28 🌵 Mimpi Manis

Uluhhhh, ya Rabb yang mau berangkat kondangan... Ibu-ibu masih nyimak kan????

Stay at home dapat giveaway karena baca ini????

S&K sudah aku post di akun IG aku, yang belum follow silakan di follow @marentin.niagara

Kelamaan nunggu ampe segitu amat fufunyahhh 😂😊😊🤣, ok check it out dan dapatkan giveaway dari akuhhhhh 👏👏

بسم الله الرحمن الرحيم

This is part of their story
-- happy reading --

🥢👣

Bukan hanya proses menemukan pasangan hidup, proses pengesahan hubungan kala berbalut sebuah pesta pada akhirnya juga perlu persiapan yang matang. Jika sudah sepakat ingin menikah calon mempelai tentu tidak bisa lagi hanya mengandalkan cinta. Memiliki mental yang dewasa, kecerdasan mengelola emosi, serta kemampuan untuk berkompromi, dan inilah yang akan menjadi bahan pertama untuk ujian saat menyiapkan sebuah pesta pernikahan.

Sabar adalah hal yang paling utama namun bagi Andi dan Aya tidak lagi membutuhkan banyak detail yang harus diperhatikan. Semua diserahkan kepada wedding organizer, meski untuk hal-hal kesakralan prosesi akad nikah tetaplah menjadi tanggung jawab Aya.

Segala persiapan telah selesai dilaksanakan. Bukan sebuah pesta yang mewah namun juga tidak bisa dikatakan biasa karena memang sebagian besar tamu yang diundang adalah rekan dinas Aya dan sebagian kenalan Andi yang ada di Malang. Sedangkan untuk kolega Adhi dan juga Ibunya Aya akan jauh lebih sedikit mengingat belum ada dua tahun mereka akan menggelar pesta pernikahan untuk putrinya kembali.

14 Syawal, di gedung termegah Malang Selatan. Aya dan juga Andi menjadi staring of the day, menjadi pusat perhatian dalam pesta pernikahan mereka.

"Saya terima nikahnya Bhatari Ratimaya binti Adhi Prasojo dengan mas kawin tersebut diatas tunai." Kata Andi saat menerima akad nikah yang dibacakan oleh Adhi Prasojo secara langsung.

"Bagaimana saksi?" tanya penghulu.

Sah, sah, sah.

Derai air mata mengiring langkah Aya menuju suaminya. Bukan hanya sekedar buncah bahagia. Namun sebuah tanggung jawab baru mengiringi janji keduanya di hadapan Allah Swt. Masih seperti mimpi manis saat tangan Andi menyentuh tangannya, memasangkan cincin kawin di jari manis tangan kanannya. Saat bibir Andi menyentuh kening dan tangan kanannya membelai ubun-ubun lalu membacakan doa barokah. Semua membuat Aya terlupa bahwa dia tetap harus menginjakkan kaki di bumi.

Ini terlalu manis, dia takut setelah perhelatan acara ini akan masuk rumah sakit karena terserang diabetes.

Aya memang tidak banyak tahu bagaimana keseharian Andi ketika mereka terpisah. Apa alasan Andi yang pada akhirnya serius memilih menjadi seorang dokter.

Berdiri empat jam menyambut tamu dan tersenyum bahagia. Lelah, namun tidak terasa karena hati terlalu bahagia.

"Papa, mbak Ayya capek." Suara Ayya menginterupsi di tengah meriahnya pesta. Anak usia 4 tahun itu rasanya sudah tidak sanggup lagi berdiri meski dia hanya bermain ke sana kemari.

"Sayang, kamu bawa Ayya ke dalam gih. Nanti kalau aku yang bawa, kamu di depan sendirian." Kata Andi meminta Aya untuk menidurkan putri mereka.

"Sebentar ya Mas, nanti kalau mbak Ayya sudah tidur aku kembali." Bukanlah nasib jika akhirnya Aya memilih untuk dinikahi seorang perjaka yang telah memiliki anak. Aya menikmati peran barunya menjadi seorang ibu. "Mbak Ayya, dengan mama ya tidurnya?"

"Nanti mama kalau nemani mbak Ayya tidur nggak seperti princess lagi, nanti nggak cantik lagi." Kata Ayya.

"Nggaklah, Princessnya tetep mbak Ayya."

"Terus__?" tanya Ayya ketika mereka telah sampai di ruangan dimana terdapat bed untuk beristirahat.

"Mama?"

"Iya."

"Apa ya, mama jadi Queen saja." Jawab Aya kemudian meninabobokan putrinya. "Mbak ini tolong nanti temani ya, saya harus nemani Bapak di luar." Pesan Aya kepada nanny yang merawat Ayya jika Andi ke kantor.

"Iya Bu."

