24 🌵 First love of Mecca

بسم الله الرحمن الرحيم

This is part of their story
-- happy fasting, happy reading --

🥢👣

IFTAR maghrib terakhir di Madinah hari ini adalah nasi biryani, donat, kurma dan teh kahwa. Aya menikmati sajian khas masyarakat arab dengan penuh sukacita.

Hari ini adalah hari ke delapan dia berada di Madinah, keesokan harinya seluruh rombongan akan berangkat menuju ke Mekah. Seluruh barang milik Aya sudah rapi tertata kembali di kopor. Dia memang tidak banyak membawa pakaian karena sengaja ingin berbelanja pakaian di arab. Sehingga yang semula kopornya kurus kini menjadi terisi sedikit gemuk.

Aya berbelanja agak banyak untuk oleh-oleh keluarga dan juga teman-temannya.

"Aya, besok masih mau nambah? Ustadzah Isyara mengajak kita jika ingin membeli coklat dan kurma."

"Besok setelah dhuhur kita sudah harus siap untuk berangkat ke Mekah. Mengapa tidak dikoordinasi saja?"

"Iya dikoordinasi, makanya kita daftar besok tinggal ambil di ustadzah Isyara." Kata Intan.

Aya melihat kembali barang bawaannya. Rasanya sudah cukup oleh-oleh yang dia bawa, kurma, fustuk, kacang almond, coklat dan rencananya nanti membeli roti namun jika akan mendekati kepulangannya ke tanah air.

"Kamu nggak sekalian beli bumbu nasi mandhi dan biryani?" tanya Intan.

"Nanti saja kalau sudah di Mekah dan akan kembali ke Indonesia. Sebenarnya kita ini mau beribadah apa belanja? Sudah Tan, aku nggak ikut daftar barang belanjaanku dan oleh-oleh sudah cukup sepertinya." Tolak Aya dengan halus.

Dan benar Aya memang berniat untuk mendatangi rawdhah malam ini sebelum keesokan hari berangkat ke Mekah. Bersama dengan dua teman kamarnya yang lain karena Intan memilih untuk menghabiskan malam bersama suaminya menikmati keindahan kota Madinah.

Setelah selesai mengerjakan sholat tarawih Aya beranjak bersama dua temannya menuju ke taman surga. Hamparan karpet berwarna hijau yang selalu dikunjungi oleh banyak orang di seluruh dunia. Ya, bagi perempuan yang penginapannya dekat dengan pintu 25 akan lebih menyenangkan karena pintu ini adalah pintu terdekat untuk bisa memasuki area rawdhah. Tidak butuh waktu lama, Aya bergabung dengan orang asia dan memilih untuk menunggu beberapa saat. Rapalan kalimat istighfar dan sholawat nabi di dengungkan selama menunggu mencapai karpet hijau.

"Allah, jika memang jalanMu untukmu bertemu dengan pasangan jiwaku mohon untuk kami bisa dipertemukan di dua kota suciMu." Doa Aya setelah dia menyempurnakan berdiri 4 rokaat untuk sholat tasbih di rawdhah. Dan setelahnya baru Aya kembali ke penginapan. Delapan hari cukup membuat ketiganya begitu mandiri untuk menjalankan kegiatan ibadah pribadi maupun bersama rombongan.

Dan Aya memilih untuk mampir terlebih dulu ke kedai makanan yang menjual beberapa makanan khas asia yang bisa dipergunakan untuk Aya sahur. Meski di penginapan telah disiapkan makan sahur Aya terkadang lebih menyukai sahur sendiri di kamar. Tidak terlalu penuh dan bisa menikmati makanannya dengan lebih tenang karena tidak harus berganti tempat dengan yang lain dalam waktu yang cepat.

"Aku mau yang itu Kung." Tunjuk seorang anak kecil di kedai yang sama dengan Aya pada dua potong paha ayam yang terlihat begitu menggugah selera.

"Satu saja ya, kakung tidak makan ayam cah ayu." Telinga Aya masih cukup bisa mendengar dengan baik.

"Yang satu buat papa, bukan buat kakung." Rasanya Aya ingin tersenyum namun ditahan melihat interaksi kakek dengan cucunya. Sayangnya karena Aya berada di belakang dua orang tersebut sehingga tidak begitu jelas bagaimana rupa keduanya. Hingga Aya disapa oleh pelayan untuk memesan apa.

