11🌵Abinayya Kahiyang Alfarizzy
بسم الله الرحمن الرحيم
This is part of their story
-- happy reading --
🥢👣
CINTA dan pengalamannya yang mungkin tidak seberapa membuat seorang anak manusia itu selalu menutup telinga.
Nyaris tidak memiliki pengalaman bercinta dan enggan untuk memulai karena hatinya telah jatuh pada satu nama yang sampai kini entah dimana rimbanya. Andi mulai terbiasa dengan kegiatan barunya. Pembatalan studi yang telah diambilnya karena adanya tawaran beasiswa dari universitas tempatnya untuk mengambil konsulen dokter.
Kuliah akhir pekan menjadi pilihan terakhir Andi untuk memperoleh gelar tertingginya. Sehingga mulai bulan ini sepertinya Andi harus bolak balik Yogyakarta - Singapura setiap akhir pekan untuk menyelesaikan studinya. Bukan memaksakan diri tapi bisa mengenyam pendidikan tanpa mengeluarkan uang itu adalah kebanggaan tersendiri bagi seorang mahasiswa.
"Berapa tahun kamu akan bolak balik seperti ini?" tanya Narni yang kini mulai jengah dengan sikap Andi.
"Hanya satu setengah tahun saja Bu, tidak akan lama. Semoga saja tidak mundur lama. Penulisan disertasi bisa asistensi secara online melalui WA dan email." Jawab Andi dengan pelan. Dia tahu apa yang sejauh ini menjadi keinginan ibunya, menikah dan hidup berbahagia bersama pasangannya.
"Mbuhlah wes, sekarepmuh. Ibu ra cetho ro caramu mikir kuwi kaya ngapa. Arep lungo karepmu, ora bali yo karepmu." -- Nggak tahulah, terserah kamu. Ibu tidak mengerti dengan caramu berpikir itu seperti apa. Mau pergi silakan, tidak pulang juga terserah kamu. --
Ucapan Narni itu bukan hanya tidak masuk ke dalam hati Andi hanya saja untuk melakukan seperti yang ibunya mau saat ini hatinya masih belum mengizinkan. Setidaknya jika Aya tidak ditakdirkan hidup dengannya Andi ingin memastikan Aya hidup berbahagia bersama pasangannya.
Tumpukan pekerjaan hingga selarut ini Andi masih berada di rumah sakit. Berniat untuk menginap karena untuk pulang dan besok pagi harus berada di ruang operasi sebelum jam kantor dimulai akan membuat banyak pertanyaan dari bibir ibunya.
Ah iya, sampai kapan dia akan bertahan seperti itu? menikmati kesendirian dengan semua yang telah dia miliki. Kedua kakinya kini melangkah ringan. Pasien terakhirnya untuk di operasi telah diselesaikan dengan baik. Setelah memastikan keadaanya di ICU Andi berjalan menuju ruangannya, ruangan yang disulap menjadi mini hotel untuknya.
Melewati ruang bersalin, sepertinya ada sebuah peristiwa yang membuat beberapa suster bergerombol dan membicarakan sesuatu hal yang terdengar begitu urgent.
Andi mencoba mengabaikan karena memang ruang bersalin bukanlah daerah jajahannya. Tapi nuraninya memberontak. Jika sudah tidak ada dokter jaga diantara mereka mungkin dia bisa menjadi perantara. Anggap saja Andi sedang piket dan sedang melakukan visite.
"Malam, ada apa ini kok masih ramai di sini?" tanya Andi kepada sekumpulan suster itu.
"Eh dokter Andi, selamat malam Dok. Ini Dok, kita tadi baru saja membantu kelahiran seorang ibu hamil. Alhamdulillah bayi dan ibunya sehat." Jawab salah satu diantaranya.
"Alhamdulillah kalau begitu." Kata Andi yang memilih untuk meninggalkan mereka namun baru saja dua langkah kakinya meninggalkan mereka ada suara lain yang menghentikannya dan membuat Andi berbalik arah mendekat.
"Tapi ibunya melarikan diri ketika akan kita minta mengisi administrasi."
"Maksudnya?" tanya Andi.
"Iya tadi pas datang posisinya sudah bukaan 9 dok. Itu yang memutuskan kami untuk memberikan penanganan segera karena memang bayinya harus segera ditolong. Tapi sayangnya setelah neonatal itu si ibu pergi entah kemana dan kami tidak tahu lagi bagaimana ini sebaiknya."
"Dokter anak dan kandungan yang berjaga?"
"Mereka sudah pulang Dok, hanya ada bidan dan perawat yang membantunya."
"Ya sudah begini, coba informasikan kepada dokter. Ahmad sebagai dokter kandungan dan juga dokter Siska selaku dokter anaknya perihal ini. tidak perlu khawatir perihal biaya, kalau dipermasalahkan oleh administrasi katakan untuk menagihkan kepada saya. Bayinya dibawa si ibu itu atau__?"
