13🌵the Engagement

بسم الله الرحمن الرحيم

This is part of their story
-- happy reading --

🥢👣

JODOH, hidup, mati, adalah takdir yang telah tertulis jauh sebelum kita tercipta. Bagaimana tentang kita, dengan siapa kita akan bersama, dan kapan kita akan meninggalkan dunia, semua telah ada nasnya dan itu adalah hak prerogatif Allah yang tidak bisa kita ganggu gugat.

Siapa yang tidak ingin menikah?

Rasanya setiap manusia pasti memiliki keinginan untuk merasakan apa yang tersebut sebagai pernikahan. Gerbang awal untuk menyempurnakan ibadah.

Hidup bersama orang yang memang pantas untuk kita perjuangkan.

Meski sedang mengambil studi doktoralnya Aya lebih sering pulang ke rumahnya. Termasuk ketika acara lamaran Basagita saat ini.

"Mbak___"

"Eh, kok jadi ragu. Ini lebih baik daripada kamu pacaran lama terus nggak nikah-nikah." Kata Aya saat dia bicara berdua dengan Gita.

"Tapi Mbak Aya kan belum, Gita nggak enak ngedahuluin Mbak."

"Menikah itu bukan masalah siapa yang cepat dapat, siapa yang tua berarti dia dulu, tidak seperti itu. Jodoh itu datang disaat yang tepat. Jika Allah telah menentukan jodohmu lebih dulu daripada aku berarti ya memang itu waktu yang tepat." Jawab Aya.

"Tapi Mbak__"

"Sudah jangan mikirin Mbak gimana, yang penting sekarang kamu harus fokus dengan masa depanmu. Menikah di akhir masa kuliah. Kamu harus sukses keduanya, sukses study juga pernikahanmu." Aya kemudian memeluk adiknya.

Hati siapa yang tidak terenyuh mengetahui adiknya telah menemui jodohnya terlebih dulu. Setegar apapun Aya, namanya hati seorang wanita pasti ada sedikit rasa iri namun enggan untuk diutarakan.

Namun kembali, Aya harus berpikir realistis. Dari awal dia yang memilih untuk mundur. Masih ada seseorang yang dia tunggu hingga membuatnya tidak ingin berhubungan dengan pria manapun juga. Allah lebih tahu dari apa yang dia pikirkan. Toh usianya belum terlalu tua, fokus sekolahnya meminta lebih untuk di utamakan.

Bukan untuk memilih mengalah namun lebih karena Aya memiliki pilihan yang lain.

Segala persiapan telah dilakukan, kali ini Gita sedang sibuk merias dirinya. Aya sendiri belum pernah melihat bagaimana rupa calon adik iparnya, namun jika melihat bagaimana antusiasnya adiknya menyambut calon suami rasanya pasti rasa suka bahkan rasa cinta itu telah hadir.

Aya jadi ikut membayangkan, bagaimana jika Gita itu dirinya dan Andi Alfarizzy yang datang melamar. Seketika lengkungan bibir ke atas itu membuat hatinya berdesir hangat. Aya memang sangat merindukan kakaknya yang mungkin rindu itu akhirnya berubah bukan lagi rindu seorang adik melainkan rindu seorang wanita kepada pria.

"Aya kamu kenapa senyum senyum di depan kamar adikmu?" tanya Ibunya ketika melintas.

"Eh Ibu," Aya mencoba untuk menyembunyikan apa yang melintas di pikirannya hingga mengirimkan kehangatan rasa ke dalam hati. "Itu Bu, lihat Gita sumringah seperti itu dia pasti bahagia. Makanya Aya juga ikut bahagia."

"Kamu nanti juga seperti itu Aya." Aya langsung menunduk saat ibunya berkata seperti itu. "Jika ada yang masih kamu tunggu, kamu bisa membaginya dengan Ibu."

Feeling ibu memang jarang sekali salah. Buktinya sekarang tanpa Aya ceritakan apapun Ibunya langsung bisa menebak.

"Iya Bu. Aya bisa bantu apa lagi."

"Semua sudah beres, kamu siap-siap sana juga. Meski bukan acaramu tapi tidak baik kalau sebagai tuan rumah tidak menemui tamu-tamu." kata Ibunya kemudian meninggalkan Aya sendirian di depan kamar Gita.