"Indonesia cantik, silakan." Sapaan khas penjual arab yang berada di seputaran Masjidil Nabawi.

"Grilled chicken with honey."

"Wahid?"

"Na'am."

"Syukraan." Aya tersenyum mengangguk. Dia memang tidak tahu lebih banyak bahasa arab, tapi kalau hitungan ya sedikit banyak masih bisa pahamlah.

Saat Aya membayar makanan yang dipesannya, dia sudah tidak menemukan lagi anak lucu bersama kakeknya tadi. Mungkin jika dia memutuskan untuk menikah muda dulu dan langsung diberi putra oleh Allah maka kurang lebih anaknya juga seusia bocah perempuan tadi.

Ah mengapa Aya jadi berpikir tentang memiliki seorang anak, menikah saja belum ada calonnya. Lalu bagaimana mungkin dia bisa memiliki anak? Dia bukan seorang Siti Maryam ibunda Nabi Isa alaihissalam yang langsung menerima wahyu dari malaikat jibril, bahwa dia adalah wanita suci yang dipilih Allah untuk mengandung Isa meski tanpa seorang ayah.

"Mbak Aya, ayo pulang. Mencari siapa kok sepertinya masih ada yang di tunggu?" Bu Narsih mengajak Aya segera kembali ke penginapan karena malam telah merangkak hampir di tengah waktunya dan bergulir untuk berganti hari.

"Astaghfirullah, ayo Bu. Saya tadi memperhatikan anak kecil bersama kakeknya, sepertinya menginginkan 2 paha ayam bakar itu." Jawab Aya dengan jujur.

"Oh yang di depan Mbak Aya tadi?"

"Iya."

"Iya, tadi setelah membayar langsung keluar dan mereka sudah ditunggu oleh dua orang, laki-laki dan perempuan. Mungkin papa dan nenek dari anak itu." Aya kemudian mengangguk dan mereka bertiga berjalan menuju penginapan yang ada di depan kedai makanan itu.

Tidak banyak yang harus dipersiapkan hanya mengepak pakaian yang baru saja kering dicucinya hingga sebelum subuh ini Aya dan teman-temannya harus sudah meletakkan seluruh kopor di depan kamar mereka, dipersiapkan oleh panitia untuk keberangkatan ke Mekah.

Sholat dhuhur kali ini Aya memilih untuk menjama' taqdim bersama ashar mengingat perjalanannya ke Mekah akan memakan waktu 4 hingga 5 jam dan tentunya akan sampai di Mekah selepas maghrib.

Aya duduk bersama Bu Narsih di dalam bus, bergerak menuju Dzhul Hulaifah untuk mengambil miqot. Tepat pukul 14.00 waktu Madinah Aya beserta rombongan bergerak menuju ke Mekah. Membaca talbiyah dan menikmati perjalanan panjang bersama hamparan gurun pasir nan luas.

"Bapak Ibu, silakan untuk berbuka puasa. Inshaallah dari beberapa channel informasi di Mekah sudah memberikan isyarat bahwa waktu maghrib telah tiba." Suara ustad Abid membuat semuanya bersiap untuk menikmati menu berbuka dalam bus.

"Mbak Aya, bangun sudah waktunya berbuka." Bu Narsih menggoyang bahu Aya perlahan. Aya memang merasakan ngantuk luar biasa karena selama di Madinah nyaris dia hanya tidur 4 jam setiap harinya. Hingga ketika di dalam bus tidak ada aktivitas untuk beribadah dia memilih untuk memejamkan mata.

Perlahan mata Aya terbuka dan melihat beberapa orang teman serombongannya telah menikmati makanan berbuka mereka. Aya bersiap kemudian membasahi kerongkongannya dengan air segar yang telah dari siang tadi berada di kantong kursi yang ada di depan tempat duduknya.

Sepertinya untuk umroh pertama kali ini semuanya harus bersabar menanti hingga selesainya sholat tarawih. Atau mungkin tarawih di Masjidil Haram akan dilaksanakan sama seperti di Madinah. Semua tergantung oleh aturan Masjid dan pemerintah Saudi Arabia. Bahkan untuk 10 malam terakhir sholat witir akan dilaksanakan pukul 01.00 waktu Mekah sehingga terdapat jeda antara tarawih dan witirnya.