"Bayinya ditinggal Dok, perempuan. Cantik sekali, subhanallah itu mengapa si ibu jahat sekali ninggalin anak secantik itu." Andi kemudian meninggalkan mereka dengan beragam pertanyaan di dalam benaknya.
Otaknya mulai berpikir. Selama ini dia memang sendiri, berjuang sendiri meskipun sesungguhnya dia dedikasikan untuk Aya. Dia bisa seperti ini juga karena Aya. Coba dulu jika Aya tidak marah dan melempar bonekanya kepada Andi mungkin cita-cita sebagai dokter itu hanyalah sebuah cita-cita anak kecil yang akan tetap menjadi cita-cita dalam angannya.
Bersama dengan kesepian adalah makanan sehari-hari bagi Andi namun dia masih enggan untuk beringsut dari tempat ternyamannya. Kehadiran bayi perempuan yang mungkin tidak diharapkan oleh ibunya atau mungkin ibunya tidak memiliki biaya untuk membayar rumah sakit ini membuatnya berpikir untuk menawarkan diri mengadopsi bayi itu dan setelahnya dia tidak lagi sendiri karena akan dipanggil Papa oleh si bayi.
Sementara kakaknya, Dewinta juga sedang menyusui Reyzan. Jadi setidaknya bayi itu tidak akan kehilangan ASI jika sang kakak bersedia untuk menjadi Ibu ASInya.
Sebaiknya Andi memang harus membicarakan kepada kepala rumah sakit kalau perlu untuk mendapatkan prosedur adopsi dan hak asuh perwalian atas bayi tersebut.
Belum juga melihat wajahnya tapi mengapa seolah dia sudah jatuh cinta kepada anak kecil yang belum genap berusia 24 jam itu.
Jemari tangannya kini bergerak diatas gawai pintarnya. Satu tema yang ingin dicarinya di dalam pencarian paling hits di dunia maya.
'nama bayi perempuan islami'
'nama bayi perempuan modern'
'nama bayi perempuan dan artinya'
Ada seutas senyum yang terbit di bibirnya saat Andi mulai berhasil merangkai sebuah nama. Semoga kenyataan nantinya yang di dapat bisa sesuai dengan harapannya.
"Nggak. Ibu nggak setuju!" kata Narni saat Andi menyampaikan keinginannya mengadopsi bayi yang ditinggal ibunya di rumah sakit kemarin.
"Ibu, Andi saja sebagai laki-laki tersentuh ingin merawat loh. Masa ibu sebagai wanita tidak tersentuh hatinya." Kata Andi pelan.
"Ini bukan masalah tersentuh atau tidak. Kamu itu dokter, memiliki jam kantor yang sangat tidak manusiawi, bahkan sampai harus menginap di rumah sakit. Kalau kamu ambil bayi itu siapa yang akan merawat? Lagian Jum'at sore harus terbang ke Singapura dan minggu malam baru sampai di Indonesia lagi. Nggak, ibu nggak setuju. Kecuali___" tidak perlu dilanjutkan Andi sudah bisa memprediksi kalimat selanjutnya yang keluar dari bibir ibunya.
"Sudahlah Bu, kalau ibu tidak menyetujui juga tidak masalah. Tapi tolong jangan terus-terusan merengek minta Andi untuk menikah. Andi pasti menikah tapi dengan orang yang pas." Jawab Andi dengan intonasi yang sama seperti sebelumnya.
"Orang yang pas? Bagaimana bisa pas kalau setiap dikenalkan dengan wanita kamu selalu menghindarinya?" jawab Narni semakin ketus.
"Sebentar, Ibu itu benar neneknya Kevka?"
"Kamu pikir?"
"Rasanya ibu dan Kevka nggak ada bedanya kalau ngambek begini. Nanti deh Andi beliin marsmellow di minimarket sebelah biar berhenti ngambeknya." Kekeh Andi yang kemudian memilih untuk meninggalkan sang ibu.
Tidak bisa dipungkiri, di usianya yang kini telah 33 tahun selalu dikepung pertanyaan kapan menikah? mau cari yang seperti apa? kerjaan ada, karir mapan, titel jangan ditanya lagi, penghasilan lebih dari cukup untuk bisa menghidupi empat istri. Jangankan empat, satu saja Andi memilih untuk ngibrit pergi setiap kali akan dikenalkan dengan wanita oleh ibunya.
Seminggu ini, Andi berusaha memenuhi kebutuhan bayi perempuan yang kini dirawat oleh para bidan dan perawat di rumah sakit. Susu, diapers, baju dan kebutuhan bayi lainnya dipenuhi oleh Andi semuanya. Bahkan dia membiasakan diri untuk memanggilkan Papa untuk bayi berusia 8 hari itu.
