02🌵Mulai Menyayangi

بسم الله الرحمن الرحيم

This is part of their story
-- happy reading --

🥢👣

Tentang sebuah rasa pasti semua akan setuju bahwa dia itu seperti jaelangkung. Datang tanpa diundang dan pergi tanpa permisi.

Tentang sebuah rasa bukan hanya orang dewasa yang bisa merasakannya. Sesungguhnya anak-anakpun diberikan rasa itu oleh Allah sesuai dengan versinya.

Adakah seperti itu yang kini dirasakan oleh Andi? Sejak pertama kali bertemu dengan Aya, Andi menyukai gadis kecil itu. Bicaranya yang lucu dengan mata bulat lentiknya yang selalu bergerak membuat dia selalu ingin bermain bersama gadis kecil itu. Cara bicara yang sama dengannya merupakan alasan lain yang membuat Andi ingin melindungi Aya dengan versinya.

Rasa sayang itu muncul seiring dengan kebersamaan mereka bermain bersama. Sayang sebagai seorang kakak kepada adiknya. Sayang sebagai seorang laki-laki yang merasa lebih kuat daripada wanita.

Sedari awal memang Andi telah mendapatkan olokan dari teman-temannya. Bahwa bermain bersama Aya itu merupakan bentuk sayang yang mengarah kepada cinta. Apakah itu cinta? Andi tidak menanggapinya terlalu serius, baginya senyum Aya adalah multivitamin yang bisa merubah mood boosternya selalu menjadi baik.

Aya dengan semua boneka-boneka kecilnya. Aya yang suka sekali mendongeng dengan Epeh, Ecan dan teman-temannya yang lain. Boneka tangan yang sering sekali dibawa Aya bersama imajinasi kecilnya.

"Mas Andi, aku mau mendongeng. Mas Andi purun mirengke mboten?" -- mau mendengarkan tidak? -- tanya Aya ketika dia mengetahui Andi berkunjung ke rumah kontrakan ayahnya.

"Emang kowe meh ndongengi aku opo to Dek?" -- memangnya kamu mau mendongengi aku apa, Dek? -- tanya Andi yang kini telah memegang dua boneka tangan yang disiapkan oleh Aya.

"Kancil ro Bajul." -- tentang kancil dan buaya --

Andi tersenyum kecil sambil mengusap kepala Aya. Menikmati, sungguh memiliki seorang kakak yang bisa mengerti dan melindunginya membuat Aya selalu betah bersama Andi. Ayahnya pun tidak pernah merasa keberatan karena dengan jelas Adhi lebih tahu Andi yang sekarang menjadi muridnya di sekolah berperilaku seperti apa.

Bibir mungil Aya berceloteh riang. Dia begitu gembira saat bisa menjelaskan dengan runtut bagaimana seorang kancil dengan cerdiknya menipu buaya yang hampir saja memakannya sebagai santapan. Bukan hanya itu, justru para buaya itu rela dengan kesungguhan hati dengan tipu daya seorang kancil untuk bisa menjadi jembatan penyebrangan saat kancil hendak menyeberangi sungai yang airnya sangat deras kala itu.

Sampai cerita itu berakhir Andi masih tetap tersenyum. Kali ini bukan terpesona dengan kelihaian Aya menyusun kata untuk menjadi cerita yang menarik. Tapi perhatiannya justru kepada polah tingkah gadis kecil yang bahkan belum bersekolah itu.

"Mas Andi kok mesam-mesem to?" -- senyum-senyum --

Mendengar pertanyaan itu Andi justru menarik Aya untuk bisa duduk di sampingnya.

"Besok kalau sudah besar Aya ingin menjadi apa?" tanya Andi perlahan.

"Aya pengen jadi dokter biar bisa ngobati orang sakit. Mas Andi mau jadi apa?" Aya yang nyatanya bertanya balik membuat Andi diam sesaat untuk memikirkan jawabannya.

"Apa ya, Mas Andi suka bermain bersama Aya. Besok kalau sudah besar ya tetap bermain seperti ini. Aya mau nggak bermain terus sama mas Andi seperti ini?" tanya Andi lagi, dia masih bingung harus menjawab apa jika besar nanti.