Aya kembali lagi mendampingi Andi di depan. Menyambut beberapa tamu yang masih baru saja datang. "Sudah tidur?"

"Sudah, kecapekan dia. Makanya langsung tidur. Ada nanny yang jagain dia." Jawab Aya tersenyum manis menyambut uluran tangan Andi yang kemudian mendekapnya untuk berdiri di sampingnya.

"Ya sudah, dia paling heboh dari kemarin menyambut kamu beneran jadi mamanya. Terima kasih sudah bersedia menjadi mama untuknya." Kata Andi dengan tatapan yang entah bisa diartikan bagaimana.

"Mas__itu matanya bisa dikondisikan." Kata Aya dengan memutuskannya karena semakin lama memandang semakin sulit rasanya untuk menghindar.

"Kenapa mataku? Dua puluh enam tahun loh, nggak bisa melihat mata indah itu. Terima kasih sudah menerima semuanya. Termasuk menerima Ayya." Kata Andi sekali lagi.

"Bukannya lebih banyak karena aku bersedia menjadi istri." Ledek Aya.

"Iya itu juga, tapi ada yang nungguin aku sampai mau keluar ubannya." Kata Andi yang dijawab senyuman oleh keduanya.

Andi dan Aya akhirnya sama-sama tahu bahwa sesungguhnya mereka berdua sama menunggu. Meski banyak yang akhirnya mencoba untuk masuk namun memang pada akhirnya semesta berpihak atas doa-doa mereka.

Menyamakan langkah dalam kebutaan memahami segala sesuatu yang berkenaan dengan masa depannya nanti. Yang mereka tahu bahwa keduanya hanya ingin membahagiakan pasangan. Jelas saja, setelah sekian lama terkungkung dalam rindu yang tiada bertepi kemudian dipertemukan, akan rugi bila hanya dihabiskan untuk silang pendapat yang tidak akan ada habisnya.

Setelah empat jam berdiri dan semua telah bersiap untuk kembali Andi memilih untuk pulang terakhir kalinya karena harus berganti pakaian dan membersihkan make up.

"Mau pulang ke rumah atau kita sewa hotel, Sayang?"

"Kalau sewa hotel, Ayya bagaimana?" tanya Aya.

"Sementara biar dengan Ibu dulu." Jawaban Andi yang langsung mendapat pukulan manja dari istrinya. "Kamu kenapa ngumpetnya lama banget sih?" tanya Andi yang kini mengganggu Aya ketika melepas jilbab dan aksesorisnya.

"Mas, ini nanti kena jarum pentul loh." Kata Aya menghalau Andi yang kini mulai bergerilya.

"Bisa nggak sih ini di skip saja." Kata Andi.

"Akunya keburu pusing." Jawab Aya. Andi memang telah mengunci pintu ruang make up pengantin dimana Ayya juga tertidur pulas di sana.

"Tapi anggun, Sayang. Coba tiap hari seperti ini." Kata Andi.

"Mana ada, kalau seperti ini setiap hari, bagaimana aku ngajar mahasiswa. Nyiapin makan buat kamu dan Ayya. Bisa seharian habis di salon." Kekeh Aya yang masih digoda oleh Andi bahkan Andi yang berniat untuk membantu melepaskan jarum pentul untuk jilbab yang menghijabi kepala Aya justru duduk dan meminta Aya untuk duduk di pangkuannya.

Mulanya membantu tapi lama kelamaan bantuan itu beralih pada serangan-serangan kecil yang membuat Aya sedikit melenguh karena Andi. Jilbab yang harusnya sudah terlepas sejak tadi kini terlupakan sejenak saat posisi Aya berbalik menghadap Andi dan bibir mereka saling bertaut.

Suasana menjadi sedikit ramai dengan kegiatan mereka berdua. Apakah ini sebuah appetizer?

"Loh papa kok mau makan mama?" suara Ayya menginterupsi kegiatan 'hangat' mereka dengan tangisnya. Seperti anak itu terbangun tiba-tiba kemudian melihat adegan dewasa antara Andi dan Aya yang sedang berciuman dengan posisi Aya ada di pangkuan Andi. "Itu kursinya masih banyak loh. Kok duduknya begitu." Protes Ayya lagi.

Anak kecil yang selalu polos dengan apa yang telah diketahuinya. Padahal seringkali Ayya juga merasakan di posisi Aya ketika dipangku oleh Andi. Bedanya jika dengan Ayya, perasaan Andi tumbuh karena rasa sayangnya. Namun saat Aya ada di pangkuannya bukan hanya sayang tapi ada nafsu yang menyertainya.

"Eh anak mama sudah bangun." Seketika Aya turun dari pangkuan suaminya dan merengkuh putri kecilnya yang kini menangis karena baru saja menyaksikan live show papa dan mamanya yang baru saja sah menjadi suami istri.

