31 🌵 Family Complex

بسم الله الرحمن الرحيم

This is part of their story
-- happy reading --

🥢👣

Mulai aktif menjalani aktifitasnya setelah urusan mutasi pekerjaan dan juga dengan perpindahan keluarganya untuk menempati rumah baru. Beberapa tetangga sudah mulai mengenal Aya sebagai anggota baru yang akan tinggal di lingkungan mereka. Sengaja memang mendekatkan diri dengan mereka, meskipun dia dan juga Andi hidup di perumahan yang rata-rata penghuninya sudah mulai menerapkan hidup mandiri alias tingkat egoisitas yang mulai meninggi.

Bagi Aya yang biasa hidup di kota kecil, bersosialisasi bukanlah hal yang baru. Diterima ataupun tidak, sebagai warga baru sudah selayaknya jika dia bersikap baik dan mengenal mereka.

Bukan hanya itu, beberapa kali Aya sempat mengirimkan khusus makan siang dan makan malam untuk security yang berjaga di kompleks perumahannya.

"Oh Bu Dokter yang baru pindahan ya, matur nuwun Bu. Salam juga untuk pak Dokternya."

"Iya Pak, nanti saya sampaikan kepada mas Andi."

"Siap perintah Bu Andi, ini nomor darurat kami kalau butuh bantuan sewaktu-waktu." Security itu memberikan sebuah kertas seperti selebaran yang berisikan nomer telepon seluruh security dan telepon pos penjagaan.

Kini mulailah dirinya berjibaku kembali bersama rutinitas di kampus baru. Tempatnya berdiri untuk ke depan dan bukan hal yang baru lagi karena Aya banyak mengenal rekan sejawatnya di kantor yang baru mengingat dulu pada saat pengambilan gelar masternya Aya juga berada di universitas yang sama meski beda fakultas.

"Dulu jadi mahasiswa sekarang jadi teman ya mbak Aya?"

"Iya Bu Wira, nggak nyangka juga harus balik lagi ke sini."

"Lah iya, padahal dr. Andi beberapa kali ke sini loh jaman mbak Aya ambil pasca sarjana." Bu Wira memberikan informasi. Karena Andi merupakan penanggung jawab UKM yang ada di fakultas-fakultas pada waktu itu.

"Sayangnya lagi saya sudah ambil pascasarjana ya Bu Wira, kalau masih sarjana mungkin sering bertemu. Kan kampusnya beda, dulu di seberang sana." Aya tersenyum mendengar gurauan teman-temannya. Kan jadi mengingat kembali bagaimana cerita keduanya memutuskan untuk sekolah tinggi guna menghindari pertanyaan kapan menikah.

"Tapi beneran salut loh, mbak Aya masih muda gini sudah dapat gelar doktor. Sebentar lagi bisa dapat gelar kehormatan ya?"

"Kalau jam mengajar dan tulisan ilmiah saya mencukupi angka kredit Bu Wira, ternyata menjadi istri sekaligus ibu dalam waktu bersamaan itu harus bisa ekstra keras membagi waktu untuk mereka dan pekerjaan." Aya mengatakan dengan gelengan kepalanya.

"Benar, tapi salut banget loh dr. Andi bisa membesarkan putrinya seorang diri dan sepertinya dulu kami semua beranggapan kalau beliau, maaf, belok. Nyatanya ada seorang bidadari yang di tunggu." Bu Wira terbahak diiringi dengan tawa Aya. Bukan satu dua orang saja yang mengira Andi belok. Hampir seluruh rekan di universitas menyangka bahwa dokter bedah tulang itu mengalami penyimpangan seksual. Hingga dia masih betah melajang sampai usianya mendekati pensiun.

Berita pernikahannya dengan Aya dan juga cerita yang ada di balik kisah cinta yang tanpa sengaja terekspos membuat Aya yang kini berada di lingkungan mereka menjadi tempat konfirmasi yang paling terpercaya.

"Walah, kami bukan artis Pak Pandu."