"Kalau sudah besar kita harus bekerja seperti ayah, seperti pakde Agusondoh." Kata Aya dengan lugas.

"Oke, kalau begitu mas Andi ingin menjadi polisi seperti ayah." Jawab Andi tapi kemudian dia bertanya lagi kepada Aya. "Tapi kalau jadi polisi waktunya nanti akan banyak di luar rumah."

"Pasti nanti Aya nggak ada teman mainnya ya?" tanya Aya kemudian menundukkan kepalanya.

Andi tersenyum tipis. Baru saja adik kecilnya mengatakan bahwa orang dewasa harus bekerja tapi ketika Andi mengatakan ingin menjadi seperti ayahnya yang pasti menghabiskan banyak waktunya dengan bekerja, Aya menjadi bingung siapa yang nanti bisa diajaknya bermain.

"Ya nanti mainnya sama mas Andi." Jawab Andi lagi tetap dengan senyum tipisnya.

"Kalau mas Andi bekerja, kan nggak bisa main dengan Aya lagi." Kata Aya.

"Setelah bekerja pasti bisa. Kamu pengen bermain apa sama mas nanti pasti mas Andi bisa menemanimu." Kata Andi sambil mengacak rambut Aya yang dikuncir 2 oleh ayahnya.

"Jangan diacak rambutnya. Kata ayah nanti aku nggak cantik lagi." Aya meringis saat tahu tangan Andi telah beralih dari kepalanya. "Mas Andi janji ya nanti selalu main sama Aya terus."

"Iya janji."

"Janji."

Kelingking mereka saling bertaut untuk berjanji selalu bersama. Ah, dunia anak-anak memang selalu manis. Dalam pikiran mereka pasti tidak pernah serumit dengan apa yang menjadi pikiran orang dewasa.

Setelah keduanya puas bermain bersama kini saatnya Andi untuk kembali pulang. Meski hanya tinggal melangkahkan kakinya namun Andi selalu mengatakan kepada Aya untuk besok bisa bertemu lagi.

"Aya, mas Andi pulang dulu ya. Harus mandi, ngaji dan belajar."

"Iya, besok main lagi ya?" kata Aya.

"Hmm, Aya mandi juga ya."

Tidak ada yang berbeda, hanya saja memang perhatian Andi selalu berlebih kepada Aya dibandingkan dengan teman sebayanya. Saat teman-teman Aya memilih permainan yang tidak Aya sukai Andi yang memilih mengalah untuk menemani adik kecilnya itu.

Begitu setiap harinya. Hingga suatu ketika Aya di ajak pulang ke Jawa oleh ayahnya.

"Kamu mau pulang lama ya di Malang?" tanya Andi saat ayahnya mengantarkan Aya dan Adhi Prasojo ke terminal.

Bukannya Aya yang menjawab karena dia sedari tadi sedang sibuk dengan bakiak baru yang dibelikan oleh Budhe Narni. Suara Adhi menjadi jawaban atas pertanyaan Andi.

"Iya Mas Andi. Sepertinya Aya juga akan lama di Malang, karena dia juga sudah harus masuk sekolah TK."

"Yahhhh, jadi nggak rame lagi dong di rumah kalau Aya tidak ada di sini. Mengapa tidak sekolah di sini saja Pak Adhi?" tanya Andi kepada gurunya tersebut.

"Ibunya Aya kan di Jawa, sebenarnya kemarin ikut bapak di sini agak lama karena ibunya Aya sedang pelatihan agak lama di Jakarta jadi Aya terpaksa Bapak ajak tinggal lama di Arosbaya." mungkin Aya tidak akan mengerti apa yang dimaksudkan oleh Adhi, ayahnya. Namun bagi Andi ucapan Adhi tersebut bisa diartikannya dengan sangat jelas.

Kehilangan pastinya, tapi Andi bisa apa untuk mencegah Aya yang harus ikut orang tuanya kembali ke Jawa.

"Ayah, memangnya Ayah masih lama ya dinas di sini?" pertanyaan yang sebenarnya sudah tersimpan dan lama tidak ditanyakan oleh Andi kini terdengar lagi di telinga Agus Wondo.

Putranya pasti akan menanyakan lagi kapan mereka akan kembali ke kampung halamannya.