Semua berjalan dengan lancar. Gita dengan senyum sumringahnya menganggukkan kepala serta mengatakan 'ya, dengan tangan dan hati terbuka saya menerima pinangan Pak Benua Bhagawanta'

Benua Bhagawanta, dosen psikologi klinis itu telah membuat hati seorang Basagita Ariandana menggila dan sepertinya butuh keahliannya seperti beliau yang mendalami ilmu psikologi klinis.

Tidak ada yang ganjil dari pertemuan itu. Benua datang bersama kedua orang tuanya dan mungkin juga saudara-saudaranya. Semua datang dengan sangat sopan dan anggun. Meskipun Adhi Prasojo hanyalah seorang guru dan mungkin juga rumah keluarga Aya yang ada di desa tidak semegah dan sebagus rumah milik keluarga Benua yang ada di kotanya.

Berjalan sebagaimana mestinya hingga waktu ramah tamah tiba. Aya mempersilakan keluarga Benua untuk berpindah tempat dari ruang pertemuan ke meja catering yang tersedia.

"Oh ini yang bernama Aya?" ketika namanya disebut Aya seketika menoleh untuk mengetahui siapa yang ingin mengajaknya bicara. Satu senyuman dan anggukan diberikan oleh Aya setelah tahu siapa yang berbicara. Wanita setengah baya, mungkin seusia ibunya. "Kakaknya Gita?"

"Iya Bu, saya Aya." jawab Aya masih dengan senyum manisnya.

"Suaminya yang mana kok tidak kelihatan duduk bersama Pak Adhi tadi?" deg, mengapa pertanyaan ini harus sebagai bahan untuk berbasa-basi. Tapi mungkin memang wajar karena sebagai calon keluarga baru mereka belum mengetahui jika Aya masih betah melajang hingga usianya yang ke 27 tahun.

"Saya memang belum menikah, Tante." biasanya jika sudah terjawab seperti itu orang akan berhenti bertanya atau setidaknya mengatakan kata maaf. Namun sepertinya wanita ini masih juga ingin mengajak Aya membicarakan hal itu.

Andai ini ibunda dari Benua, Aya jadi merasa miris dengan nasib Gita selanjutnya.

"Tapi sudah memiliki calon to Nak Aya?" Aya menggeleng perlahan. Kenyataannya memang sampai sekarang dia belum memiliki calon.

"Oh, berarti nanti dilangkahi adik dong menikahnya?" mengapa masih harus dipertegas dengan pertanyaan seperti ini. Andai yang bertanya itu bukan orang yang lebih tua dari Aya pasti akan dia keluarkan rumus matematika ekonomi untuk membungkam mulutnya. Sayangnya yang kini berdiri di hadapan Aya adalah ibu-ibu separuh baya. Hingga Aya harus bisa menjaga diri dan membawa kehormatan keluarganya di mata keluarga calon besan mereka.

"Pamali loh kata orang, kakak perempuan yang dilangkahi adiknya itu bakal jauh jodohnya. Nanti biar Papanya Ben yang memberikan uang mahar untuk pelangkah kepadamu." Astaghfirullahaladziim, Aya hingga harus mengelus dada. Seseorang, siapapun itu bisa tolong Aya untuk keluar dari zona yang sangat tidak nyaman ini?

"Mbakyu, sudah makan dulu saja. Nanti ngobrolnya disambung lagi sama mbak Aya. Ini Budhenya Ben, Mbak Aya. Saya Mamanya Benua." Seorang wanita yang wajahnya mirip Benua menyela pembicaraan mereka.

Akhirnya Aya bisa bernafas dengan lega. Wanita paruh baya itu hanya bergelar budhe. Jika itu Mama Benua, Aya benar-benar kasihan dengan nasib Gita selanjutnya.

Bayangkan saja, belum kenal Aya saja sudah berani memberikan nasihat yang sangat menyentil hatinya. Meskipun memang orang tua harus selalu dihormati keberadaannya.

Ah andaikata orang itu lebih menggunakan akal dan hatinya untuk bicara bukan hanya modal bibir saja.