"Iya bukan artis, tapi dr. Andi itu cukup terkenal di universitas Mbak Aya. Aktivis dosenlah kalau kami menyebutnya seperti itu." Kening Aya berkerut, aktivis itu dalam benar Aya adalah seseorang yang seringkali memprotes kebijakan atasan atau pemerintah yang diatasnamakan kemaslahatan umat. Dan Aya paling tidak menyukai akan hal itu.

Jika orang bisa amanah dalam setiap jabatan yang diperolehnya, maka yakin bahwa apapun yang dikerjakan pasti akan sesuai dengan jobdesk yang memang telah ditentukan oleh pihak-pihak berwenang.

"Maaf Pak Pandu, aktivis yang njenengan maksudkan itu semacam demo atau protes begitu?"

Semua orang tertawa kecuali Aya, "bukan Mbak Aya, maksud pak Pandu ini mungkin karena dr. Andi banyak memiliki jabatan sehingga mobilitas beliau tinggi."

"Nah itu dia maksudnya, tapi semenjak pulang umroh itu beliau banyak mundur dari beberapa jabatan yang diemban. Eh nggak tahunya akan menikah." Pandu menyetujui ucapan bu Wira.

"Tapi memang sebaiknya begitu Pak, tidak bagus juga seseorang merangkap beberapa jabatan. Tidak akan fokus dengan pekerjaan. Sekarang saja beliau masih pegang IDI, praktek, belum kalau mengajar," jawab Aya.

"Iya apalagi kalau sudah di rumah inginnya ditempelin terus ya Mbak?" semuanya tertawa melihat pipi Aya yang merona. Sepertinya teman-teman Aya sepakat untuk menggodanya di jam kosong mengajar bagi para dosen yang masih berada di ruang jurusan. Hingga dikejutkan sapaan dari orang yang menjadi topik pembicaraan mereka.

"Nah ini, panjang umurnya. Baru dibicarakan sudah muncul orangnya." Andi mengerutkan kening menatap Aya untuk meminta menerjemahkan maksud teman sekantornya.

"Mas Andi dulu sering ke kampus untuk cek UKM di hampir setiap fakultas. Mengapa dulu kita belum bisa bertemu, kalau ketemu kan nggak harus melepas lajang di usia mendekati pensiun." Aya tersenyum menjelaskan yang membuat Andi menggeleng dan tertawa renyah.

"Jodoh nggak ada yang tahu Pak Pandu, mungkin Allah memang meminta kami untuk bersabar." Andi menjawab masih dengan tawa lirihnya.

"Tapi benar ya, cinta bersemi dari masa kanak-kanak? Setelah sekian lama berpisah apa kalian masih saling mengenal waktu pertama kali bertemu kembali, tidak adakah yang berubah?" kini Bu Wira yang menjadi kepo, ah, Bu Wira ini memang dosen pembimbing Aya ketika penulisan tesis untuk perolehan gelar masternya dulu.

Seorang pecinta akan lebih bisa mengenali orang yang berarti dalam hidupnya. Meski mereka telah dipisahkan oleh waktu sedemikian rupa, jika hati melihat dengan ketulusan biarkanlah mata menunaikan tugas sesuai dengan fungsinya.

Tidak ada yang berbeda halnya dengan Aya, meski dengan sedikit ragu waktu itu tapi dalam hatinya kuat mengatakan bahwa dia adalah Andinya. Hanya saja keberadaan Ayya membuat nyalinya ciut untuk mengetahui kenyataan yang ada hingga cerita itu mengalir dan Aya mengetahui yang sebenarnya terjadi.

"Nah kan, jadi diam semua."

Andi menatap istrinya kemudian tersenyum kembali mengingat pertemuan mereka di Mekah kemarin. Ceritanya memang begitu lama berpisah itu akan membuat pertemuan menjadi begitu berharga hingga membuat mereka enggan untuk saling menjauh meski hanya sekejap.

"Karena kami tidak menggunakan mata untuk saling menatap waktu itu." Andi mengatakannya dengan serius namun teman-teman Aya masih menggodanya hingga mereka terdiam saat melihat tatapan Andi hanya untuk Aya begitu juga sebaliknya tanpa memperhitungkan keberadaan mereka di dekat keduanya.

