29 🌵 Cobaan Pertama
بسم الله الرحمن الرحيم
This is part of their story
-- happy reading --
🥢👣
PESTA telah usai dan bahagia akan selalu hadir di depan mata. Kehidupan harus segera berjalan sebagaimana mestinya. Pekerjaan telah memanggil untuk bisa kembali dibelai mesti inginnya masih akan tetap sama, berdekatan dengan sang pemilik hati.
Apa daya, lingkaran waktu membuatnya harus segera bangkit menantang matahari untuk kembali menyapa dunia. Andi dan Aya harus kembali mendarmakan baktinya untuk negeri tercinta.
Bersama Abinayya kali ini, Aya berangkat kembali ke kota kelahirannya. Meskipun terasa berat dia harus kembali atas nama sebuah kewajiban.
"Mama nanti papa akan menyusul kita tidak?" tanya Ayya ketika dia mulai terbangun dari tidurnya.
"Akhir pekan nanti papa akan menjemput kita." Jawab Aya yang masih fokus dengan kegiatannya mengecek beberapa email yang masuk ke dalam gawainya.
Ayya memang tidak masuk sekolahnya selama ikut Aya, perbincangan mereka masih belum sampai hingga siapa yang akan mengalah. Jogja atau Malang yang nantinya menjadi hunian idaman keluarga yang baru lepas 96 jam itu.
Harusnya pasangan yang baru menikah itu merencanakan kemana harus berbulan madu. Namun Aya lebih memilih di rumah, mengenal Andi lebih dekat setelah berpisahnya mereka juga mulai merawat Ayya sebagai putrinya. Belajar menjadi orang dengan 2 gelar sekaligus dalam sekali waktu membuat Aya harus berjibaku dengan waktu. Tidak menuntut tapi mencoba untuk mengerti. Meleburkan warna miliknya menjadi tertier bersama keduanya.
"Mas, aku sudah sampai rumah. Besok pagi aja baru ke kampus dan mungkin akan pulang ke rumah karena Ayya." Kata Ayya memberitahukan setelah driver menghentikan mobil yang ditumpangi Aya berhenti di halaman rumah orang tuanya.
"Asal tidak capek, itu anak di ajak ke kampus juga nggak masalah. Dia sudah terbiasa, asal bawakan mainan dan sedikit makanan. Kamu tinggal di ruangan pasti akan tetap berada di sana hingga jam mengajarmu selesai."
"Ih, Mas Andi mana tega aku sama anakku seperti itu." Jawab Aya.
"Loh kan sama nannynya, dulu aku yang nggak pernah ajak nanny saja dia mau kok Sayang. Sudah kamu istirahat, sini berikan teleponnya kepada Ayya aku ingin bicara." Kata Andi setelah meminta istrinya untuk segera beristirahat.
Ayya baru bisa tertidur setelah mendengar suara papanya. Hari memang telah larut, malam semakin meninggi dan dewi malam menjadi saksi saat rumput di depan rumah mulai bergoyang dan berbisik.
Tidak mungkin seperti ini selamanya, Andi tidak akan bisa selamanya berjauhan lagi dengan Aya.
"Aku sudah merindukanmu, Sayang." Kata Andi saat mereka terhubung kembali dalam sebuah panggilan. Rasanya memang beda selama empat malam mereka selalu bersama berbagi ranjang kemudian harus terpisah dengan paksa karena keadaan.
"Aku juga Mas."
"Kita tidak mungkin seperti ini selamanya, coba kita sama-sama mencari info untuk bagaimana untuk bisa mutasi, aku ke ke Malang atau kamu yang ke Jogja. Hanya saja lebih gampangnya sepertinya kamu yang move to Jogja, karena di sini aku pegang nggak cuma satu case saja." Kata Andi.
"Tapi aku juga berencana ngejar profesor Mas."
"Iya, maka dari itu sebaiknya mulai besok kita sama-sama mencari info untuk mengambil keputusan mana yang terbaik untuk keluarga kita. Tidak baik juga untuk Ayya jika kita berdua saling berjauhan seperti ini." Kata Andi kemudian.
