04🌵Secercah Asa Masa Depan

بسم الله الرحمن الرحيم

This is part of their story
-- happy reading --

🥢👣

-- PoV Andi Alfarizzy --

Menapaki jalan yang sedari dua minggu kemarin telah menjadi keseharianku. Menjadi mahasiswa baru di kampus paling bergengsi di Indonesia. Fakultas dengan peminatan yang cukup luar biasa. Menjadi satu dari sekian puluh mahasiswa yang tersaring melalui ujian masuk perguruan tinggi negeri merupakan hal yang paling membanggakan.

Ospek jurusan yang cukup membuatku lelah. Serasa patah seluruh tulang belulang. Memiliki dua kampus paling fenomenal di Depok dan Salemba. Cukup membuatku sering wara wiri di dua tempat yang lumayan jauh jika harus ditempuh dengan jalan kaki. Ditambah dengan panas, polusi serta kemacetan di jalan raya yang sudah menjadi sahabat ibukota negeri Indonesia tercintah ini setiap harinya.

Dulu tidak pernah sekalipun aku bermimpi untuk menjadi seorang yang nantinya bekerja dengan memakai jas putih. Berteman dengan stetoskop dan akrab dengan spuit.

Sejak peristiwa patahnya kaki nina bear milik Aya yang dilempar kepadaku tujuh tahun silam membuat tujuan hidupku berbalik seketika itu.

Anak kolong yang memilih untuk berada di jalur putih bersama paramedis dan akan lebih dekat rumah sakit setiap harinya nanti. Meski mendapat tentangan di awal oleh ayahanda, Agus Wondo yang menginginkan aku untuk bisa berada di jalur yang sama dengan beliau.

"Mengapa harus dokter? Ayah selalu berharap kamu bisa menjadi perwira. Masuk akpol, itu sebabnya mengapa sedari awal Ayah selalu memintamu untuk membentuk tubuh dan stamina seperti sekarang." Ucap ayah yang dengan sengaja mengajakku bicara dengan serius saat aku mengatakan bahwa aku lolos saringan masuk perguruan tinggi negeri.

"Andi ingin menjadi dokter Ayah. Tolong diizinkan." Pintaku

Entah mengapa sejak saat itu, hatiku begitu perih. Mungkin cintaku yang datang terlalu dini tapi hatiku kini sudah tidak mungkin untuk berpaling kepada yang lain. Sejak 7 tahun yang lalu dia pergi membawa seluruh hatiku pergi dan tak pernah kembali. Pergi dengan semua luka yang ada di hati.

'Aku pasti bisa menyembuhkan ninamu, Ay. Tapi kemana aku bisa menjumpaimu. Atau memang takdir menjauhkan kita untuk bisa saling memahami. Tapi bagaimana mungkin aku bisa menemuimu sedangkan jejakmu sudah tidak lagi bisa ku temukan sejak kepergianmu dan kepindahan ayahmu ke Jawa kembali.'

Mungkin nina bear ini adalah simbol untukku bisa selalu mengingatmu. Selalu dekat dengan hatimu dan mungkin suatu saat nanti akan bisa mengingatkanmu kepadaku jika mungkin kau telah melupakanku.

Perjuangan untuk bisa masuk ke fakultas kedokteran bukan karena tanpa alasan. Karena janji untuk bisa menyembuhkan nina dahulu akhirnya keinginanku untuk bisa menjadi dokter spesialis bedah tulang tidak akan mundur lagi. Enam tahun kedepan pasti bisa meraih dokter umum dan selanjutnya dipastikan orthopaedi dan traumatology akan menjadi pilihan selanjutnya.

Jika ada orang yang mengatakan bahwa aku gila. Mungkin, aku memang telah gila. Mencintai gadis di masa kecilku yang entah kemana perginya. Menyimpan rindu bersama lembar demi lembar buku pelajaran yang selalu menemaniku setiap hari.

Cukuplah dengan bersahabat dengan mereka. Karena sesungguhnya aku sudah tidak lagi tertarik dengan makhluk yang bernama wanita sejak dihati hanya ada namanya, Bhatari Ratimaya.

"Jangan pernah kecewakan kepercayaan Ayah. Jakarta cukup keras sebagai kota untukmu tinggal kurang lebih 4 atau bahkan 6 tahun ke depan." Kata Ayah sebelum aku benar-benar pergi meninggalkan kota kelahiranku.