Pak Pandu menatap bu Wira dan tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Beda jaman bagi para pecinta untuk bisa mengungkapkan perasaannya satu hal yang sama dari (mungkin) Adam dan Hawa adalah bagaimana cara para pecinta itu menatap dengan tatapan memuja penuh dengan rona asmara.

"Balik dulu Bu Wira, pengantin baru sepertinya tidak ngontrakin dunia untuk yang lain karena hanya milik mereka." Pak Pandu memilih untuk pulang karena jam mengajarnya memang telah usai.

"Saya juga Pak Pandu, jam ajar saya juga sudah kelar. Pengen dipenjara juga sama bapaknya anak-anak kalau melihat dr. Andi dan mbak Aya seperti ini." Mereka berdua akhirnya keluar dari ruang dosen dan membiarkan Andi dan Aya yang berdiri dengan saling tatap.

Angin pun bisa membaca kapan sebaiknya dia berhembus untuk mengoyak tatapan penuh cinta dari dua orang yang kini telah halal melakukan apa pun juga tapi bukan berarti melakukannya di ruang terbuka seperti itu. Hingga teman dosen Aya yang baru saja selesai mengajar dan masuk ke ruangan dosen terpana melihat Aya saling menatap tanpa melakukan apa pun dengan lelaki yang telah sah menjadi suaminya.

"Astaghfirullah, Mbak Aya. Bikin kaget saja kirain pandang-pandangan dengan siapa ternyata dr. Andi ada di sini." Lalu keduanya tersadar bahwa dunia seolah berhenti beberapa menit saat saling memandang tadi.

"Waduh lupa, pengantin baru ya." Andi menggaruk tengkuknya yang tidak gatal lalu semuanya tertawa. Aya kemudian pamit karena jam mengajarnya telah selesai setengah jam yang lalu. Dia masih berada di kampus karena Andi berjanji untuk menjemputnya.

"Loh Bu Wira dan Pak Pandu kemana Mbak Sinta?"

"Loh, aku masuk mereka sudah tidak ada. Waduh, kalian ternyata bener ngontrakin dunia sampai nggak lihat mereka pergi." Sinta yang seumuran dengan Andi tertawa lebar membuat Aya dan Andi tersipu malu.

Setelah berbasa basi sebentar dengan Sinta akhirnya Andi mengajak Aya pulang karena sore harinya dia harus kembali ke rumah sakit untuk melakukan operasi mungkin akan sampai malam.

"Kita bahkan belum bisa menikmati bulan madu Sayang. Rasanya waktu selalu padat dan tidak enak harus mengajukan cuti kembali setelah yang kemarin."

"Lagian bulan madu seperti apa kalau Ayya ikut diantara kita. Main saja Mas, deket-deket asal semuanya gembira dan kita tidak menelantarkan Ayya di rumah sendiri meskipun ada ibu dan juga nannynya." Aya sedikit tidak setuju jika harus meninggalkan Ayya sementara mereka harus bersenang-senang berdua. Mungkin itu ada waktunya tapi tidak sekarang. Nanti mungkin akan tiba waktunya ketika Ayya sudah puas memiliki keluarga yang lengkap.

"Terima kasih telah menerimanya sebagai bagian dari hidupmu tanpa melihat dia siapa."

"Dia anakku kalau kamu lupa akan hal itu." Andi kemudian tersenyum dan mencium Aya dengan singkat sebelum akhirnya mereka keluar dari mobil karena telah sampai di rumah.

Sebagai dosen baru Aya memang masih belum memiliki jadwal yang padat, hanya sebagai pengganti beberapa dosen yang berhalangan hadir. Karena plot pengajar telah dibagikan oleh pihak BAAK fakultas.

"Aku nggak yakin nanti jika kamu sudah penuh mengajar bisa bermanja seperti ini berdua." Kata Andi yang kini sedang tiduran manja di pangkuan istrinya.

Jangan lupakan sebelum ini dia harus berebut dulu dengan Ayya yang tidak mengizinkan papanya tidur dengan pose seperti itu di pangkuan mama Aya.

"Mas juga sih yang bisa dilepas, dilepas saja supaya banyak waktu di rumah bersama kami nantinya."

