10🌵Paradigma Seorang Dosen Muda
بسم الله الرحمن الرحيم
This is part of their story
-- happy reading --
stay safe stay home
#dirumahaja
https://youtu.be/mwiF7CTyR18
🥢👣
TIDAK peduli untuk yang keberapa kali, seremonial wisuda memanglah sesuatu yang begitu dinanti oleh setiap mahasiswa yang telah menutup masa studinya.
Begitupun dengan Bhatari Ratimaya, kelulusannya kali ini adalah keberkahan yang ļuar biasa. Karena selain mendapatkan tambahan gelar baru di belakang namanya seminggu sebelum ini Aya dinyatakan telah lolos dari beberapa tahap ujian dan segera akan mengikuti CPNS sebagai seorang dosen.
Luar biasa, rezeki yang tidak pernah dinyana darimana datangnya. Jika Allah telah berkehendak semuanya menjadi mudah.
Kepulangan ke kampungnya juga merupakan hal yang begitu ditunggu oleh kedua orang tuanya. Meski tanpa dikatakan, Aya tahu bahwa keduanya sangat membanggakan dirinya. Terlihat dari raut muka dan senyum bahagia kedua orang tuanya.
Allah, beginikah indahnya memiliki karunia orang tua yang masih utuh. Hingga sebesar apapun kita, cinta dan kasih sayang mereka tidak pernah luntur.
Dua tahun dan tiga bulan, lebih tepatnya Aya menyelesaikan semuanya dengan sangat sempurna. Dan kepulangannya kali ini namanya menjadi Bhatari Ratimaya, M. Acc.
"Waduh Pak Adhi, bahagia ya Pak rasanya. Baru kemarin Dik Gita berangkat untuk kuliah. Sekarang Mbak Aya sudah kembali dengan gelar baru ditambah lagi langsung diterima menjadi dosen dan mengajar di universitasnya dulu di Malang." sapa salah seorang warga yang datang untuk memberikan ucapan selamat.
Begitulah kehidupan di desa, tanpa ada undangan pun ketika tetangga merasakan bahagia mereka akan saling bersilaturahim hanya sekedar memberikan ucapan selamat. Sayangnya, kegiatan positif itu kadang menjadi ajang untuk nyinyiran lambe-lambe turah yang sepertinya tidak akan putus membuat bahan biasa menjadi gosip wow yang terkadang justru menyakiti orang yang mereka bicarakan.
"Alah, biasa to sebenarnya jadi rahasia umum juga kalau pegawai negeri itu bisa karena ada uang pelumas, uang pangkal atau pelicin. Jaman seperti sekarang rasanya haram saja kita bisa masuk jadi pegawai negeri tanpa hal itu." kata salah seorang dari mereka sambil berbisik pada orang di sebelahnya.
Racun tetaplah racun, diperbaiki seperti apapun jika itu sudah menjadi wataknya akan sangat sulit.
Basagita Arindana memang baru saja berangkat untuk menimba ilmu yang diinginkan ke Kota Pahlawan. Ini menandakan bahwa tidak mungkin dia bisa pulang setiap minggu sekali karena memang berbeda daerah dan kegiatannya sebagai seorang mahasiswa baru pasti akan jauh lebih banyak. Mulai dari pengenalan kampus, ospek berbagai lini, penyesuaian studi di universitas dengan jamannya pada waktu kuliah. Sepertinya masih banyak lagi yang tidak terinci dengan jelas. Dan tentu saja capek adalah alasan bagi Gita untuk memutuskan tinggal sementara di kamar kostnya saat weekend datang.
Adhi berpikir cukup realistis, kedua putrinya akan memperoleh jalan hidupnya masing-masing. Jika Aya memilih jalur ekonomi dan akuntansi sebagai masa depannya, dia pun berpasrah saat Gita memilih psikologi sebagai ilmu terapan yang mungkin akan menjadi pintu untuknya melangkah mengikuti jejak kakaknya.
Bukan berarti Adhi memaksa kedua putrinya menjadi tenaga pengajar sepertinya, istri dan juga Aya yang memilih di jalur kesamaan meski mereka berbeda lini.
Namun menurutnya, sebagai seorang guru jiwa mereka akan selalu terasah. Dengan harus belajar itu artinya mereka bisa membuka cakrawala dunia ke dalam genggaman. Menjadi sosok yang haus tentang pengetahuan namun tetap bersikap santun kepada orang yang dituakan, bahkan menghargai orang yang lebih muda dari mereka.
"Ayah, selepas ini mungkin Aya juga akan kembali kost di kota. Kalau harus melaju dari rumah sepertinya akan sangat berat." kata Aya saat dia sedang menikmati makan malamnya bersama kedua orang tuanya.