"Mama di makan sama papa ya, ada yang sakit?" tanya Ayya dengan polosnya. Andi mengerang, ada sesuatu yang meminta untuk dilepaskan namun situasinya belum memungkinkan untuk melaksanakan. Kembali meredamnya, 20 tahun dengan kesabaran yang luar biasa.

"Bukan sayang, itu karena Papa sayang kepada Mama. Bukan begitu, Pa?" tanya Aya meminta persetujuan Andi yang akhirnya dia berdiri dan mengangguk kemudian membelai putri mereka. "Benar, karena papa sayang pada mama."

"Tapi Papa nggak pernah seperti itu ketika sama mbak Ayya?" Andi bingung harus menjawab apa, semakin dewasa Ayya semakin kritis bertanya atas apa yang dia lihat dan perhatikan.

"Iya nggak pernah, itu sama seperti kalau mama atau papa cium pipi dik Ayya." Kata Andi akhirnya.

"Mbak Ayya, Pa. Bukan dik Ayya lagi. Papa lupa ya, katanya kalau sudah ketemu tante Nina Bear akan dipanggil mbak."

"Eh, iya papa lupa. Maaf ya Sayang. Sini peluk papa, mama mau ganti baju dulu." Andi meminta Ayya dari gendongan istrinya. Memintanya untuk segera berganti.

"Nanti malam mbak Ayya bobok dengan uti dan kakung ya?" kata Andi.

"Nggak mau, mbak Ayya mau bobok dengan mama. Papa saja yang bobok sama uti dan kakung." Kata Ayya yang membuat Andi terkekeh.

"Badan papa kan besar, kalau bobok sama uti dan kakung nggak muat tempat tidurnya." Jawab Andi.

"Berarti nanti malam papa bobok sendiri ya, mbak Ayya kan mau bobok sama mama."

"Ya papa bobok dengan mama juga." Jawab Andi frustasi. Rasanya dia sudah kehilangan kata-kata untuk membujuk putri kecilnya. Dijelaskan seperti apa juga dia tidak akan mengerti. Dan Aya sudah menyelesaikan semuanya namun perdebatan Andi dan Ayya perihal tidur dengan siapa mereka nanti malam.

"Uluhhh, papa sama mbak Ayya mau bobok sama mama ya semuanya?" kompak sekali keduanya mengangguk. "Boleh, tapi nggak boleh bobok malam-malam ya, kalau nanti boboknya kemalaman nggak boleh lagi bobok sama mama, gimana?" kata Aya sambil mengerling manja ke arah Andi. Dia sangat tahu kebutuhan Andi yang kini menjadi kewajibannya namun tidak bisa langsung mengabaikan keberadaan Ayya diantara mereka.

"Setuju." Kata Andi yang langsung menerima kode dari Aya.

"Iya, setuju." Jawab Ayya.

Dan ketiganya kini kembali ke rumah Aya setelah semua selesai dibereskan. Konsekwensi buy one get one free harus pandai-pandai bersiasat. Yang jelas, Ayya pasti merasa sangat senang kini dia memiliki seorang ibu. Dan Aya tidak ingin mematahkan perasaan Ayya untuk memilih Papanya meskipun dia sangat ingin membahagiakan Andi tapi mungkin dengan tanpa mengabaikan perasaan Abinayya.

"Terima kasih, Sayang." Panggilan ini sudah mulai lekat di telinga Aya sejak label halal mereka. Andi memang sangat perhatian itu yang sedari dulu tidak pernah berubah dirasakan Aya. Dari mereka masih anak-anak hingga malam ini mereka berdua mulai belajar membuat anak.

"Aku nerima kamu kan artinya juga harus jadi ibu untuk Ayya, Mas." Jawab Aya ketika di mobil.

"Itu kenapa aku nggak mau yang lain. Maunya sama kamu." Jawab Andi yang kemudian mencium tangan kanan Aya. Sementara Ayya masih saja mengoceh bertanya ini dan itu kepada Aya.

"Kalau ternyata Allah nggak mempertemukan kita lagi bagaimana?"

"Buktinya mempertemukan toh? Dan sekarang sudah halal menjadi bagian dalam hidupku." Kata Andi menyudahi semuanya.

"Papa dan mama bicara apa sih? Aku pusing mendengarnya." Kata Ayya yang kini ikutan bersuara.

"Papa sayang salian berdua." Kata Andi kemudian mengacak rambut putrinya dengan lembut.

Benar saja demi ingin tidur dengan mama barunya mata Ayya sudah terpejam ketika jarum jam baru saja menunjukkan pukul 21.15 menit setelah Aya membacakan cerita bergambar kepada Ayya.