"Iya ada sekarang dan harus dilepas. Tapi tidak di sini." Andi bangkit kemudian menggendong Aya lalu membawanya ke kamar mereka.

"Mas Ayya nanti ngambek lagi."

"Dia sudah tidur, tadi aku yang menidurkannya di kamar. Ishhhh, jangan mulai deh." Aya terkekeh saat suaminya tidak lagi bisa dialihkan jika sudah mode seperti ini.

Beruntunglah jaman sekarang sudah banyak yang memiliki air conditioner di rumah untuk memuluskan setiap aksi panas yang akan tercipta nantinya hingga tidak lagi menunggu malam datang.

"Selalu deh," kata Aya.

"Nggak ikhlas? wong slirane yo menikmati ngunu."

"Iya menikmati tapi main sosor saja."

"Eh kita sudah sah mau ngapain saja kalau kamu lupa." Andi yang kini sudah memejamkan mata di samping Aya. "Lagian nanti sore aku operasi Sayang, daripada di tengah-tengah aku kerja keinget kalau belum ambil jatah."

"Mana ada begitu." Aya menyangkal tapi suara nafas Andi yang sudah teratur menandakan bahwa laki-laki itu telah berhasil menuju ke alam mimpi.

"Selalu deh seperti ini." Aya kembali mengomel namun sekali lagi matanya meredup melihat suaminya yang kini mendengkur lirih. "Tapi aku cinta, bagaimana dong ya?" Aya mencium kembali suaminya lalu bangkit untuk melanjutkan aktivitasnya yang tertunda.

Setiap kali Andi mendapatkan jadwal tambahan dinas malam atau pun sedang praktek Aya selalu menyiapkan perbekalan suaminya. Sejak Aya pindah ke Jogja, Andi lebih menyukai memakan makanan yang dimasak dan disiapkan oleh istrinya daripada makan di luar.

Perjalanan kehidupan yang begitu lumrah dialami oleh setiap keluarga. Ayah dan ibu melakukan perannya dengan baik. Bekerjasama dengan sebaiknya sebagai tim yang akan membawa keluarga mereka seperti tujuan awalnya.

"Mas bisa nggak sih jangan sok sibuk gitu?" kata Aya yang uring-uringan kepada Andi mulai semalam. Rasanya apa pun yang dilakukan Andi selalu salah di mata Aya.

"Sok sibuk bagaimana?"

"Aku itu nanti nggak bisa Mas, harus ke rumah ibu karena lusa ayah mengundang teman-temannya. Mana ada aku ke sana berangkat sendiri."

"Yang bilang berangkat sendiri siapa? Aku yang akan mengantar kalian baru setelahnya akan berangkat kerja, nanti tidur di sana saja supaya besok nggak keburu-buru. Lagian jadwal kamu hari Sabtu offkan? Aku masih harus ada di poli besok pagi." Andi menjawab dengan menggelengkan kepala, mengapa Aya suka sekali adu urat pagi ini.

"Nah itu, mengapa jadi mas Andi malah minta aku nginep di rumah ibu sendiri? Terus mas di rumah sendiri? mau ngapain coba?"

"Yang mau di rumah sendiri siapa? Aku juga akan pulang ke rumah ibu setelah praktek, Sayang."

"Nah itu, mengapa nggak kasih tahu dari tadi."

"Ini juga akan diberitahu. Kamu kenapa sih dari semalam kok bawaannya high voltage terus? Kurang semalam aku ngasihnya?" tanya Andi dengan smirk dan alisnya yang terangkat salah satunya.

"Apaan sih, nggak usah manja deh. Ini sarapan segera di makan." Jawab Aya.

"Suapin"

"Malu sama Ayya, ah."

Wanita selalu benar adalah hal pertama yang harus diingat oleh setiap laki-laki di dunia. Saat wanita sedang salah, kembalilah pada hal pertama yang harus diingat bahwa dia harus selalu benar

🥢👣

-- to be continued --

💊 ___ 💊

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
🙇‍♀️🙇‍♀️

Jazakhumullah khair

💊 ___ 💊

Mohon cek typo yaaaaa

Blitar, 21 Juni 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top