"Iya, memang sebaiknya seperti itu. Tapi biar bagaimanapun mulai sekarang kamu harus bisa berhemat. Berhemat bukan berarti pelit, terlebih untuk dirinya sendiri. Menikmati hidup bukan berarti harus bergaya hidup mewah." Pesan Adhi kepada Aya.
"Nggih, Yah."
"Jika memang ingin invest, beli perumahan saja Nduk di kota supaya uangmu tidak habis untuk biaya kost." kata Ibunya Aya.
"Masalahnya Aya ya nggak punya uang untuk langsung membeli rumah to Bu. Masih juga CPNS belum prajab. Inshaallah kalau memang memungkinkan nanti pasti ada jalannya Allah memberikan rezeki itu."
Tidak banyak memang perbincangan diantara mereka namun cukup berkualitas dengan adanya keterbatasan itu.
"Mulai sekarang, pikirkanlah untuk membuka hati atas ajakan pria yang ingin mengenalmu lebih jauh." Kata ibunya lagi.
"Ibu, Aya masih juga dua puluh lima tahun. Masih ingin membahagiakan ayah dan ibu, masih ingin bersama kalian." Jawab Aya.
"Ayah dan Ibu jauh akan lebih bahagia jika kamu mau segera menikah anakku. Atau kalau kamu belum ada calon, kami bersedia untuk mencarikannya untukmu." Masalahnya bukan pada calon, Aya masih belum bisa mengganti nama di hatinya dengan nama orang lain yang mungkin nantinya akan memberikan warna tentang hidup dan masa depannya.
Sayangnya Aya terlalu pesimistis. Mengharapkan kehadiran andi itu laksana mencari jarum di tumpukan jerami. Haruskah dia berpasrah bahkan sebelum memulai untuk berperang.
Beberapa kali Aya memberikan kode kepada kedua orang tuanya bahwa hingga saat ini hanya Andi yang ditunggu dan dia harapkan menjadi pasangan sehidup sesurganya.
Sesungguhnya bukan Aya tidak ingin berusaha. Selama di Jogja dia telah banyak bertanya. Bahkan sampai mendatangi dinas kependudukan dan catatan sipil. Tapi tahu sendiri kan bagaimana etos kerja lembaga pemerintah yang menangani tentang kependudukan itu?
Mungkin terlalu banyak excuse sehingga membuat pengguna jasa merasa kurang nyaman. Meski tidak semua seperti itu namun rata-rata demikianlah adanya.
"Apakah masih mungkin dia masih belum menikah? sementara jika melihat usianya pasti sudah lebih dari 30 tahun." kata Aya pelan sambil menatap langit-langit di dalam kamarnya.
"Mas Andi, kamu dimana? mengapa tidak mencoba untuk mencariku. Atau aku harus membuat gebrakan dulu supaya terkenal hingga akhirnya kita dipertemukan? Siapa tahu nanti ada media elektronik yang mengundangku dan kamu melihatnya." angan Aya. Ah tapi mungkin saja tidak melihat, secara jaman segara kan fungsi televisi telah tergantikan dengan aplikasi berbayar dan masyarakat umum bisa mengisinya dengan berbagai konten yang menarik.
Menempati fungsi baru, yang semula duduk dan mendengarkan sekarang beralih menjadi berdiri dan didengarkan. Menjadi seorang guru dari para mahasiswa, dosen baru dengan wawasan yang baru.
Selisih usia yang tidak seberapa banyak dengan mahasiswanya membuat Aya bisa diterima di kalangan millenial yang memang pertumbuhan mereka jauh berbeda dengan jamannya dahulu. Guru bukanlah sebagai sosok yang digugu lan ditiru, tetapi sudah beralih fungsi menjadi sahabat yang bisa diajak curhat. Bahkan bisa juga kena prank ala anak millenial seperti sekarang.
"Bu Aya, pengantar akuntansi tulisan Carl S. Warren ya?" tanya seorang mahasiswa laki-laki. Pengantar akuntansi jelas diterima mahasiswa di semester awal mereka diterima menjadi seorang mahasiswa alias semester 1 atau semester 2.
"Sebenarnya banyak penulis yang bagus tapi mungkin untuk quiz yang akan saya berikan nanti silakan kalian mencari referensi di buku karangan beliau, Carl S. Warren." Jawab Aya.
"Baik Bu."
"Bu Aya, empat tahun lagi pasti nama Bu Aya tertulis di buku seperti Carl S. Warren bersama saya." ucap Andre dengan cengiran khasnya.
"Aamiin, tapi kenapa mesti sama kamu Ndre?"