Andi yang sedari tadi hanya berpura-pura untuk tidur pun akhirnya terbangun setelah Aya menggoyangkan badannya. "Sudah bobok?" tanya Andi kemudian beringsut untuk melihat putrinya dan memindahkan tidurnya supaya nyaman. "Kita sholat dulu." Ajak Andi yang kini telah terbangun. Sejak sampai rumah memang Ayya hanya meminta bermain dengan mama barunya. Hal yang wajar mengingat ini adalah hal baru yang sangat membahagiakan putri kecilnya.

Adhi yang mengetahui Andi dan Aya baru saja melaksanakan sholat dan bergegas hendak menuju kamarnya. Menyapa dan meminta mereka menggunakan kamar tamu. "Kalian tidur di kamar tamu saja. Biar ibu yang menemani Ayya di kamar."

"Ayah__" kata Andi dengan sedikit sungkan kepada mertuanya.

"Dua puluh enam tahun berpisah kalian tentu akan banyak bercerita tentang masa lalu." Kata Adhi dengan senyum sumringah lalu menepuk pundak Andi dengan pasti. Seolah pesan tersirat yang ditangkap Andi adalah, 'perlakukan putriku dengan sebaik-baiknya.'

Dan malam ini Andi juga Aya tidur di kamar tamu. Bukan tidur lebih tepatnya mereka berdua berekperimen dengan berbagai metode penelitian ilmiah. Apakah kurva yang dihasilkan akan normal atau miring ke kanan dan ke kiri? cukup menggunakan uji SPSS ataukah harus uji abnormal Wilcoxon. Sementara Andi berusaha untuk mencoba untuk mulai melihat langsung mata kuliah anatomi yang seringkali dia ajarkan kepada para mahasiswanya. Meski sudah hafal tempatnya namun berbeda titik kritis setiap orang terhadap suatu rangsangan hingga membuat Andi mencoba untuk mempraktekkannya langsung.

Awal yang begitu indah. Sayangnya entah karena belum terbiasa atau karena untuk yang pertama kali hingga belum sampai berkenalan Andi telah sampai terlebih dulu.

"Eh kok malah sedih begini?" tanya Aya menenangkan suaminya. Tidak menyangka seperti ini pengalaman pertama mereka.

"Apa iya aku edi?" tanya Andi kepada dirinya sendiri.

"Hei, siapa yang bilang? Mas Andi amnesia? kan namanya Andi bukan Edi." Kekeh Aya, dia mengerti maksud suaminya namun untuk membuat suasana sedikit mencair atas ketegangan Andi.

"Maksud aku bukan itu, Sayang. Tapi___"

"Wajar Mas, mengapa mas Andi setegang itu mukanya. Padahal aku bahagia banget." Kata Aya.

"Bahagia darimana, aku kalah sebelum goal kok jadinya kamu bilang bahagia. Atau jangan-jangan__"

"Jangan berpikiran buruk dulu. Itu tandanya memang Mas belum pernah melakukan sebelumnya, jadi wajar kalau ekspektasi terkadang jauh dari realitanya. Mas kan dokter, harusnya lebih paham tentang hal itu." Kata Aya dengan senyum manisnya.

"Aku cuma mengkhawatirkan kamu."

"Aku paham juga, Mas." Kata Aya.

"Wah ternyata memang sudah siap banget yah jadi istri dokter?" kata Andi sambil mengusap kepala Aya. "Sudah bobok yuk, besok pagi dicoba lagi, semoga bukan lot anda belum beruntung lagi." Ajak Aya kepada suaminya karena malam telah merangkak ke tengahnya. Mereka harus beristirahat karena keesokan harinya Aya dan Andi harus kembali ke Jogja untuk persiapan perhelatan pesta di sana.

"Sini peluk aku, biar besok bisa." Kata Andi kemudian mencium pucuk kepala Aya. "Maaf ya." Aya tidak lagi menanggapi ucapan suaminya. Matanya sudah terlalu berat untuk tetap terjaga dia juga butuh istirahat.

Berada di ranjang yang sama dengan orang asing yang tiba-tiba menjadi bagian dari hidupnya. Andi masih menikmati raut wajah ayu istrinya, amanah yang harus dia jaga hingga akhir masa. Tangan kanannya terulur untuk membelai kepala Aya kemudian menciumnya sekali lagi. Kemudian mencoba untuk tidur menyusul Aya yang kini telah berada di alam mimpi.

Menjelang akhir malam merebah, Andi terbangun. Satu hal yang masih membuatnya penasaran. Dan sepertinya pagi ini akan segera Andi selesaikan. "Sayang, bantu aku menuntaskan yang semalam yah?"

Andi mengusap lengan Aya untuk membangunkan istrinya yang sebenarnya juga telah terbangun namun masih malas-malasan untuk membuka matanya.