Kuliah belum lulus ditanya kapan lulus, sudah lulus ditanya kapan bekerja, giliran sudah bekerja ditanya kapan menikah. Lebih sakit lagi ketika sudah lama menikah dan belum hamil akan ada lagi pertanyaan sudah lama menikah kapan punya anak, si A yang menikah kemarin saja sudah hamil, si B yang baru 6 bulan menikah sudah mau melahirkan, si C, si D dan lain-lain. Sudah punya anak satu akan ada lagi susulan pertanyaan kapan adiknya di program supaya kakaknya punya teman bermain.

Pernahkah mereka yang bertanya itu sadar bahwa pertanyaan yang sepertinya mereka anggap remeh dan sepele itu ataupun hanya bahasan untuk berbasa-basi belaka terkadang justru melukai orang yang ditanya.

Seperti Aya misalnya, dia sedang menunggu seseorang atau taruhlah belum ada lelaki yang ingin melamarnya. Pertanyaan seperti itu ibarat menghunus pedang kepada mereka, bukan fisik yang terluka namun lebih kepada psikis.

Sama ketika kita menikah sudah lama dan belum juga berputra. Salah jika menganggap bahwa mereka belum berusaha, yakinlah bahwa setiap pasangan yang menikah pasti mengharapkan yang namanya keturunan. Jika belum ada ya berarti memang Allah belum menitipkan. Bukankah jodoh, anak, rezeki itu Allah yang punya. Bahkan mati pun Allah yang punya.

Jika begitu ketika kita bertanya kapan kamu menikah, kapan kamu punya anak itu sama juga dengan menanyakan kapan kamu mati? Apa iya kita bisa menjawabnya, tanyakan saja kepada Allah mengapa Dia belum memberikan kepada kita apa yang mereka tanyakan itu.

Jadi bisa terbayangkan bagaimana sakitnya bukan?

Aya termangu saat mendengar bahwa Budhe Benua benar-benar menanyakan dia menginginkan mahar apa sebagai pelangkah. Sebenarnya mereka ini sekarang hidup di jaman apa.

"Maaf, maksudnya mahar untuk pelangkah itu apa ya?" tanya Aya yang memang tidak mengerti maksud dari budhe Benua.

"Gita ini kan anak kedua dan masih memiliki kakak perempuan yang belum menikah. Jadi kami tidak ingin disalahkan dari pihak mempelai perempuan jika nanti kakaknya akan lama memperoleh jodoh." kalimat frontal tersebut langsung disambut istighfar oleh ayah, ibu, Aya juga Gita.

Sesungguhnya bukan hanya keluarga Aya yang terkejut namun juga papa dan mama Benua.

"Maaf, Mbakyu sebaiknya itu__" ucap mama Benua yang akhirnya terpotong.

"Tidak ini harus dibicarakan terlebih dulu. Sudah tradisi di keluarga kita Harumi."

Aya memang tidak nyaman, bahkan dia tahu bibir Benua dan Gita sama-sama mengucapkan kata maaf kepadanya. Namun jika dia tidak bersuara maka perdebatan ini sudah bisa dipastikan akan panjang dan tidak akan ada ujung pangkalnya.

"Ekhmmm." Suara deheman itu jelas dari Adhi Prasojo namun akhirnya disambut oleh Aya sebagai orang yang namanya tersebut.

"Maaf bapak-bapak, ibu-ibu, sebenarnya saya secara pribadi kurang memahami maksud dari Budhe tapi supaya urusannya tidak panjang baiklah. Saya memang kakaknya Aya, dan benar bahwa saya belum menikah. Dalam agama yang saya yakini hal tersebut memang tidak pernah ada dan keluarga kami tidak mensyaratkan mahar pelangkah atau apalah tersebut namanya. Kalau memang keluarga Benua menginginkan saya menyebutkan permintaan, baiklah saya akan meminta sesuatu___"

"Bener kan, minta juga. Daripada nanti mereka ngomongin kita di belakang. Nyatanya itu mbaknya yang pura-pura polos juga mau minta. Tinggal terima saja loh kok pakai gaya nggak mau segala." Kata budhe Benua berbisik ke sebelahnya.

"___Benua dan Gita bisa hidup rukun selamanya. Jikalau pun ada masalah sebaiknya dibicarakan dengan baik-baik bersama. Mbak nggak akan minta yang lebih, cukup kalian berdua bisa bahagia dan menua bersama, itu saja sudah cukup sebagai syarat yang diajukan keluarga Benua." Kata Aya menyelesaikan kalimatnya dengan kepala tertunduk.