"Iyalah Bu, kalau Carl S. Warren kan untuk buku pengantar akuntansi kalau kita buku nikah." Nah kan, nah kan, beginilah cara mereka berkomunikasi dengan guru yang semestinya digugu lan ditiru, sedikit bergeser mengapa sekarang jadi digugu lalu diajak turu?
"Kamu minta ditambahi detensi Ndre?" tanya Aya sambil berlaga seolah sedang marah namun bukannya membuat Andre dan yang lainnya takut malah menurut mereka Aya terlihat semakin menggemaskan.
"Bu, ini jari apa?" tanya Alfian sambil nunjukin jari manisnya kepada Aya.
"Kamu sudah mahasiswa loh Yan, masa itu saja nggak ngerti jari apa. Jari manis kamu kenapa?" kata Aya.
"Nah sebenarnya ini hanya jari Iyan saja Bu, manisnya sudah sama Bu Aya kalau pura-pura marah seperti ini." seluruh kelas tertawa bahagia mendengar celoteh Alfian. Sudahlah biar bagaimanapun Aya tetap kalah melawan seluruh mahasiswanya dalam kelas. Bukan maksud mereka untuk melecehkan namun mereka hanya berusaha untuk dekat dengan Aya sebagai dosennya.
Masa yang paling menyenangkan bagi seorang guru adalah bertemu murid dan bisa membagi ilmu yang dia peroleh kepada mereka. Melihat mereka selalu bersemangat menatap masa depannya. Disitulah Aya merasa menjadi orang yang beruntung bisa mengantarkan mereka menuju gerbang kehidupan mereka yang sebenarnya.
Rutinitas dan aktivitas yang telah Aya geluti terkadang membuatnya terlupa, bahwa dia juga seorang wanita yang memiliki batas usia produktif.
Semenjak prajab dan Aya begitu aktif di jurusan membuatnya menjadi seorang dosen muda yang penuh talenta. Bukan hanya mahir mengajar di dalam kelas namun Aya memang lihai untuk menempatkan diri sebagai pioneer untuk melakukan banyak perubahan baik untuk administrasi mau pun tata kelola jurusan yang menurutnya sudah tidak relevan dengan keadaan masa kini.
Cara mengajarnya pun cukup aktif dan interaktif bersama dengan seluruh mahasiswanya.
"Aya mau sampai kapan lagi kamu sendiri. Semakin ke sini bukannya semakin muda kita itu justru semakin tua." Kata Adhi Prasojo ketika Aya pulang ke rumah.
"Iya Yah, Aya tahu itu tapi memang Aya masih belum ingin berhubungan dengan laki-laki tolong untuk bisa dipahami." Jawab Aya dengan penuh hormat.
Bukan mendebat orang tuanya namun berbicara sesuai dengan hati sepertinya lebih membahagiakan daripada harus berpura-pura untuk menutupi semuanya.
"Ayah tidak mungkin memberikan ultimatum segera."
"Jodoh itu datang pada saat yang tepat, percayalah Ayah. Pasti ada nanti satu laki-laki terbaik sebagai jodoh Aya. Lagian usia Aya baru menginjak 27 tahun dan sepertinya untuk saat ini Aya lebih tertarik untuk mengambil program doktoral terlebih dulu sebelum menikah. Sehingga nanti setelah menikah bisa fokus untuk mengajar dan keluarga." Jawab Aya sekali lagi.
Kening Adhi berkerut, berbicara bersama putri sulungnya ini memang harus dengan sebuah literasi yang cukup supaya tidak sampai kehabisan kata. Padahal dua hari yang lalu Adhi menerima seorang tamu, dosen juga yang bermaksud untuk membina hubungan serius dengan Basagita, putri bungsunya.
Jika Basagita telah ada yang meminang mengapa justru seolah jodoh Aya seperti tenggelam ditelan bumi? Allahu, Adhi semakin serba salah. Sesuai dengan ajaran agama yang dia yakini bahwa tidak ada hak bagi seorang ayah untuk menghalangi jodoh setiap putrinya. Jika lelaki yang datang bermaksud meminang itu telah baik nasab, agama dan berpenghasilan untuk menjamin kehidupan putrinya dan sang putri telah ridho menerimanya sebagai suami apalagi selain menjalankan tugas terakhirnya sebagai orang tua yaitu menikahkan.
"Cobalah untuk berfikir realistis Aya, jika titelmu semakin bertambah apalagi sudah bergelar doktor. Apa tidak membuat takut laki-laki yang akan mendekatimu?" tanya Adhi hati-hati, takut menyinggung perasaan putrinya.
"Tidak akan ada rasa takut jika mereka sudah dijodohkan oleh Allah, Ayah."