Pada akhirnya, istirahat yang cukup akan menjadi kunci penentu. Pagi ini dalam serangan fajar 15 Syawal akhirnya membawa keduanya menikmati fitrah sebagaimana pasangan yang telah halal untuk saling membagi rasa. Hidup untuk akhirat yang selalu berkesinambungan, ibadah yang merupakan sunnah nabiullah. Keringat deras mengucur bersamaan dengan adzan subuh pagi ini. "Aku mandi dulu, kalau memungkinkan tolong tengok Aya, takutnya dia terbangun dan kaget kita tidak ada di kamar yang sama." Kata Andi saat keduanya telah menyelesaikan kegiatan yang gagal semalam.

"Masih sakit?"

"Nanti juga sembuh kok, nggak apa-apa Mas. Aku ke kamar, Mas Andi mandi dulu." Kata Aya kemudian bergegas ke kamar setelah membereskan sisa pesta mereka berdua di kamar tamu.

Ada rona merah muda saat Aya mengingat pertempuran yang memang terencana baru saja. Saat mereka berhasil bersatu dan rasa sakit itu tidak akan terasa saat Aya mengingat bagaimana Andi memperlakukannya untuk pertama kalinya.

Tak berapa lama Aya kembali ke kamarnya, putri kecilnya terbangun. Melewatkan sholat berjamaah karena Andi harus ke masjid bersama ayahnya. Aya mengurus putrinya baru setelah Ayya bisa ditinggal dia bisa segera membersihkan diri.

Sebelum menikah memang telah dipersiapkannya satu buah koper untuk keperluannya di Yogyakarta. Dia tidak memiliki jumlah cuti yang panjang lagi sehingga memilih untuk mengganti jadwal diawal sampai dengan acara di Jogja selesai dihelat oleh keluarga Andi. "Apa kabar jadwal mengajar?"

"Hanya ada 2 matkul 3 SKS yang aku pegang untuk post middle semester dan semua sudah oke aku geserkan." Jawab Aya. Meski begitu ada 3 buah karya ilmiah yang wajib dia setorkan sampai akhir semester ini untuk penambahan angka kredit menuju jabatan kehormatan setelah gelar doktornya.

Dan setelah sarapan pagi ini, ketiganya berangkat bersama seorang driver yang sengaja memang diminta oleh Agus Wondo untuk mengantarkan mereka.

"Padahal aku mengajar di universitas yang sama tempat kamu mengambil master loh, Sayang."

"Ya, tapi kan beda fakultas Mas. kedokteran dimana, pascasarjana dimana."

"Setidaknya kan ada kemungkinan untuk kita bertemu, nyatanya sama Allah justru dipertemukan di Marwah."

"Jadi nyesel?" tanya Aya lirih.

"Iya, kenapa nggak dari dulu aku bilang kalau aku sayang kamu. Dari kita anak-anak di Arosbaya dulu." Kata Andi.

"Emang sudah mengerti?"

"Nyatanya kita berdua sama-sama menanti dan mencari, apa itu artinya?"

"Itu terbangun dengan seiring berjalannya waktu Mas. Dulu aku juga kesel banget, bonekaku yang paling aku sayang kamu patahin." Kata Aya.

"Tapi bonekanya sekarang utuh Ma, kakinya ada dua dan ditaruh di plastik dalam lemari sama papa." Tiba-tiba suara Ayya yang duduk di samping driver menanggapi pembicaraan kedua orang tuanya. Berbicara tentang boneka mungkin ingatan bocah 4 tahun itu langsung pada Nina Bear warna merah milik papanya yang tidak boleh disentuh siapapun.

"Oya?"

"Iya." Jawab Ayya yang membuat Andi tersipu saat Aya memandangnya dengan pandangan tanya. "Aku sudah mengoperasinya." Jawab Andi.

Setelah ini Andi pasti akan menceritakannya. Seberapa banyak dia mengingat dan mencari Aya, hingga melarikan diri dari kejaran kedua orang tuanya untuk menikah dengan alasan sekolah.

Tujuh jam berlalu, kendaraan mereka telah menapaki kota Yogyakarta yang sedikit padat karena banyaknya lalu lintas yang mencoba untuk menjelajah kota budaya, menikmati kearifan lokal dan keindahan alam yang disuguhkan oleh kota yang begitu anggun dengan logat khasnya. Terlalu medok bagi Aya yang sedari awal memang lahir dan tinggal di Malang.

Namun Jogja juga telah membawa kenangan yang sangat berarti dalam hidupnya. Dua tahun menjadi bagian dari kota ini meski kenyataannya Aya tidak pernah sempat untuk mengenal lebih jauh karena keinginannya yang cepat menyelesaikan sekolah. Hingga akhirnya hatinya harus kembali tertambat kepada Jogja dengan segala pesonanya dalam seumur hidup mengingat belahan jiwanya merupakan salah satu putra terbaik Yogyakarta.