"Inshaallah Ayah."

Dan disinilah aku berdiri kini. Berderu dengan tumpukan silabus yang harus siap kulahap dan kuhafalkan untuk gelar dokterku. Ingin bukan hanya memenuhi janji namun juga rasa ingin menolong terhadap sesama.

"Andi, ikut yuk?" ajak salah satu temanku.

"Kemana?" saat aku bersiap menuju ke perpustakaan untuk mencari bahan materi perkuliahan dan praktikum dua hari lagi.

"Si Delia ultah, kita semua diundang loh. Kafe Borme, kapan lagi brow bisa makan gratis sambil cuci mata. Banyak mahasiswi cantik di sana, lagian Delia undang spesial kamu kan. Gimana nich diterima nggak ceritanya?"

"Diterima apanya?" tanyaku. Bukannya aku ge er tapi memang santer beredar kabar kalau Delia naksir hanya saja aku tidak pernah menganggap semuanya kabar burung yang berhembus itu. Tujuanku kuliah, memperoleh ilmu dan mempersembahkannya satu untuk wanita yang selalu ada di dalam hatiku

"Loh, bukannya dia naksir berat sama kamu?"

"Ngawur saja, kepo mulu kamu bawaannya Den. Aku mau ke perpus, sayang tugas lusa kurang dikit lagi." Tolakku kemudian berlalu.

"Kamu ini kencan sama buku saja tiap hari. Sekali-sekalilah kita having fun."

Ya aku memang menghindari beberapa party seperti itu. Tidak ingin semakin masuk dalam komunitas hedonis yang memang sangat jauh dari diriku. Meski harus menerima olokan udik dari semua temanku. Biarkanlah, setidaknya aku masih mampu berjalan lurus untuk tetap berada di jalur inginku dari awal.

Membahagiakan orang tua bukan hanya sekedar membawa gelar dan titel yang akan kuperoleh. Namun juga dengan terapan ilmu yang kuterima di bangku kuliahku.

"Gila kemarin heboh banget pestanya Delia. Dia beneran nunggu kamu datang loh sampe nggak mau potong kue ultahnya. Kejam kamu brow." Itu kata pertama yang kudengar saat keesokan harinya aku tiba di kampus dan bertemu dengan Deni.

Sebenarnya apa salahku sampai harus dikatakan kejam. Perayaan ulang tahun itu tidak akan pernah ada dalam kamus hidupku. Tidak akan pernah ada, dan aku tidak akan pernah akan datang memenuhi undangan seperti itu. Mengucapkan saja kalau bisa dihindari.

Apa kabar gadis kecilku. Mungkin kini kamu masih akan menyelesaikan sekolah dasarmu satu tahun lagi. Iya, cinta itu buta dan cinta itu gila. Bagaimana mungkin aku yang sudah mahasiswa ini bisa jatuh cinta dengan gadis SD bahkan aku mencintainya sejak dia masih imut-imut. Jangan sebut aku pedofil karena tidaklah mungkin mengambil suatu keuntungan dari apa yang aku yakini aku benar tidak ingin menyakitinya.

"Kamu kan tahu kalau aku juga nggak akan datang untuk pesta semacam itu. Agamaku tidak mengajarkan untuk seperti itu. Jadi aku boleh memilih untuk datang atau tidak, kalau pilihanku tidak__" kataku yang belum selesai sudah dipotong olehnya.

"Hey, hey, hey, come on brow. Ini jaman kapan, sebenarnya kamu itu temanku apa temannya kakekku?" tanya Deni.

Aku hanya menggeleng mendengar ucapannya. Sebenarnya bukan hanya Deni yang sering protes dengan sikapku yang seperti ini. Bukan aku tidak mengetahui tapi memang inilah aku dengan semua inginku.

Biar orang lain tahu bahwa setiap orang juga punya prinsip hidup.

"Tugas praktikummu memang sudah selesai untuk besok?"

"Praktikum apa?"

"dr. Ramli."

