07 🌵 Gerbang Pertama

بسم الله الرحمن الرحيم

This is part of their story
-- happy reading --

🥢👣


Mentari cukup berbinar menampakkan siluet merah batanya di ufuk timur. Bersama dengan cicitan burung gereja yang kini mulai mengepakkan sayap menghiasi angkasa. Rimbunan dedaunan yang seolah saling berpeluk mengatakan bahwa mereka sedang menguatkan paru-paru dunia.

Pagi ini, sejarah baru untuk kehidupan Bhatari Ratimaya. Prosesi pemindahan tali toga itu tentu sangat diharapkan oleh setiap mahasiswa. Begitu juga dengan Aya pagi ini. Dengan sapuan make up tipis yang membuat wajahnya semakin berseri. Ditambah lagi panggilan beasiswa prestasinya untuk langsung melanjutkan pasca sarjana. Meskipun bukan di luar negeri namun cukup membuat Aya bersyukur tiada henti.

"Selamat Ay," kata Reyhan yang kini juga sedang mengenakan pakaian kebesaran berwarna hitam itu.

"Terima kasih, selamat juga untukmu."

Aya memang tidak pernah memberikan harap apapun kepada Reyhan yang memang benar-benar menampakkan keseriusan dengan perhatian dan hatinya. Tidak, masih ada yang harus Aya selesaikan daripada mengurusi masalah hati yang menurutnya akan menghambat cita-citanya ke depan.

"Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau kenyataannya justru membuatnya dijauhi oleh banyak lelaki?"

"Percuma Aya, sekolah tinggi toh akhirnya perempuan akan kembali ke dapur, meramaikan kasur dan membuat sumur selalu makmur."

"Wong wadon iku sing penting iso macak, masak lan manak." --perempuan itu yang penting bisa berdandan, memasak dan melahirkan--

Oh Indonesia dengan keanekaragaman budaya dan indahnya pemandangan alam yang dimilikinya. Mengapa juga harus ditambah dengan mulut usil tetangga yang jelas tidak memberikan nilai tambah untuk kehidupan kita.

Andai saja 'guneman' tetangga itu bisa dijadikan bahan bakar kendaraan tentu negara kita tercinta ini akan semakin padat merayap. Karena tidak akan pernah terjadi kelangkaan bahan bakar selama mulut usil tetangga masih selalu ada.

Aya hanya membalas semuanya dengan senyuman tentunya, apalagi? Diam dan menerima itulah sebabnya mengapa dia enggan untuk bersosialisasi dengan lingkungannya. Terlalu ekstrim dan berbahaya jika dirinya harus ikut terjerumus masuk ke dalam bagian tersebut.

Bukan karena kesombongan atau tingkatan pendidikan yang berbeda. Hanya saja Aya merasa kurang nyaman dengan tema perbincangan mereka yang suka sekali bergunjing bahkan kadang temannya bergunjing seringkali dijadikan tema untuk bahan pergunjingan dengan yang lainnya.

"Aya, gimana jadi nikah kapan? sama siapa?" tanya tetangganya sekali lagi.

Mengapa semua menjadikannya seolah sebagai bintang yang harus diketahui semua kehidupannya secara detail. Bukankah artis pun juga ingin memiliki ranah privasi yang tidak ingin diganggu oleh siapa pun juga.

Hanya ingin menyapa? banyak sekali pertanyaan namun mengapa harus memilih kalimat tanya itu. Biasa menurut orang lain belum tentu biasa untuk Aya karena kadar hati setiap orang selalu berbeda.

"Adikmu juga perempuan loh Ay, jangan sampai nanti malah di dahului adiknya. Pamali."

Sekali lagi Aya hanya bisa tersenyum. Menjawab pun tidak akan menambah atau meninggalkan kesan yang baik untuk mereka.

Aya kembali berkemas, bukan untuk kembali pulang namun dia harus berangkat ke luar kota untuk mengurus segala keperluannya untuk melanjutkan sekolah. Estafet belajar, hari ini tidak ada pemikiran yang lainnya. Hanya untuk segera menghilang dari berbagai pertanyaan yang membuat hatinya sedikit meradang.

Jika masih belum menginginkan dan merasa belum mampu mengapa harus dipaksa. Itu yang selalu ditekankan oleh Aya.