"Wah, Papa baby datang bawa susunya adik lagi ya?" sapa salah seorang suster yang kini sedang mengganti pakaian si bayi itu.
"Dokter, apa tidak sebaiknya diberikan nama untuk bayi ini. Kemarin kan dokter Andi yang mengadzaninya, membelikan kebutuhan untuk si baby, sudah seperti Papa angkat untuk dia. Berilah nama untuknya sebagai doa supaya kelak dia menjadi anak yang sholeha." Kata kepala perawat di kamar perawatan bayi dan anak-anak.
"Ayya." Jawab Andi singkat.
"Ayya?" ulang kepala perawat itu kepada Andi.
"Eh, maksud saya jika saya diberikan mandat untuk itu, maka___" Andi meraih bayi yang sudah siap untuk digendong itu ke dalam gendongannya kemudian mengusap kepala mungilnya, menciumnya seolah dialah Papa bayi itu.
"Abinayya Kahiyang Alfarizzy." Ucapnya kemudian mencium pipi bayi mungil itu kembali. "Sust, jika sudah siap untuk dilakukan tindik telinga kabari saya ya nanti saya siapkan untuk antingnya supaya orang tahu bahwa Ayya ini adalah bayi perempuan."
"Masyaallah, iya Dok."
"Satu lagi, pesankan nasi kuning lengkap dengan lauknya untuk makan petugas yang dinas di ruang rawat bayi dan anak-anak sebagai syukuran pemberian nama anakku yang cantik ini."
Kesepian yang mungkin membuat Andi menjadi sehangat ini untuk keberadaan bayi perempuan itu.
Siang harinya Dewinta datang mengunjungi Andi di rumah sakit. Itu pun dilakukan karena Andi yang memintanya untuk datang. Entah apa yang terjadi dengan adik laki-lakinya itu yang jelas dalam suara yang terdengar di sambungan telepon tadi pagi Andi memintanya untuk datang sendiri.
"Tolonglah Mbak, dia belum merasakan namanya ASI. Sebagus apa pun susu formula yang Andi berikan tidak akan bisa menggantikan peran ASI untuk imunitasnya."
"Ndi, masalahnya anak Mbak itu laki-laki semua. Bayi itu perempuan, mereka akan menjadi saudara sesusuan nantinya. Bagaimana jika dia diadopsi orang kemudian besar bertemu dengan Kevka atau Reyzan? Mbak nggak mau dosa itu kepada Mbak ya kalau sampai mereka saling jatuh cinta dan menikah." Jawab Dewinta yang berusaha untuk menolah permintaan adiknya yang terbilang nyeleneh.
"Kalau begitu bantu Andi dong Mbak, bantuin ngomong ke ibu kalau Andi siap mengadopsi Ayya. Selamanya dia akan menjadi adik dari Kevka dan Reyzan. Anak Mbak Dew kan cowok dua-duanya, biar di rumah ada cewek. Ibu pasti suka punya cucu cewek." Kata Andi.
"Ayya?" tanya Dewinta yang lebih fokus dengan nama bayi yang diucapkan Andi.
"Iya, Andi memberinya nama Ayya."
"Rasanya nggak asing dengan nama itu." Dewinta seperti sedang berpikir. "Oh iya, itu kan nama adik kecilmu waktu di Madura dulu. Yang bonekanya masih kamu simpan sampe sekarang di lemari itu kan?"
Andi tersenyum kecut mengingat kenangannya bersama Aya. Tidak ada yang paling membekas selain kemarahan Aya yang melempar boneka itu kepadanya saat dia merusakkan kakinya.
"Ayolah Mbak, tolong susuin Ayya dan bantu Andi untuk bicara kepada Ibu supaya Andi bisa mengadopsi Ayya, Andi akan siapkan baby sitter di rumah. Selama Andi kerja dia yang akan mengasuh Ayya." Tidak tega melihat wajah gusar adiknya membuat Dewinta akhirnya mau melangkahkan kaki di ruangan dimana Ayya sedang di rawat.
Bayi merah itu memang terlihat sangat cantik dengan bando merah yang menghiasi kepalanya.
"Halo anak Papa sudah cantik ya?" kata Andi menyapa Ayya yang kini sedang menggeliat ingin menangis. Sepertinya dia sedang haus dan membutuhkan susu secepatnya. "Ok, ini Budhe Dewi Sayang yang mau susuin kamu."
Andi menyerahkan Ayya kepada kakaknya. Awalnya Dewinta biasa saja namun setelah Ayya mulai mau menyusu di putingnya rasa sayang itu tiba-tiba menyeruak hadir. Mungkin iba yang mendera, berpikir bayi semerah itu sudah ditinggalkan oleh ibunya. Hati Dewinta seketika langsung menyatu dengan isapan Ayya yang menyusu di putingnya.