Rasanya memang benar, Aya juga tidak mungkin hidup seperti ini terus. Bersuami tapi rasa gadis. Mereka harus ada yang mengalah salah satunya. Andi ke Malang atau Aya yang ke Jogja.
Seperti halnya roda yang selalu berputar kehidupan juga pasti akan ada pasang surutnya. Kadang ada di atas ataupun di bawah semua tentu sudah pas sesuai dengan porsinya masing-masing.
"Diajukan saja Bu Aya, asal sudah ada kepastian bahwa ada slot kursi di universitas yang dituju."
"Jadi saya harus memastikan terlebih dulu di universitas yang akan bisa menerima saya?" tanya Aya memastikan.
"Benar Bu Aya."
Sepertinya Aya membutuhkan bantuan suaminya untuk menghubungkannya dengan universitas yang sama dengan Andi mengajar hanya saja mereka jelas berbeda fakultas.
Mengenai gelar kehormatan tertinggi itu Aya bisa menanyakan kepada Dikti dengan pengajuan persurat.
"Mas, aku sudah menanyakan di fakultas tapi jawabannya harus ada persetujuan non formal terlebih dulu sebelum pengajuan mutasi." Cerita Aya saat dia menelpon Andi dan membicarakan kesepakatan.
"Aku coba bantu untuk menanyakannya di sini."
"Lalu bagaimana dengan Mas Andi?"
"Aku belum menanyakan, tugasku di rumah sakit juga belum bisa ditinggalkan."
"Kenapa jadi tidak adil seperti ini Mas? Aku sudah menuruti seperti yang mas Andi mau tapi mas Andi justru tidak melakukannya." Kata Aya kecewa, harusnya mereka bisa melakukan semuanya sesuai dengan janji yang telah disepakatinya semalam.
"Hei, ini yang aku bilang semalam kepadamu. Aku tidak hanya hands on one case, aku bukan hanya seorang dosen tapi juga dokter sayang, belum lagi kalau ada acara IDI pasti akan banyak di luar." Jawab Andi menjelaskan.
"Tapi kan ini nggak adil."
"Adil itu tidak harus sama." Mungkin Aya telah lupa bagaimana bersikap manja kepada seseorang. Selain dulu ketika kecil dia suka merajuk pada orang tuanya. Tapi setelah kini memiliki Andi sikap itu tiba-tiba muncul ke permukaan. "Apa kamu tidak ingin tinggal di Jogja?"
"Mas Andi tidak ingin di Malang juga?"
"Dimana pun asal itu bersamamu tidak menjadi masalah, Sayang." Kata Andi yang membuat bibir Aya kembali melengkung.
Tidak akan ada gunanya berselisih pendapat. Menurut Andi karena dua puluh enam tahun itu sudah membuatnya tersiksa dalam kesendirian. Jika sekarang bertemu dan dipersatukan hanya untuk bertengkar rasanya seperti dia tidak memiliki rasa syukur yang seharusnya dilakukan setelah apa yang menjadi penghias doanya dikabulkan oleh Allah azza wa Jalla.
Dan setelah seminggu berlalu, kini mereka dipertemukan kembali. Aya menjemputnya di stasiun kereta.
"Sendirian Sayang, adik kemana?"
"Kalau sudah main dengan Chaira tidak bisa diganggu, kecapekan akhirnya pas aku mau berangkat ke stasiun dia tidur." Jawab Aya yang kini berganti duduk di kursi navigator.
"Beneran pengen punya adik anak itu." Gumam Andi yang membuat pipi Aya merona.
"Mas ihh,__"
"Aku kangen kamu." Kata Andi yang kini mulai menyalakan lampu sein belok ke kiri dan berhenti di depan hotel bintang 4.
"Mas, ngapain kita berhenti di sini?"