"Dan Ayah tidak ingin kamu menjadi Zahrana. Ingat film Indonesia yang biasa kamu tonton dulu. Akhirnya dia dinikahi oleh Hasan, mahasiswanya." Kata Adhi menutup percakapan mereka. Tidak bermaksud untuk menyampaikan berita yang dibawa adiknya karena memang bukan tentang itu inti percakapan mereka. Sayangnya ibunda Aya tidak paham maksud Adhi hingga dia harus membuka masalah itu untuk menjadi konsumsi Aya.
"Dua hari yang lalu, ada seorang dosen datang kemari. Sepertinya beliau tertarik untuk meminang adikmu." Kata ibu Aya yang mendapatkan helaan nafas berat dari Adhi Prasojo.
"Iya kah Bu?"
"Untuk apa Ibu berbohong, itu sebabnya kami memang berkeinginan supaya kamu bisa menikah dulu dibandingkan adikmu. Selisih usia kalian 6 tahun rasanya sedikit wagu di desa jika Gita yang menikah lebih dulu melangkahi kakaknya." Kata Ibunya sekali lagi.
Aya menghela nafas dalam-dalam, "Jika Gita bersedia untuk menerimanya ya nggak apa-apa to Bu dia yang menikah lebih dulu. Menikah itu bukan masalah cepat atau lambat. Menikah itu harus pada saat hati telah pas dan tepat untuk bisa menerima orang lain menjadi orang yang nantinya akan kita hormati juga kita patuhi."
"Tapi Nduk, hidup kita ini di desa__"
"Di desa ataupun di kota juga akan tetap sama Bu. Kalau kita sudah memegang islam sebagai pedoman tidak perlu lagi mendengarkan admin lambe turah yang bergelar sebagai tetangga. Aya ikhlas jika Gita menikah lebih dulu karena memang jodoh dia didatangkan lebih dulu oleh Allah." suara Aya memang masih sama tidak ada getaran yang berbeda itu artinya memang suara hatinya adalah yang dikeluarkannya saat ini.
Aya masih punya mimpi yang harus di raih, mungkin Allah mendengarkan doanya hingga membuatnya harus bersabar menunggu waktu itu tiba.
Sementara di belahan bumi yang berbeda. Adalah Andi yang masih berkutat dengan pekerjaan yang sama. Pendidikan subspesialis yang diambilnya justru membuatnya semakin sibuk dengan tambahan pekerjaan yang pada akhirnya secara otomatis dibebankan kepadanya. Ditambah untuk subspesialis tulang belakang yang diambil belum terlalu banyak dokter yang sejalur dengannya.
Sehingga untuk beberapa case pembedahan khususnya urgency spine case pasti akan ada pasien rujukan dari luar rumah sakit tempatnya bekerja untuk bisa ditanganinya. Ditambah lagi, tahun ini dia dinobatkan sebagai ketua IDI untuk wilayah Provinsi DIY bukannya berkurang, aktivitas itu akan semakin menggila.
"Allahuakbar, duh gusti pangeran kulo nyuwun pangapura." Rintih suara Narni yang akhirnya tidak habis pikir dengan pola pemikiran putra bungsunya.
Usia sudah lebih daripada cukup untuk berumah tangga mengapa sampai sekarang Andi tetap memilih berkencan dengan para pasien di meja operasi dan juga buku-buku tebal yang selalu menjadi makanan setiap hari untuk mata minusnya.
"Ibu wes kentekan ukara. Digolekne bojo malah saiki daftar sekolah doktor. S3-mu kuwi ra kanggo dinggo daftar neng KUA cah bagus. Tanpa kuwi KUA yowes isa nampa." Lelehan air mata Narni tak kunjung membuat hati Andi menjadi terbuka untuk segera mengakhiri masa lajangnya. -- Ibu sudah kehabisan kata-kata. Dicarikan istri malah sekarang daftar sekolah doktor. S3-mu itu tidak akan dipakai untuk daftar di KUA tanpa itu pun KUA pasti bisa menerima --
"Nyuwun duka Ibu, itu juga masih di Jogja tidak keluar negeri lagi." -- mohon maaf --
"Mbuh wes, ibu gela." -- tidak mau tau, ibu sudah kecewa --
Begitulah yang namanya orang tua. Mereka akan selalu mengkhawatirkan kondisi anak-anaknya. Namun terkadang sebagai anak kita tidak pernah mau mengerti betapa mereka menyayangi kita lebih daripada yang kita tahu.
🥢👣
-- to be continued --
💊 ___ 💊
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
🙇♀️🙇♀️
Jazakhumullah khair
💊 ___ 💊
Mohon cek typo yaaaaa
Blitar, 01 April 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top