"Bapak Ibu, inshaallah nanti kita akan melaksanakan serangkaian umroh dengan mengambil jeda waktu antara tarawih gelombang 1 dan gelombang 2. Kita sholat maghrib jama' qosor dengan isya kemudian langsung melaksanakan tarawih 8 rakaat dan langsung turun ke lantai dasar. Semoga masih memungkinkan untuk bisa melaksanakan thawaf terdekat dengan ka'bah. Jika tidak memungkinkan karena sudah memasuki waktu sholat tarawih gelombang kedua maka sedikit agak menjauh akan ada jalur untuk jamaah yang hendak melaksanakan thawaf. Sampai di penginapan nanti silakan untuk membersihkan badan dan mensucikan diri kembali dan kita akan berangkat bersama ke Masjidil Haram untuk melaksanakan umroh pertama."

Menginap di Grand Zam-Zam, sebuah hotel bintang 5 yang berada di bawah Abraj Al Bait membuat semua jamaah akan lebih merasa nyaman selama berada di Mekah karena keluar hotel langsung disapa oleh pelataran Masjidil Haram. Aya masih hanya bisa membayangkan dan mencari beberapa gambar yang ada di gawainya. Bersyukur bisa melaksanakan ibadah umroh di bulan yang paling istimewa untuk umat islam ini. Bulan penuh berkah, rohmah dan ampunan dari Allah SWT.

"Ini akan melewati masjid miqot Al Aisya dan menara jam Abraj Al Bait sudah kelihatan. Mashaallah, kita akhirnya sampai di Mekah." Suara Bu Narsih membuat Aya mengalihkan pandangannya dari gawai ke sebuah masjid di sebelah kirinya. Masjid Al Aisya yang dipergunakan sebagai masjid miqot untuk melakukan umroh oleh masyarakat yang bermukim di Mekah.

Dan kini mata Aya menatap bangunan tinggi 601 meter itu memang begitu mencuri pandangan setiap mata yang melihat keindahan kota Mekah. Kota yang terbangun dari bongkahan gunung dan bebatuan. Kota yang dulu begitu dihindari oleh orang-orang karena ketandusannya. Dan kini menjadi kota suci umat islam sedunia.

Sejak peristiwa menangisnya Nabi Ismail kecil karena kehausan hingga membuat Siti Hajar, sang ibu harus berjalan bahkan berlari kecil diantara bukit Sofa dan Marwah. Atas izin Allah akhirnya di bawah kaki Nabi Ismail muncullah mata air yang tidak pernah kering hingga akhir jaman bahkan bisa menyuburkan lingkungan sekitarnya, yang terkenal dengan sebutan sumur zam-zam. Bahkan hingga kini air zam-zam inilah yang begitu dicari oleh banyak orang di seluruh dunia. Bahkan di Indonesia diperjualbelikan dengan harga yang cukup fantastis.

Sesuai dengan petunjuk Aya telah bersiap bersama rombongan menuju ke Masjidil Haram. Rasa haru bahkan lelehan air mata, seakan tidak percaya bahwa dia bisa berada di dalam masjid yang sesuai dengan hadist yang dipelajarinya bahwa keutamaan sholat di Masjidil Haram itu lebih utama 100.000 kali dibandingkan dengan sholat di masjid-masjid yang lain.

Menjalankan sesuai dengan instruksi sang mutowif bahwa merasa begitu nyaman dengan rombongan kecil yang dibagi untuk memudahkan dalam thawaf dan sa'i. "Allahumma zidbaitaka takdhiman wa taqriman wa birrow wa muhabbat." Pertama kalinya melihat ka'bah di baitullah, kakinya berjalan menuju lampu hijau hajar aswad dan memberikan isyarah dengan tangan kanannya dan berdoa, bismillahi allahu akbar.

Berjalan memutari ka'bah berlawanan dengan arah jarum jam hingga tujuh kali dan kemudian bergerak ke belakang maqom ibrahim untuk sholat sunnah thawaf kemudian beralih ke Bukit Sofa untuk melanjutkan sa'i.

Perjalanan yang antara Bukit Sofa dan Bukit Marwa itu berjarak kurang lebih 450 meter sehingga jika harus berjalan selama 7 kali maka totalnya bisa 4.15 km. Itu sebabnya mengapa Ustad Abid meminta jamaahnya untuk sholat tarawih sendiri dengan diimami olehnya. Alhamdulillah di dalam masjid masih memungkinkan untuk bisa sholat jamaah satu rombongan.