"Oh emji, besok jam pertama ya. Aku belum ngerjain semuanya. Andi__" aku tahu ujungnya selalu seperti itu. Hingga kupilih mengayunkan langkah untuk menjauhinya. Mahasiswa yang dikatakan modern tapi seringkali melupakan tugas dan kewajiban utamanya. Mungkin ini yang dulu sering dipesan Ayah kepadaku sebelum beliau benar-benar menyetujui inginku untuk melanjutkan study di sini.

Jakarta dengan semua keangkuhan dan kesombongannya.

👣👣

-- PoV Bhatari Ratimaya --

Tidak ada yang bisa merubah semuanya. Aku tetaplah putri seorang guru yang kini telah duduk di bangku SD kelas enam. Tidak banyak yang berubah dari masa anak-anakku, semua berjalan sebagaimana mestinya.

"Aya, persiapan hari kemerdekaan ikut lomba bidang studi ya?" kata bu Wiwit, wali kelasku.

"Aya ikut lomba bidang studi apa Bu Wit?" tanyaku.

"Bahasa Indonesia, mendongeng dan menulis prosa."

"Menulis cerpen?"

"Iya. Sudah punya gambaran?"

"Fiksi atau pengalaman Bu Wit?"

"Fiksi imajinatif. Bisa?"

"Dicoba dulu ya Bu. Kalau tema sudah ada tinggal nanti dibuat alurnya Bu Wit baca dulu sebelum bimbingan ya?" kataku.

Sedari dulu aku memang sangat suka dengan pelajaran mengarang. Entah itu hanya sekedar untuk iseng mengisi waktu luangku hingga tak sadar akhirnya hobby itu pula yang membuat nama panjangku pernah menjadi salah satu pengisi cerita di majalah anak-anak, Mentari.

Mendongeng, salah satu sisi lain dari diriku. Akrab dengan boneka tangan membuat dunia hayalku membumbung tinggi. Bukan hanya sampai disitu. Beberapa kali aku diminta untuk memainkan lakonku dengan apik saat mengisi acara di puncak peringatan Hari Anak Nasional.

Bertemu dengan para petinggi di Kabupatenku. Dikenal sebagai pendongeng cilik. Kadang kulihat genangan air mata di sudut manik mata kedua orang tuaku setiap kali aku menyelesaikan atraksi kecilku. Mereka tidak pernah melihatku karena aku selalu bersembunyi di balik layar. Tapi cerita yang aku usung selalu membuat tepuk tangan yang begitu riuh di akhir ceritaku.

Ibu, semua proses berawal dari beliau. Seringnya kedua telingaku mendengar dongeng yang selalu keluar dari bibirnya ketika akan tidur dari aku kecil hingga kini, menjadi pemantik semangatku.

Jika dulu waktu aku kecil hanya beliau yang selalu mendongengiku. Mulai kelas 2 SD, aku pun mencoba bersuara untuk memperlihatkan kemampuanku kepadanya. Beberapa kali dikritik kemudian dibenarkan membuatku seperti ini akhirnya. Mungkin inilah duniaku. Aku dan pasukan laskar ijenku.

Ijen, iconic jalan di kota Malang yang memanjakan mata dengan bangunan tempo dulu. Adalah kawasan ijen, jalan yang dipakai untuk car free day setiap hari minggu. Nama itulah yang akhirnya kupakai untuk menamai sekumpulan wayang dongengku.

"Aya nggak apa-apa kan?" kali ini Bu Wiwit memberikan kabar buruk kepadaku. Jangan tanya hatiku seperti apa, tentu saja aku kecewa. Aku yang telah berlatih tapi tidak diperkenankan untuk mengikuti lomba mendongeng. Tapi apalah daya aku yang hanya sebagai siswa. Keputusan panitia lomba memang tidak bisa diganggu gugat.

"Itu karena panitia sudah tahu kalau Aya ikut lomba pasti akan menjadi pemenangnya. Tapi dari pihak kecamatan memberikan apresiasi untuk Aya hadiah yang sama seperti pemenang pertama."

"Mengapa harus seperti itu Bu Wit?"

"Karena memang Aya sudah menjadi pemenangnya."

"Bukan. Maksud Aya, kalaupun tidak ikut lomba Aya juga tidak mau menerima hadiah itu. Tidak adil buat yang lainnya. Hadiah itu diperebutkan dengan sebuah karya bukan sekedar diberikan secara cuma-cuma." Aku tidak bisa membendung rasa kecewaku. Rasa kecewa karena tidak diperbolehkan untuk mengikuti lomba ditambah pula dengan hadiah kehormatan seperti itu rasanya aku tidak berhak menerimanya.