"Kakak akan membantumu." Benarkan bahwa kakaknya ini akan langsung jatuh cinta kepada Ayya saat melihatnya.
"Maturnuwun Mbak."
"Karena Mbak nggak bisa datang ke rumah sakit setiap hari, Ndi."
Setiap manusia pasti membawa takdir hidupnya sendiri-sendiri. Demikian juga dengan Ayya, bayi yang telah berusia satu bulan itu akhirnya telah resmi menjadi putri seorang dokter secara legal.
Dewinta yang pada akhirnya membantu Andi untuk membujuk ibunya dengan catatan Andi bersedia untuk dikenalkan dengan anak teman ibu mereka. Ah sudahlah, mungkin sudah saatnya Andi mengalah kali ini. Kenal bukan berarti akan cocok dan berakhir di pelaminan. Yang jelas ketika ada Ayya, Andi tidak akan meninggalkan bayi itu bermain sendiri saat dia tidak sedang bekerja atau sekolah.
Satu minggu ini Ayya telah menjadi penghuni resmi kediaman Agus Wondo. Bersama seorang baby sitter yang dibayar oleh Andi untuk mengasuhnya.
"Besok kita akan bertemu dengan Keluarga Citra, kamu siap-siap Ndi. Jangan bikin Ibu malu." Pesan Narni yang langsung di iyakan oleh Andi. Sesuai dengan kesepakatan bukan? Kemarin memang Narni telah memberitahukan foto Citra kepada Andi, sayangnya otak Andi tidak secepat kala dia menghapal rumus kimia atau nama obat dan penyakit untuk merekam wajah Citra dalam benaknya.
Sesuai dengan kesepakatan. Makan malam hari ini Andi bersama Narni di rumah makan yang telah disepakati mereka. Bahkan Agus Wondo yang biasanya enggan untuk mengikuti acara seperti ini, Ba'da maghrib telah siap juga dengan pakaian rapi.
Sejak adanya Ayya di rumah Andi memang mengusahakan bisa sholat maghrib di rumah. Setidaknya makan malam bersama keluarganya meskipun jika nanti masih diperlukan dia harus balik lagi ke rumah sakit namun keberadaan Ayya seolah menjadi magnet bagi dirinya untuk bisa meluangkan waktu longgarnya bersama putri tercinta.
Siap dengan pakaian casual, cropped pants yang menjadi favoritnya serta kaos oblong yang dibalut blazer sneakers memang pas untuk menunjang penampilannya malam ini.
Dengan senyum puasnya Narni menyambut putranya yang telah bersiap. Mengajaknya segera berangkat, namun Andi meminta Pak Amin untuk mengantarkan mereka.
"Pak Min, setiri mobilnya ya? Ke resto yang disebutkan Ibu." Kata Andi meminta sopir keluarganya untuk mengantar.
"Bukannya kamu yang setir mobilnya?" tanya Narni.
Andi hanya tersenyum kemudian pandangan mereka beralih kepada mbak Yuni, baby sitter yang mengasuh Ayya menghampiri mereka dengan Ayya yang sudah siap di gendongannya.
"Anak papa sudah siap?" tanya Andi kemudian mengambil alih Ayya untuk di gendongnya. "Ok, air panasnya sudah disiapkan ya Mbak?" Yuni mengangguk dan menyerahkan tas yang berisi popok, baju, susu juga perlengkapan Ayya kepada Andi.
"Andi__? Maksud kamu apa?" tanya Narni.
"Ok cantik, kamu temani Papa makan malam ya? Kita akan bertemu dengan tante kenalannya Uti. Semoga bisa sayang sama kamu juga." Kemudian Andi mencium pipi Ayya yang kelihatan kegelian akibat rambut tipis yang tumbuh di rahang Andi. "Ayya akan ikut, Bu."
"Kita mau makan malam, Andi." Geram Narni.
"Iya Andi tahu, ibu ingin wanita itu menjadi menantu di rumah ini kan? Dia bisa menerima Andi itu artinya dia juga harus bisa menerima Ayya sebagai anaknya." Jawab Andi.
"Andi__?"
"Jadi atau tidak? Kalau ibu keberatan Ayya ikut, Andi juga akan menemani Ayya di rumah."
Fix, kalah sudah Narni dengan otak cemerlang sang putra. Tidak semua wanita lajang bisa menerima keberadaan anak bersama calon suaminya apalagi bagi mereka yang belum pernah menikah. Meski Ayya bukan darah daging Andi namun melihat keakraban Andi seperti itu siapa yang percaya jika bayi perempuan itu bukan anaknya.
🥢👣
-- to be continued --
💊 ___ 💊
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
🙇♀️🙇♀️
Jazakhumullah khair
💊 ___ 💊
Mohon cek typo yaaaaa
Blitar, 04 April 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top