih awal dari biasanya. Entahlah, setelah Bagas datang aku malah kembali semangat pergi ke sekolah. Mungkin kalau ada Elma aku akan lebih bersemangat lagi.

Koridor sudah cukup ramai. Banyak siswa berdiri bersama temannya, bercerita, tertawa, dan menghalangi jalan. Pemandangan ini membuatku risih. Tidak bisakah mereka mencari tempat bergosip yang lebih baik?

"Eh eh itu si bocah penyakitan!"

"Katanya dia deket sama anak baru ya? Pake pelet apa gimana?"

"Ih kenapa si ganteng mau temenan sama bocah dekil kaya dia?"

Bisikan tak mengenakkan itu mengusik batinku. Telingaku panas mendengarnya. Mereka tahu apa?

Tapi mungkin mereka benar. Ah, aku makin merasa tidak pantas untuk hidup. Senyum getir terlukis di bibirku.

"Ra!"

Rangkulan di bahuku yang tiba-tiba membuatku tersentak.

"Ba-bagas?" cicitku.

"Pagi, Ra!" sapa Bagas sambil nyengir lebar.

"Kaget tahu!" desisku.

Bagas hanya mengerling jenaka sambil mempertahankan cengirannya. Aku menghembuskan napas pelan. Setelah itu Bagas mengajakku mengobrol tentang ini itu, seperti tidak ada habisnya topik pembicaraan darinya.

"Sudahlah, ke kelas yuk!" ajak Bagas akhirnya.

"Memang kamu sekelas sama aku?" tanyaku.

Bagas memasang wajah melas.

"Ih kamu lupa ya? Kok kamu bisa ngelupain gitu aja? Ih kamu jahat! Kita putus!" ujarnya dengan nada lebay.

Aku bergidik jijik. Padahal niatku bercanda tadi.

"Apa sih, Gas? Jijik," cibirku.

Aku lalu menarik tubuhku dan berjalan ke kelas, meninggalkan Bagas yang makin aneh saja. Bulu kudukku berdiri, merinding karena tingkah Bagas tadi. Bagas berteriak-teriak memanggil namaku. Persetan dengan itu, siapa peduli? batinku.

Tet ... tet ... tet ...

Bel sekolah berbunyi, memacuku untuk mempercepat langkah menuju kelas. Masa bodoh dengan Bagas.

"Raaaaa! Tungguin dong!"

Aku makin mempercepat langkah, bahkan hampir berlari. Tiba-tiba saja Bagas sudah menyusul di sampingku.

"Hei, nanti aku bisa nyasar. Tungguin bentar kek, Ra!" protesnya.

"Ih, udah telat tahu!" balasku.

Kami akhirnya berlari bersama ke kelas.

Ah, untung saja. Teman sekelas kami baru selesai berbaris dan baru mulai masuk kelas. Aku dan Bagas ikut menyelip masuk sambil ngos-ngosan.

Aku langsung duduk di bangkuku, di sebelahku sudah ada Ghea.

"Duh, kok kamu bisa telat?" tanya Ghea.

Aku tidak menjawab, masih sibuk mengatur napas.

"Minum dulu, Vi."

Aku menuruti saran Ghea. Kutarik tumblerku dari tas, lalu ku minum isinya sampai tinggal separuh.

Ghea lalu memutar tubuhnya, menatap Bagas yang duduk di belakang kami.

"Kamu ngapain Via sampe telat gini?" tanya Ghea. Nadanya terdengar kurang bersahabat.

"Cuma ngobrol dikit kok," jawab Bagas. Cengiran menempel di wajahnya.

"Dikit," cibirku.

"Ya maaf sih, Ra. Tiga tahun ga ketemu 'kan jadinya kangen," alibinya.

Aku tersenyum kecut.

"Tapi ga lengkap kalau ga ada Elma." Aku bergumam pelan.

Elma, Dira kangen.

♚♚♚

B E R S A M B U N G

♚♚♚

A/N

Astagaaa, aku sudah berapa lama tidak update? (ノ∀'*)
Benar-benar melewati jadwal !

Anu, hari ini pengumuman siapa yang gugur. Hatiku jedag-jedug haha.

Ya sudah deh, sampai jumpa! Ditunggu vote dan krisarnya ya :)

Minggu, 1 Maret 2020
Catherine Maylina

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top