Membelah kota dan berbelok ke rumah yang sangat kental dengan nuansa Jawa. Aya baru satu kali ini menginjakkan kaki di rumah mertuanya. Bukan kebangetan, namun karena jarak mereka bertemu hingga akhirnya tercipta kesepakatan bahwa hari kemarin adalah pernikahan mereka tidak kurang dari 2 minggu di Indonesia. Sehingga semuanya serba kilat dan mendadak dangdut.

"Rumahnya artistik sekali Mas."

"Bagian depan masih menjaga khas Jogja. Tapi untuk ruang keluarga ke belakang sudah seperti rumah masa kini. Ayo masuk, ayah dan ibu pasti sudah menunggu di rumah." Ajak Andi mempersilakan istrinya masuk. Sementara dia memanggilkan beberapa pembatu yang bekerja untuk keluarganya membantu mengangkatkan barang-barang yang mereka bawa dari Malang masuk ke rumah.

Menjadi bagian dari keluarga yang masih begitu kental menjunjung filusuf jawa. Bukan berarti harus bertentangan dengan agama. Selama itu masih selaras dan seiring bisa dilaksanakan bersama mengapa tidak. Contohnya, mencium tangan ketika setiap kali bertemu orang yang lebih tua, menggunakan bahasa halus ketika berbicara dengan beliau dan juga mendahulukan orang tua untuk memulai aktivitasnya baru setelahnya putra-putri mengikuti dari belakang.

Tradisi minum teh. Agus Wondo masih melalukan itu untuk tetap menjaga kerukunan dan kekompakan. Entah itu sebuah ayat darimana, namun hingga kini semua putra-putri bahkan cucu-cucunya selalu menantikan. Seperti sore ini saat Agus sedang bersantai dan Narni menyeduhkan teh panas di dalam mug besar yang biasa dipakainya untuk membuatkan teh tubruk favorit keluarga. Saat Agus Wondo belum meminumnya, meski sampai dingin teh itu tidak akan disentuh oleh siapa pun juga, namun sekalinya telah diminum oleh si empu pemilik. Yang lainnya bergilir menikmati rasa teh yang sama dari gelas yang sama pula.

"Nggak usah kaget, kebiasaan di sini ya seperti itu. Menurut simbah dulu, itu artinya menghormat, ngabekti pada orang tua. Bahwa orang tua yang memang telah banyak makan asam garam kehidupan harus kita hormati." Kata Andi ketika Aya melihat Ayya segera berlari saat mengetahui sepupunya berebut gelas besar isi teh milik Kakung mereka.

Malam harinya, sedikit rapat keluarga membahas acara yang akan dihelat 5 hari lagi. Aya hanya mengiyakan saja semua acara yang telah disusun oleh keluarga Andi. Tugasnya hanya berdiri di samping suaminya dan tersenyum manis kepada setiap tamu yang akan datang memberikan ucapan selamat juga mendoakan pernikahan mereka.

"Ini apa tidak terlalu mewah Mas? kita sudah terlalu tua untuk mengikuti rentetan acara yang sedemikian rupa." Tanya Aya ketika mereka sudah berada di kamar.

"Aku sudah banyak membuat kecewa Ibu dengan selalu menolak ketika beliau mencoba untuk mengenalkan atau menjodohkanku dengan wanita-wanita yang dipilihnya. Untuk itu, demi membuat beliau bahagia sekali seumur hidup kita biarkanlah beliau dan mbak Dewinta yang mengatur acara pernikahan kilat kita. Beruntungnya kita ada WO yang siap mendapat tugas dari ibu dan mbakku sehingga tidak terlalu memberatkan semuanya. Mewah atau tidaknya itu adalah bagian dari rasa syukur kita. Yang penting tidak diniatkan untuk pamer. Mungkin memang dengan cara seperti itu cara ibu dan ayah bersyukur. Pada akhirnya putra mereka sudah memiliki dan memilih kamu untuk menghapus paradigma bahwa aku tidak menyukai wanita." Kekeh Andi mengingat bagaimana kabar itu santer terdengar di kalangan tetangga saat dia menghindari begitu banyak wanita. Perilaku penyimpang, padahal mereka belum memiliki bukti yang akurat untuk memberikan label seperti itu kepadanya.

Dan seperti malam sebelumnya, malam ini pun akan menjadi malam yang begitu panjang untuk pengantin baru yang sudah cukup usia untuk memiliki putra. Meneguk bagaimana manisnya madu dalam setiap aktivitas sehat mereka berdua dalam setiap malam yang panjang.

Cinta hanyalah sebagai alasan dan dasar atas keduanya menyatukan hasrat. Merangkai kalimat panjang yang diterjemahkan dalam setiap helaan nafas memburu, meniti setiap inchi, jengkal demi jengkal penjelajahan maha sempurna saat semesta berseru alam beserta menaburkan tetes-tetes embun untuk menjamah bumi dan memberikan kesejukan.