"Sepertinya anak-anak kita telah bersahabat dengan baik Dik Adhi. Buktinya itu Andi merasa kehilangan saat Aya akan kamu ajak pulang ke Malang. Ingat lagi deh sama kampungnya dan merengek minta di pulangkan." Agus Wondo yang kini bercakap dengan Adhi di kursi depan tergelak dalam tawa.

Menurut mereka sangat wajar jika keduanya menjadi akrab. Andi yang memang anak bontot sangat menyayangi anak kecil sedangkan Aya yang merupakan putri sulung Adhi begitu menikmati memiliki seorang kakak.

"Tapi nanti akan diajak kemari lagi kan Ayanya Pak Adhi?" tanya Andi setelah percakapan antara Adhi dan Ayahnya terhenti.

"Inshaallah, nanti kalau ibunya bisa libur agak lama pasti Aya di ajak kemari lagi."

Sepertinya memang Andi harus bisa tersenyum tanpa adik kecilnya lagi untuk beberapa saat ke depan. Bukankah sebuah kodrati, bahwa Allah menciptakan dua hal yang saling bertolak belakang. Bahwa sesungguhnya perpisahan itu ada pastinya setelah adanya pertemuan. Dan di terminal bis antar kota ini Andi terpisah dengan Aya, gadis kecilnya yang imut dan lucu.

"Nggak boleh nakal ya, nurut sama ayah dan ibu." pesan Andi kepada Aya.

Andi yang kala itu mensejajarkan dirinya dengan tinggi Aya hanya bisa melihat mata Aya yang bergerak dengan indah. Tak lupa Aya bersalaman dengan mas Andinya dan sesuai dengan kebiasaan di keluarganya, dia pasti akan mencium pipi orang yang dia sayang sebelum perpisahan.

Dan itu yang dilakukannya kepada Andi juga kedua orang tua Andi.

"Dada Mas Andi, dada Pakdhe, dada Budhe." suara ceria Aya yang sudah berada di gendongan Adhi sambil melambaikan tangannya.

Dan disinilah Andi sekarang malam sepeninggal Aya dan ayahnya. Meja belajar dengan sebuah buku tulis kosong. Hingga tangannya berhasil menari diatasnya untuk merangkaikan barisan kata menjadi curahan hatinya. Kehilangan Aya seperti ada sesuatu yang kurang dalam harinya.

Aku tak tahu apa itu artinya kehilangan hingga akhirnya aku bertemu denganmu, gadis kecil bermata bulat dengan bulu mata lentik yang melengkapkannya. Yang pertama membuatku hariku berwarna dengan penuh senyuman kala hatiku menolak untuk berada di daerah yang jauh dari kampung halamanku berada.

Aku tak pernah bisa menjelaskan, kenapa aku menyayanginya. Dia gadis kecil yang lucu, senyumnya dengan gigi susu yang masih komplit. Aku rasa sampai kapan pun aku tak akan pernah menemukan alasan yang tepat.

Ingin aku selalu menulis semua hal tentang dia, apapun itu. Saat kita sedang bermain bersama, tertawa bersama, saat dia menangis karena ulah teman-temanku. Melindunginya seperti aku sedang melindungi diriku sendiri.

Aya karena aku ingin selalu bermain bersamamu.

Andi menutup bukunya perlahan. Usianya memang belum bisa mendeskripsikan tentang bagaimana rasa sayang atau bahkan rasa cinta. Andi masih duduk di bangku sekolah dasar kelas 5. Namun dia tahu, bagaimana rasanya menyayangi orang lain seperti halnya dia menyayangi kakaknya, dan juga kedua orang tuanya.

Mungkin saat ini rasa sayang yang dia tunjukkan kepada Aya sama besarnya seperti rasa sayang yang dia berikan untuk sang kakak, Dewinta. Percayalah bahwa Allah memang menganugerahkan rasa itu untuk setiap makhlukNya dengan versi yang berbeda-beda.

Beberapa kali Andi menanyakan kepada Adhi, kapan Aya akan berkunjung ke Arosbaya. Namun Adhi hanya bisa tersenyum dan mengatakan bahwa Aya kini telah sekolah TK dan tidak bisa dengan mudah untuk membolos sekolah.