Ya dengan memanfaatkan tempat dan semua jamaah sadar bahwa shaf sholat yang dibenarkan adalah saling berdempetan, sehingga kaki kita bisa menyentuh kaki orang yang berdiri di sebelah kita. Bukan seperti orang di Indonesia yang rata-rata ribut dengan sajadah yang dia bawa sehingga orang lain harus berdiri berjarak dengan orang yang memakai sajadah lebar itu padahal sesungguhnya itu bisa diisi satu orang bahkan dua orang lagi, astaghfirullah.

Sementara rombongan Aya baru akan mulai thawaf. Andi dan kedua orang tuanya juga putri kecilnya telah sampai di Bukit Marwah. Mereka bahkan telah memotong rambut tanda rangkaian umroh telah selesai ditunaikan.

"Papa, kita tiap hari ke masjid terus berdoa. Kapan kita main ke time zonenya. Adik ingin main sama papa sudah bosan di sini terus."

Andi memahami psikis putri kecilnya. Namun dia selalu memompakan semangat untuk putri kecilnya. Ini masih sepertiga perjalanan berada di tanah suci. Masih ada duapertiga perjalanan lagi, dan akan semakin berat karena banyak ibadah yang mengharuskan mereka berjalan.

"Adik ingin dipanggil mbak kan seperti mas Kevka yang selalu dipanggil mas oleh mas Rey?" Ayya menganggukan kepalanya lucu. "Di sini itu adalah tempat terdekat kita dengan Allah. Makanya adik banyak berdoa semoga kita segera bertemu dengan tante yang punya boneka dalam plastik yang ada di lemari papa. Nanti adik akan dipanggil mbak Ayya oleh tante itu."

"Adik nggak pengen dipanggil mbak Ayya sama tante, Papa. Tapi dipanggil mbak Ayya sama adik bayi." Jawab Ayya.

Andi terkekeh lirih. Tentu saja Ayya tidak akan mengerti penjelasannya tentang tante, mbak dan juga adik.

"Jadi minta sama Allah, adik berdoa, supaya tante itu bisa tinggal bersama kita. Setelah itu baru adik akan punya adik bayi dan akan dipanggil mbak Ayya oleh adik bayinya." Jelas Andi lirih. Dia memang sedang berbicara berdua dengan Ayya saja. Sedangkan kedua orang tuanya beristirahat agak jauh dari tempat duduk mereka berdua.

"Beneran Pa?"

"Makanya nggak boleh mengeluh, harus banyak tersenyum dan berdoa kepada Allah supaya memberikan adik kepada kita." 

"Kalau tante nanti tinggal bersama kita berarti sama Uti dan Kakung juga?"

"Nanti papa buatkan rumah untuk kalian, sama seperti mas Kevka dan mas Reyzan."

"Beneran Pa?" mata Ayya membulat. Mendengarkan papanya akan membuatkan rumah tentu bocah kecil itu bahagia. Dia bisa membangun istananya di sana nanti bersama banyak teman dari sekolahnya.

"Banyak berdoa ya, dan jangan bilang uti dan kakung dulu. Ini rahasia kita berdua. Janji?" Andi menunjukkan jari kelingkingnya kepada Ayya kemudian disambut dengan jari kelingking mungil milik Ayya dan keduanya saling bertaut.

Beribadah di Mekah memang tidak ada matinya. Bahkan jika masuk di bulan ramadhan seperti ini. Mekah seperti berkebalikan, siang ibarat malam dan malam ibarat siang. Toko dan kedai membuka gerainya menjelang sholat ashar dan akan buka hingga menjelang subuh. baru setelahnya akan menutupnya lagi. Terlebih untuk kedai makanan. Untuk siang hari hanya toko souvenir dan pakaian yang buka guna melayani pembeli.

Malam ini Ayya telah tertidur di gendongan Andi saat mereka memutuskan pulang ke penginapan, Grand Zam-Zam. Hari bahkan telah berganti dan kini telah lewat tengah malam. Sebentar lagi bahkan akan masuk waktu sahur.

"Kita sahur di penginapan saja. Ayah ingin beristirahat. Besok kalau kamu ingin sholat subuh di masjid sebaiknya Ayya kamu tinggal bersama kami." Usia akhirnya yang berbicara saat keduanya kini telah memasuki usia renta dan meminta tubuh untuk beristirahat sedikit lebih lama karena kecapekan fisik setelah perjalanan panjang.

"Iya Yah, besok Andi ke masjid sendiri. Ayah dan ibu di hotel saja dengan Ayya."