Ada kelegaan sekaligus kesedihan yang dia rasa pada waktu yang sama.

Gita memang sudah memilih jalan hidupnya terlebih dulu sebelum Aya berani untuk memutuskan melangkah sepertinya. Aya memang tetap jalan di tempatnya selama ini tapi Allah adalah sebaik-baiknya pembuat rencana.

"Mbak maaf ya tadi. Mas Ben dan keluarga minta maaf juga." kata Gita sambil menunjukkan pesan dari Benua kepada Aya. Acara lamaran memang telas selesai setengah jam yang lalu. Aya dan Gita bertugas untuk membereskan tempat acara dan mengembalikan seperti semula.

"Sudahlah, kamu nanti hati-hati dengan beliau. Setidaknya dia budhe dari calon suami kamu. Akan sering bersinggungan nantinya. Kalau dengan Mbak Aya saja beliau bisa sefrontal itu bukan berarti dengan kalian nanti tidak." Kata Aya memberikan nasihat kepada adiknya.

Gita memang masih jauh cara berpikirnya dibandingkan dengan Aya, jika Aya sudah sangat dewasa dalam menimbang sesuatu setidaknya dia lebih banyak menimbang sebelum menentukan pilihannya. Sedangkan Gita masih sering menggunakan gelora mudanya untuk memutuskan pilihan.

"Mbak, kok aku jadi takut ya?"

"Tidak perlu takut, dimanapun juga akan menemui orang-orang seperti itu." Kata Aya.

"Kok rasanya seperti virus saja, menakutkan dimana-mana ada. Covid_nineteen tuh si virus corona." Jawab Gita.

"Iya, tapi kalau kamu dan Benua sih sepertinya terkena cupid_marentin si virus pink hellowkitty." Kekeh Aya.

"Cupid_marentin? Apaan itu Mbak?"

"Itu loh yang dilapak sebelah, kan banyak ngomongin virus pink hellokitty." Jawab Aya sebelum akhirnya dia meninggalkan Gita untuk beristirahat.

Bagi Aya tentang hidup hanya perihal menerima dan berjuang. Berjuang pada jalan yang telah dia pilih tanpa paksaan. Dan menerima bahwa tidak semua jalan bisa dan mampu dia lalui dalam waktu yang sama.  Jadi untuk apa menghadapi hidup yang banyak 'menurut kata orang'. Berani untuk beranjak. Karena sejatinya hidup bukan hanya menurut omongan orang semata.

BJ Habibie saja sampai memberikan quotenya, hidup seperti engkau akan mati esok. Dan berbahagialah seperti kamu akan hidup selamanya. Lalu kita apa memilih untuk bersedih dan merutukinya? tentu tidak bukan.

Bukan untuk mendapat pengakuan apalagi menutupi sebuah kekurangan. Hidup dengan kebenaran bukan pembenaran. Kebenaran, suka tidak suka begitulah adanya. Dengan pujian tidak akan melenakan dan adanya hinaan tidak membuat hati mati.

Hidup tentang mencari bahagia. Namun semua orang memiliki takaran berbeda tentang apa yang bisa membuat bahagia.

Menemukan potensi dan didiklah diri kita untuk menerima paket dari sebuah pilihan. Bukan tentang enaknya tetapi juga rasa pahitnya.

Teruntuk yang masih berada ditengah kebingungan. Hidup itu perihal kenyamanan bukan hanya tentang kebahagiaan. Tentang ketenangan bukan hanya sebuah kekayaan.

Cukuplah menjadi 'boneka' untuk manusia-manusia latah di sekitar kita. Cukuplah mengikuti 'kemauan' orang lain. Jadilah nahkoda untuk hidup kita sendiri. Bertanggung jawab pada setiap yang kita lakukan. Cukup, untuk tidak mengeluh pada manusia. Hargai apa yang telah kita lakukan dan telah kita dapatkan, meski kadang tidak sesuai dengan harapan.

🥢👣

-- to be continued --

💊 ___ 💊

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
🙇‍♀️🙇‍♀️

Jazakhumullah khair

💊 ___ 💊

Mohon cek typo yaaaaa

Blitar, 08 April 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top