"Mas Andi saja yang main ke rumah Bapak yang ada di Malang, bagaimana?" tanya Adhi saat keduanya sedang berbincang sambil pulang dari sekolah.

"Kalau diberikan izin oleh ayah, pasti Andi mau Pak Adhi." jawabnya.

Sudah setahun lebih Andi berada di Arosbaya. Namun sepertinya anak lelaki itu belum bisa menyatukan hatinya di tempat ini. Yang Adhi tahu bahwa memang sangat sering anak didiknya ini memilih bermain bersama putrinya dibandingkan dengan teman sebayanya.

"Di sini bukankah sudah banyak teman? Mas Andi juga sudah sangat lancar berbahasa Madura. Lalu apa lagi yang membuat tidak kerasan ada di sini." Tanya Adhi. Tidak terlalu berlebihan bukan untuk bisa mengetahui apa yang menjadi alasan anak didiknya ini tidak begitu menyukai tinggal di Madura.

"Dulu waktu Aya masih di sini, rasanya Andi memiliki teman yang senasib dengan Andi. Jauh dari kampung halaman. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan Arosbaya Pak. Hanya saja selalu ada yang kurang, entah itu karena apa Andi sendiri juga tidak tahu." jawab Andi.

Adhi menarik nafas dan menghembuskannya dengan perlahan. Sebenarnya Aya juga sangat sering menceritakan kegiatannya selama ikut Adhi di Madura bersama Andi kepada Ibunya. Hanya saja Adhi tidak ingin membuat Andi justru semakin tidak kerasan lagi jika harus mendengar cerita tentang Aya.

"Inshaallah, dua minggu lagi bapak akan mengajak Aya dan ibunya kemari." Kata Adhi sambil menepuk pundak Andi perlahan.

"Beneran Pak?"

Senyum merekah muncul dari bibir Andi. Setelah pamit kepada Adhi, Andi memilih untuk berlari menuju rumahnya dan meninggalkan Adhi sendiri.

Gelengan kepala serta senyuman khas milik Adhi tersungging di bibirnya. Persahabatan itu bukan hanya milik orang dewasa. Anak-anak pun juga bisa memiliki rasa itu. Layaknya seperti kepompong yang sebentar lagi akan berubah menjadi kupu-kupu yang senantiasa cantik untuk dinikmati jutaan pasang mata.

Adakah arti personifikasi untuk menjelaskan bagaimana persahabatan itu ada dan tercipta?

Sahabat yang selalu membutuhkan untuk saling membagi cerita. Sahabat yang rasanya selalu ada untuk bisa bersanding di kala duka. Sahabat yang selalu hadir dalam rentetan peristiwa terpenting dalam hidup seseorang.

Sahabat kecil yang akan selalu menerima apa adanya. Karena dasar hubungan di antara sahabat kecil itu hanyalah sebuah rasa tulus semata. Pertemanan yang tidak hanya melibatkan kamu dan dia, tapi juga dua keluarga yang dicintai dengan porsi yang sama.

Tidak ada yang harus ditutup-tutupi. Persahabatan ini memiliki ikatan yang sehati karena didasari sikap tulus khas anak kecil.

Menanggalkan gengsi? Jelaslah seperti itu, anak-anak tidak akan pernah mengerti apa yang dinamakan sebuah gengsi jika kedua orang tuanya tidak mengajarkan untuk bersikap gengsi. Tapi dengan sahabat? Rasanya bagi mereka rasa gensi itu sudah tidak akan ditemukan lagi. Semua dijalani dengan jujur tanpa perlu ada yang ditutup-tutupi.

Terlebih juga teman masa kecil akan mengajarkan kita bahwa persahabatan itu tidak seharusnya mengharap imbalan apapun. Sekedar bisa menghabiskan waktu bersama sudah cukup membuat hati merasakan bahagia.

Dalam benak Adhi rasanya memang Andi telah menganggap Aya sebagai adiknya. Keduanya memang seolah memiliki hubungan tak kasat mata yang bisa dikatakan sangat dekat sehingga menjadikannya selayak saudara antara keduanya meski lahir dari orang tua yang berbeda.

🥢👣

-- to be continued --

💊 ___ 💊

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
🙇‍♀️🙇‍♀️

Jazakhumullah khair

💊 ___ 💊

Blitar, 03 Desember 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top