Baiklah Aya hanya cukup berbakti kepada orang tuanya. Menyelesaikan kembali pasca sarjananya dengan hasil yang memuaskan, memperoleh pekerjaan baru setelahnya akan berpikir tentang pendamping hidup. Allah sudah menciptakan segala sesuatu itu berpasang-pasangan. Lalu apa lagi yang harus dirisaukan. Berdoa dan berusaha saat waktunya tiba.

"Bukan berarti Mbak Aya menunggu mas Andi yang entah dimana sekarang rimbanya?" tanya Gita saat dia memilih untuk mengantarkan kakaknya saat mencari kost.

Bukannya menjawab Aya justru lebih asyik memindahkan beberapa helai pakaian yang dibawanya dalam koper ke lemari yang tersedia di dalam kamarnya. Kota ini tidak sedingin kotanya terdahulu, tapi rasanya berada di kota budaya ini membuat hatinya merasa lebih tenang. Terlebih karena kota ini merupakan tempat lahir laki-laki yang selama ini banyak menyita perhatiannya.

Mungkin benar kata-kata adiknya bahwa Aya masih menunggu. Andi Alfarizzy, seorang kakak yang kini telah berganti tempat di hatinya. Entah sejak kapan, mengingat semua tentang Andi seolah ada segunung rasa bersalah mengapa dulu dia tidak pamit terlebih dahulu. Mengapa harus meninggalkan dalam keadaan marah.

Namun bisakah dimengerti kala anak-anak menjadi masa dimana kadang tawa dan marah itu sebagai bumbu persahabatan mereka.

Sahabat yang akhirnya menjadi cinta, namun hanya bertepuk sebelah tangan. Memilukan!

"Mbak, jalan-jalan yuk. Belum Jogja rasanya kalau tidak berada di Malioboro." Ajak Gita saat melihat kakaknya telah selesai berberes.

"Kaya kucing saja," jawab Aya.

"Kok kucing?"

"Iya kucing, mereka pasti akan mengencingi tempat yang pernah dilaluinya supaya dapat membau dimana dulu pernah menjadi daerah jajahannya." Jawab Aya ringan.

"Iya kali aku mau kencing sembarangan di Malioboro, bisa ditangkep satpol PP ini. Atau kalau enggak ditangkep sama komunitas pedagang asongan disana. Ayolah, masa iya aku ke Jogja tanpa Malioboro. Ibarat sayur nih nggak ada garamnya, hambar. Lagian siapa tahu nanti bisa bertemu dengan Mas Andi. Kan lumayan, Mbak Aya bisa melebur rasa rindu dan ngungkapin cinta di sana. Uluuhh, romantis sekali." mulut Gita ini memang cuma satu tapi kalau sudah bicara bisa mengalahkan sepuluh mulut di sekitarnya. Itu sebabnya mengapa gadis supel ini memiliki banyak teman.

Sikapnya yang lebih terbuka daripada Aya membuat teman Gita betah berada di dekatnya. Kadang memang gurauan receh itu diperlukan dalam sebuah perbincangan. Bukan untuk menggombali namun untuk membuat suasana menjadi hidup.

Teman yang gila pun sebenarnya sangat dibutuhkan untuk menghidupkan suasana. Bukan hanya teman yang serius saja. Kalau hanya serius, sebenarnya kita bercanda atau sedang kuliah?

Tapi berbicara tentang Jogja, mungkin bukan hanya di Jogja di tempat lain pun akan seperti fenomena ini. Banyak orang Jogja yang bahkan enggan untuk sekedar berkunjung ke Malioboro, bukan karena tidak cinta. Hanya saja karena malas jika harus terjebak kemacetan untuk bisa sampai di jalan paling fenomenal di kota budaya ini.

Kota yang memiliki tagline, kota berhati nyaman. Bukan kota berhati nyaman(tan) kan?

Menuruti permintaan Gita, maklumlah ABG mungkin perlu foto hits untuk bisa di upload di sosmednya untuk sekedar pemberitahuan atau bahkan legitimasi diri. Bahwa pernah berada di sebuah daerah yang wow sekali atau melakukan kegiatan yang dianggap kekinian.  Bahkan mungkin hanya untuk koleksi foto saja sebagai pelengkap album galeri.

Fix, dua wanita itu kini menikmati sapuan pemandangan yang disuguhkan oleh kota itu.

"Mbak, fotoin di sana dong." Nahkan sesuai dengan prediksi Aya sebelumnya. Gita tetaplah Gita, gayanya saja bicara siapa tahu bertemu dengan Andi di sini, ternyata dia sendiri yang butuh untuk mengumpulkan pose-pose absurdnya.