Harga diri atau apalah itu namanya aku tidak terlalu mengerti. Hanya saja pantang dari kecil aku menerima sesuatu yang memang bukan dari hasil kerja kerasku. Semacam kolusi supaya aku tidak terlalu kecewa, bukan justru itu seperti menampar muka untuk membuatku malu.

"Tapi untuk mengarangnya tetap diperbolehkan. Dan kami berharap kamu menjadi pemenangnya seperti tahun-tahun sebelumnya."

'Permadani di Atas Samudra'

Sebuah judul yang kupersiapkan untuk mengikuti lomba memeriahkan HUT RI tahun ini. Ingatanku memang tidak begitu sempurna. Mungkin hanya sekitar 30 menit aku pernah merasakan naik kapal feri yang menyeberangkan dulu waktu ayah masih berdinas di Arosbaya, Bangkalan.

Tapi rekam jejak itulah yang akhirnya membawa tanganku untuk bersinergi dengan daya ingatanku untuk menari di atas kertas. Merangkai kata menjadi kumpulan kalimat hingga membentuk paragraf yang begitu aduhai. Mix, pengalamanku ditambah karangan imajinatifku.

Mengapa aku ingin menjadi seorang nahkoda yang bisa dengan gagahnya membawa kapal untuk mengarungi samudra?

Senyum tipisku kini kembali terbit mana kala bu Wiwit memberikan 2 jempol tangannya setelah selesai membaca tulisanku. Dan rasanya seperti menjelajah di batas usia terakhir kakiku menginjakkan kakiku di pulau garam itu.

"Andi Alfarizzy, mengapa harus memakai nama itu?" tanya Bu Wiwit saat kami sedang berdiskusi untuk membahas sedikit cerita yang kutulis.

"Aya hanya mengingat nama itu Bu Wit. Sebenarnya mas Andi itu kakaknya Aya waktu dulu kecilnya Aya sering ikut ayah ke Madura. Dia anak tetangga rumah kost Ayah yang sudah seperti saudara." jawabku. Sejak awal aku menulis cerita itu memang ingatanku seolah membawa kepada seorang sosok kakak yang pernah membuatku marah. Tapi pada akhirnya aku merasa sangat menyesal karena setelah kemarahanku waktu itu aku tidak lagi bertemu dengannya. Karena ternyata ayah telah dipindah tugaskan di kota kami untuk bisa berkumpul dengan ibu dan keluargaku.

'Mas Andi, di mana pun kamu berada kini. Maafkan sikapku dulu ya, aku memang begitu kesal waktu itu. Tapi aku lupa bahwa kebaikanmu kepadaku jauh lebih besar jika dibandingkan dengan rusaknya kaki nina. Aku bisa meminta ibu untuk membelikannya lagi. Tapi ternyata aku tidak bisa meminta ayah untuk mempertemukan kita lagi karena memang jarak yang telah memisahkan persahabatan kita. Aku kangen kamu.'

"Loh kok kamu malah nangis Aya?" tanya Bu Wit yang mungkin mengetahui air mataku keluar lagi. "Masih marah tentang lomba mendongeng?"

"Bukan Bu."

"Lantas?"

"Aya cuma ingat mas Andi saja, dia dulu kakak yang sangat baik kepada Aya waktu di Madura," jawabku.

Tidak ada yang lain, semua petunjuk dari Bu Wiwit kuperhatikan untuk menyempurnakan ceritaku. Beberapa ada yang ditambah, beberapa juga ada yang memang harus dikurangi. Tidak masalah toh memang aku juga masih membutuhkan bimbingan.

Hingga waktu yang telah ditentukan tiba. Tanganku kini mulai menari indah di atas lembaran folio. Menorehkan cerita yang telah kudiskusikan bersama guruku dan sekaligus membawa anganku untuk bisa mengembara bersama kakak dan sahabat terbaik yang pernah kupunya.

🥢👣

-- to be continued --

💊 ___ 💊

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
🙇‍♀️🙇‍♀️

Jazakhumullah khair

💊 ___ 💊

Mohon cek typo yaaaaa

Departure T2 Juanda International Airport, 17 Desember 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top