"Tunggu sebentar, aku ada janji dengan seorang teman di sini." Andi segera masuk ke lobby dan berbincang sebentar dengan seorang resepsionis. Setelah semuanya selesai baru Andi kembali ke mobil dan melajukan lagi, bukan ke jalan melainkan menuju ke basement hotel tersebut.
"Mas__?"
"Ayo turun."
"Jangan bercanda ah, aku ninggal Ayya di rumah."
"Ada ibu dan juga ayah di rumah__" Andi mengerlingkan sebelah matanya pada Aya sambil menggigit bibir bawahnya.
"Mas, aku nggak bawa pakaian ganti."
"Tidak butuh pakaian kala kita hanya berdua di dalam kamar. Siapa yang akan melihatnya selain aku?" sukses, kalimat Andi membuat Aya melayang dan membayangkan peristiwa yang telah berlalu seminggu kemarin.
"Aku tidak lagi bisa menahannya, kala bertemu denganmu. Jika di rumah pasti nanti diinterupsi Ayya. Aku sudah izin pada ayah tadi dan sengaja, Gita mengajak Ayya bermain bersama Chaira."
"Jadi?"
"Ayah paham kebutuhan menantu kesayangannya, Sayang." Jawab Andi yang kini telah membawa Aya ke kamar yang telah dipesannya.
Jendela yang kami tatap terasa semakin dingin, sementara hujan sendiri sudah berhenti sedari tadi. Lalu apa yang membuatnya semakin dingin? Menikmati secangkir teh untuk meluapkan rasa rindu. Ada celoteh bersama yang saling bergantian mengungkapkan.
Jauh di mata dekat di hati, meski pada jarak ribuan kilometer, Aya kini bisa mengenali aroma pagi yang senantiasa menumbuhkan niscaya. Lalu apalah artinya jarak bila kau tak pernah pergi dari hati dan benak? Jarak itu sebenarnya tidak pernah ada. Pertemuan dan perpisahan hanya dilahirkan oleh perasaan. Jarak itu hanya batasan tak kasat mata, sedangkan perasaan sendiri lah yang membuatnya jadi terasa nyata.
Sulit memang menerima rentetan kilometer yang memisahkan, tapi sabar akhirnya memudahkan semua termasuk harapan. Mulai memahami kehadiran jarak Andi memastikan kehangatan kenangan dan kesetiaan atas rindu. Sebab rindu pula yang membuat habis kata-kata, bahkan membuat lidah kelu hanya sekadar mengucap namanya. Tak perlu harus dimengerti, tapi tinggal dinikmati saja. Ketika malam semua berkumpul dalam kepala, lebih berwarna, lebih hidup, ya, dan rindu menjadi jauh lebih mendesak ketika bisu.
"Mas__"
"Hmmm?" Andi baru saja melepaskan rindunya. Aya bahkan masih berada dipelukannya, sambil menyurai rambut istrinya Andi begitu menikmati kebersamaan mereka.
"Syukraan untuk semuanya." Kata Aya. Terima kasih yang dikatakan Aya memang memiliki cakupan arti yang begitu luas.
"Untuk?"
"Karena bersedia menungguku hingga kita bisa menikmati malam panjang dengan indah seperti ini." Jawaban Aya tentu saja membuat Andi ingin mengulang sekali lagi apa yang baru saja dinikmatinya bersama Aya.
Pantas jika wajahnya terus mengiang-ngiang di kepala, ternyata rindu yang membuatnya lebih mempesona. Jika selama ini telepon ataupun pesan singkat bisa diibaratkan morfin, hal itu hanya meredakan sementara tanpa bisa mengobatinya dengan tuntas. Dan ketuntasannya adalah seperti malam ini, bersatu dalam harfiah cinta yang sebenarnya. Memberikan hak dan menunaikan kewajiban sebagai pasangan halal untuk beribadah mencapai ridhoNya.
"Boleh?"
"Hak Mas Andi kan?" pancing Aya dan tidak lagi menunggu lama Andi segera menjalankan aksinya kembali.