Gawai Aya bergetar. satu nama tertera di sana. Siapa lagi jika bukan super heronya.

"Ayah."

"Kamu lagi dimana, ramai sekali kelihatannya." tanya Adhi Prasojo.

"Ini nganterin Dik Gita jalan-jalan di Malioboro."

"Wah nanti kalau Ayah besuk kamu diajakin jalan-jalan juga ya di Malioboro. Katanya di sana naik becak kemana-mana hanya 10 ribu rupiah. Murah sekali." kata ayah Aya.

"Iya, hanya 10 ribu tapi kita diajak belanja Ayah, nah dari sebagian uang belanja yang telah kita bayarkan itu diberikan kepada tukang becak sebagai fee. Jadi semakin kita banyak belanja semakin banyak pendapatan mereka."

"Lo memang begitu to nduk? baru tahu Ayah kalau seperti itu."

"Ya memang seperti itu Ayah. Sudah jadi rahasia umum." Jawab Aya kemudian keduanya berbincang tentang pendidikan dan kebutuhan Aya lainnya sebagai mahasiswa baru di Jogja.

"Sudahlah Ayah tidak perlu khawatir. Aya ini memang mahasiswa baru tapi bukan lagi ABG yang baru lulus SMA." Kekeh Aya saat sang Ayah mulai mengkhawatirkan keadaannya. Ini adalah kali pertama untuk Aya sekolah sedikit jauh dari keluarganya. Butuh waktu kurang lebih 7 sampai 8 jam untuk bisa sampai ke Jogja dari tempat tinggalnya.

Adhi sebenarnya ingin mengatakan sesuatu namun seolah terbersit keengganan mengingat anaknya adalah seorang wanita. Sungguh, dalam hati sebenarnya dia menginginkan Aya bisa mencari keberadaan tempat tinggal tetangganya dahulu sewaktu di Arosbaya. Hanya saja perasaan sungkan dan tidak enak hati menjadi raja yang membuat bibirnya bungkam.

Mungkin akan lebih tenang perasaannya jika Agus Wondo ataupun Narni mengetahui bahwa putri kecilnya yang juga disayangi oleh tetangganya itu kini berada di Jogja. Siapa tahu mereka sudah berdinas lagi di Jogja. Karena sejak kepindahan Adhi ke Malang memang tidak ada lagi komunikasi dengan Agus Wondo.

"Ayah__" kata Aya saat Adhi memilih diam untuk beberapa saat.

"Ya__?"

"Ayah mengapa diam. Ada sesuatu yang ingin Ayah sampaikan kepada Aya?" tanya Aya kemudian.

"Hmmm, sesungguhnya ini mungkin kurang patut tapi tidak ada salahnya Aya."

"Maksud Ayah?"

"Abâ'na èlèng keluarga Pak Agus?" tanya Adhi dengan menggunakan bahasa madura yang sedikit Aya mengerti. -- kamu ingat keluarga Pak Agus? --

"Iyâh Yah èlèng, arapah klabân keluarga Pak Agus. Agus Wondo maksodna?" tanya Aya. -- Iya Yah ingat, mengapa dengan keluarga Pak Agus, Agus Wondo maksudnya? --

"Sarèh è kassah." -- Carilah di sana --

"Untuk apa Ayah?" tanya Aya.

"Siapa tahu beliau sudah kembali ke Jogja Nduk. Tidak ada salahnya menyambung silaturahim kembali. Mereka menyayangimu, pasti akan mengingatmu saat menyebutkan nama Ayah. Carilah, Ayah akan tenang jika kamu dekat dengan keluarga setidaknya orang yang telah menganggap kita sebagai keluarga." Pesan Adhi kemudian menutup panggilannya setelah mereka saling mengucapkan salam.

Mencari keluarga Agus Wondo? kemana?

Bertanya di setiap polres atau polsek? Tidak itu membuat malu Aya. Belum lagi nanti akan ditanya dengan berbagai macam pertanyaan oleh polisi yang dia tanya. Sudah seperti tersangka yang sedang di introgasi saja, tidak. Aya tidak akan melakukan itu.

Tapi jika dia bisa menemukan keluarga Agus Wondo artinya bukan hal yang sulit lagi untuknya bertemu dengan seorang Andi. Ego mengalahkan logika, lagi-lagi Aya harus menekan logikanya untuk memenangkan ego yang dia punya.

Sekolah dan hanya ingin secepatnya mendapatkan gelar pascasarjana yang akan dia tempuh.