Belajar bersama dan menjadi ahli dengan harapan penuh bahwa Allah meridhoi genggaman tangan keduanya. Meniti titian menuju mahligai bahagia, bukan hanya berbalut atas letupan gelora yang membakar semangat namun juga tentang sebuah hak dan kewajiban yang menyertainya.

Bahwa hidup adalah untuk saling membahagiakan pasangan.

Ketika irama nafas telah menyatu, melodi cinta telah melantunkan syair indahnya, dengan sekali hentakan bak Falcon Heavy, ataupun Bumper V-2 pada masanya yang telah meluncur ke angkasa dari kosmodrom dengan memanfaatkan kecepatan rotasi bumi secara maksimum berorientasi pada orbit geostasioner, Aya kembali diajak Andi untuk menikmati susunan tata surya, menghitung jarak antara merkurius hingga sampai ke pluto. Belum lagi ketika harus bergerak memutar untuk melihat betapa indahnya satelit-satelit planet yang mengitari matahari. Terlebih ketika sampai di Yupiter, planet bercincin dengan 67 satelit. Perjalanan panjang yang akan menjadi candu untuk Aya dan Andi kedepannya.

"Aku belum melihat larissa." Kata Aya saat keduanya telah usai bergumul dalam perseteruan hebat malam ini.

"Nanti aku akan mengajakmu kembali ke Neptunus, kita kenalan dengan teman-temannya larissa." Kata Andi mencium pucuk kepala Aya.

"Triton, nereid, proteus, despoina, ah tapi aku juga ingin kenal dengan umbriel dan titania." Ucap Aya dengan manja.

"Ya berarti mampir dulu ke Uranus." Kekeh Andi. Ah mengapa malam-malam mereka jadi membahas nama satelit planet. Harusnya mereka sekarang mencari Ayya yang memang sedari awal sudah dikarantina oleh budhe dan pakdhenya untuk ikut bersama mereka.

"Sayang___" panggil Aya.

"Hmm," Andi bahkan sudah memejamkan mata saat Aya belum juga bisa beristirahat. Tubuhnya lelah namun matanya sulit untuk terpejam.

"Ah, Mas Andi selalu gitu, habis begini langsung merem. Mengapa akunya nggak bisa merem-merem?" sekali lagi suara manja dari bibir Aya membuat mata Andi kembali terbuka.

"Sini peluk aku biar bisa merem." Karena memang tubuh mereka perlu diistirahatkan untuk mengulang kembali pengalaman semenyenangkan seperti ini besok pagi.

"Dan itulah yang menjadi pemantik semangatku. Alasan mengapa pada akhirnya aku bersikeras ingin menjadi seorang dokter, bahkan aku sengaja mengambil spesialis orthopedi ini. Semua karena janjiku kepadamu, karena aku ingin menolong orang-orang yang seperti Ninamu dulu." Kepala Andi kini telah berada di pangkuan Aya. Tepat 48 jam berlalu mereka kini telah menjadi pasangan halal. Dan boneka beruang merah yang telah dioperasi oleh Andi telah berada diantara mereka.

"Mengapa Mas Andi tidak menghubungiku setelah itu?"

"Bukannya keesokan harinya kamu dan keluargamu meninggalkan kontrakan dan Arosbaya? Karena Ayah telah dipindahtugaskan dari Madura ke Jawa?" kini senyum terurai dari keduanya. Ya, setelah peristiwa Aya melempar boneka beruangnya kepada Andi keesokan harinya dia harus pulang ke Jawa. Karena tugas Adhi di Madura telah selesai.

"Terus nama Ayya?" tanya Aya yang masih penasaran mengapa Andi memberikan panggilan nama itu kepada putri mereka kini.

"Supaya aku selalu mengingatmu dengan memanggil namanya."

Mata Aya kini terkunci dengan tatapan Andi. Bibir mereka mulai bersatu dan berpagut. Andi melepaskan saat keduanya butuh pasokan oksigen yang berlebih.

"Engko' terro kabâ'na. Aku iso jadi joko tuwo yen ra iso nemokke kowe." Kembali Andi mengungkapkan perasaannya kepada Aya -- Aku cinta kamu. Bisa bisa aku jadi perjaka tua jika tidak bisa menemukanmu --

"Bukane saiki yo wes jadi joko tuwo? Hello wes 37 tahun loh." -- bukannya sekarang juga sudah menjadi perjaka tua. Hello sudah 37 tahun loh --

"Loh, wes ra joko iki. Lali po mau bengi slirane wes tak tindihi. Opo perlu dibaleni meneh ben ra lali dalane?" rona merah jelas menjalar di pipi Aya. Mendapati super heronya yang kini kembali meminta haknya membuatnya tetap merasa malu. Padahal semalaman mereka berdua sudah bertempur di medan perang bersama.