Menggemaskan, tak perlu berandai, sebab rindu pun sebenarnya bisa menemukan jalan untuk sampai ke telinga dan hati. Rasa hangat ketika kedua tubuh bertemu, rasa lengkap ketika dua jiwa mendekat, rasa rindu yang tuntas ketika kedua pasang mata menatap.
"Tahu nggak, aku kadang iri dengan mahasiswaku."
"Iri kenapa?" tanya Andi masih menyelesaikan sisa gelora yang masih membara di dalam jiwanya.
"Saat semua pasangan bisa bergandengan tangan namun kita tidak bisa. Bukan karena sedih, aku hanya kesal tak bisa menunjukkan bahwa kita bisa lebih dari mereka." Kekeh Aya.
"Malam ini tidak hanya bisa menggandeng tangan, tapi mengukir mimpi bersama. Itu sebabnya ayah memberikan tiket untuk kita supaya menikmati bersama di sini." Kata Andi.
"Mengapa tidak bilang sih, kan aku bisa siap-siap."
"Persiapan kamu itu hanya masalah prosedur untuk ikut pindah ke Jogja bersamaku," Kata Andi.
"Mas__, bisa nggak malam ini kita tidak usah membahas itu dulu."
"Bisa Sayang. Tapi aku sudah dapat info kalau di fakultas ekonomi sedang butuh tenaga hanya saja untuk rekruitment masih nunggu dari dikti. Sekarang tugas kamu bagaimana itu caranya untuk ngurus mutasi sekaligus penghitungan angka kredit supaya bisa dapat gelar tertinggi."
"Mas__?"
"Nanti aku yang akan bilang kepada ayah tentang hal ini. Satu bulan sekali kalau memungkinkan kita bisa mengunjungi ayah dan ibu di Malang, Sayang." Tidak menyangka ternyata Andi telah mencari informasi sedetail itu untuknya. Meski masih terasa berat namun Aya juga harus bisa mengambil titik tengah demi kebaikan bersama.
"Jadi, kita mau bulan madu atau ngurus itu?" tanya Aya sambil tersenyum manja. Kepalanya kini memilih untuk masuk ke ceruk leher Andi dan menyesap bau tubuh suaminya yang seminggu terakhir ini hanya bisa dibayangkan melalui angan saja.
Lebih mempercayai bahwa cinta bukan hanya bermodalkan kata dan janji, melainkan cinta itu akan datang setelah sakralnya perjanjian dengan Allah melalui lantunan ijab dan qabul. Bila ada yang akhirnya mengaku mencintai namun justru mengajak pada hubungan nikmat sebelum halal maka percayalah itu bukanlah cinta melainkan hanya sebatas nafsu semata.
Aya menggenggam tangan suaminya, bersamanya dia telah memberikan seluruh rasa percaya karena kini apapun yang akan mereka lakukan untuk kebaikan pasangan adalah sebuah ibadah. Tentunya, karena Aya dan Andi telah memahami sebaik apapun cinta sebelum menikah tetap akan membawa pada keburukan, dan tetap akan membawa pada kemaksiatan. Sesetia apa pun cinta yang dimiliki, bila terjalin diatas keharaman Allah maka tetap akan menjadi cinta yang menyesatkan. Itu sebabnya Aya memilih untuk menyerahkan yang terbaik atas masa depannya kepada Allah. Bersama seseorang yang kini telah menghalalkan, bersama seseorang yang kini telah membuktikan bahwa mencintai itu harus berani berkorban.
"Aku mencintaimu Mas, sampai kapan pun rasa itu akan selalu ada di dalam hatiku." Lirih bisik Aya seolah menjadi penghantar mimpi untuk Andi yang kini telah memejamkan matanya.
Cinta yang selalu berkembang setelah semuanya telah dikorbankan oleh mereka berdua.
🥢👣
-- to be continued --
💊 ___ 💊
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
🙇♀️🙇♀️
Jazakhumullah khair
💊 ___ 💊
Mohon cek typo yaaaaa
Blitar, 09 Juni 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top