"Kenapa Mbak Aya nggak nurut perintah ayah saja sih?" ucapan Gita menyadarkanku saat kami sedang menikmati sajian batik yang di pajang di gantungan. Seolah itu adalah sesuatu yang harus dibeli untuk oleh-oleh khas Jogja.

Pasar terhits dengan batiknya? Pasar Bringharjo yang terletak di Jl A. Yani Yogyakarta.

"Perintah apa?"

"Itu untuk mencari keluarga om Agus, siapa tahu nanti bisa bertemu langsung dengan mas Andi." Aya tidak menanggapi ocehan Gita. Namun bukan Gita namanya yang mudah menyerah dengan satu rayuan saja.

"Lagian om Agus itu kan kapolsek Mbak dulu, meski bukan di sini. Tapi dia pejabat. Siapa tahu loh famous juga di sini. Coba nanya deh ke polres. Mbak yang nanya aku yang bisa ngeceng polisi muda kan, siapa tahu dapat cantolan di sini."

Aelah modusnya ABG terbaca sekali. Jika enam belas tahun yang lalu beliau sudah menjadi kapolsek sekarang sudah menjabat sebagai apa. Apa iya masih mengingat dengan baik tentang dirinya?

Memikirkan itu seperti membuat pertanyaan yang tidak akan pernah terjawab. Aya terlalu takut berspekulasi, bukankah sebagai seorang investor yang baik dia juga harus berani memainkan risk. High risk high return, setidaknya itu pernah dipelajarinya di bangku kuliah sebelumnya. Namun tentang hati? Aya memilih untuk berjalan sesuai dengan alurnya, going the flow.

"Atau perlu Gita yang tanyakan ke polres yang ada di Jogja ini? Ah Mbak Aya ini  kalau cinta ya diperjuangkanlah. Jangan hanya diam saja. Berdoa itu diimbangi dengan usaha, supaya tidak menjadi orang buta atau tuli." Gita tetaplah Gita dengan semua sabdanya, yang sayangnya memang ucapan Gita banyak benarnya hanya saja Aya memilih untuk diam. Sekali lagi, logikanya terkalahkan oleh ego padahal hatinya juga sangat menginginkan bisa bertemu dengan kakak dimasa kecilnya dulu.

Cukup 2 hari ini Aya direcoki Gita dengan semua celotehan panjangnya. Malam ini dia mengantarkan ke stasiun untuk Gita kembali ke kota kelahiran mereka. Dan biarkanlah Aya yang kini menguntai angan bersama asanya di kota yang mungkin akan membaca cerita baru dalam penggalan kisah hidupnya.

Berharap bahwa hidup tidak hanya berpikir tentang sebuah keinginan tetapi juga melangkah bersama kenyataan di depan mata. Tidurnya telah begitu panjang. Kini saatnya dia bangun untuk merenda masa depannya.

Ceria bersama langkah kecilnya, meski sesekali dia harus menoleh ke belakang. Namun di depannya pasti akan jauh lebih menyenangkan dengan berbagai macam pemandangan yang menyejukkan mata.

Selamat datang masa depan bersama Yogyakarta.

"Hai, mahasiswa pasca?" ini gedung pascasarjana bukan? kalau seorang dengan pakaian rapi dan juga tas yang tersampir dipundak dan mencari ruang baru untuk kuliah, rasanya tidak perlu ditanyakan lagi apakah dia mahasiswa atau bukan.

"Aku Heru Wiryaatmaja. Kamu?"

"Aya, Bhatari Ratimaya." Menolak untuk bersalaman bukan berarti Aya tidak menghormati lawan bicaranya namun sebuah komitmen yang harus selalu dia jaga.

"Magister akuntansi?" tanya Heru kembali.

"Iya," jawab Aya singkat.

"Akuntansi Multiparadigma?" ada kerut di kening Heru ketika bertanya ini.

"Iya," jawaban singkat Aya membuat senyum Heru kini mulai merekah.

"Oke, kita sekelas. Kuliah dipindahkan ke ruang A22," kata Heru kemudian mengajak Aya untuk berjalan menuju kelas mereka.

Purnama membayang, inikah sebuah hilal perjalanan hidupnya akan mendekat dengan kata yang seringkali disebut orang sebagai jodoh.

Wallahualam bishawab.

🥢👣

-- to be continued --

💊 ___ 💊

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
🙇‍♀️🙇‍♀️

Jazakhumullah khair

💊 ___ 💊

Mohon cek typo yaaaaa

Blitar, 07 Maret 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top