Dan mereka segera beristirahat setelah membersihkan diri. Mekah, kota muslim yang hidup selama 24 jam ini memang tidak ada matinya terutama di seputaran masjidil haram. Kota yang akan selalu membawa setiap pengunjungnya akan jatuh cinta pada pandangan pertama dan selalu merindukan untuk bisa kembali menangis dan mengadukan segala keresahan hati serta sesak di dada kepada sang pencipta. Terlebih untuk mengucapkan rasa kesyukuran atas segala nikmat yang telah Allah berikan kepada makhlukNya.

Andi bersiap mengambil makanan yang dipakai untuk makan sahur yang akan dibawa kembali ke kamar. Mengingat putri kecilnya tidak mau dibangunkan. Bergantian dengan orang tuanya. dia memilih untuk turun terlebih dulu ke cafetaria dan bergerak menuju catering yang tertulis atas nama travel tournya.

Saat tangannya mulai bergerak untuk menyendokkan nasi dan lauk pauknya, telinganya mencuri dengar ada seorang wanita yang seolah bertanya kepadanya atau kepada orang yang sedang berdiri di belakangnya.

"Maaf, ini catering Minna Tour ya Mas?" namun belum sampai terjawab bahkan Andi belum sampai membalikkan badannya untuk melihat siapa wanita tersebut. Memastikan dia bertanya kepadanya atau kepada orang lain. Ada suara wanita lain yang sepertinya sedang memanggilnya dan mengajaknya pergi, "Aya, catering kita di sana bukan ini."

Detik berhenti, panggilan itu membuat tubuh Andi membeku beberapa saat. 'Aya?'

Tubuhnya berputar, matanya mencari bahkan tidak ada seorangpun di belakang Andi. Jadi benar wanita tadi sedang bertanya kepadanya? Lalu namanya? Mengapa sama seperti wanita yang kini selalu ada di dalam hatinya? Ataukah memang sebenarnya mereka sangat berdekatan namun belum dipertemukan oleh Allah.

"Ndi, malah melamun di sini. Ayya di kamar sendiri. Ayah keburu lapar ingin makan kamu segera naik ke kamar sebelum berangkat ke masjid lagi." Suara renyah Narni membuat Andi tergagap dan menghembuskan nafasnya dengan kasar.

Kakinya bergerak menuju ke kamar namun hati dan pikirannya kini berpusat kepada Aya. Seperti apa wanita yang telah dua puluh enam tahun tidak ditemuinya. Sudahkah dia memiliki pasangan? Ataukah masih setia melajang seperti dirinya.

Andi mendesah perlahan. Memperhatikan wajah polos Ayya membuat hatinya sedikit menghangat. "Jika Allah mengizinkan Dik, semoga papa segera dipertemukan dengan tante yang bisa membuatmu segera dipanggil mbak oleh adik-adikmu kelak."

Andi mencium kening putrinya kemudian menyegerakan diri untuk menghabiskan sahurnya. Dan bersiap menuju ke masjid.

Perkara hati memang sebaiknya diserahkan kepada Allah. Biarlah menjadi tugas Allah pada akhirnya untuk mengabulkan semua doa, menunda atau menggantinya dengan lebih baik. Rasanya memang sudah sepantasnya Andi mengalah dengan semua gejolak rasa di dalam hatinya. Usia semakin merangkak tua, dan sampai detik ini belum sekalipun dia bisa membahagiakan kedua orang tuanya. Sedangkan mereka berdua ingin melihat Andi menikah sebelum akhirnya kembali keharibaan sang pencipta.

Permintaan Ayya jelas menjadi pusat utamanya, mengalah dan mencoba menerima. Dia telah berusaha namun Allah belum menunjukkan hasilnya dan tidak pernah ditemukan wanita yang telah mengisi hatinya seumur hidupnya. Niatnya kini memang bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk kebahagiaan kedua orang tua dan juga putri semata wayangnya.

"Mekah, buat aku bisa jatuh cinta kepada orang seperti halnya aku yang bisa jatuh cinta kepadamu hanya dalam sekali pandang." Kata Andi dalam hati sebelum menutup pintu kamarnya dan melangkahkan kaki menuju Masjidil Haram untuk menyempurnakan berdirinya.

🥢👣

-- to be continued --

💊 ___ 💊

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
🙇‍♀️🙇‍♀️

Jazakhumullah khair

💊 ___ 💊

Mohon cek typo yaaaaa

Blitar, 18 Mei 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top