"Mas__"

"Sepisan wae loh, tanduk. Ben ndang dadi adhine Ayya. Ra pengen toh dilaknat malaikat?"

Kerlingan manja dari mata elang Andi membuat Aya tidak bisa menolak. Disaat tangan Andi mulai sigap untuk membuka kancing baju yang dipakai Aya tiba-tiba___

Cekleeekkkk,

"Mama, ayo kita main boneka sama Ayya. Loh Pa, mama mau mandi lagi toh kok bajunya dibukain sama papa?"

Abbeeeee'kaaahhh

Beruntunglah mereka belum melakukan adegan orang dewasa saat Abinayya Kahiyang Alfarizzy masuk ke kamar. Sebergairahnya pasangan pengantin baru, satu pesan yang harus selalu diingat. 'Don't forget to lock the door from inside'.

Aya menutup kembali pakaiannya dan Andi harus menggeram menahan gairahnya yang sudah meletup sempurna. Bersahabat dengan keadaan, beginilah nikmatnya having a duty sex dan harus kucing-kucingan dengan anak.

"Eh anak mama, ayo kita main. Mbak Ayya tunggu di luar sama papa ya. Mama ganti baju sebentar." Aya meminta Andi mengajak putri mereka untuk keluar.

Rasanya memang tidak baik untuk Ayya jika terlalu sering melihat adegan seperti ini. Aya harus mulai belajar tentang psikolog anak. Hari ini Aya mulai browsing tentang psikolog anak bersama dengan Andi. Membaca dan memahami bersama. "Mas, sepertinya Ayya memang butuh kamar sendiri. Tidak mungkin selamanya dengan kita dan harus dibiasakan sejak kecil."

Andi mengangguk mengerti apa alasan Aya berkata seperti itu. "Tapi jangan secara langsung memberitahunya, pelan-pelan kita sampaikan. Jangan sampai nanti dia beranggapan karena ada aku tidak boleh lagi tidur denganmu padahal alasannya bukan seperti itu."

"Iya, nanti kita pikirkan bersama."

Keesokan harinya saat Aya sedang berdua dengan Ayya dia mencoba menerapkan apa yang semalam dibacanya bersama Andi. "Mbak Ayya, semalam waktu mbak masuk ke kamar mama, maaf ya. Sebenarnya ada kunci kamar tapi Mama nggak mengunci pintunya."

Ayya seolah melupakannya, tapi memang seperti itulah anak usia 0-4 tahun pasti akan cepat melupakan segala sesuatunya. "Mbak Ayya kan mau punya adik ya? Berarti sudah besar."

"Iya Ma."

"Itu artinya mbak Aya harus tidur di kamar sendiri seperti mas Kevka." Bola mata Ayya mengerjap perlahan menelaah apa yang disampaikan Mamanya.

"Mbak Ayya nggak boleh tidur dengan mama?"

"Boleh, tapi tidak setiap hari." Ayya tersenyum lalu mengangguk. "Biar adiknya cepat jadi ya Ma?"

Aya tersenyum lalu mengusap kepala putrinya dengan lembut. "Tapi karena mama baru tinggal di sini maka kita masih tidur bertiga dengan papa, nanti kalau papa sudah membuatkan rumah tinggal untuk kita. Tidak lagi di rumah kakung dan uti maka mbak Ayya harus tidur sendiri."

Sekali lagi Ayya mengangguk setuju. Hubungan romantis antara ibu dan anak itu baru saja tercipta dan tidak ingin berlalu dengan cepat. Aya hanya ingin mulai mengenalkan Ayya pada yang semestinya sudah harus dilakukan oleh anak kecil itu.

Hingga menjelang acara pesta, Ayya tidak lagi rewel ingin berdua dengan Aya. Saat ditanya mengapa, jawabnya selalu sama, "supaya adiknya cepat jadi."

Andi bahkan tidak habis pikir bagaimana cara istrinya berbicara dengan putri kecil mereka. Hingga membuat Ayya mengerti dengan sendirinya bahwa papa dan mama membutuhkan ruang untuk berdua.

Kembali berdiri di samping Andi dengan look super istimewa. Busana jawa lengkap untuk tiga sampai empat jam mendatang. Memasang senyum termanis dengan ketulusan hati menyambut semua tamu yang datang ke pesta mereka berdua.

🥢👣

-- to be continued --

💊 ___ 💊

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
🙇‍♀️🙇‍♀️

Jazakhumullah khair

💊 ___ 💊

Mohon cek typo yaaaaa

Blitar, 14 Syawal 1441 H
6 Juni 2020 - 10.00 wib

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top